Hanya Perantara

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Idhul fitri telah lama berlalu, tetapi meninggalkan kenangan dari seorang sohib yang dalam satu acara keluarga beliau berkomentar bahwa kita manusia ini hanya “perantara” dari satu sistem besar yang Tuhan ciptakan. Manusia hanya elemen kecil dari satu sistem dengan tugas tertentu untuk melakukan hal tertentu dalam sub sistem tertentu, dari sistem besar yang ada. Sohib tadi menjelaskan dari berbagai pandangan, yang tidak mungkin diuraikan pada media ini, di samping tidak cukup ruang juga tidak elok tempat. Namun untuk sekedar memahami dari sedikit kulit ari yang ada tentang ini, maka ada beberapa referensi yang dapat kita jadikan tempat berpijak analisis; namun perlu disadari dari awal tentu semua masih bisa diperdebatkan, karena itulah esensi dari filsafat. Adapun pandangan tadi antara lain sebagai berikut:

1. Filosofi Keberadaan dan Keterhubungan
Dalam banyak tradisi filsafat, realitas sering dipahami sebagai sesuatu yang terus berubah dan saling terhubung. Jika sesuatu disebut “hanya perantara”, ini berarti keberadaannya bukan tujuan akhir, melainkan bagian dari suatu proses yang lebih besar.

2. Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Dalam teori pengetahuan, pemahaman manusia sering bergantung pada simbol, bahasa, atau konsep yang bersifat perantara antara realitas sejati dan kesadaran manusia. Misalnya, kata-kata dan konsep dalam bahasa hanyalah alat (perantara) untuk memahami dunia, bukan realitas itu sendiri. Dengan kata lain realitanya itu digambarkan melalui bahasa.

3. Etika dan Tanggung Jawab
Dalam etika, seseorang yang menganggap dirinya “hanya perantara” mungkin merasa tidak bertanggung jawab atas akibat dari tindakannya, karena ia hanya menjalankan peran dalam sistem yang lebih besar. Namun, dalam pandangan lain, kesadaran bahwa seseorang adalah perantara bisa mendorong sikap rendah hati dan pengabdian. Tidak ingin berbuat semena-mena karena dia harus bertanggung jawab kepada sipemberi peran sebagai perantara.

4. Filosofi Keberadaan dalam Konteks Mistis atau Spiritual
Banyak tradisi spiritual percaya bahwa manusia hanyalah perantara antara dunia material dan dunia spiritual. Dalam ajaran Sufisme, manusia sering dianggap sebagai perantara antara Tuhan dan alam, yang bertugas menjaga keseimbangan. Dengan demikian pada sudut pandang ini; “hanya perantara” bisa bersifat pasif (mengurangi tanggung jawab) atau aktif (memahami peran dalam sistem yang lebih besar). Dalam filsafat, ini mengarah pada pemahaman tentang keterhubungan, keterbatasan, dan hakikat eksistensi.

Kalau kita bumikan semua hal di atas dapat menggunakan kerangka berfikir kiyai Maimun Zubaeir yang mengatakan “jangan merasa berjasa bagi orang lain, karena kita hanyalah perantara dikehidupan orang lain”. Konsep filsafat ini bisa dimaknai bahwa manusia bukan pemilik mutlak dari apa yang ia miliki, lakukan, atau capai. Sebaliknya, kita hanyalah saluran atau perantara dari sesuatu yang lebih besar. Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa dibumikan dalam beberapa aspek berikut:

1. Dalam Pekerjaan dan Karier
Alih-alih menganggap keberhasilan sebagai hasil mutlak usaha pribadi, kita bisa melihatnya sebagai amanah yang harus diteruskan untuk kebaikan bersama. Misalnya: Seorang guru menyadari bahwa ilmu yang ia ajarkan bukan miliknya, tetapi titipan yang harus ia bagikan kepada murid-muridnya. Demikian juga seorang pemimpin tidak mencari kemuliaan pribadi, melainkan melihat dirinya sebagai penghubung bagi kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya. Dia tidak lebih sebagai pengatur antara yang membutuhkan dengan yang dibutuhkan.

2. Dalam Harta dan Kekayaan
Filosofi ini mengajarkan bahwa harta bukan sepenuhnya milik kita, melainkan hanya titipan yang harus dikelola dengan bijak dan digunakan untuk berbagi. Misalnya: Sedekah dan berbagi rezeki menjadi bagian dari kesadaran bahwa kita hanyalah perantara kebaikan. Oleh karena itu semakin kita banyak melakukannya, maka kebaikan akan kita tuai sebagai hasil.

3. Dalam Ilmu dan Pengetahuan
Pengetahuan yang kita peroleh bukan untuk disimpan sendiri, tetapi untuk disebarkan dan dimanfaatkan bagi banyak orang. Seorang penulis, seniman, atau ilmuwan harus memahami bahwa karya mereka adalah hasil dari pengalaman, inspirasi, dan kontribusi banyak pihak sebelumnya dan merupakan rangkaian panjang tak terputuskan.

4. Dalam Kehidupan Sosial
Filosofi ini membantu kita tidak merasa sombong atau terlalu melekat pada peran kita. Dalam hubungan sosial: Seorang orang tua harus menyadari dan memahami bahwa anak bukanlah miliknya, tetapi amanah yang harus dibimbing dengan cinta dan kebijaksanaan. Demikian halnya dalam menolong orang lain, kita tidak merasa lebih tinggi, tetapi sadar bahwa kita hanyalah perantara rezeki atau solusi bagi mereka.

5. Dalam Spiritualitas
Banyak ajaran kepercayaan yang menekankan bahwa manusia hanyalah perantara kehendak Tuhan. Ini mendorong kita untuk lebih rendah hati dan berserah diri dalam menjalani hidup.

Pada akhirnya, menerapkan konsep “kita hanya perantara” mengarahkan kita untuk lebih ikhlas, rendah hati, dan tidak terlalu melekat pada ego. Kita berusaha sebaik mungkin dalam hidup, tetapi juga sadar bahwa segala sesuatu mengalir melalui kita, bukan dari kita, dan bukan pula milik kita. pemahaman akan esensi kehidupan ini memang tidak mudah, memerlukan pengalaman batin yang panjang; namun tetap bisa dicapai bagi mereka yang memahami akan proses. Semoga kita mendapatkan kebajikan setelah kita berpuasa ramadhan berikut syawal pada waktu lalu, dan, diberi kesempatan untuk berjumpa dengan ramadhan serta syawal yang akan datang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Menggugat Moral Akademik

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat perkuliahan pertemuan ke tujuh dilaksanakan, ada mahasiswa pascasarjana yang mempertanyakan bagaimana kedudukan filsafat dalam menghadapi gemburan teknologi di dunia akademik berupa penggunaan artificial intelligence (AI) ditandai dengan begitu mudahnya sekarang mendapatkan apapun informasi, termasuk informasi ilmiah di dunia maya. Serta kemudahan mendapatkan referensi pada perpustakaan digital yang berserak juga di dunia maya.

Tentu pertanyaan ini memerlukan perenungan mendalam dan penelusuran literatur baik fisik maupun digital. Filosofi dari menggugat moral akademik berpijak pada pemikiran kritis terhadap peran dan tanggung jawab dunia akademik dalam membentuk manusia dan masyarakat yang beradab. Jika kta renungkan secara mendalam, persoalan ini melibatkan beberapa landasan filosofis utama:

Pertama: Etika sebagai Landasan Ilmu.
Dunia akademik idealnya bukan hanya tempat pencarian ilmu, tapi juga ruang pembentukan karakter dan nilai.

Menggugat moral akademik berarti mengingatkan bahwa ilmu tanpa etika bisa menyesatkan. Ini selaras dengan pandangan para filsuf seperti Immanuel Kant, yang menekankan pentingnya moralitas dalam semua bentuk tindakan rasional. Pembentukan moral, termasuk moral akademik, tidak dapat dilakukan secara mekanistik, akan tetapi memerlukan proses pengendapan berfikir dan penanaman nilai. Oleh sebab itu banyak kalangan meragukan kemampuan AI menjangkau ini. Oleh sebab itu diperlukan tools yang kredibel guna menjaga maruwah akademik.

Kedua: Tanggung Jawab Sosial Ilmu Pengetahuan. Pada posisi ini ilmu tidak netral; ia selalu berada dalam konteks sosial. Menggugat moral akademik berarti menuntut ilmu agar berpihak pada kebenaran dan kemaslahatan umat, bukan sekadar menjadi alat kekuasaan atau pasar. Ini dekat dengan gagasan Paulo Freire, yang menolak pendidikan sebagai proses penjinakan, dan mendorong pendidikan yang membebaskan. Hanya seperti apa dan bagaimana mengejawantahkan atau membumikan pemikiran ini dalam bentuk aturan akademik; tentu ini sesuatu yang mendesak untuk dibicarakan oleh kalangan perguruan tinggi.

Ketiga, Kritik sebagai hakikat akademik.
Pada tradisi filsafat kritis, terutama dari Foucault atau Habermas, kekuasaan dan pengetahuan selalu saling terkait. Moral akademik yang bobrok seringkali berakar dari sistem kekuasaan yang menindas. Maka, menggugat moral akademik adalah upaya memulihkan fungsi kampus sebagai ruang dialog dan emansipasi. Di sini peran para Guru Besar harus mampu membangun ruang-ruang dialog dengan para warga kampus guna menemukenali persoalan yang disebabkan oleh munculnya AI; sehingga dapat termanfaatkan dengan baik dan benar yang tetap berada dalam koridor kaidah moral dan etika akademik.

Keempat, Keaslian dan Kejujuran Intelektual. Filsafat eksistensial, seperti yang diajarkan oleh Søren Kierkegaard atau Jean-Paul Sartre, menekankan otentisitas. Dalam konteks akademik, ini berarti menuntut setiap individu untuk jujur dalam pencarian ilmu, menghindari kepalsuan seperti plagiarisme, gelar palsu, atau manipulasi akademik demi status.

Dengan menyalahgunakan pruduk AI; maka penyimpangan itu menjadi sempurna seolah mendapatkan jalan legalitas, sekalipun itu sebenarnya semu.

Kelima. Pendidikan Hakikatnya sebagai Proses Humanisasi. Pendidikan yang sejati bukan sekadar transmisi pengetahuan saja, melainkan transformasi manusia. Ini adalah gagasan Ki Hadjar Dewantara, yang memandang pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia.

Menggugat moral akademik agar tetap menjaga maruahnya menjadi upaya menjaga agar proses pendidikan tetap mengarah pada cita-cita ini. Pembelajaran sebagai proses internalisasi nilai seharusnya memposisikan AI hanya sebagai tools, bukan sebagai tujuan. Oleh sebab itu diperlukan rambu-rambu penggunaan tools itu agar tepat guna dan berhasil guna.

Menggugat moral akademik adalah panggilan untuk menjaga marwah ilmu dan pendidikan sebagai jalan pencerahan, bukan alat kekuasaan atau komoditas. Dan, itu adalah salah satu bentuk perlawanan filosofis terhadap degradasi nilai-nilai dasar akademika, dan usaha untuk menegakkan integritas, keadilan, serta keberpihakan pada kebenaran yang berkemanusiaan.

Perlu di sadari bahwa dua tahun kedepan perguruan tinggi akan kedatangan generasi baru yang disebut Generasi Alfa; yaitu generasi produk pendidikan digital, sebagai akibat covid yang lalu. Mereka sudah sangat terbiasa dengan penggunaan media digital, dan jika lembaga perguruan tinggi tidak mempersiapkan sistem, serta tenaga pengajar yang ramah digital, termasuk didalamnya AI; maka tidak menutup kemungkinan akan ada benturan budaya, termasuk budaya akademik. Dan, jika tenaga pengajarnya sudah siap berketerampilan digital, pertanyaan lanjut apakah sistem yang mengaturnya sudah dipersiapkan.

Pada sisi lain semua penyelenggara pendidikan, termasuk perguruan tinggi, memiliki tugas diantaranya memperkuat nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan, serta nilai luhur lainnya.

Pertanyaan tersisa adalah adakah cukup waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong datangnya “generasi baru” itu ?. oleh karena itu tidak berlebihan jika kita sekarang melakukan upaya-upaya strategis agar tiba waktunya nanti bisa memberikan pelayanan kepada mereka dengan baik. Adapun cara atau metode yang akan ditempuh tentu berpulang kepada kita semua, baik secara personal maupun kelembagaan. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Malahayati Siap Jaga Stabilitas Nasional Lewat Implementasi OBE di Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati terus mendorong inovasi dalam dunia pendidikan tinggi dengan mengadopsi Outcome Based Education (OBE), sebuah metode pembelajaran yang berfokus pada capaian hasil nyata dari peserta didik.

Program Studi (Prodi) Manajemen menjadi salah satu pelopor implementasi OBE yang konsisten, terutama dalam dua semester terakhir, Ganjil dan Genap 2024/2025. Mengawali semester Genap ini, Prodi Manajemen mengadakan kuliah umum melalui mata kuliah Pengantar Ekonomi Makro, mengusung tema “Peran Kebijakan Fiskal dalam Menjaga Stabilitas Ekonomi Nasional” pada Jumat, 25 April 2025 di Gedung MCC Bawah, Universitas Malahayati. Kegiatan ini dipimpin oleh Ayu Nursari, S.E., M.E., dan diikuti oleh 11 dosen serta 220 mahasiswa angkatan 2024.

Menghadirkan Mifti Anisa Wulansari, S.T.P., M.E., yang menjabat sebagai Sekretaris BAPPELITBANGDA Kabupaten Mesuji, kuliah umum tersebut membahas beragam aspek penting, mulai dari pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kebijakan perpajakan, hingga strategi belanja negara untuk menjaga keseimbangan makroekonomi, menanggulangi inflasi, mengurangi tingkat pengangguran, serta mencegah atau merespons potensi krisis ekonomi.

Diskusi berlangsung dinamis dan interaktif. Mahasiswa menunjukkan antusiasme tinggi, terutama saat membahas tantangan perekonomian nasional dan global yang kian kompleks di awal 2025, di tengah eskalasi perang dagang dunia. Pembahasan mengenai kemampuan Indonesia dalam mengantisipasi berbagai dampak global serta pentingnya efisiensi belanja negara menjadi pusat perhatian diskusi.

Ketua Prodi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si., dalam sambutannya menekankan bahwa universitas memiliki peran vital sebagai sumber kajian akademik dan riset ilmiah yang menjadi rujukan dalam penyusunan kebijakan makroekonomi pemerintah.
“Mahasiswa dan dosen harus menjadi agent of change yang mampu memberikan masukan terhadap penyempurnaan kebijakan publik melalui penelitian, program pengabdian masyarakat, dan literasi ekonomi di berbagai lapisan masyarakat,” ujarnya.

Lebih jauh, kerja sama riset dan pengabdian kepada masyarakat menjadi kunci agar kebijakan ekonomi yang dihasilkan benar-benar berbasis data lapangan dan kebutuhan riil masyarakat. Literasi ekonomi kepada publik juga menjadi tugas penting universitas dalam membantu masyarakat memahami kebijakan makro dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.

Kuliah umum ini menjadi bukti nyata komitmen Prodi Manajemen Universitas Malahayati untuk menerapkan OBE dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan berbasis hasil (outcome), bukan sekadar penyelesaian materi. Kurikulum berbasis OBE mendorong proses pembelajaran yang inovatif, efektif, dan interaktif, sehingga mahasiswa mampu mengembangkan keterampilan baru yang relevan untuk bersaing di tingkat global.

Melalui penerapan OBE dalam perkuliahan, mahasiswa tidak hanya memahami teori, tetapi juga melihat penerapannya dalam situasi nyata, seperti kebijakan fiskal dan dinamika ekonomi global. Kesadaran kritis mahasiswa terhadap isu-isu ekonomi dan sosial semakin terasah, mendorong mereka untuk berkontribusi aktif dalam pembangunan ekonomi dan sosial nasional. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Kemudahan atau Kemalasan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu bersama dengan seorang Doktor yang dulu pernah menjadi mahasiswa bimbingan, berdiskusi tentang kemajuan teknologi “pelacak data” yang begitu pesat perkembangannya. Sampai-sampai kami berdua merasa miris sekali melihat situasi perkembangan teknologi ini. Bisa dibayangkan jika seorang mahasiswa menguasai sejumlah perangkat yang berbasis Artificial Intelligence (AI); semua tugas termasuk tugas akhir bisa dikerjakan dalam waktu sesingkat-singkatnya tanpa melalui proses pemahaman dan pengendapan. Sementara jika ada dosen yang gagap teknologi, maka dia akan dijadikan bulan-bulanan mahasiswanya. Tampaknya generasi sekarang diberikan banyak kemudahan, namun kemudahan itu bisa jadi memupuk kemalasan.

Sebelum lebih jauh bahasan ini diteruskan, sebaiknya kita mengenal dulu filosofinya. Dari berbagai sumber ditemukan informasi bahwa filsafat dari Artificial Intelligence (AI) di dunia perguruan tinggi merupakan topik yang luas dan menarik, karena melibatkan banyak aspek—etika, epistemologi, ontologi, dan tujuan pendidikan itu sendiri. Berikut beberapa pendekatan filosofis yang bisa dipakai untuk memahami peran dan dampak AI di lingkungan akademik:

1. Dari sudut Filsafat Etika: Moralitas Penggunaan AI
Pertanyaan utama: Apakah penggunaan AI dalam pendidikan itu etis? Plagiarisme dan keaslian karya: Apakah menggunakan AI untuk membuat esai atau skripsi mengurangi nilai kejujuran akademik?.: Apakah AI memperkuat ketimpangan atau diskriminasi dalam seleksi mahasiswa, penilaian, atau penelitian?. Apakah data mahasiswa dan dosen aman dari pelanggaran etika dan penyalahgunaan?.

Semua ini memerlukan diskusi akademik yang tidak mudah untuk diurai. Tentu pertanyaan-pertanyaan menjadikan perenungan yang dalam bagi mereka yang sangat menjunjung tinggi etika moral akademik.

2. Dari sudut Epistemologi: Cara AI Mengubah Pengetahuan
Pertanyaan utama: Apa makna pengetahuan jika mesin bisa “menghasilkan” jawaban?.AI menantang definisi tradisional “pengetahuan sebagai hasil berpikir manusia”. Tentu perubahan sudut pandang ini akan menggoyahkan sendi-sendi akademik yang selama ini cenderung mapan dan baku.

Berikutnya apakah AI hanya mereplikasi pengetahuan, atau bisa menciptakan bentuk pengetahuan baru?. Tentu akibatnya akan dilanjutkan dengan pertanyaan : Apa peran dosen dan mahasiswa jika AI bisa “mengajar”?. Sulihganti peran seperti ini tampaknya akan melanda dunia akademik secara masif; karena bimbingan dosen tinggal legalitas formal, sementara pelaksanaan pembimbingan diambil peran oleh AI. Demikian halnya dengan perpustakaan, tidak lagi harus berkunjung secara fisik mendatangi gedung, akan tetapi cukup berselancar di perpustakaan digital yang sudah berserak di mana-mana pada dunia maya.

3. Dari sudut Ontologi: Hakikat Kecerdasan dan Pembelajaran
Pertanyaan utama: Apakah kecerdasan buatan benar-benar “cerdas”?. Dalam konteks perguruan tinggi: Apakah AI bisa memiliki pemahaman holistik seperti manusia?. Dan, apakah AI dapat mengembangkan makna dan nilai dari sebuah ilmu?. Semua ini menggantung di dunia filsafat yang sekarang seolah mendapatkan tantangan baru, terutama filsafat ilmu dan etika. Diskusi-diskusi akademik pada beberapa dekade ini dikalangan penggiat filsafat tampaknya semakin seru dan menarik, terutama pada tataran “memanusiakan manusia melalui ilmu, mengilmukan manusia melalui etika ilmu” dan masih banyak lagi yang berkembang. Semua ini akibat ilmu pengetahuan sudah sampai melahirkan AI, sementara AI sendiri bebas nilai.

4. Dari sudut Filsafat Pendidikan: Tujuan Pendidikan Tinggi
Pertanyaan utama: Apakah tujuan pendidikan hanya untuk memperoleh informasi, atau juga untuk membentuk karakter, nalar, dan nilai?. AI dapat mempercepat akses informasi, tetapi: Bagaimana dengan pembentukan manusia seutuhnya (karakter, empati, kebijaksanaan)?. Oleh karena itu Dosen bukan hanya sumber pengetahuan, tapi juga pembimbing etika dan pemikiran kritis, dan peran ini untuk sementara sulit digantikan oleh AI.

5. Dari sudut Teknologi sebagai Cermin Peradaban
Dalam pandangan Heidegger atau Postman, teknologi bukan netral. AI membentuk cara berpikir, belajar, dan hidup kita. Jika kampus terlalu tergantung pada AI, apakah kita sedang mengarahkan pendidikan ke arah yang lebih mekanistik dan pragmatis, bukan yang humanistik?. Tampaknya falsafah hidup dalam bernegara ikut memberi kontribusi kearah mana semua itu akan tertuju. Apakah kepragmatisan akan menggerus humanis, atau humanis yang akan memberi warna kepada kepragmatisan. Tentu jawabannya tidak sesederhana sebagaimana halnya membalikkan telapak tangan. Perlu diskusi panjang dan dilakukan secara serius, serta berkelanjutan.

Pertanyaan terakhir sudah siapkah perguruan tinggi sebagai banteng moral etika akademik menyongsong datangnya perubahan ini. Regulasi apa yang harus dipersiapkan sehingga proses pembelajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat; mendapatkan dampak positif akan kehadiran AI; sekaligus menanggulangi dampak negative yang diakibatkan oleh kehadirannya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Api Haga Mu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu, ada peristiwa yang sedikit “aneh” di satu kabupaten kita. Seorang wakil kepala daerah adu urat dengan seorang pedagang yang hendak ditertibkan agar tak menggelar lapak di tempat parkir.

Tentu saja, adu urat itu jadi makanan empuk para jurnalis untuk mengeksplornya menjadi santapan gurih buat berita bahkan opini medianya.

Tidak ketinggalan Herman Batin Mangku (HBM), dia juga ikut nimbrung menulis dengan gaya satir-nya, mengomentari sekaligus menelaah peristiwa ini.

Akibat membaca tulisannya, otak saya bekerja keras buat urun rembuk juga dari sudut lain. Akhirnya, memori otak menemukan kembali file joke daerah yang kerap jadi bahan buat bersendagurau jika ada anggota keluarga yang tidak maju-maju pendidikannya: Sekulah mak haga, ngaji mak haga, api haga mu?

Terjemahan bebasnya, sekolah tidak mau, ngaji tidak mau lalu apa mau mu? Tentu saja, anekdot itu berbeda-beda dalam dialek antardaerah. Namun, tidak dibahas soal dialek daerah tersebut di sini.

Kita bisa bayangkan, bagaimana kalau ini terjadi kepada pemimpin yang sudah bersusah payah ingin mewujudkan daerahnya baik, rapi dan asri dipandang tapi ada pedagang yang masih “ngeyel”.

Anekdot itu bisa diplesetkan jadi: Mbersih ko mak haga, diatur mak haga, pindah mak haga, api haga mu?

Tentu saja pemimpin seperti ini tidak seketika muncul dari muka bumi. Hanya pemimpin yang memiliki nyali dan tidak merasa berhutang budi atau berniat maju lagi.

Soal ada yang tidak suka dengan caranya itu biasa bahkan ada istilah daerah yang sering kami pakai “tungguk haga na” terjemahan bebasnya kesampaian maunya.

Beberapa wilayah atau beberapa persoalan di wilayah ini pendekatan model itu tampaknya diperlukan. Seperti yang juga di singgung oleh HBM pada tulisannya, salah satu sebabnya adalah karakter dari personal yang ada memang beragam.

Akibat dari amalgamasi bahkan asimilasi dan juga personifikasi, tidak salah jika seseorang terlepas dari budaya etnisnya, menjadi berperilaku seperti etnis lain yang dipersonifikasinya.

Oleh karena itu tidak salah jika ada adagium “perilakunya melebihi contohnya”. Pemimpin tegas, berani dan beradab sangat diperlukan dalam menghadapi kemajemukan kemauan dari yang dipimpinnya.

Soal ada yang suka dan tidak itu sudah menjadi hukum sosial; dan perlu diingat kita tidak akan bisa memuaskan semua orang, dan pemimpin bukan alat pemuas. Sejauh etika dan adab tetap dikedepankan, tidak perlu surut akan niat yang sudah dipancangkan.

Membetulkan yang salah, meluruskan yang bengkok, melancarkan yang mampet; adalah bagian dari tugas pemimpin. Tinggal beranikah pemimpin menghadapi ketidakpopuleran, itu yang sering menjadi penghalang.

Oleh karena itu, pemimpin menjadi harapan banyak orang, tetapi banyak orang belum tentu paham akan harapan pemimpin.

Walaupun sejatinya pemimpin yang yang dipimpin sudah terikat dalam satu sistem saling memerlukan; tidak salah jika dalam adagium daerah ada istilah “mak niku sapa lagi” yang terjemahan bebasnya kalau tidak kamu siapa lagi.

Filosofi ini menyiratkan beberapa hal:

Pertama, Tanggung jawab pribadi: Bahwa setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab terhadap perubahan atau kebaikan bersama—bukan hanya menunggu orang lain bertindak.

Kedua, Keberanian dan inisiatif: Seorang pemimpin sejati muncul bukan karena ditunjuk, tetapi karena ia berani melangkah ketika dibutuhkan.

Ketiga, Kepercayaan diri: Mengajak untuk percaya bahwa dia mampu membawa perubahan, meskipun mungkin merasa belum siap atau layak.

Keempat, Keteladanan: Pemimpin yang memegang prinsip ini menunjukkan bahwa tindakan nyata lebih kuat daripada hanya menyampaikan ide atau kritik.

Kelima, Kesadaran kolektif: Mendorong semangat kebersamaan, di mana perubahan dimulai dari diri sendiri sebelum mengandalkan pihak lain.

Semoga HBM tidak berhenti untuk menyuarakan terus gaung local wisdom dalam gegapgempitanya digitalisasi.

Banyak nilai-nilai luhur di tengah serakan budaya lokal yang ada; tinggal kita masih maukah menjaga marwah sebagai orang daerah yang berwawasan nasional berfikir global. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Prestasi di Kejuaraan Internasional Karate Gadjah Mada Open 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Dini Maharani (24380110P) mahasiswi Program Studi S1 Farmasi, sukses mengharumkan nama kampus dalam ajang bergengsi Gadjah Mada Open International Karate Championship I 2025.

Kejuaraan karate internasional yang digelar di GOR Pancasila Universitas Gadjah Mada, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 21-23 Februari 2025 ini mempertemukan para atlet terbaik dari berbagai negara dan daerah. Dalam kompetisi yang penuh persaingan ketat ini, Dini berhasil meraih Juara 3 untuk dua kategori sekaligus: Kata Perorangan Senior Putri dan Kumite -55Kg Senior Putri.

Capaian ini tentu bukan hal yang mudah. Butuh disiplin tinggi, semangat juang, dan latihan keras untuk bisa berdiri di podium kejuaraan internasional.

Penuh Syukur dan Bangga, Ini Kata Dini Maharani “Alhamdulillah, saya sangat bersyukur bisa meraih juara di kejuaraan internasional ini. Ini adalah pengalaman yang luar biasa dan sangat berharga bagi saya, baik sebagai atlet maupun sebagai mahasiswa. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pelatih, keluarga, teman-teman, dan tentunya Universitas Malahayati yang selalu mendukung saya”.

Lebih lanjut, Dini juga menyampaikan pesan dan kesannya, kejuaraan ini memberikan banyak pelajaran bagi saya, terutama tentang pentingnya ketekunan dan mental juara.

“Saya berharap pencapaian ini bisa memotivasi teman-teman mahasiswa lainnya untuk terus berprestasi di bidang masing-masing. Jangan pernah takut untuk bermimpi besar dan berusaha maksimal. Karena usaha tidak pernah mengkhianati hasil,” ujar Dini dengan penuh semangat.

Pencapaian Dini Maharani menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa Universitas Malahayati mampu bersaing dan berprestasi di tingkat internasional. Semoga prestasi ini menjadi inspirasi bagi seluruh civitas akademika dan memperkuat semangat dalam mencetak generasi muda yang unggul, sehat, dan berdaya saing global. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Qori Ramadani Mahasiswi Universitas Malahayati, Raih Juara 1 Pencak Silat Lampung Begawi 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali diraih oleh Qori Ramadani Suryani (22320096) mahasiswi Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Universitas Malahayati, sukses menyabet Juara 1 Kejuaraan Pencak Silat Lampung Begawi 2025 untuk Kategori Laga Putri Dewasa Kelas E. Kejuaraan ini berlangsung pada 14–16 April 2025 di GOR Sumpah Pemuda, PKOR Way Halim, Bandarlampung.

Qori tampil memukau di atas gelanggang, menunjukkan kombinasi teknik, kekuatan, dan mental juara yang membawanya ke podium tertinggi.

Qori mengungkapkan bahwa setiap pencapaian selalu diiringi dengan perjuangan yang tidak mudah.

“Sebenarnya tidak ada proses yang mudah, tetapi jika dijalani dengan senang hati dan ikhlas, proses itu terasa nikmat,” ujarnya.

Ia juga berpesan kepada generasi muda agar tidak takut mencoba hal-hal baru.

“Terkadang hal yang paling kita takuti justru adalah hal yang akan membuat kita tumbuh menjadi versi terbaik dari diri kita. Kegagalan bukanlah akhir, tetapi bagian dari proses menuju keberhasilan,” tambahnya.

Qori menyampaikan rasa bangga dan haru bisa berdiri di podium tertinggi, terlebih karena perjuangannya tidak dilakukan sendirian.

“Saya ditemani ayah, bunda, adik, teteh, teman-teman terdekat, dan tentu saja pelatih yang selalu mendampingi, mendoakan, dan memeluk saya dalam suka dan duka. Kemenangan kali ini mengajarkan saya banyak hal,” ungkapnya dengan mata berbinar.

Keberhasilan Qori tak hanya menjadi kebanggaan pribadi, tetapi juga mengharumkan nama keluarga, almamater Universitas Malahayati, serta dunia pencak silat Lampung. Ia berharap bisa terus berkembang dan menjadi yang terbaik dari yang terbaik di masa depan.

Selamat untuk Qori! Semoga prestasi ini menjadi awal dari perjalanan gemilang berikutnya. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Pemberkasan Akhirat

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Setelah usai subuh berjamaah dilanjutkan membaca yang merupakan pekerjaan rutinitas diusia senja, baik kitab maupun buku. Namun subuh itu pikiran terusik dengan salah satu bab buku yang menjelaskan konsep Ibnu Sina dalam memandang kehidupan, terutama masalah pemberkasan akhirat. Kalau kita bicara “pemberkasan akhirat” dalam konteks filsafat Ibnu Sina (Avicenna), kita sebenarnya masuk ke ranah metafisika jiwa, intelek aktif, dan kebahagiaan abadi. Walaupun Ibnu Sina tidak secara eksplisit pakai istilah “pemberkasan akhirat”, ide dasarnya tersirat kuat dalam pemikirannya tentang jiwa, tindakan, dan akhir kehidupan manusia. Sebagai bahan referensi bahwa Ibnu Sina, yang dikenal di dunia Barat sebagai Avicenna, lahir pada bulan Juni 980 M di desa Afshana, dekat Bukhara, yang kini terletak di Uzbekistan. Ia meninggal pada tanggal 22 Juni 1037 M di Hamadan, Persia (sekarang Iran), pada usia 57 tahun akibat penyakit perut. Jika dihitung dari tahun 2025, maka sudah 988 tahun lalu beliau wafat.

Berdasarkan literatur digital dan diramu dalam satu ringkasan, maka diperoleh informasi padat tentang pemberkasan akhirat sebagai berikut:

1. Jiwa adalah Substansi Spiritual yang Abadi

Bagi Ibnu Sina, jiwa manusia (an-nafs) adalah substansi immaterial yang tidak mati. Jiwa berasal dari dunia intelek dan akan kembali ke sana setelah berpisah dari jasad. Jiwa yang sempurna akan “naik” ke alam intelek dan mengalami kebahagiaan abadi (surga), sedangkan jiwa yang penuh dengan keburukan akan terputus dari cahaya intelek dan mengalami kesengsaraan abadi (neraka). Di sinilah muncul konsep “pemberkasan”: apa yang dibawa jiwa setelah kematian adalah hasil dari semua akumulasi amal dan pengetahuan di dunia.

2. Intelek Aktif (al-‘Aql al-Fa‘al) sebagai “Pencatat” Hakiki

Dalam teori intelek Ibnu Sina, ada 10 intelek, dan intelek ke-10 (intelek aktif) adalah yang berinteraksi dengan manusia. Intelek aktif inilah yang: memberi bentuk pada materi, mentransformasikan pengetahuan, mengabadikan amal dan intelek jiwa manusia. Jadi dari sisi ini, “pemberkasan” bisa dipahami sebagai proses penyatuan jiwa dengan intelek aktif berdasarkan kualitas jiwa itu sendiri.

3. Kebajikan sebagai Bekal Kekekalan

Bagi Ibnu Sina, kebahagiaan sejati (as-sa‘adah) adalah kesempurnaan jiwa melalui: pengetahuan tentang Tuhan dan realitas, amal kebajikan dan penyucian diri. Jiwa yang banyak melakukan keburukan akan tidak mampu mengenali kebenaran, dan akibatnya tersiksa oleh jauhnya dari sumber cahaya intelek (Allah). Ini bisa dibaca sebagai filsafat pertanggungjawaban moral dan spiritual, yaitu pemberkasan nilai-nilai dalam jiwa itu sendiri.

Jadi, “pemberkasan akhirat” menurut Ibnu Sina bukan catatan fisik, tapi jejak metafisik dalam struktur jiwa. Amal-amal kita, menurut Ibnu Sina, membentuk kualitas eksistensial jiwa. Amal saleh dan pengetahuan membuat jiwa “tercerahkan” dan siap bersatu dengan intelek aktif — inilah bentuk surga filsafat. Sebaliknya, jiwa yang rusak akan terpisah dan menderita — bentuk neraka metafisik.

Pergulatan Ibnu Sina terhadap filsafat manusia memberikan pemahaman kepada kita bagaimana semua perilaku kita dari tarikan nafas pertama saat kita hidup, sampai hembusan nafat terakhir kita saat kematian; harus dipertanggungjawabkan sedetail-detailnya, tidak ada satupun yang terlewatkan. Pemberkasan akhirat bernama Sijjīn untuk catatan amal orang durhaka, dan Illiyyīn untuk catatan amal orang saleh. Adapun petugas pencatatnya adalah: Raqib – duduk di sebelah kanan, mencatat amal baik, dan Atid – duduk di sebelah kiri, mencatat amal buruk.

Bila kita mau merenung sejenak ternyata kehidupan itu sangat singkat, dan harus bergegas menghimpun bekal berupa amal sholeh, untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Oleh sebab itu Jalludin Rumi berkata bahwa, akhirat adalah kepulangan, bukan sekadar penghakiman. Ia menekankan: Jiwa berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu akhirat adalah perjalanan cinta. Konsekwensinya pemberkasan amal bukan hanya soal hitungan pahala, tetapi pantulan dari sejauh mana seseorang mengenal dan mencintai Tuhan. Pada kutipan lain Rumi mengajarkan bahwa akhirat bukanlah tempat terpisah dari kehidupan dunia, melainkan merupakan kelanjutan dari perjalanan jiwa menuju Tuhan. Melalui cinta, pengetahuan, dan transformasi batin, jiwa dapat mencapai keabadian bersama Tuhan.

Kalau kita mau menyadari sebentar saja tentang hal di atas, rasanya kita tidak mau melewatkan sedikitpun waktu yang kita miliki untuk selalu berbuat amal sholeh. Karena ternyata kita lebih lama tinggal diakhirat dibandingkan di bumi ini; pertanyaan tersisa sudah cukupkah bekal kita untuk tinggal di akhirat kelak ?. jawabannya ada di hati nurani kita masing-masing. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Hari Bumi (Earth Day) “Our Power, Our Planet” 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Hari Bumi pertama kali diperingati pada 22 April 1970, berkat inisiatif Senator Gaylord Nelson dari Wisconsin, Amerika Serikat. Pada waktu itu, beliau mengajak masyarakat untuk turun ke jalan untuk menyuarakan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup yang semakin terancam. Acara ini berhasil mengumpulkan sekitar 20 juta orang di seluruh AS untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan.

Hari Bumi 1970 menjadi titik balik dalam sejarah gerakan lingkungan hidup global, yang akhirnya memotivasi banyak negara untuk mengesahkan undang-undang perlindungan lingkungan dan membentuk lembaga-lembaga yang bertugas mengawasi kelestarian alam.

Kini, Hari Bumi diperingati di lebih dari 190 negara, dengan tema setiap tahunnya yang berfokus pada isu-isu penting seperti perubahan iklim, pengurangan polusi, pelestarian hutan, dan perlindungan keanekaragaman hayati.

Dilansir situs earthday, peringatan Hari Bumi Internasional 2025 mengusung tema “Our Power, Our Planet”. Tema ini menyerukan kepada semua orang untuk bersatu dalam energi terbarukan agar dapat ditingkatkan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030.

Hari Bumi 2025 menjadi momentum penting untuk menunjukkan bahwa kekuatan kolektif kita bisa membawa perubahan besar bagi planet ini. Mulai lah dari langkah kecil yang bisa kamu lakukan hari ini! (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mengejar Harap

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang menjelang sore menjenguk seorang staf senior di lembaga ini di salah satu rumah sakit. Bersangkutan ditengarai mengidap penyakit yang disebabkan oleh nyamuk; dan hal seperti itu saat ini tampaknya sedang menggejala di kota ini. Ditemani seorang kepala unit yang tampan dan menjadi salah satu unsur pimpinan di rumah sakit itu, kami berdua bergegas ke ruangan pasien di lantai tiga.

Sohib yang sakit itu berkarakter pendiam, tetapi tidak kehilangan sikap cerianya; beliau memohon doa kepada kami berdua. Tentu dengan sangat senang hati kami berdua mendoakan beliau agar cepat sembuh; sekalipun sembuh dan sakit itu hanya dipisahkan oleh pembatas yang sangat tipis, tetapi Tuhan memang memerintahkan untuk menjenguk dan mendoakan orang sakit, bahkan itu merupakan tuntunan keilahian.

Saat kami berdua undur diri untuk kembali, dan agar tidak mengganggu pasien yang sedang menggunakan alat angkut otomatis; kami putuskan menggunakan tangga manual. Saat itulah terbersit dalam angan bagaimana berharganya sehat dan betapa menderitanya jika sakit; namun keduanya sebagai pasangan, kita tidak bisa menolaknya jika datang dan tidak bisa menahannya jika pergi. Ternyata semua kita mengejar harap agar selalu sehat terus sepanjang masa, tetapi tidak pernah bersiap jika sakit itu datang.

Kesadaran pemimpin pada waktu itu membuat suatu sistem asuransi kesehatan bersama secara nasional. Hal itu tentu sangat membantu bagi kita yang ada pada posisi rentan secara ekonomi. Namun sayangnya niat baik dan mulia itu dikotori oleh mereka-mereka yang serakah; sehingga dana milyaran rupiah dikorupsi atas nama kepentingan pribadi. Dari peristiwa itu membuat luka pada hati masyarakat; akibatnya banyak diantara kita mengejar harap untuk selalu sehat, sekalipun sangat menyadari sakit itu pada waktunya akan datang.

Makna filosofi dari “mengejar harap” dapat ditafsirkan dengan mendalam sebagai suatu bentuk perjalanan batin dan laku hidup untuk meraih sesuatu yang belum pasti, namun diyakini memberikan makna dan tujuan. Berikut adalah beberapa sudut pandang filosofisnya:
“Harap” atau harapan bisa dimaknai sebagai cahaya kecil di ujung lorong kehidupan. Mengejarnya adalah upaya manusia untuk terus berjalan meski dalam gelap, percaya bahwa di ujung sana ada sesuatu yang lebih baik. Konsekuensinya kita harus selalu optimisme dan memiliki keteguhan hati dalam menghadapi ketidakpastian, dan hidup tak berhenti pada kesulitan saat ini.

Mengejar Harap sama halnya dengan merawat asa, maksudnya mengejar harap bukan sekadar usaha aktif, tetapi juga proses batin untuk merawat asa agar tetap menyala. Harapan itu rapuh, namun jika dirawat, bisa jadi kekuatan besar; oleh karena itu dia merupakan perjuangan spiritual dan emosional; sekaligus dalam benyak diperlukan kesabaran, ketekunan, dan keyakinan.

Pada filsafat eksistensial, harapan bisa menjadi simbol dari sesuatu yang tak terjangkau sepenuhnya—sebuah ideal. Mengejarnya bukan berarti selalu harus sampai, tapi proses mengejar itulah yang membentuk eksistensi. Oleh karena itu nilai hidup bukan di hasil akhir, tapi dalam prosesnya; dan harapan selalu memberi arah, bukan jaminan.

Secara antropologis dan teologis, manusia didefinisikan sebagai makhluk yang terus mengharap—karena menyadari keterbatasan dirinya. Harapan itu yang membedakan manusia dari sekadar makhluk biologis. Oleh karenanya harapan adalah bagian dari kodrat manusia. Sedangkan mengejarnya adalah merupakan bentuk keberanian untuk terus hidup.

Tidak salah jika orang bijak mengatakan “teman sejatimu itu adalah yang datang tanpa diminta saat kau dalam kesulitan, dan diam-diam dia pergi saat kau dalam kegembiraan”. Sayangnya karena ego sering menutupi kita, sehingga seolah semua itu hasil dari kita sendiri dalam berjuang menghadapi gelombang. Padahal kalau kita mau jujur tidak ada satupun kesuksesan yang kita raih di dunia ini murni hasil kita sendiri; pasti di sana ada orang lain yang ikut berperan dalam mencapainya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman