Lika-Liku Menghadap Pejabat
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu bersama ketua program studi mendapat tugas dari lembaga, dalam rangka bedah kurikulum, salah satu syaratnya mendapatkan masukan dari “pengguna lulusan”. Maka dilakukanlah “Temu Cawo” (dari bahasa Lampung yang terjemahan bebasnya, berjumpa untuk bicara atau diskusi) dengan para pejabat lembaga terkait di daerah, dari tingkat provinsi sampai kabupaten. Dari pengalaman menghadap para petinggi daerah ini dapat dikatakan “sulit-sulit mudah”. Sulit jika tidak ada relasi sosial, sehingga harus berhadapan dengan birokrasi yang membelit. Sebaliknya jika ada relasi sosial, maka kita bagai menggunakan jalan bebas hambatan untuk langsung menuju sasaran. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana relasi tadi jika dilihat dari perspektif Filsafat Sosial.
Filsafat sosial adalah cabang filsafat yang mengkaji realitas sosial dan struktur masyarakat, khususnya bagaimana relasi antarindividu dan kelompok diatur oleh norma, institusi, dan kekuasaan. Dalam konteks “menghadap pejabat,” filsafat sosial membantu kita memahami bahwa tindakan ini bukan sekadar interaksi personal, melainkan bagian dari sistem sosial yang lebih luas.
Karl Marx mengajarkan bahwa struktur sosial sangat ditentukan oleh relasi produksi dan kepemilikan alat produksi. Dalam konteks birokrasi dan kekuasaan, pejabat negara sering kali menjadi representasi atau pelayan kepentingan kelas penguasa. Oleh karena itu, menghadap pejabat adalah refleksi ketergantungan masyarakat kelas bawah pada elite penguasa yang mengendalikan sumber daya ekonomi dan sosial. Praktik ini menjadi simbol bagaimana kelas bawah harus menyesuaikan diri dengan aturan main yang dibuat oleh kelas dominan agar bisa memenuhi kebutuhannya.
Max Weber memberikan analisis penting mengenai birokrasi modern yang idealnya beroperasi atas dasar otoritas legal-rasional. Menurut Weber, birokrasi harus memberikan pelayanan berdasarkan aturan yang jelas dan transparan. Namun, Weber juga mengakui bahwa birokrasi kerap menjadi mekanisme yang sangat impersonal dan sulit diakses, sehingga individu sering terpaksa mencari jalur informal atau personal untuk mengatasi hambatan administrasi. Dengan demikian, “menghadap pejabat” bisa menjadi jalan pintas atau bentuk negosiasi kuasa yang dibutuhkan untuk mengatasi kerumitan birokrasi.
Michel Foucault melengkapi pemahaman ini dengan gagasan bahwa kekuasaan bukan hanya berpusat pada pejabat atau institusi, melainkan tersebar dalam berbagai praktik sosial dan wacana yang mengatur perilaku masyarakat. Proses menghadap pejabat merupakan arena di mana kekuasaan dipraktikkan dan dipertahankan melalui interaksi sosial yang penuh pengawasan dan disiplin. Warga yang “menghadap” secara tidak langsung menerima dan mereproduksi norma serta aturan kekuasaan tersebut, sehingga membentuk jaringan kontrol sosial yang kompleks.
Sedangkan Pierre Bourdieu menekankan aspek simbolik dan budaya dalam kekuasaan. Dalam pandangannya, menghadap pejabat adalah bagian dari praktik sosial yang mereproduksi dominasi melalui habitus dan modal simbolik. Habitus adalah struktur mental dan kebiasaan yang terbentuk dalam pengalaman sosial individu sejak dini, yang membuat mereka menyesuaikan diri dengan norma dan struktur sosial yang ada. Modal simbolik pejabat, yakni otoritas, pengakuan, dan prestise yang dipertahankan dan diperkuat melalui interaksi ini, sementara masyarakat belajar untuk tunduk dan menghormati sebagai bagian dari habitus mereka.
Pada praktiknya, menghadap pejabat bukanlah proses yang mudah dan lurus. Lika-liku yang dialami masyarakat sangat beragam dan seringkali menunjukkan sisi gelap dari birokrasi dan relasi kekuasaan. Pertama, masyarakat kerap menghadapi ketidakjelasan prosedur. Informasi mengenai siapa yang harus ditemui, kapan, dan bagaimana tata caranya sering kali tidak transparan. Hal ini menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian yang menambah beban psikologis bagi masyarakat yang ingin mengakses pelayanan. Mereka sering kali harus “bertanya ke sana kemari” atau mengandalkan jaringan informal untuk mendapatkan informasi tersebut.
Kedua, ada ketimpangan akses terhadap pejabat. Tidak semua warga memiliki kesempatan yang sama untuk “menghadap”. Mereka yang memiliki modal sosial, seperti koneksi keluarga, pertemanan, jaringan politik, atau kemampuan finansial, cenderung lebih mudah mendapatkan akses dibandingkan kelompok marginal yang lemah secara sosial dan ekonomi. Hal ini memperkuat ketidaksetaraan sosial yang sudah ada dan membentuk sistem patronase yang tidak jarang merugikan prinsip keadilan.
Ketiga, proses ini seringkali dikaitkan dengan budaya patron-klien, di mana pejabat bertindak sebagai pemberi jasa atau pelindung yang mengharapkan balasan berupa loyalitas atau penghormatan. Dalam konteks ini, menghadap pejabat menjadi arena negosiasi yang tidak hanya melibatkan urusan administratif, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi yang kompleks. Terkadang, sulit dipahami, karena tidak ada standard yang jelas.
Keempat, ada dimensi simbolik yang kuat dalam proses ini. Masyarakat mempersiapkan diri dengan penuh ritual: berpakaian rapi, dan menggunakan bahasa serta sikap yang menunjukkan penghormatan. Semua ini merupakan bagian dari pertunjukan sosial yang memperlihatkan posisi dan hierarki antara masyarakat biasa dan pejabat. Bagi pejabat, ini memperkuat prestise dan otoritasnya. Bagi masyarakat, ini adalah tanda tunduk yang kadang dianggap sebagai kewajiban budaya.
Karl Marx melihat praktik ini sebagai manifestasi dominasi kelas atas atas kelas bawah. Dalam pandangan Marx, ketimpangan dan eksploitasi ekonomi membuat kelas pekerja dan masyarakat miskin harus bergantung pada elite yang memegang kekuasaan untuk mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar. Oleh karena itu, menghadap pejabat bukan semata-mata urusan administratif, melainkan ekspresi hubungan kelas yang timpang dan reproduksi ketidakadilan sosial.
Max Weber menunjukkan ironi birokrasi modern. Di satu sisi, birokrasi harus bekerja secara sistematis dan legal untuk menjamin keadilan dan efisiensi. Namun kenyataannya, birokrasi sering kali sangat kaku dan sulit ditembus, sehingga masyarakat beralih pada relasi personal dan informal untuk memecahkan masalah. Ini mengindikasikan kegagalan sistem rasional birokrasi dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Michel Foucault, lika-liku menghadap pejabat merupakan bagian dari mekanisme kekuasaan yang tersebar dalam masyarakat. Kekuasaan ini tidak hanya datang dari pejabat secara vertikal, tetapi juga dari internalisasi norma dan disiplin sosial yang membentuk perilaku warga. Proses ini menjadi arena di mana kekuasaan diinternalisasi, dipertahankan, dan direproduksi oleh semua pihak yang terlibat. Dengan kata lain, masyarakat sendiri turut serta dalam mempertahankan struktur dominasi ini melalui praktik sosial sehari-hari.
Pierre Bourdieu menekankan bahwa masyarakat tidak semata-mata terpaksa tunduk karena tekanan eksternal, melainkan juga karena terbentuknya habitus yang membuat mereka “alami” menjalani praktik-praktik tersebut. Melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup, individu belajar bahwa menghadap pejabat adalah bagian dari tata cara sosial yang harus diikuti untuk bertahan dan mendapatkan pengakuan. Ini memperkuat modal simbolik pejabat dan mengukuhkan posisi dominan mereka dalam medan sosial.
Lika-liku menghadap pejabat bukan sekadar cerita tentang interaksi antara individu dan birokrasi, melainkan gambaran kompleks mengenai relasi kekuasaan, simbolisme sosial, dan ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Juga perlu dipahami bahwa pejabatpun dipaksa untuk membangun tembok sosial, akibat dari perilaku sebagian masyarakat dengan baju organisasi, melakukan intimidasi yang berujung meminta imbalan sesuatu. Akibatnya ada semacam seleksi untuk dapat berhadapan dengan pejabat. Dengan kata lain masyarakat sendiri yang membuat eliminasi pejabat dari masyarakat. Untuk itu harus ada edukasi dan standard procedure secara berjenjang, apa dan sampai level mana satu persoalan dapat diselesaikan. Dengan kata lain tidak semua persoalan harus sampai pada meja pimpinan tertinggi. Melalui lensa filsafat sosial, kita dapat memahami bahwa praktik ini merupakan refleksi dari struktur sosial yang tidak sempurna dan budaya politik yang perlu dikritisi. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman