Membaca Perundungan di Sekolah Favorit Bandarlampung

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Belum selesai kasus perundungan di salah satu sekolah menengah atas negeri di daerah ini; muncul lagi peristiwa hampir sama di salah satu sekolah menengah pertama swasta yang terkenal disiplin, siswanya melakukan hal yang sama.

Beruntung semua itu diliput oleh media masa sekelas media yang kita baca saat ini; tentu memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi. Terutama Herman Batin Mangku (HBM) jurnalis senior yang sangat peduli dengan pendidikan.

Sekalipun HBM sering mendapatkan “perundungan” juga saat meminta klarifikasi kepada sumber berita. Tulisan ini mencoba mmbahasnya dengan meminjam lensa Filsafat Pendidikan, bukan untuk menghakimi, atau memberi solusi, namun paling tidak memberikan referensi.

Perundungan atau bullying, dalam berbagai bentuknya, telah menjadi fenomena sosial yang tidak hanya menyentuh ruang-ruang sekolah saja, akan tetapi juga merembes ke media sosial, lingkungan kerja, bahkan dalam relasi keseharian yang tampak normal.

Ia menyaru dalam candaan, merayap dalam budaya kompetisi, dan terkadang mewujud dalam sistem yang tak lagi berpihak pada kemanusiaan.

Pertanyaannya bukan sekadar mengapa perundungan marak terjadi, tetapi apa yang telah berubah secara mendasar dalam cara manusia dididik hingga kekerasan, baik verbal maupun fisik, menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial kita hari ini.

Filsafat pendidikan kontemporer mengajak kita untuk tidak berhenti pada identifikasi gejala, melainkan menggali struktur pemikiran, nilai, dan orientasi pendidikan yang melandasi tindakan manusia.

Dalam perspektif ini, perundungan bukan sekadar tindakan salah individu terhadap individu lain, melainkan adanya gejala krisis kemanusiaan dalam pendidikan.

Kita hidup dalam dunia yang semakin menilai manusia dari performa, pencapaian, dan tampilan, bukan dari nilai-nilai keberadaan mereka sebagai subjek utuh.

Pendidikan, alih-alih menjadi ruang emansipasi dan penguatan identitas diri, justru sering berubah menjelma menjadi medan tempur, di mana hanya yang “unggul” yang mendapat pengakuan, dan yang “berbeda” menjadi objek cemooh; dan ini mendapat peneguhan yang jelas dan terang ada dalam visi lembaga.

Dalam masyarakat yang dibentuk oleh paradigma seperti ini, perundungan menemukan tanah suburnya. Ketika peserta didik tidak lagi diajak mengenali diri secara jujur dan utuh, tetapi terus-menerus dibandingkan, ditekan, dan diarahkan untuk menjadi sesuatu yang di luar dirinya, maka kegelisahan, kecemasan, dan agresi menjadi respons yang wajar.

Mereka yang merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup populer, mulai menyalurkan frustrasi mereka dengan menciptakan hierarki baru: “aku boleh tidak pintar, tapi aku bisa menjadi penguasa di antara teman-temanku lewat intimidasi”.

Kekerasan verbal menjadi alat untuk menunjukkan eksistensi. Kekerasan fisik menjadi bahasa baru untuk mengklaim kuasa.

Filsafat pendidikan kontemporer tidak hanya menggugat isi kurikulum atau metode pengajaran, melainkan juga menyentuh kedalaman eksistensial relasi manusia dalam pendidikan. Di mana letak kemanusiaan ketika sekolah menjadi tempat di mana anak-anak merasa terancam?

Apa arti pendidikan ketika seorang anak lebih takut ke sekolah daripada menghadapi ujian? Bukankah seharusnya pendidikan menjadi proses pembebasan, bukan penindasan?

Dalam dunia yang semakin kehilangan arah moral, di mana kebenaran menjadi relatif dan nilai menjadi cair, pendidikan seharusnya menjadi jangkar yang meneguhkan kembali hakikat manusia sebagai makhluk yang saling membutuhkan, saling menghargai, dan saling menjaga.

Namun kenyataan yang kita hadapi hari ini justru sebaliknya. Kegagalan kita dalam membangun ruang pendidikan yang inklusif, terbuka, dan empatik menjadi akar dari tumbuhnya perundungan.

Ketika norma sosial lebih menghargai kekuatan daripada kelembutan, dominasi daripada dialog, maka perundungan bukan lagi penyimpangan, melainkan produk sistemik dari pola pikir yang telah menyimpang.

Anak-anak belajar dari lingkungan mereka. Jika mereka melihat kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik di rumah, jika mereka menyaksikan penghinaan sebagai hiburan di televisi atau media sosial, dan jika mereka merasakan tekanan konstan untuk menjadi sempurna, maka perundungan hanya menjadi manifestasi dari pelajaran-pelajaran tak terlihat itu.

Maraknya perundungan juga mencerminkan ketimpangan dalam relasi kuasa yang sering diabaikan dalam sistem pendidikan. Ketika anak-anak dididik dalam struktur hierarkis yang kaku, di mana otoritas lebih penting daripada keadilan, maka mereka akan meniru pola itu dalam interaksi mereka.

Mereka yang merasa berkuasa: karena status sosial, fisik, atau prestasi, cenderung menggunakannya untuk mengontrol yang lain. Sementara mereka yang dianggap lemah terus mengalami penindasan tanpa ruang untuk bersuara. Pendidikan yang membebaskan tidak membiarkan struktur semacam ini bertahan.

Ia menantang dominasi dan membuka ruang partisipasi bagi semua suara, terutama yang kerap dibungkam.
Selain itu, peran media sosial dalam memperburuk fenomena perundungan tidak bisa diabaikan.

Di ruang digital, perundungan menemukan bentuk baru yang jauh lebih kompleks dan mengerikan: ia tak lagi terbatas ruang dan waktu, dan bisa menyebar dalam hitungan detik. Anonimitas memberi keberanian bagi pelaku, sementara algoritma memperkuat ekosistem kekerasan simbolik ini.

Sayangnya, pendidikan digital masih sangat minim diberikan. Banyak anak dan remaja yang masuk ke dunia digital tanpa dibekali kesadaran etis dan tanggung jawab sosial.

Mereka tidak tahu bagaimana menggunakan kebebasan berpendapat secara bijak, karena mereka sendiri belum pernah mengalami bagaimana rasanya dihargai sebagai manusia yang utuh.

Guru dan pendidik perlu dipersiapkan bukan hanya sebagai pengajar materi, tetapi sebagai fasilitator kemanusiaan. Mereka harus mampu membangun relasi yang otentik dengan peserta didik, menjadi teladan dalam kepekaan sosial, dan memiliki keberanian untuk berdiri di pihak yang tertindas.

Dalam kerangka filsafat pendidikan kontemporer, guru bukan sekadar agen transformasi kognitif, melainkan agen perubahan sosial. Tugas mereka adalah membantu peserta didik menemukan identitas mereka yang sejati, membangun kesadaran kritis terhadap realitas yang mereka hadapi, dan mengembangkan kapasitas untuk hidup bersama secara damai dan bermakna.

Dan, tidak kalah pentingnya lembaga pencetak guru jangan tinggal diam di menara gading, mari turun lihat ke bumi karena alumni anda ada di sana.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa perundungan adalah cermin dari kegagalan kita memahami dan mempraktikkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam pendidikan.

Selama pendidikan hanya mengejar standar, ranking, dan sertifikat, maka selama itu pula kita akan menciptakan generasi yang lebih terampil secara teknis, tetapi lumpuh secara moral. Kita harus kembali ke pertanyaan mendasar: untuk apa kita mendidik?

Jika jawabannya adalah untuk menciptakan manusia yang utuh, yang mampu hidup berdampingan dengan yang lain dalam perbedaan, maka seluruh orientasi sistem pendidikan kita harus dirombak agar sejalan dengan visi itu.

Terakhir, terimakasih patut diucapkan kepada media sosial (termasuk Hello Indonesia) yang konsisten mewartakan kejadian serupa ini, sekalipun diyakini saat mengkonfirmasi berita justru juga mendapatkan “perundungan jurnalistik” dari mereka yang merasa terusuk.

Semoga dinas pendidikan terkait dapat melakukan tindakan edukasi kepada semua jajarannya terutama yang berkait dengan masalah. Dan, tidak kalah pentingnya harus mampu bertindak tegas kepada mereka yang bertanggung jawab akan hal ini.

Bukan justru membuat kebijakkan kontradiktif, yang akhirnya memumbuhsuburkan perundungan di lingkungan dunia pendidikan. Salam Waras (gil)

Editor: Gilang Agusman