Bendera, Cinta, dan Luka

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari ini media sosial diramaikan dengan “seruan” sebagian orang untuk tidak dulu mengibarkan bendera lambang negara, tetapi menggantikannya dengan bendera tertentu yang melambangkan kekecewaan. Hal itu sah-sah saja di negara yang demokratis; namun juga sah-sah saja untuk bersikap tidak membersamai seruan itu, dengan alasan tertentu pula.

Tulisan ini tidak ingin memperkeruh suasana atau juga tidak nimbrung begitu saja; namun mencoba berbicara dari sisi lain.

Bendera adalah sebuah simbol. Ia tidak sekadar kain berwarna yang dikibarkan di tiang-tiang tinggi, melainkan lambang dari identitas, harapan, dan perjuangan. Dalam setiap helai bendera terkandung narasi panjang tentang sejarah, darah, air mata, dan mimpi sebuah bangsa. Namun di balik kibaran bendera yang megah, sering tersembunyi kisah manusia yang penuh cinta dan luka.

Bendera bukanlah benda mati. Seperti yang dijelaskan oleh filsuf semiotika Charles Sanders Peirce dan Roland Barthes, sebuah simbol mengandung makna yang jauh melampaui wujud fisiknya. Bendera adalah tanda yang menunjuk kepada sesuatu yang lebih besar: identitas sebuah bangsa, sejarah panjang perjuangan, serta harapan masa depan.

Dalam konteks bangsa Indonesia, bendera Merah Putih bukan hanya warna, tapi sebuah narasi: merah melambangkan keberanian dan semangat juang, putih melambangkan kemurnian dan niat suci.

Dengan mengibarkan bendera, seseorang secara kolektif mengekspresikan rasa bangga dan loyalitas terhadap bangsa. Namun, kita perlu mempertanyakan: apakah simbol ini selalu mampu menyampaikan kebenaran dan keotentikan pengalaman manusia? Sejauh mana simbol kebangsaan dapat menjembatani jarak antara individu dan negara, antara jiwa dan kolektif? Ini adalah pertanyaan mendasar karena seringkali simbol besar seperti bendera disambut dengan kebanggaan di permukaan, sementara di dalam jiwa banyak yang merasa terasing, kecewa, bahkan terluka.

Cinta adalah konsep yang kompleks dan multidimensi dalam filsafat. Dari Plato hingga Simone de Beauvoir, cinta dipandang bukan hanya sebagai emosi, tapi sebagai kondisi eksistensial yang mendalam. Plato membedakan cinta menjadi eros (cinta yang penuh hasrat) dan agape (cinta tanpa syarat dan universal). Dalam konteks bendera dan bangsa, cinta yang dimaksud biasanya adalah cinta agape, yaitu cinta yang tidak menuntut balasan dan berdasar pada penghormatan terhadap identitas bersama.

Dari sisi humanisme, Erich Fromm dalam The Art of Loving menekankan bahwa cinta adalah seni yang harus dipelajari dan dijalani secara aktif. Cinta bukan sekadar perasaan, melainkan tindakan yang membutuhkan kesadaran, pengorbanan, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, cinta kepada bangsa harus dilandasi oleh tindakan nyata, bukan hanya simbolik semata.

Jika bendera adalah lambang cinta tanah air, maka pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah: apakah cinta itu sudah menyentuh realitas hidup manusia? Apakah negara mampu memberikan perhatian dan keadilan kepada setiap individu sehingga cinta itu tidak berujung pada kekecewaan?

Lalu, bagaimana dengan Luka ? Luka adalah pengalaman yang tak terhindarkan dalam perjalanan hidup manusia. Dalam konteks filsafat, luka bukan hanya kerusakan fisik, melainkan luka eksistensial, yaitu perasaan keterasingan, ketidakadilan, penindasan, dan kekecewaan.

Filsuf Emmanuel Levinas mengajarkan bahwa ketika rakyat merasa terabaikan, dilupakan, atau bahkan dizalimi oleh sistem sosial, mereka mengalami luka yang dalam, sebuah pengingkaran terhadap martabat kemanusiaan.

Luka-luka ini sering tersembunyi di balik simbol kebangsaan. Seorang ibu yang memasang bendera di rumah reyotnya mungkin memaknai bendera itu sebagai simbol harapan, namun sekaligus sebagai pengingat akan ketidakadilan dan penderitaan yang harus ia hadapi sehari-hari. Luka ini adalah suara batin yang berteriak dalam diam, yang kerap diabaikan oleh narasi besar nasionalisme.

Oleh karena itu: bendera, cinta, dan luka, berinteraksi dalam sebuah dialektika yang rumit. Bendera sebagai simbol kebangsaan dapat menjadi sumber cinta kolektif yang menguatkan rasa identitas dan solidaritas. Namun, bila realitas sosial tidak sejalan dengan simbol itu, maka bendera juga bisa menjadi sumber luka dan kekecewaan.

Dari sisi individu, cinta kepada bangsa harus berakar pada pengalaman autentik dan kesadaran kritis. Jika cinta itu hanya berupa ritual tanpa substansi, maka cinta itu menjadi semu dan bisa menimbulkan luka psikologis yang mendalam. Lebih jauh, luka yang dialami warga akibat ketimpangan sosial, diskriminasi, atau penindasan harus dibaca bukan sebagai kegagalan individu, melainkan sebagai tantangan bagi bangsa untuk memperbaiki diri. Luka ini adalah panggilan untuk refleksi moral dan etika kolektif.

Memahami hubungan antara bendera, cinta, dan luka memberikan kita beberapa pelajaran penting: Pertama, simbol tidak cukup tanpa tindakan nyata. Bendera sebagai simbol nasionalisme harus dilengkapi dengan kebijakan dan tindakan yang nyata untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat manusia.

Kedua, cinta harus dipupuk dengan kesadaran dan tanggung jawab. Cinta kepada bangsa bukan sekadar slogan, melainkan komitmen untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bersama. Sementara luka, harus menjadi bahan refleksi dan perubahan. Luka-luka sosial dan eksistensial tidak boleh diabaikan. Mengabaikan luka berarti mengabaikan kemanusiaan dan merusak fondasi bangsa. Untuk itu rakyat harus diberikan ruang untuk mengkritik dan mengembangkan diri agar cinta kepada bangsa dapat tumbuh dengan otentik, bukan sekadar dipaksakan.

Bendera, cinta, dan luka adalah tiga konsep yang saling terjalin dalam kehidupan manusia dan bangsa. Bendera sebagai simbol kebangsaan mengundang kita untuk merenungkan makna cinta yang lebih dalam dan menyadari bahwa di balik semangat nasionalisme, ada luka-luka yang perlu disembuhkan.

Kita harus belajar bahwa cinta kepada bangsa tidak boleh menjadi beban yang menyakitkan, melainkan sebuah penguatan yang lahir dari keadilan, pengakuan martabat, dan solidaritas nyata. Luka yang ada adalah panggilan untuk perubahan, untuk membangun bangsa yang tidak hanya bangga dengan benderanya, tapi juga memanusiakan seluruh rakyatnya.

Akhirnya, dengan penuh kesadaran, kita semua diundang oleh hati nurani kita sendiri, untuk mengibarkan bendera kebangsaan bukan hanya dengan tangan, tetapi dengan hati yang utuh, dan hati yang penuh cinta kepada negeri ini, serta sekaligus kesiapan untuk menyembuhkan luka negeri akibat dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Namun jika di antara kita ada keinginan untuk mengibarkan bendera lain, selain bendera resmi negeri ini, itu adalah hak individual, seperti halnya jika ada konsekwensi karena itu. Untuk pilihan yang satu ini kita berbeda dan perbedaan itu sah-sah saja. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman