Proses, Takdir dan Fitrah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang, hari itu kedatangan tiga mahasiswa pascasarjana yang masih semangat-semangatnya ingin menjadi magister. Mereka bertiga menggarap penelitian dengan satu tema tetapi tiga masalah. Dipenghujung diskusi persoalan mengerucut pada proses, takdir dan fitrah. Setelah diberi pemahaman panjang lebar, mereka baru memahami. Satu penggalan diskusi pada wilayah filsafat jika dipaparkan secara ringkas adalah sebagai berikut:
Dalam kehidupan manusia, kita sering dihadapkan pada dinamika yang tak terhindarkan: awal dan akhir, memiliki dan kehilangan, datang dan pergi, sedih dan senang. Ungkapan bijak “Awal dan akhir adalah proses, memiliki dan kehilangan adalah takdir, datang dan pergi adalah fitrah, sedih dan senang tidak selamanya” mencerminkan refleksi mendalam atas perjalanan eksistensi manusia. Kehidupan bukanlah suatu garis lurus yang statis, melainkan arus yang dinamis dan terus-menerus berubah.
Ungkapan “awal dan akhir adalah proses” menggambarkan bagaimana kehidupan manusia berjalan dalam alur waktu. Kelahiran bukan sekadar permulaan biologis, dan kematian bukan sekadar akhir fisik. Keduanya adalah momen dalam alur keberadaan yang lebih luas. Dalam pemikiran Heidegger, kematian bukan sesuatu yang harus ditakuti, melainkan harus disadari sebagai kemungkinan eksistensial yang paling pribadi. Kesadaran akan kematian justru membuat hidup lebih otentik.
Dengan menyadari bahwa awal dan akhir adalah bagian dari proses, manusia tidak hanya melihat hidup sebagai tujuan-tujuan eksternal, tetapi juga sebagai pengalaman batin yang mendalam. Kita tidak pernah “selesai” sebagai manusia, oleh sebab itu kita selalu dalam proses menjadi. Inilah yang membuat eksistensi kita begitu unik dan bermakna.
“Memiliki dan kehilangan adalah takdir” merupakan pernyataan yang mencerminkan keterbatasan manusia dalam mengendalikan dunia. Kita seringkali mengira bahwa kita dapat memiliki sesuatu secara mutlak, termasuk orang yang kita cintai, harta, status, atau bahkan waktu. Namun dalam kenyataannya, segala sesuatu yang kita miliki bersifat sementara. Filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre mengungkapkan bahwa keterikatan terhadap hal-hal duniawi sering kali menimbulkan kecemasan, karena di lubuk hati terdalam kita sadar bahwa semua itu bisa hilang.
Dari sisi ini, kehilangan adalah pengalaman universal. Tidak ada satu manusia pun yang hidup tanpa kehilangan. Namun, dalam filsafat, kehilangan bukan sekadar kesedihan; ia juga menjadi pintu pembuka menuju refleksi dan kedewasaan. Dalam kehilangan, manusia dihadapkan pada fakta bahwa dirinya bukan pusat semesta. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari realitas yang jauh lebih besar.
“Datang dan pergi adalah fitrah” menunjukkan bahwa hubungan antar manusia tidak pernah bersifat permanen. Fitrah, dalam konteks ini, bisa dipahami sebagai kecenderungan alami. Kita bertemu orang, membangun hubungan, lalu berpisah disebabkan karena waktu, jarak, pilihan, atau kematian. Inilah ritme kehidupan sosial manusia.
Dari perspektif filsafat Islam, fitrah manusia mencakup potensi spiritual dan sosial yang telah Allah tanamkan sejak lahir. Menurut Al-Ghazali, manusia memiliki kecenderungan untuk mencari kebaikan, kebenaran, dan cinta. Maka, membangun relasi adalah bagian dari fitrah itu. Tetapi, karena dunia ini fana, maka relasi pun tidak kekal. Datang dan pergi bukanlah tragedi, melainkan bagian dari hukum alam.
Dalam filsafat eksistensial, kehadiran orang lain sering kali menjadi cermin bagi diri sendiri. Sartre menyebut bahwa “neraka adalah orang lain” karena kehadiran mereka membuat kita sadar akan siapa kita. Namun, Emmanuel Levinas justru melihat kehadiran orang lain sebagai panggilan etis. Maka, setiap pertemuan dan perpisahan membawa peluang untuk pertumbuhan moral dan spiritual. Jika datang dan pergi adalah fitrah, maka sikap manusia seharusnya adalah menerima dan belajar dari setiap interaksi. Kehilangan bukan berarti kegagalan, dan pertemuan bukan berarti pemilikan. Semuanya bagian dari perjalanan eksistensial yang harus dijalani.
“Sedih dan senang tidak selamanya” menyentuh aspek emosional dari eksistensi manusia. Emosi adalah bagian integral dari keberadaan manusia. Kita tidak bisa menghindari rasa senang ketika mendapatkan sesuatu yang diinginkan, dan tidak bisa menolak kesedihan ketika kehilangan. Namun, baik senang maupun sedih, keduanya bersifat sementara.
Ungkapan bijak yang menjadi dasar esai ini bukan hanya rangkaian kata-kata puitis, tetapi juga pintu masuk menuju refleksi filosofis yang dalam tentang makna hidup manusia. Dalam hidup, kita selalu berada dalam proses menjadi: dari awal ke akhir, dari memiliki ke kehilangan, dari datang ke pergi, dari senang ke sedih, dan sebaliknya. Kesadaran bahwa semua ini adalah bagian dari struktur keberadaan, bukan sekadar kejadian acak, memberikan kita kekuatan untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna.
Oleh karena itu bahwa hidup tidak harus dimenangkan, melainkan dimengerti. Dengan memahami bahwa proses, takdir, dan fitrah adalah bagian dari keberadaan kita, kita bisa menjalani hidup dengan lebih lapang, penuh kasih, dan penuh makna. Akhirnya, tugas kita bukan untuk melawan arus waktu, tetapi untuk menari di dalamnya, tentu dengan kesadaran, kesabran, cinta, dan keikhlasan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman