Absurditas Kekuasaan, Ibarat Membalik Gunung dan Menguras Laut
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Maghrib berlalu, Isya menjelang; dawai medsos memanggil. Ternyata diseberang sana seorang Jurnalis senior papan atas negeri ini berkontak sambung. Cerita dimulai dari remeh-temeh kehidupan kemudian menukik pada inti persoalan: banyaknya politikus berurusan dengan penjara.
Mereka tercium terlibat tindakan penyelewengan uang negara, untuk kepentingan kelompoknya. Tentu saja wilayah abu-abu sering terbentuk karena untuk membutakan, atau paling tidak menyamarkan, agar kelakuan itu tidak tampak mata.
Sebuah drama mini dari dunia politik, tetapi dalam pandangan filsafat kontemporer, ini adalah lukisan besar tentang absurditas kekuasaan, ilusi kehendak, dan jatuhnya proyek-proyek yang menentang arus etika.
Diskusi terputus karena panggilan azan tiba, dengan janji akan sambung lagi. Namun dari sesingkat itu bicara jika kita nukil melalui filsafat kontemporer, akan tampak benang merah seperti di bawah ini.
Perumpamaan “membalik gunung, menguras laut” tidak sekadar menggambarkan betapa besar usaha yang dilakukan, tetapi juga betapa mustahilnya mempertahankan hasil dari usaha tersebut ketika ia berjalan berlawanan dengan asas kebenaran.
Ungkapan ini adalah satir bagi kebodohan yang angkuh, sebuah metafora untuk kehendak yang mencoba memanipulasi realitas namun justru tertelan oleh daya yang lebih besar: kebenaran itu sendiri.
Kita hidup dalam masyarakat yang oleh filsafat kontemporer kerap disebut sebagai medan permainan tanda dan kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi sekadar berbentuk tangan keras negara atau simbol absolut, tetapi menjelma dalam jaringan-jaringan: bahasa, citra, wacana, dan bahkan dalam bentuk arsitektur institusional.
Dalam konteks itu, seorang petugas partai yang berusaha mengatur aliran uang gelap bukanlah aktor tunggal, melainkan simpul dari sebuah jejaring kekuasaan yang kompleks.
Ia adalah manifestasi dari hasrat kolektif dalam sistem politik yang tidak sekadar bertujuan meraih kekuasaan, tetapi mempertahankannya dengan segala cara, termasuk yang melawan moralitas.
Korupsi dalam kasus ini bukanlah sekadar tindakan menyimpang, tetapi sebuah strategi politik. Uang digunakan bukan hanya untuk membeli suara, tetapi juga membentuk citra, mengatur narasi, dan menciptakan momentum.
Namun, proyek besar ini tidak jarang runtuh sebelum mencapai panggung. Di sinilah letak absurditasnya: usaha yang dilakukan dengan cermat dan tertutup justru terbongkar, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menyeret semua ke permukaan.
Seakan-akan semesta tidak tinggal diam terhadap pelanggaran etika.
Filsafat kontemporer banyak berbicara tentang kehendak, terutama kehendak untuk berkuasa.
Dalam dunia politik modern, kehendak ini sering kali dimanipulasi oleh institusi yang menyamarkan dirinya sebagai perwakilan rakyat. Tetapi pada intinya, kehendak itu bukanlah milik individu, melainkan milik sistem yang memproduksi hasrat untuk memerintah.
Petugas partai dalam kisah ini tidak sedang menjalankan misi personal, melainkan mengaktualisasikan kehendak sistemik: menundukkan kebenaran demi kekuasaan. Namun sistem ini, meskipun tampak dominan, tetap rapuh.
Ia rapuh karena menyangkal satu hal: keterikatan antara kekuasaan dan kebenaran. Dunia kontemporer mungkin membiarkan berbagai bentuk deviasi moral demi stabilitas, tetapi tetap ada titik balik, yaitu ketika moralitas itu meledak dari bawah permukaan dan menginterupsi jalannya kekuasaan.
Interupsi itu bisa datang dalam bentuk penyitaan dana kampanye, penahanan seorang petugas, atau lebih besar lagi, dalam bentuk keruntuhan kepercayaan publik terhadap struktur partai itu sendiri.
Mereka yang mengumpulkan uang melalui korupsi berasumsi bahwa sistem akan tetap tertutup, bahwa semua aktor memainkan peran yang sudah dipahami bersama, sebuah kolusi diam-diam.
Tetapi justru dalam struktur sistemik seperti ini, peristiwa yang “membalik gunung dan menguras laut” adalah bentuk kehancuran dari ilusi kontrol total. Sistem itu, yang tampak kuat dan kedap, justru mengandung celah dalam dirinya sendiri: kerentanannya terhadap pelanggaran yang terlalu vulgar.
Yang lebih menarik dari segi filsafat adalah posisi individu dalam jaringan ini. Ia bukan pahlawan, bukan pula sekadar pelaku kejahatan. Ia adalah subjek yang digerakkan oleh hasrat, dipaksa oleh struktur, dan pada akhirnya ditinggalkan oleh sistem yang tidak mampu melindunginya ketika ia gagal menjalankan peran.
Inilah absurditas modern: individu dipuja sebagai aktor bebas, tetapi ketika dia terjerembab, maka dia dianggap penyimpang yang berdiri sendiri. Padahal, dia adalah hasil dari sistem itu sendiri.
Pertanyaannya sekarang , apa yang membuat upaya “membalik gunung dan menguras laut” itu gagal? Mengapa mesin kekuasaan yang tampaknya kuat bisa digagalkan oleh satu tindakan penegakan hukum?
Filsafat kontemporer menawarkan jawaban yang tajam: karena kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Kebenaran, dalam pengertian ini, bukan sekadar fakta, melainkan kejadian yang membongkar ilusi.
Ia tidak hadir setiap saat, tetapi ketika ia muncul, ia mengguncang tatanan. Maka, penyitaan uang kampanye bukan hanya tindakan legal, tetapi momen kebenaran dari sebuah interupsi terhadap kebohongan yang selama ini dibungkus rapi.
Esai ini tidak berusaha menghakimi, tetapi menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa yang tampaknya sederhana sesungguhnya menyimpan struktur filsafat yang dalam.
Kita melihat bukan sekadar seorang individu dipenjara, tetapi satu proyek kekuasaan yang tumbang oleh kenyataan yang tidak bisa dikendalikan. Peristiwa ini menjadi pelajaran tentang batas dari kehendak, batas dari kekuasaan, dan batas dari manipulasi.
“Membalik gunung, menguras laut” adalah metafora terakhir untuk menggambarkan usaha manusia modern yang melawan etika. Gunung dan laut adalah simbol kekuatan alam yang luar biasa dan usaha untuk membalik dan mengurasnya adalah bentuk kesombongan eksistensial.
Ketika usaha ini gagal, itu bukan hanya kegagalan strategi, tetapi kegagalan ontologis: manusia telah salah memahami posisinya dalam semesta, dan akhirnya dihukum bukan oleh sistem semata, tetapi oleh kenyataan itu sendiri. Dan dalam batas itu, kekuasaan, betapapun kuatnya, tetap tunduk. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman