(malahayati.ac.id):

Sekda Provinsi Lampung Terima Kunjungan Mahasiswa Universiti Malaysia dalam Rangka Student Mobility Program Di Unmal

Bandarlampung (malahayati.ac.id): Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Lampung Dr. Marindo Kurniawan, S.T., M.M., menerima kunjungan tujuh mahasiswa Universiti Putra Malaysia (UPM) yang tengah menjalani Student Mobility Program: Clinical Elective Placement (CEP) 2025 di Universitas Malahayati, jumat (31/10/2025).

Kunjungan para mahasiswa UPM kali ini diwakili oleh Hanis Farhana, Nurdeena Shukriah, Nur Fareesha Hana, Farrah Asyiqin, Nurul Azrin, Sharifah Ruqayyah, Zulaikha yang merupakan peserta program internasional hasil kerja sama antara Universiti Putra Malaysia dan Universitas Malahayati.

Dalam kunjungan ini, para mahasiswa UPM didampingi oleh Bapak Romy J Utama, SE., M.Sos. Ahmad Iqbal, S.S (Ka Biro Administrasi Akademik), Syafik arisandi S.S., M.kes (Ka Kerjasama Internasional) yang langsung disambut hangat oleh Sekda Provinsi Lampung Bapak Dr. Marindo Kurniawan, S.T., M.M. didampingi oleh Ganjar Jationo, SE., M.AP (Kadis Kominfo provinsi lampung).

Silaturahmi dan kunjungan singkat yang berlangsung hangat dan akrab ini menjadi ajang pertukaran gagasan dan pandangan terkait dunia pendidikan, kesehatan, serta potensi kolaborasi antara Pemerintah Provinsi Lampung dan Universiti Putra Malaysia melalui Universitas Malahayati.

Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Lampung Dr. Marindo Kurniawan, S.T., M.M., dalam sambutannya menyampaikan ucapan terima kasih dan sangat mengapresiasi atas kunjungan mahasiswa internasional tersebut.

“Kami sangat menyambut baik dan bangga atas kehadiran para mahasiswa dari Universiti Putra Malaysia ke Provinsi Lampung. Saya secara pribadi juga ingin menyampaikan bahwa selama berkegiatan di Lampung, diharapkan para tamu dapat memperoleh kesan yang baik, serta dapat memberikan informasi positif kepada pihak Universitas Putra Malaysia dan juga kepada rekan-rekan di Malaysia. Hal ini berarti bahwa kunjungan kali ini tidak hanya berhenti sampai di sini, tetapi diharapkan dapat dilanjutkan dengan kunjungan berikutnya, baik untuk berwisata maupun untuk kegiatan lainnya di Provinsi Lampung.”

 

Sementara itu, Bapak Romy J Utama,SE., M.Sos. menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan wujud kolaborasi yang baik antara Universitas Malahayati dan Universitas Putra Malaysia. Mahasiswa dari Universitas Putra Malaysia telah bermukim di Lampung selama kurang lebih tiga minggu, dan selama itu mereka memberikan kesan yang sangat positif. Selama kegiatan di Universitas Malahayati maupun di rumah sakit, para mahasiswa menunjukkan antusiasme yang tinggi, serta turut menikmati kehangatan budaya lokal dan beragam kuliner khas Lampung yang menjadi pengalaman berharga bagi mereka.

Disisi lain, Ahmad Iqbal S.S (Ka Biro Administrasi Akademik) dan Syafik arisandi S.S., M.kes (Ka Kerjasama Internasional) menambahkan bahwasanya Student Mobility Program: Clinical Elective Placement (CEP) 2025 di Universitas Malahayati ini akan ada kunjungan balasan yang akan dikirim ke Universiti Putra Malaysia untuk melakukan kegiatan akademik dan kegiatan wisata ke malaysia.

Kegiatan ini diharapkan tidak hanya memperluas wawasan mahasiswa UPM, tetapi juga mempererat hubungan persahabatan antara Malaysia dan Indonesia, khususnya antara Universitas Malahayati dan Universiti Putra Malaysia.

 

Humas

Mahasiswa Universiti Putra Malaysia (UPM) Kunjungi Rumah Dinas Wali Kota Metro dalam Rangka Student Mobility Program di Universitas Malahayati

METRO (malahayati.ac.id): Lima mahasiswa Universiti Putra Malaysia (UPM) yang tengah menjalani Student Mobility Program: Clinical Elective Placement (CEP) 2025 di Universitas Malahayati, melakukan kunjungan kehormatan ke Rumah Dinas Wali Kota Metro pada Kamis (30/10/2025).

Kunjungan tersebut dihadiri oleh para mahasiswa UPM yaitu Nazirul Mubin, Harith Hazmi, Farah Liza, Zulaikha Nasron, dan Fareesha Hana, yang merupakan peserta program internasional hasil kerja sama antara Universiti Putra Malaysia dan Universitas Malahayati.

Dalam kunjungan ini, para mahasiswa didampingi oleh Kepala Humas dan Protokol Universitas Malahayati, Emil Tanhar, S.Kom., serta Kepala Bagian Kemahasiswaan, Rudi Winarno, S.Kep., Ns., M.Kes. Mereka disambut hangat oleh Wali Kota Metro, Hi. Bambang Iman Santoso, S.Sos., M.Pd.I., didampingi Dr. Eko Hendro Saputra, S.T., M.Kes. selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Metro, serta Deddy Hasmara, S.STP., M.Si., Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Metro.

Pertemuan yang berlangsung dalam suasana hangat dan penuh keakraban ini menjadi ajang pertukaran gagasan dan pandangan terkait dunia pendidikan, kesehatan, serta potensi kolaborasi antara Kota Metro dan Universiti Putra Malaysia melalui Universitas Malahayati.

Wali Kota Metro, Hi. Bambang Iman Santoso, S.Sos., M.Pd.I., dalam sambutannya menyampaikan apresiasi dan rasa bangga atas kunjungan mahasiswa internasional tersebut.

“Kami sangat menyambut baik kehadiran para mahasiswa dari Universiti Putra Malaysia di Kota Metro. Kunjungan ini bukan hanya mempererat hubungan antara dua institusi pendidikan, tetapi juga membuka peluang kerja sama lintas negara dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Kami berharap para mahasiswa dapat mengambil banyak pengalaman dan pengetahuan selama berada di Indonesia, khususnya di Universitas Malahayati,” ujar Walikota Metro.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa kehadiran mahasiswa asing di Metro menjadi bukti bahwa kota ini semakin dikenal sebagai kota yang ramah pendidikan dan memiliki potensi besar dalam pengembangan kerja sama internasional.

“Metro terus berkomitmen untuk menjadi kota yang terbuka terhadap kolaborasi global, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Kami bangga Universitas Malahayati menjadi bagian dari gerakan ini,” imbuhnya.

Sementara itu, Rudi Winarno, S.Kep., Ns., M.Kes., selaku Kepala Bagian Kemahasiswaan Universitas Malahayati, mengatakan program ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa internasional untuk memahami sistem pendidikan, pelayanan kesehatan, serta memperkaya wawasan ilmiah, khususnya di Universitas Malahayati.

Disisi lain, Kepala Humas dan Protokol Universitas Malahayati, Emil Tanhar, S.Kom., menambahkan bahwa kegiatan Student Mobility Program ini merupakan bagian dari upaya kampus dalam memperkuat jaringan akademik internasional dan memberikan pengalaman lintas budaya bagi mahasiswa.

Kunjungan ke Rumah Dinas Wali Kota Metro menjadi salah satu agenda penting dalam rangkaian kegiatan mahasiswa UPM selama mengikuti Clinical Elective Placement di Universitas Malahayati. Para mahasiswa juga dikenalkan dengan kebudayaan, sistem kesehatan, dan pemerintahan daerah di Kota Metro.

Kegiatan ini diharapkan tidak hanya memperluas wawasan mahasiswa UPM, tetapi juga mempererat hubungan persahabatan antara Malaysia dan Indonesia, khususnya antara Universitas Malahayati dan Universiti Putra Malaysia. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Asah Kemampuan Analisis Data, Prodi Manajemen Universitas Malahayati Gelar Bootcamp “Statistik Jadi Asik”

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Manajemen Universitas Malahayati menyelenggarakan kegiatan Bootcamp Statistik Manajemen bertajuk “Statistik Jadi Asik: Kuisioner Penelitian, SPSS, SmartPLS, dan EViews untuk Tugas Akhir”. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam bidang analisis data penelitian, dan berlangsung di lantai 6 Gedung Rektorat Universitas Malahayati. Sabtu (25/10/2025).

Kegiatan yang diikuti oleh 204 mahasiswa angkatan 2022 ini dirancang sebagai wadah pembekalan keterampilan analisis data bagi mahasiswa yang tengah mempersiapkan penelitian dan penyusunan tugas akhir.

Statistik memegang peranan penting dalam penelitian ilmiah, khususnya dalam pendekatan kuantitatif. Melalui statistik, peneliti dapat mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data numerik secara objektif untuk menguji hipotesis dan menarik kesimpulan yang valid. Dalam bidang ilmu sosial dan ekonomi, kemampuan memahami serta mengolah data statistik menjadi keterampilan esensial yang menentukan kualitas hasil penelitian.

Kegiatan dibuka secara resmi oleh Ketua Pelaksana, Harold Kevin Alfredo, S.E., M.B.A, yang dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang turut mendukung terselenggaranya acara tersebut.

“Bootcamp ini diadakan untuk membekali mahasiswa dengan kemampuan praktis dalam pengolahan dan analisis data. Harapannya, kegiatan ini dapat mempermudah mahasiswa dalam menyusun tugas akhir serta menghasilkan penelitian yang berkualitas,” ujar Harold.

Bootcamp ini menghadirkan empat narasumber dari dosen-dosen terbaik Prodi Manajemen Universitas Malahayati, yang membagikan materi komprehensif sesuai bidang keahlian masing-masing, yaitu:
• Dr. Febrianty, S.E., M.Si dengan materi “Tips & Trik Pembuatan Kuesioner Penelitian yang Benar dan Pemanfaatan AI”
• Euis Mufahamah, S.E., M.Ak yang membahas teknik pengolahan data menggunakan SPSS
• Muhammad Irfan Pratama, S.E., M.E yang mengulas pengujian data melalui EViews
• Reza Hardian Pratama, S.E., M.M yang memaparkan metode analisis data dengan SmartPLS

Keempat narasumber tersebut tidak hanya memberikan penjelasan teoritis, tetapi juga memandu peserta secara langsung melalui simulasi dan praktik, sehingga mahasiswa dapat memahami proses pengolahan data secara lebih aplikatif.

Kegiatan Bootcamp ini menjadi momentum penting bagi mahasiswa Manajemen untuk mengasah keterampilan riset yang lebih tajam, ilmiah, dan relevan dengan kebutuhan akademik maupun dunia kerja. Melalui kegiatan ini, diharapkan mahasiswa mampu menghasilkan penelitian yang tidak hanya memenuhi standar akademik, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan praktik manajerial.

“Statistik bukan sekadar angka, tetapi alat untuk memahami fenomena sosial-ekonomi secara mendalam. Dengan bekal ini, mahasiswa diharapkan lebih percaya diri dan terampil dalam melakukan penelitian berbasis data,” tutup salah satu narasumber. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Pasar Ilang Kumandange

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir-akhir ini dalam media sosial banyak menampilkan pasar yang ditinggalkan pembeli; dari pasar besar setingkat grosir, sampai pasar ditingkat kecamatan, bahkan pedesaan. Peristiwa ini mengingatkan pesan Pujangga Besar pada jamannya, yaitu Ranggawarsita, yang mengulas tanda-tanda “jaman” yang mengarah kepada “kehancuran”. Sebelum lebih jauh kita membahas, sebaiknya kita memahami siapa Ranggawarsita itu. Beliau adalah pujangga besar Jawa dari Surakarta (1802–1873), dikenal sebagai pujangga terakhir Keraton. Ia menulis karya sastra dan ramalan berisi kritik sosial serta kebijaksanaan hidup. Beberapa karya terkenal Ranggawarsita antara lain: Serat Kalatidha, Serat Sabdajati, Serat Wedhatama, Serat Pustakaraja Purwa, dan Serat Jaka Lodhang. Ranggawarsita memang dikenal sebagai penulis Serat Jangka Jayabaya, sebuah karya yang berisi ramalan-ramalan masa depan, termasuk tentang hilangnya keramaian pasar. Dalam Serat Jangka Jayabaya, terdapat petikan yang berbunyi:

“Mbesuk yen ana kreta mlaku tanpo jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing dhuwur awang-awang, kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange.”

Secara keseluruhan, “Pasar Ilang Kumandange” adalah bagian dari ramalan Jayabaya yang menggambarkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam hal hilangnya keramaian pasar tradisional.

Ungkapan “pasar ilang kumandange” selalu menggema sebagai salah satu frasa paling puitis sekaligus paling getir dari khazanah kebijaksanaan Jawa. Di dalamnya tersimpan renungan yang jauh melampaui sekadar keluhan sosial atau ramalan masa depan. Ia adalah pantulan kesadaran seorang pujangga yang menyaksikan dunia berubah begitu cepat, dan manusia di dalamnya perlahan kehilangan gema dirinya sendiri.

Pasar dalam pandangan budaya Jawa bukanlah sekadar tempat transaksi. Ia adalah lambang dari kehidupan dunia, tempat manusia saling bertemu, bertukar bukan hanya barang tetapi juga rasa, pandangan, bahkan nasib. Suara pasar seperti: tawar-menawar, tawa, teriakan, panggilan, dan canda, itu adalah simbol dari denyut kehidupan manusia itu sendiri. Maka ketika sang pujangga berkata “pasar ilang kumandange”, yang ia maksud bukan sekadar pasar sepi pembeli, tetapi dunia yang kehilangan getar kehidupan. Suara manusia meredup, interaksi menjadi dingin, dan dunia berubah menjadi ruang tanpa gema.

Di sini, kata “kumandang” menjadi sangat penting. Dalam bahasa Indonesia, kumandang berarti suara yang bergema, pantulan bunyi yang menandakan adanya kehidupan, ruang, dan kehadiran. Tetapi dalam kedalaman batin Jawa, kumandang juga berarti getaran hidup yang menyatukan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi. Hilangnya kumandang berarti padamnya resonansi antara manusia dan dunia, antara lahir dan batin, antara cipta, rasa, dan karsa. Dunia tetap ada, tetapi kehilangan jiwa.

Dalam konteks itu, “pasar ilang kumandange” dapat dibaca sebagai pernyataan ontologi, yaitu dunia kehilangan “ada”-nya. Ranggawarsita melihat bagaimana arus zaman membawa manusia masuk ke dalam dunia yang penuh aktivitas tetapi miskin makna. Orang bekerja, berdagang, bergaul, namun semua berlangsung tanpa kesadaran mendalam. Aktivitas menjadi rutinitas, relasi menjadi mekanis, dan kehidupan menjadi semacam mesin yang berjalan tanpa tujuan spiritual. Dunia yang dulu hidup kini menjadi kosong, seperti wadah tanpa isi. Inilah yang disebut krisis ontologis: keberadaan kehilangan kehadirannya. Dalam istilah para pemikir modern, manusia telah lupa akan keberadaan; ia terperangkap dalam kejatuhan eksistensial, hidup di tengah hiruk-pikuk tanpa sempat mendengarkan gema dirinya sendiri.

Dalam pandangan Jawa, dunia bukanlah sekadar ruang material. Dunia adalah harmoni antara jagad gedhe (alam semesta), jagad cilik (manusia), dan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan Ilahi). Ketika pasar kehilangan kumandangnya, berarti keseimbangan antara tiga ranah itu telah rusak. Manusia tidak lagi berelasi dengan alam secara selaras, tidak lagi berinteraksi dengan sesamanya secara hangat, dan tidak lagi menyapa Tuhan secara khusyuk. Dunia menjadi bisu bukan karena tidak ada suara, tetapi karena manusia tidak lagi mampu mendengar.

Krisis yang digambarkan Ranggawarsita kini menemukan bentuk paling nyata dalam dunia modern. Kita hidup di zaman ketika pasar benar-benar kehilangan kumandangnya dalam arti harfiah. Pasar tradisional yang dulu menjadi ruang sosial kini tergantikan oleh layar-layar digital. Interaksi manusia berpindah dari tatapan mata menjadi ketukan jari. Suara manusia berganti dengan notifikasi. Kumandang berubah menjadi algoritma. Dunia menjadi sangat efisien, tetapi juga sangat sunyi. Manusia saling terhubung, tetapi tidak benar-benar bersentuhan. Teknologi menciptakan kenyamanan, namun sekaligus menjarakkan manusia dari rasa kemanusiaannya sendiri.

Ungkapan “pasar ilang kumandange” pada akhirnya bukanlah kutukan, melainkan peringatan. Ia adalah ajakan untuk merenung tentang makna menjadi manusia di tengah perubahan yang tak terbendung. Ia mengingatkan bahwa suara sejati kehidupan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri yang sadar. Selama manusia masih mampu mendengar gema batinnya, selama ia masih bisa merasakan denyut kehidupan yang sejati, maka kumandang itu tidak akan benar-benar hilang. Dunia akan tetap bergema, dan manusia akan tetap menjadi manusia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Pendidikan Kedokteran Universitas Malahayati Kunjungi Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, Dapatkan Pembekalan Program Puskesmas Sesuai Permenkes No. 9 Tahun 2024

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Pendidikan Kedokteran Universitas Malahayati melaksanakan kunjungan akademik ke Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung pada Rabu, 22 Oktober 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari pelaksanaan Blok Community Health Oriented Program (CHOP) di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Malahayati, yang berfokus pada penerapan sistem kesehatan berbasis komunitas.

Dalam kesempatan tersebut, dr. Festy Ladyani, M.Kes selaku dosen pengampu blok CHOP, menjelaskan bahwa kegiatan lapangan seperti ini sangat penting untuk memperkuat pemahaman mahasiswa terhadap penerapan kedokteran komunitas.

“Berdasarkan silabus Blok CHOP pada Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, mahasiswa diharapkan mampu menerapkan sistem kesehatan berbasis komunitas. Oleh karena itu, diperlukan kegiatan lapangan yang menunjang keberhasilan mahasiswa dalam menguasai kedokteran komunitas dengan pendekatan kedokteran keluarga, serta memahami praktik penerapannya di lapangan,” ujar Dr. Festy.

Kunjungan ini juga menjadi momen penting bagi mahasiswa untuk mendapatkan pembekalan langsung dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung terkait program-program Puskesmas yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2024.

Para pemateri dari Dinas Kesehatan yang hadir dan memberikan penjelasan dalam kegiatan ini antara lain:
• drg. Santi Sundari, M.Kes
• Leni Syahnimar, SKM., MH
• Leni Septiana, SKM
• W.D. Ari Pratama Ade Putra, SKM
• Ria Rachmawati, S.Kom
• Dini Ariyanti, SKM., M.Kes

Materi yang disampaikan mencakup penjabaran lima klaster utama Puskesmas berdasarkan Permenkes No. 9 Tahun 2024, yaitu:
1. Klaster 1: Alur administrasi Puskesmas
2. Klaster 2: Kesehatan ibu hamil, bayi, balita, dan anak
3. Klaster 3: Kesehatan remaja, dewasa, dan lansia
4. Klaster 4: Penyakit menular dan tidak menular
5. Klaster 5: Lintas sektoral (pelayanan poli, farmasi, IGD, laboratorium, dan lainnya)

Turut hadir dalam kegiatan ini Wakil Dekan Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, dr. Neno Fitriyani Hasbie, M.Kes, Ka.Prodi Pendidikan Dokter, Dr. Tessa Sjahriani, dr., M.Kes, bersama dosen prodi pendidikan dokter dr. Mira Aprilika, M.Biomed.

Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari mahasiswa yang merasa mendapatkan banyak wawasan baru terkait sistem pelayanan kesehatan masyarakat dan peran Puskesmas dalam mendukung kesehatan primer. Melalui pembekalan ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami keterkaitan antara teori dan praktik dalam sistem kesehatan nasional, serta siap berkontribusi di masyarakat dengan pendekatan kedokteran yang holistik dan berbasis keluarga.

Dengan adanya kunjungan ini, Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati terus berkomitmen membekali mahasiswanya dengan kompetensi akademik dan keterampilan lapangan yang sejalan dengan kebijakan dan kebutuhan sektor kesehatan di Indonesia. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Juara 3 Solo Song Ajang Frenchtival 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Kali ini datang dari Zahwa Dwi Alisa (23220554), mahasiswi Program Studi Manajemen yang berhasil meraih Juara 3 Lomba Solo Song Bahasa Indonesia dalam ajang Frenchtival 2025.

Kompetisi bergengsi ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa Prancis Universitas Lampung (Unila) pada 21 Oktober 2025, dan diikuti oleh berbagai peserta dari universitas serta sekolah menengah di seluruh Lampung. Frenchtival sendiri merupakan festival tahunan yang menggabungkan seni, budaya, dan bahasa, dengan tujuan mempererat hubungan antar generasi muda melalui kreativitas dan ekspresi seni.

Dalam ajang tersebut, Zahwa tampil memukau dengan suara merdunya dan pembawaan panggung yang penuh percaya diri. Penampilannya sukses memikat para juri dan penonton, hingga mengantarkannya meraih posisi ketiga di kategori Solo Song Bahasa Indonesia.

Zahwa mengaku sangat bersyukur atas pencapaian ini. Ia mengatakan bahwa prestasi ini merupakan buah dari latihan dan dukungan lingkungan kampus yang selalu memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan bakatnya.

“Saya sangat bersyukur bisa membawa nama Universitas Malahayati di ajang Frenchtival 2025. Awalnya saya hanya ingin tampil sebaik mungkin dan menikmati prosesnya, tapi tidak menyangka bisa meraih juara. Terima kasih untuk semua dosen dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dan semangat,” ujar Zahwa dengan penuh rasa syukur.

Capaian ini menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga berprestasi di bidang seni dan budaya. Semangat dan dedikasi Zahwa diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berkarya dan berprestasi, mengharumkan nama almamater di berbagai ajang.

Dengan semangat muda yang kreatif dan berani tampil, Universitas Malahayati terus mendorong mahasiswanya untuk mengembangkan potensi diri dalam berbagai bidang, sesuai dengan motonya: “Mencetak generasi berilmu, berakhlak, dan berprestasi.” (gil)

Editor: Gilang Agusman

Katalog buku TOREFAKSI SAMPAH KOTA: Teknologi, Implementasi dan Potensi Energi Terbarukan

 

Judul Buku : TOREFAKSI SAMPAH KOTA: Teknologi, Implementasi dan Potensi Energi Terbarukan

Penulis:

Agus Apriyanto, S.T., M.T.
Fauzi Ibrahim, S.T., M.T.
Tyan Tasa, S. Kom., M. Kom.
Retno Wahyudi, S.Pd., M.T.
Adam Wisnu Murti, S.T., M.T.
Alexander Sembiring, S.T., M.T.

ISBN: Sedang proses

Sinopsis: Dalam konteks ini, teknologi torefaksi hadir sebagai salah satu solusi inovatif
yang memungkinkan konversi sampah menjadi bahan bakar padat berkualitas
tinggi, dengan proses yang efisien, ramah lingkungan, dan berpotensi diterapkan
secara luas, baik dalam skala industri maupun komunitas lokal. Sampah
merupakan material yang bersifat heterogen dengan kadar air tinggi dan energi
yang rendah. Selama ini, sampah sering dianggap sebagai masalah, terutama di
kota-kota besar di Indonesia. Namun, sampah juga memiliki potensi untuk
dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif. Nilai kalor dari sampah
perkotaan bisa mencapai sekitar 25,2 MJ/kg. Meski demikian, penerapan
pengolahan sampah masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari sisi teknis
maupun non-teknis. Mengingat kondisi tersebut, dibutuhkan metode yang tepat
untuk mengolah dan memanfaatkan sampah agar bisa dijadikan sumber energi
alternatif yang efektif dalam mengurangi volume sampah. Salah satu teknologi
yang menjanjikan untuk mengubah sampah menjadi bahan bakar padat bernilai
kalor tinggi adalah torefaksi.

Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-97 “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat Hari Sumpah Pemuda 2025! Momentum bersejarah ini menjadi pengingat bagi seluruh pemuda dan pemudi Indonesia untuk terus bersatu, bergerak, dan beraksi demi kemajuan bangsa.

Dengan mengusung semangat “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu”, Universitas Malahayati mengajak generasi muda untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu dengan karya nyata, inovasi, serta dedikasi bagi masa depan Indonesia yang lebih gemilang.

Semangat Sumpah Pemuda harus menjadi inspirasi bagi mahasiswa untuk terus berinovasi, berkontribusi, dan menjaga persatuan di tengah perbedaan. Karena masa depan bangsa ada di tangan generasi muda.

Sumpah Pemuda merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 28 Oktober 1928, saat para pemuda dari berbagai daerah dan organisasi kepemudaan berkumpul dalam Kongres Pemuda II di Jakarta.

Dalam kongres tersebut, lahirlah ikrar Sumpah Pemuda yang berisi tiga butir utama:
1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Ikrar ini menjadi simbol tekad bulat para pemuda untuk menyingkirkan sekat-sekat kedaerahan dan bersatu dalam satu identitas: Indonesia. Semangat inilah yang kemudian menjadi fondasi utama perjuangan menuju kemerdekaan 17 tahun kemudian, pada 17 Agustus 1945.

Kini, semangat Sumpah Pemuda bukan hanya tentang perjuangan fisik, tetapi juga perjuangan intelektual, digital, dan sosial. Generasi muda diharapkan mampu menghadapi tantangan zaman, mulai dari perkembangan teknologi, perubahan iklim, hingga globalisasi dengan semangat kolaborasi dan inovasi.

Universitas Malahayati, sebagai institusi pendidikan yang berkomitmen mencetak generasi unggul, terus menanamkan nilai persatuan dan nasionalisme kepada seluruh mahasiswa. Melalui kegiatan akademik maupun sosial, mahasiswa diajak untuk tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga berjiwa nasionalis dan berorientasi pada kemajuan bangsa.

Mari kita jadikan Hari Sumpah Pemuda 2025 sebagai momentum untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan.  Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-97! “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu!” (gil)

Editor: Gilang Agusman

Waktu “Surup”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Ingat pada waktu kecil dahulu, bila senja sudah tiba, warna langit berubah jingga yang biasa disebut dengan Candikolo, dan setelahnya temaram menuju gelap. Waktu seperti itu oleh orang Jawa disebut “Surup”. Dan. Jika waktu itu tiba Ibu pasti memanggil kami anak-anaknya guna memastikan apakah sudah masuk rumah. Selanjutnya beliau akan menutup pintu menyalakan “dimar” atau lampu teplok; yaitu lampu minyak tanah yang diberi sumbu dan diberi penutup kaca. Entah mengapa, sore itu saat menuju mushala dekat rumah, kenangan itu berkelebat dalam angan dan bayang. Sepulang dari menunaikan kewajiban shalat, tergerak untuk menelusuri makna surup itu dari kacamata filsafat manusia; yang sejatinya setiap kita akan mengalami waktu “surup-nya kehidupan”.

Di dunia ini, setiap peristiwa alam sesungguhnya menggambarkan hakikat kehidupan manusia. Tidak ada yang terjadi tanpa makna, dan tidak ada yang berjalan tanpa sebab. Di antara berbagai tanda yang dihadirkan Tuhan, waktu surup adalah salah satu simbol yang sarat makna. Surup bukan sekadar perubahan warna langit dari jingga menjadi gelap, melainkan lambang dari transisi, peralihan antara terang dan gelap, antara hidup dan mati, antara kesadaran dan keheningan. Di sinilah filsafat kehidupan menemukan cerminnya, sebab dalam waktu surup manusia belajar mengenali hakikat dirinya sebagai makhluk yang selalu berubah, yang tidak kekal, dan yang pada akhirnya akan melewati masa senja kehidupannya sendiri.

Ketika langit mulai menebar warna merah keemasan dan burung-burung pulang ke sarang, muncul suasana hening yang khas. Dunia seolah berhenti sejenak, menggantung di antara terang dan gelap. Keheningan itu memberi pesan bahwa segala sesuatu yang hidup akan mengalami perubahan. Tak ada yang abadi. Manusia yang dahulu muda dan kuat, lambat laun akan memasuki masa surup kehidupannya , saat tenaga berkurang, ketika suara hati lebih nyaring daripada suara ambisi. Dalam waktu seperti itu, manusia belajar menerima kenyataan bahwa satu-satunya hal yang tetap dalam hidup adalah perubahan itu sendiri.

Pandangan orang Jawa, surup tidak hanya berarti waktu secara fisik, tetapi juga waktu yang simbolis. Ia adalah momen ketika kekuatan alam berganti arah, ketika keseimbangan antara terang dan gelap terjadi sesaat. Suasananya lembut, udara terasa tenang, dan perasaan menjadi lebih peka. Bagi manusia yang waspada, surup adalah saat paling tepat untuk menyadari keberadaannya, untuk menengok ke dalam diri. Sebab ketika cahaya luar mulai redup, cahaya dari dalam hati seharusnya menyala agar tidak tersesat dalam gelap. Di sinilah makna filosofisnya tampak jelas: ketika dunia luar menjadi gelap, manusia harus menyalakan terang di dalam dirinya.

Manusia hidup di antara terang dan gelap. Dalam terang, ia berbuat, bekerja, dan mencipta. Dalam gelap, ia merenung, menahan diri, dan berserah. Surup adalah garis tipis di antara keduanya, tempat di mana manusia diajak untuk memandang dua sisi itu dengan bijak. Surup tidak memaksa manusia memilih antara terang atau gelap, tetapi mengajarkan keseimbangan ; bahwa keduanya adalah bagian yang sama penting dari kehidupan.

Pada akhirnya, setiap manusia akan mengalami waktu surup-nya sendiri-sendiri. Tak seorang pun bisa menghindar dari masa ketika cahaya hidupnya mulai redup, ketika semangat duniawi mulai digantikan oleh ketenangan jiwa. Namun di sini tidak ada kesedihan, sebab surup bukanlah akhir. Setelah gelap, akan datang terang baru. Surup hanyalah peralihan dari satu bentuk cahaya ke bentuk cahaya lainnya; dari cahaya kasar menuju cahaya halus, dari kehidupan fisik menuju kehidupan spiritual. Dalam pemahaman ini, surup adalah simbol kesadaran rohani, pengingat bahwa kematian bukanlah penutupan, melainkan pintu menuju kehidupan yang lebih dalam.

Saat menatap surup, langit seperti melukis suasana melankolis yang lembut namun dalam. Tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada cahaya menyilaukan, hanya ada warna-warna lembut yang menenangkan rasa. Dalam keadaan itu, manusia bisa merasakan bahwa segala yang ada di dunia ini hanyalah singgah. Perasaan ini bukan untuk menimbulkan kesedihan, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa hidup harus dijalani dengan makna. Setiap terang akan berakhir, maka setiap masa terang harus dijalani dengan penuh arti. Surup tidak untuk ditakuti, tetapi untuk diterima sebagai pengingat bahwa tidak ada yang abadi, dan hanya kesadaran yang mampu menembus kegelapan.

Manusia yang telah melalui berbagai fase kehidupan akan lebih memahami makna surup. Saat muda, surup tampak seperti waktu yang biasa saja, hanya pertanda malam akan tiba. Namun ketika usia menua, surup menjadi simbol masa senja kehidupan, yaitu: saat seseorang lebih banyak mengingat daripada berharap. Di sini filsafat bertemu dengan rasa: kesadaran akan datangnya senja membuat manusia lebih lembut, lebih dalam, lebih dekat pada hakikat dirinya. Surup mengajarkan bahwa umur seperti perjalanan matahari; ada pagi, siang, dan senja. Tak ada yang lebih penting, sebab semuanya memiliki peran dalam kesempurnaan hidup.

Maka, waktu surup lebih dari sekadar perubahan warna langit. Ia adalah kitab filsafat yang ditulis oleh alam, yang dapat dibaca oleh siapa pun yang mau berhenti sejenak dan menatapnya dengan hati. Setiap sinar jingga yang menyatu dengan gelap memberi pelajaran bahwa hidup tidak harus selalu terang, tetapi harus jujur dalam menerima setiap perubahannya. Manusia yang memahami makna surup akan hidup lebih tenang, lebih sadar, dan lebih siap ketika masa surup-nya sendiri tiba.

Setiap waktu surup yang tampak di langit sejatinya adalah panggilan agar manusia mengingat kehidupan dirinya sendiri. Surup bukan hanya milik langit, tetapi juga ada di dalam hati setiap manusia. Setiap kali manusia mengalami kehilangan, perpisahan, atau kesedihan, ia sebenarnya sedang mengalami surup batinnya. Namun dari sana akan tumbuh cahaya baru yaitu, cahaya yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih sejati. Surup bukan akhir, melainkan awal dari kebijaksanaan yang abadi.  Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

“Nggampangke”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Komunitas tenaga pengajar di lantai lima tempat penulis berkantor saat tiba waktu sholat selalu mendirikan sholat berjamaah. Siang itu sebelum dhuhur ada diskusi kecil diantara jamaah yang menengarai saat ini munculnya sikap “nggampangke” di semua lapisan masyarakat, dari pejabat sampai rakyat; tidak terkecuali juga mahasiswa. Beliau yang berlatar belakang budaya Jawa sangat gamblang menjelaskan ini. Selesai sholat justru diksi itu mengganggu pikiran untuk ditelusuri makna hakikinya; sebab fenomena itu ternyata banyak terjadi di tengah masyarakat, tidak terkecuali para petinggi negeri ini.

Dalam bahasa Jawa, “nggampangke” berarti menganggap sesuatu mudah, atau memudahkan semua hal, seolah semua bisa diselesaikan tanpa usaha mendalam, tanpa refleksi, tanpa proses yang sungguh-sungguh. Sikap ini sekilas tampak positif, seolah-olah penuh rasa optimis, tidak mau ribet, dan selalu mencari jalan cepat. Namun di balik kesan ringan itu, tersembunyi krisis yang lebih dalam: hilangnya kesadaran terhadap nilai proses, tanggung jawab, dan makna mendalam dari tindakan manusia.

Fenomena “nggampangke” ini menjadi cerminan cara berpikir manusia kontemporer yang hidup di tengah budaya instan. Segala sesuatu dituntut serba cepat, efisien, dan praktis. Masyarakat tidak lagi menghargai waktu yang dibutuhkan untuk memahami, meneliti, atau merenungi sesuatu secara utuh. Ketika setiap hal bisa diakses hanya dengan sentuhan jari, manusia pun mulai kehilangan kesabaran terhadap proses yang memerlukan ketekunan. Sikap “nggampangke” menjadi kebiasaan yang membentuk cara pandang baru: bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan cepat, tanpa kedalaman. Inilah wajah baru dari krisis kesadaran manusia modern.

Pandangan filsafat kontemporer, sikap “nggampangke” dapat dipahami sebagai gejala kehilangan keterhubungan manusia dengan realitas yang sejati. Manusia kini lebih sibuk mengejar hasil dibanding memahami makna dari apa yang dikerjakan. Segalanya direduksi menjadi fungsi, efisiensi, dan manfaat jangka pendek. Akibatnya, tindakan manusia menjadi dangkal. Nilai pengetahuan direduksi menjadi informasi, nilai moral direduksi menjadi opini, dan nilai karya direduksi menjadi konten. Ketika manusia hanya melihat permukaan, ia berhenti berelasi dengan kedalaman hidup. Ia hidup di ruang datar yang penuh kesibukan, namun kosong dari refleksi.

Sikap “nggampangke” lahir dari rasa puas yang prematur. Ia menolak kompleksitas dan cenderung menghindari kesulitan. Dalam masyarakat yang dibanjiri kemudahan digital, manusia semakin terbiasa untuk mendapatkan segalanya secara instan. Belajar bisa dari potongan video singkat, bekerja cukup dengan aplikasi, bahkan berpikir pun sering digantikan oleh mesin pencarian. Semua tampak mudah, hingga akhirnya manusia tidak lagi terbiasa menghadapi tantangan yang memerlukan ketekunan. Ketika muncul masalah yang menuntut keseriusan, sikap yang lahir bukan semangat untuk memahami, melainkan keinginan untuk segera melepas atau menunda. Maka, “gampangke” menjadi jalan pintas menuju kemalasan intelektual dan emosional.

Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang harus terus berproses. Makna hidup tidak terletak pada hasil akhir, melainkan pada keterlibatan yang mendalam dalam setiap proses. Namun, budaya “nggampangke” justru mengikis kesadaran ini. Proses dianggap membuang waktu, refleksi dianggap tidak produktif, dan kesulitan dianggap hambatan yang harus dihindari. Padahal, tanpa melalui kesulitan, manusia tidak mungkin tumbuh secara autentik. Ketika semua dianggap mudah, manusia berhenti menjadi pembelajar. Ia hanya menjadi penikmat hasil, bukan pencipta makna.

Sikap “nggampangke” bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga gejala sosial. Ia menciptakan budaya kolektif yang rapuh. Dalam masyarakat yang terbiasa dengan kemudahan, daya tahan terhadap tekanan menjadi lemah. Ketika krisis datang, baik ekonomi, sosial, maupun spiritual; masyarakat semacam ini mudah panik dan kehilangan arah. Mereka tidak terbiasa berpikir mendalam, sehingga tidak mampu membangun solusi yang berkelanjutan. Semua hal diselesaikan dengan tambal sulam, tanpa akar yang kuat. Akibatnya, masalah yang sama terus berulang, hanya berganti bentuk.

Sikap “nggampangke” juga menunjukkan krisis makna kerja dan usaha. Dalam budaya tradisional Jawa, kerja memiliki dimensi spiritual dan moral: kerja adalah laku, bagian dari perjalanan batin menuju kesempurnaan hidup. Namun dalam budaya kontemporer yang serba cepat, kerja direduksi menjadi alat mencapai hasil instan. Ketika sesuatu tidak segera membuahkan hasil, ia ditinggalkan. Nilai kesabaran dan ketekunan pun luntur. Di sini, “nggampangke” tidak hanya menjadi sikap praktis, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap nilai luhur kerja sebagai jalan pembentukan diri.

Pada akhirnya, “nggampangke” bukan hanya kata, tetapi cermin dari cara berpikir. Ia menunjukkan bagaimana manusia modern memandang dirinya dan dunianya. Apabila kita terus memelihara sikap ini, kita berisiko menjadi generasi yang kehilangan kedalaman berpikir dan kepekaan moral. Sebaliknya, bila kita mampu mengubahnya menjadi kesadaran baru; kesadaran bahwa setiap hal bernilai karena prosesnya, maka kita sedang menata kembali relasi kita dengan kehidupan.

Di tengah dunia yang serba cepat, mungkin justru yang paling revolusioner adalah keberanian untuk berjalan secara perlahan. Untuk tidak tergoda menganggap segala hal mudah, untuk tidak menertawakan kesulitan, dan untuk tetap menghormati perjalanan panjang menuju pemahaman sejati. Dalam kesadaran itu, manusia kembali menjadi subjek yang utuh: yang berpikir, merasakan, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, melampaui “nggampangke” bukan hanya soal mengubah perilaku, tetapi juga soal memulihkan kemanusiaan kita di tengah dunia yang nyaris kehilangan jiwa. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman