Aku 8unuh Kamu, Nanti!

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

A: Aku bunuh kamu nanti!
B: Coba, bunuhlah, jika memang jago!
A: Nanti, kata saya!

Sebenarnya beberapa hari ini, saya kehilangan mood untuk menulis, bahkan sampai pada titik nadir: lesu dan “buntu”.Namun membaca tulisan opini Herman Batin Mangku (HBM) pada media ini yang berkaitan dengan dialog imajiner dua tokoh negeri ini, gairah untuk menulis sontak muncul.

Pada alinie terakhir dari tulisan itu menyentuh dawai humor saya dan memantik untuk munculnya dialog tiga kalimet pendek di atas. Tulisan ini mencoba memahami dialog imajiner itu dari sisi kehidupan lain.

Tiga kalimat pendek yang, meski tampak sederhana, menyimpan lapisan makna mendalam tentang manusia, kebebasan, dan keberadaan.

Dalam suasana konflik yang dapat kita bayangkan muncul dari pergulatan batin atau perseteruan laten antar dua pribadi, dialog ini membuka pintu perenungan panjang tentang siapa manusia itu dan bagaimana eksistensinya ditentukan oleh kebebasan memilih, menunda, atau bahkan menggugurkan niat yang lahir dari dorongan sesaat.

Kalimat pertama adalah ancaman. Namun, bukan sekadar ekspresi amarah biasa. Ia adalah pernyataan kuasa, bentuk dari kehendak atas yang lain, sebuah pengakuan akan potensi destruktif yang bisa diwujudkan.

Dalam perspektif filsafat manusia, manusia tidak hanya makhluk berpikir, tetapi juga makhluk bertindak, yang dengan kesadarannya mampu memilih jalan penciptaan atau kehancuran.

Kalimat “aku bunuh kamu nanti” mengandung kesadaran itu, ia bukan perbuatan spontan, tapi janji tindakan yang ditunda. Di sinilah letak kedalaman pertamanya: ancaman itu tidak bersifat segera, melainkan direncanakan.

Ia mengandung deliberasi, dan karenanya mengandung kebebasan.

Responsnya, “bunuhlah,” bukan bentuk ketakutan, melainkan penerimaan. Bahkan, bisa dimaknai sebagai tantangan. Di sinilah filsafat eksistensial berperan. Manusia, sebagaimana dipahami oleh pemikir seperti Sartre, adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab atas kebebasannya.

Ketika seseorang menjawab “bunuhlah,” ia seolah mengamini kemungkinan bahwa hidup ini adalah bentang yang absurd yang tak selalu berpola, tak selalu adil. Tapi dalam pengakuan terhadap ancaman itu, ia juga menunjukkan keutuhan dirinya sebagai subjek.

Ia tidak bersembunyi di balik ketakutan, tidak pula menawar ancaman itu dengan permohonan. Ia berdiri sebagai pribadi utuh yang menerima bahwa hidup dan mati bisa saja bukan di tangannya, namun respons terhadap keduanya tetap menjadi kebebasannya.

Pernyataan penutup, “nanti, kata saya,” adalah titik balik. Di sinilah dimensi kemanusiaan paling nyata terlihat. Ada jeda, ada ruang berpikir. Ancaman yang sedari awal dikatakan dengan niat yang tegas, kini kembali ditegaskan akan terjadi tetapi di waktu yang tak pasti.

Ini bukan hanya penundaan, melainkan pengakuan akan keberlangsungan waktu dan kemungkinan berubahnya kehendak.

Di dalamnya ada pengakuan bahwa manusia tidak statis. Bahwa kehendak bisa berubah, bahwa kemarahan bisa reda, bahwa niat untuk mengakhiri hidup orang lain bisa menjadi renungan yang membawa pada pemahaman yang lebih dalam.

Jika kita tarik lebih jauh ke dalam pemikiran Emmanuel Levinas, ada yang jauh lebih menggetarkan. Levinas mengajarkan bahwa wajah orang lain adalah panggilan etis. Bahwa melihat orang lain bukan hanya melihat objek, tetapi subjek yang memanggil tanggung jawab kita.

Maka, mengancam membunuh orang lain bukan hanya pernyataan kekuasaan, tapi bentuk penyangkalan terhadap kemanusiaan yang hadir di depan kita. Namun, menariknya, dialog ini memperlihatkan kemungkinan bahwa si pengancam belum tentu akan mewujudkan niatnya.

“Nanti, kata saya,” membuka celah etis itu: kemungkinan bahwa ia akan melihat wajah orang yang diancam, mengenal kemanusiaannya, dan akhirnya memilih untuk tidak menjadi algojo. Maka dalam penundaan itu terdapat harapan akan kesadaran etis.

Manusia, pada akhirnya, adalah makhluk yang tidak selesai. Selalu menjadi, tidak pernah final.

Dalam tiga kalimat ini, kita melihat bagaimana manusia berada dalam ambiguitas: antara kehendak dan keraguan, antara penerimaan dan perlawanan, antara keputusan dan penundaan.

Filsafat manusia mengajarkan bahwa yang membuat kita manusia bukan sekadar tubuh atau pikiran, tapi kemampuan untuk memilih, menunda, mengubah, dan bahkan menggugurkan pilihan. Itulah kebebasan eksistensial yang menjadi ciri kita sebagai manusia.

Akhir cerita dari dialog imajiner HBM menarik untuk dicermati. Apakah Sang jenderal akan menggunakan cara kejenderalanannya dalam menyelesaikan masalah, seperti yang di singgung oleh HBM dalam alinea penutup atau dengan cara lain yang lebih elegan.

Entahlah…hanya pelaku dan Tuhan yang tahu. Hanya yang perlu digarisbawahi , filsafat tidak hanya membaca dialog ini sebagai percakapan dua orang. Ia membacanya sebagai percakapan tentang kita semua.

Tentang ketegangan antara kehendak dan moralitas, antara hasrat dan tanggung jawab, antara kebebasan dan batas-batasnya. Dan justru dalam ketegangan itu, manusia menjadi manusia. Oleh sebab itu mari kita tunggu dialog imajiner selanjutnya dari HBM. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman