Benturan Ego di Daerah Penyangga Balam-Lamsel, Antara Ekspansi dan Resistensi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kala itu, ada sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Kota Bandarlampung dan ingin bergabung ke dalam wilayah kota. Edy Sutrisno—yang kini telah berpulang—masih menjadi dosen dan turut terlibat dalam tim penelitian mengenai wacana ini.
Hasil kajian waktu itu menemukan bahwa ekspansi wilayah administratif, seperti perluasan batas ibu kota daerah, bukanlah persoalan sederhana. Ia adalah isu multidimensi yang menyentuh ranah politik, ekonomi, sosial, bahkan etika.
Dari lapangan, terlihat bahwa masyarakat desa sasaran perluasan terbelah. Sebagian warga menyambut dengan alasan kemudahan akses ekonomi, infrastruktur, dan layanan publik. Namun, sebagian lain menolak karena khawatir akan kenaikan beban pajak, perubahan tata ruang, dan hilangnya identitas kultural yang telah diwariskan turun-temurun.
Ketegangan juga merambat di kalangan elite desa. Mereka yang pro-ekspansi berharap mendapatkan peluang ekonomi baru atau posisi strategis dalam struktur pemerintahan kota. Sebaliknya, pihak yang menolak khawatir kehilangan otonomi, pengaruh, dan posisi tawar mereka di lingkup lokal.
Kaca Mata Filsafat Kontemporer
Melalui lensa filsafat kontemporer—dengan merujuk pada pemikiran Michel Foucault, Hannah Arendt, Jacques Rancière, hingga Nancy Fraser—konflik ini dapat dibaca sebagai pertemuan antara kekuasaan, pengakuan, dan eksistensi komunitas.
Foucault mengajarkan bahwa kekuasaan tidak semata represif, tetapi juga produktif. Ekspansi wilayah ibu kota bisa dipandang sebagai upaya menciptakan realitas sosial-politik baru melalui penataan ruang dan pengaturan populasi. Dalam perspektif governmentality—rasionalitas pemerintahan—perluasan administratif bukanlah sekadar keputusan teknis, tetapi langkah strategis untuk membentuk tatanan baru yang lebih terukur dan lebih mudah dikendalikan.
Namun, dalam proses itu, warga desa tidak hanya diposisikan sebagai agen otonom, tetapi juga sebagai objek kebijakan. Di sinilah gesekan muncul: sebagian warga merasa terlibat dan diberdayakan, sementara sebagian lain merasa termarginalkan dan kehilangan kontrol atas masa depan komunitasnya.
Arendt memandang politik sebagai ruang publik tempat individu hadir sebagai agen politik sejati melalui tindakan dan ujaran. Politik, bagi Arendt, bukan sekadar urusan manajemen sumber daya, tetapi tentang keberadaan bersama dan pengambilan keputusan kolektif yang menghormati pluralitas.
Bila warga hanya dijadikan objek kebijakan tanpa partisipasi otentik, proses itu kehilangan makna politisnya. Kelompok yang menolak ekspansi karena takut kehilangan identitas sesungguhnya sedang mempertahankan ruang eksistensialnya. Sebaliknya, pihak yang mendukung melihat peluang untuk berperan di panggung politik lebih luas—dengan catatan, semua itu baru dapat disebut “politik” sejati jika lahir dari deliberasi terbuka, bukan sekadar logika teknokratis atau hitungan ekonomi semata.
Dua Wajah Demokrasi
Dari sini, demokrasi tampak memiliki dua wajah:
1. Partisipatif – Masyarakat dilibatkan dalam proses deliberasi, bebas menyatakan kehendak, dan membentuk keputusan bersama.
2. Instrumental – Masyarakat hanya dijadikan sarana pencapaian tujuan ekonomi, politik, atau simbolik oleh pihak-pihak tertentu.
Elite desa yang mendukung ekspansi karena pertimbangan kesejahteraan berada di persimpangan moral: di satu sisi ingin meningkatkan taraf hidup warganya, di sisi lain berpotensi dituduh memperalat komunitas demi kepentingan pribadi. Demikian pula, elite yang menolak bisa dianggap melindungi otonomi lokal, atau sebaliknya, mempertahankan privilese lama yang terancam hilang.
Prinsip Penyelesaian Konflik
Konflik seperti ini tidak cukup diurai lewat argumentasi ekonomi atau hukum saja. Diperlukan ruang deliberatif—forum setara yang memungkinkan semua pihak hadir sebagai subjek, bukan objek. Filsafat kontemporer memberi beberapa prinsip yang dapat menjadi pegangan:
1. Partisipasi Otentik – Libatkan semua warga dalam proses pengambilan keputusan yang setara, bukan sekadar sosialisasi formalitas.
2. Pengakuan Multidimensi – Pertimbangkan kebutuhan ekonomi sekaligus identitas kultural, jangan saling meniadakan.
3. Transparansi dan Akuntabilitas Elite – Baik pihak pro maupun kontra harus terbuka soal kepentingan yang diperjuangkan dan siap menerima kritik.
4. Fleksibilitas Kebijakan – Pertimbangkan alternatif, seperti status otonomi khusus, zona ekonomi campuran, atau model federatif yang adaptif.
Penutup
Kasus perluasan wilayah ibu kota yang memecah belah masyarakat desa adalah cermin bagaimana isu administratif dapat menyentuh lapisan terdalam relasi sosial dan politik. Ini bukan sekadar soal garis batas di peta, tetapi pertanyaan mendasar: siapa yang berhak menentukan masa depan komunitas, dan dengan cara apa keputusan itu diambil?
Filsafat membantu membongkar lapisan yang selama ini dianggap netral dan teknis, lalu menghidupkan kembali ruang politik sebagai tempat bersama untuk merumuskan masa depan—yang plural, setara, dan berkeadilan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman