Robohnya Tembok Pagar Pembatas
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Peristiwa Pati baru saja mereda, walaupun belum selesai, bibit-bibit ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah daerah mulai menjalar. Diberitakan beberapa kota yang mengalami nasib sama, naiknya pajak, rakyatnya mulai terinspirasi oleh Pati. Rakyat yang mengalami kesulitan ekonomi, dan pemerintah yang kehabisan pundi-pundi; dua kepentingan itu bertabrakan ditengah medan sosial. Belum lagi kelompok-kelompok avonturir yang ingin memancing diair keruh mulai bermunculan. Tampaknya bangsa ini sedang berada di tengah pusaran perubahan sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang begitu cepat dan kompleks.
Di tengah arus globalisasi, digitalisasi, dan derasnya informasi, kita menyaksikan satu per satu batas yang dahulu menjadi landasan hidup bersama mulai runtuh. Tembok pagar yang dulunya membatasi, menjaga, dan melindungi; baik secara nilai, hukum, maupun identitas, kini mengalami keretakan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah robohnya tembok pagar ini menandakan kebebasan baru, atau justru awal dari kekacauan. Tulisan ini mencoba mengajak kita untuk tidak hanya menyalahkan kondisi, tetapi juga merenungi ulang fondasi-fondasi yang telah kita bangun selama ini dari perspektif Filsafat Kontemporer.
Pada ranah narasi kebudayaan dan filsafat, memaknai pagar bukan sekadar benda fisik, melainkan representasi dari batasan nilai, hukum, dan norma sosial. Secara filosofis, pagar adalah simbol dari keteraturan dan perlindungan. Dalam pandangan Michel Foucault, pagar, baik hukum, lembaga, maupun tata kelola sosial: adalah alat kekuasaan yang membentuk perilaku masyarakat. Ia tidak netral; ia dibentuk oleh siapa yang berkuasa, dan untuk kepentingan apa. Namun saat pagar itu roboh, kita tidak hanya menyaksikan hancurnya sistem, tapi juga bangkitnya anarki atau kekosongan makna. Kita hidup dalam era “post-struktural,” di mana struktur-struktur lama (seperti negara-bangsa, institusi agama, bahkan keluarga) mulai kehilangan otoritas moralnya.
Contoh nyata dari keruntuhan ini adalah krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dan politik. Lembaga yang seharusnya menjaga keadilan dan kebenaran justru kerap menjadi sumber ketidakadilan itu sendiri. Skandal di institusi hukum, aparat, hingga pemilu yang dipertanyakan integritasnya menunjukkan bahwa tembok hukum kita tidak hanya retak, tapi mungkin telah runtuh di banyak sisi. Bagaimana bisa seorang sudah memiliki kekuatan hukum tetap untuk masuk penjara, bisa selama bertahun-tahun tidak tersentuh hukum, bahkan bebas berkeliaran ke mana-mana.
Bagaimana dialogsiar terlaksana karena beda pandang dengan penguasa, langsung dipanggil untuk dijadikan tersangka.
Runtuhnya pagar moral menjadi salah satu kekhawatiran utama saat ini. Fenomena normalisasi korupsi, budaya permisif terhadap kekerasan, eksploitasi sumber daya alam tanpa empati ekologis, serta menguatnya hoaks dan ujaran kebencian, menandakan bahwa nilai-nilai moral bersama telah kehilangan daya ikatnya.
Zygmunt Bauman menyebut masyarakat hari ini sebagai “masyarakat cair”; di mana tidak ada nilai tetap, semuanya relatif, cepat berubah, dan mudah menguap. Dalam masyarakat cair, komitmen etis digantikan oleh pragmatisme dan kalkulasi keuntungan.
Apa yang dulu tabu, kini dianggap biasa. Ini menciptakan masyarakat yang cenderung apatis dan individualistis. Kita bisa melihat ini dalam kehidupan sehari-hari: saat politisi menggunakan agama untuk meraih suara tapi tidak konsisten dalam kebijakan, atau saat masyarakat lebih sibuk memperdebatkan gaya hidup influencer ketimbang kebijakan publik yang merugikan mereka. Di titik ini, kita tidak hanya menyaksikan robohnya pagar moral, tapi juga mandulnya kesadaran etis.
Salah satu bentuk paling mengkhawatirkan dari robohnya pagar sosial adalah meningkatnya polarisasi dan fragmentasi identitas. Media sosial telah menjadi ladang subur bagi penyebaran narasi kebencian, identitas sektarian, dan fanatisme. Algoritma memperkuat bias, menciptakan “ruang gema” (echo chamber) yang mempersempit pandangan dan menutup ruang dialog. Seolah-olah yang keras itu yang menang dan benar, sementara yang sayup sekalipun itu benar, menjadi pudar.
Jean Baudrillard, dalam teori simulakra, menjelaskan bagaimana realitas saat ini dipenuhi dengan tiruan yang menggantikan kenyataan. Dalam dunia yang lebih percaya pada representasi (seperti meme, unggahan, narasi buatan), identitas pun dikonstruksi secara artifisial. Kita tidak lagi mengenal sesama manusia melalui interaksi sejati, melainkan lewat citra digital yang sudah dikurasi. Akibatnya, masyarakat kita mudah dipecah belah oleh perbedaan yang seharusnya bisa dikelola secara dewasa. Politik identitas yang menguat dalam berbagai peristiwa pemilu menciptakan luka sosial yang dalam.
Tembok sosial yang dulu dibangun atas dasar keberagaman dan gotong royong, kini justru digantikan oleh pagar-pagar eksklusif berbasis ideologi sempit.
Demokrasi Indonesia secara prosedural memang berjalan: pemilu diadakan, wakil rakyat dipilih, dan lembaga negara bekerja. Namun secara substansial, demokrasi kita tengah sakit. Rakyat tidak merasa menjadi subjek utama dalam pengambilan keputusan. Politik uang, dinasti, dan kooptasi elite membuat demokrasi kehilangan jiwa. Chantal Mouffe mengingatkan bahwa demokrasi tidak bisa hidup tanpa konflik yang produktif, bukan konflik destruktif, tetapi perbedaan yang diakomodasi secara adil. Ketika kritik dianggap ancaman, oposisi dibungkam, dan media dibeli, maka pagar demokrasi telah runtuh. Kita masuk ke zona otoritarianisme terselubung.
Kondisi ini terlihat dalam berbagai kebijakan publik yang tidak partisipatif, seperti revisi UU ITE, pengesahan UU Cipta Kerja secara kilat, dan pembungkaman aktivis atau jurnalis yang kritis. Foucault menyebut hal ini sebagai “bio-politik,” di mana negara bukan hanya mengatur hidup manusia, tapi juga mendefinisikan siapa yang pantas hidup dan siapa yang bisa disingkirkan dari wacana.
Dalam konteks ini, kita bisa belajar dari pemikiran Slavoj Žižek yang mengkritik kapitalisme global sebagai sistem yang tampak netral tapi sebenarnya menindas secara struktural. Ia menyebut bahwa solusi tidak bisa dicapai hanya dengan reformasi kecil, tapi dengan perubahan cara berpikir dan sistem nilai secara mendalam.
Di tengah robohnya pagar-pagar dunia sekuler, agama sering menjadi sandaran terakhir masyarakat untuk mencari makna. Namun ironisnya, agama juga mengalami proses komodifikasi. Ia tidak lagi menjadi kekuatan pembebas, tapi sering kali menjadi alat pembenaran politik dan kekuasaan. Di banyak kasus, kita melihat bagaimana tafsir agama digunakan untuk membentuk narasi eksklusif, memecah masyarakat, dan memperkuat dominasi kelompok tertentu.
Filsuf kontemporer seperti Jürgen Habermas mengajukan konsep “ruang publik post-sekuler” yang seharusnya membuka dialog antara iman dan nalar. Namun di Indonesia, ruang itu masih lemah, karena perdebatan agama kerap digiring ke arah konflik, bukan dialog. Runtuhnya pagar spiritualitas ini bukan tentang berkurangnya jumlah pemeluk agama, tapi tentang kehilangan kepekaan, empati, dan keadilan dalam keberagamaan.
Filsafat kontemporer tidak menawarkan solusi instan, tapi memberi kita perangkat berpikir untuk merumuskan kembali fondasi etika bersama. Kita perlu membangun etika kolektif yang berpijak pada kesetaraan, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Robohnya tembok pagar bukanlah akhir dari segalanya, melainkan tanda bahwa kita sedang memasuki fase sejarah yang baru. Fase yang menuntut refleksi lebih dalam, keberanian untuk berubah, dan solidaritas untuk membangun ulang.
Dalam dunia yang terus berubah, kita tidak bisa hanya terpaku pada pagar lama. Kita perlu membangun ruang bersama yaitu ruang yang lebih terbuka, adil, dan manusiawi. Maka, saat tembok pagar roboh, jangan kita buru-buru membangunnya kembali dengan batu yang sama. Barangkali, yang kita butuhkan bukan pagar, akan tetapi jembatan. Salam Merdeka. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
