Lupa atau Dilupakan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa dekade lalu di negeri ini ada peristiwa yang mengguncang dunia yaitu meninggalnya Munir Said Thalib — atau lebih akrab dikenal sebagai Munir — yang adalah salah seorang tokoh dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Namun, ironisnya, jejak itu seperti memudar dalam ingatan publik: antara dilupakan, atau sengaja dibuat terlupa.

Pada 7 September 2004, Munir meninggal dunia dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Hasil otopsi menemukan bahwa ia diracun dengan arsenik dalam dosis mematikan. Tragedi ini sontak menjadi simbol gelapnya bahaya yang dihadapi para pembela HAM di Indonesia. Sejumlah orang telah disidangkan, termasuk Pollycarpus, pilot Garuda Indonesia, yang kemudian divonis bersalah. Namun, sampai hari ini, siapa aktor intelektual di balik pembunuhan Munir belum benar-benar terungkap secara tuntas. Laporan TPF (Tim Pencari Fakta) kasus Munir bahkan sempat hilang dari dokumen resmi negara, sebelum akhirnya ditemukan kembali setelah tekanan publik.

Perjuangan dilanjutkan oleh istrinya bernama Suciwati dengan melakukan aksi Kemisan, yaitu berdiri mematung di depan Istana negara dengan berbaju hitam dan berpayung hitam tanda berkabung; serta mendirikan ”Omah Munir” di Batu, Malang — sebuah rumah kecil yang menjadi museum perlawanan. Di sana, anak-anak muda bisa melihat jejak Munir, mendengar kisah perjuangannya, dan merasakan semangat keberanian yang ia wariskan.

Pertanyaan tersisa: apakah semua peristiwa yang tidak mengenakkan harus kita lupakan. Tentu jawabannya sangat subyektif dan personal, karena bisa”ia” dan bisa “tidak” dengan sejuta argument. Pertanyaan yang dalam dan penuh makna. Jawaban singkatnya: tidak selalu harus dilupakan, tapi mungkin perlu di-letakkan dengan cara yang sehat. Kadang peristiwa yang tidak mengenakkan justru membawa pelajaran penting.

Melupakannya bisa membuat kita mengulang kesalahan yang sama. Tapi terlalu terus mengingatnya pun bisa membebani batin dan menghambat kita untuk maju.

Jadi mungkin bukan soal “melupakan”, tapi lebih ke “menerima” dan “melepaskan”. Mengingatnya tanpa menyiksa diri, belajar darinya, dan tidak membiarkannya mengendalikan hari ini. Oleh karena itu “lupa” dan “dilupakan” adalah topik yang kaya dan sering dibahas dalam wilayah filsafat, terutama dalam filsafat pikiran, eksistensialisme, dan etika.

Beberapa pendekatan filosofis yang menarik terkait ini hasil dari penelusuran digital ditemukan informasi sbb:

1. Filsafat Pikiran & Memori

Dalam filsafat pikiran, “lupa” dibahas sebagai bagian dari mekanisme kesadaran dan identitas. John Locke, misalnya, menganggap memori sebagai inti dari identitas personal. Kalau kita lupa sesuatu, apakah itu berarti kita bukan lagi orang yang sama?. Lalu muncul pertanyaan lanjutan: jika melupakan bagian dari siapa kita, apakah itu mengubah hakikat kita sebagai pribadi?, tentu pemikiran filsafat begini tidak cukup tempat untuk membahasanya di sini.

2. Eksistensialisme

Tokoh seperti Nietzsche dan Heidegger juga mengangkat soal ingatan dan lupa: Nietzsche pernah menulis tentang “kekuatan untuk melupakan” sebagai sesuatu yang penting agar kita tidak terus dihantui masa lalu dan bisa menjalani hidup secara lebih bebas. Heidegger bicara tentang “kejatuhan” manusia ke dalam rutinitas yang membuat kita lupa eksistensi kita yang sejati.

3. Etika & Politik

Konsep “melupakan” juga sering muncul dalam konteks etika: Apakah kita boleh melupakan kejahatan masa lalu demi perdamaian (misalnya dalam kasus pasca-konflik)?. Atau, apakah melupakan adalah bentuk ketidakadilan, karena mengabaikan penderitaan korban?

Paul Ricœur, filsuf Prancis, menulis banyak soal memori, lupa, dan pengampunan. Ia membedakan antara “lupa pasif” (karena waktu) dan “lupa aktif” (karena kita memilih untuk melupakan). Yang terakhir ini punya konsekuensi moral.

Jadi ya, lupa dan dilupakan bukan sekadar pengalaman psikologis atau emosional. Ia bisa menjadi pertanyaan filosofis yang menggali identitas, makna, bahkan moralitas yang begitu dalam dan substansial. Oleh karena itu, ada orang bijak yang mengingatkan kepada kita semua dengan berkata “Jangan pernah gunakan kata-kata kasar ketika engkau marah, terutama ketika itu adalah orang terdekatmu; karena kemarahan itu akan berlalu, tetapi kata-kata itu akan terpahat membekas di hati orang yang kau tuju”.

Menjadi persoalan sekarang melupakan dan dilupakan itu didisain untuk terjadi; sehingga orang “terpaksa” melupakan dan dilupakan. Sebagai misal banyak peristiwa di negeri ini yang dikondisikan untuk itu, dengan cara membuat issue baru untuk menutup (melupakan) peristiwa yang ada. Masih ingat pegawai pajak yang terseret kasus anaknya, bahan bakar oplosan pada anak perusahaan minyak ternama, takaran minyak goreng yang tidak memenuhi standar, pagar laut, dan masih ada beberapa lagi. Semua dibikin “terpinggirkan” dari memori kolektif, sehingga penyelesaiannya dibuat tidak jelas. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Jalani, Nikmati, Syukuri

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat memandang temaramnya senja diufuk barat, menanti munculnya senjakala; dalam konsep jawa waktu seperti ini disebut “wayah surup” dan akan muncul warna semburat merah dilangit dan itu disebut “candikolo”. Pada jaman dahulu mewajibkan para pengembala untuk memasukkan semua ternak masuk kekandang, anak-anak sudah harus masuk rumah karena dipercaya banyaknya penyakit yang berterbangan. Namun bagi mereka yang sedang “laku batin” saat seperti ini adalah waktu mawas diri akan kebesaran Illahi. Merefleksi diri dengan menjalani kehidupan, menikmati apapun prosesnya, dan mensyukuri apapun hasilnya.

“Jalani, Nikmati, dan Syukuri” adalah tiga dimensi pandangan hidup yang sederhana tapi dalam maknanya. Ini bisa dipahami sebagai cara menghadapi kehidupan dengan sikap yang penuh penerimaan, kesadaran, dan rasa syukur. Filusuf sekelas Al Ghazali dan Djalaludin Rumi membahas ketiganya dengan sangat dalam dan berisi. Rumi pernah menulis demikian: ”Jalani: seperti sungai yang tak menolak batu, Nikmati: seperti mawar yang tetap mekar walau berduri, Syukuri: seperti bintang yang diam-diam memuji malamnya”. Sementara Al-Ghazali menulis “”Orang yang bersyukur bukan hanya berkata ‘alhamdulillah’, tetapi mereka yang menjadikan nikmat sebagai jalan menuju Allah.” Jika kita telusuri melaalui papan digital yang ada, maka ditemukan kajian mendalam secara filosofis dari ketiganya. Mari kita jelajahi satu-persatu:

1. JALANI: Hidup dan Takdir

Al-Ghazali; Menekankan ikhtiar (usaha) sebagai bentuk tanggung jawab manusia. Setelah itu, baru tawakkal dan ridha. Pandangannya logis dan seimbang: manusia punya peran dalam menentukan hidup. Seolah berkata: “Jalani dengan sadar dan tanggung jawab.”

Rumi: Menekankan pasrah total dan “menari” bersama irama takdir. Mengalir seperti sungai dalam kehendak Tuhan. Dan, beliau lebih mistik dan puitis dalam bersurat: “Jangan lawan hidup, biarkan Tuhan yang menuntunmu.”Seolah berkata: “Jalani dengan cinta dan biarkan Tuhan menari melalui dirimu.”

2. NIKMATI: Makna Kebahagiaan

Al-Ghazali; Nikmati hidup secara zuhud: tidak melekat pada dunia, tapi tetap menikmati yang halal. Kenikmatan hakiki adalah dalam penyucian jiwa (tazkiyah) dan dekat dengan Allah. Seolah berkata: “Nikmati yang perlu, sisanya tinggalkan.”

Sedangkan Rumi bermetafor: Nikmati hidup sebagai bentuk ekstasi cinta Ilahi. Semua keindahan dunia adalah pantulan Tuhan. Kenikmatan adalah ketika hati larut dalam kerinduan kepada Sang Kekasih (Tuhan). Seolah berkata: “Nikmati segalanya, karena semuanya adalah tanda dari-Nya.”

3. SYUKURI: Rasa Terima Kasih

Al-Ghazali: Syukur adalah ilmu, hati, dan amal. Bukan cuma merasa, tapi harus nyata dalam tindakan. Syukur harus diiringi dengan pengendalian diri agar tidak kufur nikmat. Dan, seolah berkata: “Syukur itu tanggung jawab.”

Rumi: Syukur adalah tarian jiwa, ekstasi batin yang merayakan kasih Tuhan. Syukur bisa datang bahkan dari penderitaan, karena sakit pun adalah cara Tuhan mendekat. Seolah berkata: “Syukur itu mabuk cinta.”

Titik Temu Keduanya adalah: Sama-sama menekankan hati yang bersih dan tujuan hidup menuju Tuhan. Sama-sama melihat dunia sebagai tempat ujian, bukan tempat tujuan akhir. Bedanya adalah: Ghazali menjaga batas, Rumi melampaui batas—secara metaforis, tentu saja.

Lalu apa yang dapat kita petik sebagai pembelajaran dari keduanya; terlepas dari kelemahan dan keunggulan masing-masing; kita menemukan benang merah bahwa Ghazali seperti guru bijak yang membimbing dengan aturan dan kebijaksanaan. Sedangkan Rumi seperti penyair gila cinta yang menarik kita ke dalam tarian semesta.

Persoalannya sekarang bahwa budaya yang tumbuh dan berkembang saat ini tidak memberikan ruang yang cukup untuk menyemaikan bibit filsafat dalam kerangka fikir rohani pada generasi yang ada. Lembaga pendidikan yang diandalkan untuk tempat bersemainya paradigma berfikir atas dasar filsafat, ternyata tidak ditemukan. Akhirnya produk yang ada hasilkan hanya “para tukang” yang siap mencari kerja, tetapi tanpa paradigma. Sehingga saat mereka tidak menemukan “materi” yang disublimasikan sebagai rejeki, maka pilihan yang ada hanya korupsi.

Falsafah negeri yang telah digali oleh para pendahulu negeri dari akar budaya bangsa, kini hanya ada dialmari museum sebagai penanda bahwa “pernah ada pendidikan masif tentang filsafat negeri” pada masa lalu. Pendidikan masal disertai tekanan memang tidak perlu, karena harus melalui proses penyadaran diri yang berkelanjutan. Namun ironisnya dua-duanya sekarang tidak ditemukan, justru yang ada pembiaran dan sebagai penghias bibir saat pidato untuk bernostalgia dengan masa lalu. Akibatnya banyak pihak bagai biduk hilang kemudi, saat berlayar semua mau dilanggar. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Hari Kartini 2025 “Perempuan Hebat, Pilar Kemajuan Bangsa”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dalam rangka memperingati Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April, Universitas Malahayati menyampaikan ucapan selamat kepada seluruh perempuan Indonesia, khususnya para dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswi yang terus menginspirasi melalui karya dan dedikasi mereka.

Selamat Hari Kartini 2025. Semangat Kartini adalah semangat kemajuan, pendidikan, dan kesetaraan. Mari terus kita gelorakan semangat tersebut dalam setiap langkah, agar perempuan Indonesia terus maju, tangguh, dan menjadi pilar penting dalam pembangunan bangsa.

“Perempuan Hebat, Pilar Kemajuan Bangsa”. Momen Hari Kartini ini dapat menjadi pengingat bahwa perjuangan perempuan tidak pernah berhenti, dan setiap langkah kecil hari ini adalah bagian dari perubahan besar di masa depan.

Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus menciptakan ruang yang aman dan setara bagi perempuan untuk belajar, tumbuh, dan berkarya. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Maksiat versus Taubat

Muslih, S.H.I., M.H
Dosen Agama dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Malahayati

Maksiat merupakan kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dilarang Allah SWT dan kelompok orang yang enggan melakukan perbuatan  yang diperintah Allah SWT. Maksiat adalah perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT, bertentangan dengan ajaran agama, dan bertentangan dengan hukum moral. Maksiat dapat berupa dosa besar atau kecil. Secara definisi maksiat ialah Perbuatan yang melanggar ketentuan syariat Islam.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ١١

Al Baqarah :11. Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”

Perbuatan maksiat dapat kita telaah lebih dalam pada diri kita masing masing,maksiat yang langsung kepada Allah atau melalui perantara manusia. Maksiat dapat juga berupa secara dzohir maupun maksiat secara batin. Dosa atau maksiat dzohir yang Nampak lisan menyakiti, mencaci, berdusta.Dosa maksiat mata dipergunakan memandang aurat orang lain, Memata-matai orang, Mengintip rumah orang lain tanpa izin, Memandang lawan jenis yang bukan mahram.  Dosa maksiat tangan, seperti memukul orang lain, mengambil barang yang bukan haknya, dan bersentuhan laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya.

Maksiat telinga mendengarkan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti perkataan buruk atau bisikan setan. Imam al-Ghazali berpesan agar telinga dilindungi dari hal-hal tersebut.

Alasan mewaspadai maksiat telinga

  1. Mendengarkan perkataan baik maupun buruk dianggap bersekutu dengan orang yang berbicara.
  2. Mendengarkan dapat membangkitkan angan-angan dan bisikan-bisikan setan di dalam hati.
  3. Hal ini dapat menjalar pada anggota tubuh lainnya.

Jenis maksiat dapat berupa ucapan, hati, perbuatan individu, perbuatan sesama yang memberikan dampak merugikan diri sendiri maupun dapat merugikan orang lain, menahan hak oranglain, mendzolimi dan lain sebagainya

Peruntukan bagi kelompok yang bermaksiat kepada Allah SWT akan mendapatkan dampak Mendapat dosa, terhalang dari rahmat Allah, berurusan dengan hukum,

وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُۥ يُدۡخِلۡهُ نَارًا خَٰلِدٗا فِيهَا وَلَهُۥ عَذَابٞ مُّهِينٞ ١٤

  1. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan

Beberapa hal dapat menghindari perbuatan maksiat Menjauhi segala bentuk maksiat, menjalankan tauhid dengan sempurna, menjauhi kesyirikan dan perbuatan zalim dan terutama melakukan taubat nasuha. Taubat nasuha adalah taubat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, ikhlas, dan tanpa cacat, dengan tujuan untuk mendapatkan ampunan Allah SWT. Taubat nasuha dapat dilakukan untuk dosa-dosa yang menyangkut hak Allah maupun hak manusia. Demikian syarat-syarat taubat:

  1. Meninggalkan perbuatan dosa/maksiat,
  2. menyesali perbuatan dosa/maksiat,
  3. memiliki tekad sungguh sungguh tidak mengulangi,
  4. memohon ampun kepada Allah,
  5. mengembalikan hak orang lain jika menyangkut hak adami

Taubat nasuha dapat dilakukan dengan taubat dzohir dan taubat batin mengaku salah dihadapan Allah atas perbuatan maksiat mata telinga tangan badan mengaku salah dan mohon ampun atas dosa hati atas kesyirikan, sombong dengki dan penyakit hati lainnya. Disamping itu juga berupaya untuk berbuat baik. Sebagaimana firman Allah

…..ۚ إِنَّ ٱلۡحَسَنَٰتِ يُذۡهِبۡنَ ٱلسَّيِّ‍َٔاتِۚ ذَٰلِكَ ذِكۡرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ ١١٤

Hud 114. ……Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itu lah peringatan bagi orang-orang yang ingat.

Taubat nasuha diperintahkan oleh Allah SWT sebagaimana dalam quran surat Attahrim ayat 8

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَيِّ‍َٔاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٨

  1. Attahrim: 8. Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu kedalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”

 

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨

  1. An Nisa: 48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selaindari (syirik) itu, bagisiapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Msl)

Editor: Gilang Agusman

Rektor Universitas Malahayati Hadiri Halal Bihalal Ilmu Keperawatan, Ciptakan Momen Kebersamaan dan Spiritualitas Pascaramadhan

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Suasana hangat dan penuh kekeluargaan menyelimuti Gedung Graha Bintang Universitas Malahayati saat Program Studi Ilmu Keperawatan bersama Himpunan Mahasiswa Keperawatan (HIMAKEP) menggelar acara Halal Bihalal bertajuk “Satukan Tangan, Satukan Hati, Saling Memaafkan di Hari yang Fitri Bersama Keluarga HIMAKEP.” Rabu (16/4/2025).

Acara ini menjadi istimewa dengan kehadiran Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, yang turut menyapa dan memberikan pesan inspiratif kepada seluruh civitas akademika yang hadir.

Turut hadir pula dalam kegiatan ini, Wakil Rektor I, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, serta Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes, menambah kekhidmatan dan kemeriahan momen silaturahmi ini.

Dalam sambutannya, Dr. Muhammad Kadafi menyampaikan apresiasi tinggi terhadap inisiatif mahasiswa dan dosen Ilmu Keperawatan yang telah menyelenggarakan acara penuh makna ini. Ia menilai Halal Bihalal bukan hanya sekadar ajang saling memaafkan, namun juga menjadi momentum mempererat tali silaturahmi antar mahasiswa, dosen, dan pimpinan universitas.

“Kegiatan seperti ini perlu dilestarikan sebagai bentuk kebersamaan dan kekeluargaan di lingkungan kampus. Ini mencerminkan nilai-nilai luhur yang ingin kita tanamkan di Universitas Malahayati,” ujar Rektor.

Tak hanya itu, Rektor juga menyampaikan pentingnya menjaga semangat spiritualitas pasca-Ramadhan. Ia mengimbau mahasiswa untuk membiasakan diri rajin mengaji, bahkan memberikan reward khusus kepada mahasiswa yang berhasil khatam Al-Qur’an selama bulan Ramadhan serta yang menjalankan puasa Syawal secara penuh.

“Kami ingin memotivasi mahasiswa untuk tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga tumbuh menjadi insan yang berakhlak mulia dan religius. Mari kita jadikan kegiatan ini sebagai awal yang baik untuk terus menumbuhkan budaya positif di kampus kita,” lanjutnya.

Rektor juga berpesan agar seluruh mahasiswa senantiasa menjaga semangat gotong royong, saling menghargai, dan aktif berkontribusi dalam kegiatan organisasi maupun sosial di lingkungan kampus. Hal ini sejalan dengan visi Universitas Malahayati dalam mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga memiliki integritas dan kepedulian sosial tinggi.

Acara ditutup dengan momen salaman dan saling memaafkan antar peserta, menciptakan suasana haru dan kehangatan. Kebersamaan ini semakin memperkuat ikatan kekeluargaan antar civitas akademika Ilmu Keperawatan dan menjadi bukti bahwa semangat Idul Fitri tetap hidup dalam semangat kebersamaan di lingkungan kampus Universitas Malahayati. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Membaca Tanpa Kata

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hampir disetiap senja daerah ini selalu mendapatkan limpahan rahmat berupa hujan, walaupun terkadang rintik, namun tidak jarang juga deras, sehingga berakibat banjir dibeberapa ruas jalan masuk komplek. Seperti biasa senja itu hujan juga datang, ternyata benar yang dikatakan ajaran agama “hujan adalah rahmat”; karena pada saat itu kita dapat dengan bebas membaca tanpa harus berucap, melihat kemudian meresapi fenomena alam yang ada. Sedang asyik mengikuti jalannya pikiran yang menelisik fenomena alam yang sedang terjadi dengan memandang titik air hujan, tiba-tiba ada pesan masuk dari sahabat karib seorang jurnalis senior; maka diskusi virtual berlangsung; dan jadilah judul di atas mewakili suasana kebatinan kami berdua saat itu.

Makna filosofis dari “membaca tanpa kata” bisa ditafsirkan dalam beberapa lapisan makna yang dalam dan reflektif. Frasa ini mengandung nuansa kontemplatif yang membuka ruang tafsir lebih luas dari sekadar aktivitas membaca secara literal. Berdasarkan literatur digital ditemukan informasi beberapa makna filosofis yang bisa dimunculkan:

Pertama. Membaca dengan Hati, Bukan Hanya Mata
Artinya, kita menangkap makna, pesan, atau suasana dari sesuatu tanpa harus ada kata-kata tertulis atau terucap. Misalnya, membaca ekspresi wajah seseorang, suasana alam, atau getaran perasaan—itu semua adalah “teks” yang tak tertulis tapi bisa “dibaca” oleh jiwa yang peka. Oleh karena itu dalam konsep filsafat manusia ada diksi yang terkenal bertulis “kadang, diam lebih lantang daripada kata.” Jadi tidak salah jika banyak ulama menganjurkan untuk banyak diam mengingat Allah dari pada bicara tidak berguna.

Kedua. Pemahaman Mendalam Melampaui Bahasa
Bahasa kata itu terbatas. Tapi realitas, pengalaman, dan makna hidup seringkali tak bisa sepenuhnya dijelaskan dengan kata-kata. Oleh karena itu “membaca tanpa kata” adalah menyentuh makna dengan kesadaran langsung, tanpa harus melalui perantara simbol bahasa. Oleh karena itu filsuf terkenal pada zamannya berkata “dimana pencerahan datang bukan dari logika verbal, tapi dari keheningan batin”. Dalam istilah Jawa posisi ini sering disebut dengan “mesu budi”.

Ketiga. Belajar dari Alam dan Kehidupan
Alam semesta, kejadian sehari-hari, bahkan keheningan, semuanya menyampaikan pelajaran. “membaca tanpa kata” di sini bisa berarti belajar dari alam, merenungi hidup, atau menyimak hikmah dari segala sesuatu tanpa harus dijelaskan secara eksplisit. Oleh karena itu “pohon tidak berbicara, tapi ia mengajarkan keteguhan.”

Keempat. Intuisi dan Kebijaksanaan Batin
Kadang, kita tahu sesuatu bukan karena kita membacanya dalam buku, tapi karena intuisi dan pengalaman batin. Itu adalah bentuk “membaca tanpa kata” – sejenis pemahaman yang datang dari kesadaran terdalam. Kalau dihubungkan dengan konteks budaya Jawa atau filosofi Nusantara, ini bisa sejalan dengan konsep seperti rasa, hening, atau ilmu tanpa tutur. Ada kebijaksanaan yang hanya bisa dipahami dalam keheningan dan perasaan halus. Oleh karena itu tidak salah dalam tataran tertinggi dari aras pendidikan itu adalah pendidikan kontemplatif.

Filosofi pendidikan kontemplatif dalam konteks “membaca tanpa kata” merupakan ajakan untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk logika dan kata-kata, lalu masuk ke ruang hening tempat makna sejati berbicara dalam diam. Filosofi ini punya akar dalam banyak tradisi spiritual dan budaya, secara lebih runtut dpat dijelaskan:

1. Pengetahuan Sejati Tidak Selalu Berbentuk Kata
“Kata hanya bungkus, makna tinggal dalam rasa.” Filosofi ini berpijak pada gagasan bahwa ada pengetahuan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dihayati. Pendidikan kontemplatif mengajak kita untuk mengalami langsung kebenaran melalui pengamatan batin, keheningan, dan intuisi, bukan sekadar membaca atau mendengar penjelasan.

2. Diam Adalah Gerbang Pemahaman
“Hening bukan hampa, tapi penuh jawaban.” Dalam keheningan, pikiran tak lagi bercabang, dan hati menjadi lebih peka. Melalui diam, menyimak, dan hadir sepenuhnya, seseorang bisa menangkap pesan-pesan halus dari dunia, manusia lain, atau semesta. Oleh sebab itu pendidikan kontemplatif menempatkan hening sebagai metode, bukan sekadar suasana. Ini adalah cara belajar yang tidak terburu-buru mengejar jawaban, tapi menunggu hingga makna menyatakan dirinya sendiri.

3. Kesadaran Adalah Guru Sejati
“Pendidikan kontemplatif tidak memberi ilmu, tapi membangkitkan kesadaran.” Filosofi ini tidak menekankan pada pemindahan pengetahuan, melainkan pada penyalaan cahaya batin. Guru bukan pusat segala tahu, tapi pendamping laku. Murid tidak pasif menerima, tapi aktif menyimak dunia dengan mata batin.

4. Membaca Rasa, Isyarat, dan Tanda
“Tidak semua yang penting terucap; tidak semua yang benar tertulis.” Membaca tanpa kata berarti belajar menangkap makna dari isyarat, rasa, atau peristiwa. Ini adalah pendidikan tentang membaca kehidupan sebagai teks yang tak tertulis. Sebagai contoh menangkap maksud di balik diamnya seseorang, atau memahami pesan dalam alam yang berubah.

5. Pendidikan Sebagai Jalan Spiritual, Bukan Sekadar Proses Akademik
“Belajar adalah ibadah batin menuju pulang ke dalam.” Pendidikan kontemplatif menyatukan pikiran, rasa, dan jiwa. Ia bukan sekadar mendidik agar “tahu” atau “cerdas”, tetapi agar bijak dan sadar. Pendidikan ini membawa kita lebih dekat ke jati diri dan ketenangan dalam memahami hidup.

Oleh sebab itu, prinsip kunci Filosofi Pendidikan Kontemplatif adalah: “Rasa lebih utama daripada logika – Diam lebih penuh daripada kata – pengalaman lebih dalam daripada teori – Kehadiran lebih penting daripada hafalan – Transformasi batin lebih utama daripada nilai angka”. Pertanyaan tersisa apakah lembaga pendidikan kita, terutama pada jenjang doktoral sudah mencapai tingkat ini. Jawabannya ada pada relung hati kita masing-masing, terutama para doktor dan calon doktor yang sedang bergiat. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Prodi dan HIMA Keperawatan Universitas Malahayati Gelar Kuliah Pakar: Kupas Strategi Komunikasi Efektif dalam Keperawatan di Era Digital

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi S1 Keperawatan dan Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati bersama Himpunan Mahasiswa Keperawatan (HIMA Keperawatan) sukses menyelenggarakan kegiatan Kuliah Pakar bertema “Peran Public Relations dalam Keperawatan: Strategi Komunikasi Efektif untuk Meningkatkan Pengalaman Pasien dan Keluarga di Era Digital”, pada Kamis, 10 April 2025.

Acara ini dihadiri oleh lebih dari 200 peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, serta civitas akademika Universitas Malahayati. Kegiatan dibuka secara resmi oleh Kaprodi S1 Keperawatan dan Profesi Ners, Aryanti Wardiyah, Ns., M.Kep., Sp.Kep.Mat. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan pentingnya penguasaan strategi komunikasi yang humanis dan adaptif di tengah tantangan era digital.

“Komunikasi efektif menjadi kunci utama dalam pelayanan keperawatan. Tidak hanya komunikasi secara klinis, tetapi juga bagaimana perawat mampu membangun hubungan baik dengan pasien dan keluarganya melalui pendekatan public relations yang tepat,” ujar Aryanti.

Turut hadir dalam kegiatan ini Sekretaris Prodi S1 Keperawatan, Rilyani, Ns., M.Kes., serta Sekretaris Prodi Profesi Ners, Rika Yulendasari, Ns., M.Kep., bersama para dosen dari kedua program studi.

Sesi kuliah pakar menghadirkan dua narasumber yang kompeten di bidangnya. Narasumber pertama, Razie Razak, M.I.Kom., CIQaR., CIQnR. dari Telkom University, memaparkan tentang konsep dan peran Public Relations dalam dunia keperawatan. Ia menekankan bahwa PR bukan hanya milik dunia bisnis atau pemerintahan, tetapi juga menjadi bagian penting dari pelayanan kesehatan modern.

“Public Relations dalam keperawatan adalah upaya membangun citra positif layanan, memperkuat kepercayaan publik, dan menciptakan keterhubungan emosional antara tenaga kesehatan dan masyarakat. Semua itu dimulai dari komunikasi yang tulus dan strategis,” terang Razie.

Narasumber kedua, Prima Dian Furqoni, Ns., M.Kes. dari Universitas Malahayati, lebih menekankan pada penguatan kompetensi perawat dalam berkomunikasi. Ia menyoroti pentingnya empati, bahasa tubuh, serta pemanfaatan media digital untuk meningkatkan kualitas pengalaman pasien dan keluarganya.

“Perawat adalah garda terdepan pelayanan kesehatan. Maka kemampuan public speaking, personal branding, serta komunikasi digital menjadi kebutuhan yang tak bisa diabaikan,” ungkap Prima.

Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang berbagi ilmu, tetapi juga membuka wawasan mahasiswa untuk lebih siap menghadapi dunia kerja yang semakin kompetitif dan serba digital. Mahasiswa diajak untuk melihat profesi keperawatan dari sudut pandang yang lebih luas: sebagai profesi pelayanan sekaligus representasi institusi kesehatan di mata publik.

Dengan semangat kolaborasi dan pembelajaran lintas disiplin, Kuliah Pakar ini diharapkan dapat menumbuhkan generasi perawat yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga cakap dalam berkomunikasi dan membangun hubungan yang hangat dengan pasien dan keluarga mereka. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Lakukan Rotasi Jabatan Struktur Organisasi Jajaran Rektorat

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id)Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan tata kelola organisasi dengan melaksanakan rotasi jabatan di sejumlah posisi strategis di lingkungan rektorat. Dalam acara resmi tersebut, Wakil Rektor II Drs. Nirwanto, M.Kes secara langsung menyerahkan Surat Keputusan (SK) Rektor kepada para pejabat baru. Selasa (15/4/2025).

Acara ini juga dihadiri oleh jajaran pimpinan universitas, termasuk Wakil Rektor I Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, Wakil Rektor III Dr. Eng. Rina Febrina, ST., MT, Wakil Rektor IV Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, serta para kepala bagian seperti Humas dan Protokol serta Kepegawaian.

Wakil Rektor II Drs. Nirwanto, M.Kes menegaskan bahwa rotasi jabatan merupakan dinamika yang wajar dalam organisasi yang terus berkembang. “Pergantian posisi seperti ini adalah hal yang biasa dalam suatu institusi. Ini merupakan bagian dari upaya penyegaran serta optimalisasi peran dan fungsi di masing-masing unit kerja. Saya berharap para pejabat yang baru dilantik bisa segera beradaptasi dan menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab serta semangat membangun institusi ke arah yang lebih baik,” ujar Drs. Nirwanto.

Berikut adalah nama-nama pejabat yang dilantik dalam rotasi jabatan kali ini: Dewi Yuliasari, S.SiT., Bdn., M.Kes menggantikan Ledy Octaviani Iqmi, SST., Bdn., M.Kes sebagai Sekretaris Prodi DIII Kebidanan. Dr. Usastiawati Cik Ayu S I, S.Kep., Ns. menggantikan Khoidar Amirus, SKM., M.Kes sebagai Sekretaris Prodi S2 Kesehatan Masyarakat. Fijri Rahmawati, SST., M.Keb menggantikan Vida Wira Utami, SST., M.Kes sebagai Ketua Prodi S1 Kebidanan.Khoidar Amirus, S.KM., M.Kes kini menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, menggantikan Djunizar Djamaluddin, S.Kep., Ns., M.S. Nurul Isnaini, SST., M.Kes menggantikan Vida Wira Utami, SST., M.Kes sebagai Ketua Prodi Profesi Bidan.

Dengan dilantiknya para pejabat baru ini, Universitas Malahayati berharap akan terjadi akselerasi dalam pencapaian visi dan misi institusi, serta pelayanan pendidikan yang semakin berkualitas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Membakar Suratnya Sendiri

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu saat turun dari kegiatan ritual subuh di mushala, berbincang dengan sesama jamaah dengan topik “ikhlas”. Tentu saja karena beragam pengetahuan dan kedalaman masing-masing pemahaman yang berbeda; maka pendefinisian tentang ikhlas ini beragam. Saat sampai di rumah, lanjut untuk menelusuri makna ikhlas yang sesungguhnya itu seperti apa. Hasil penelusuran digital ditemukan uraian yang sangat menarik jika dilihat dari konsep filsafat.

Imam Al-Ghazali merumuskan tentang ikhlas dengan suatu simbol — “seperti orang yang membakar suratnya sendiri setelah mengirimkannya, agar tak ada yang tahu selain Sang Maha Mengetahui dan tujuan surat itu dilayangkan” — adalah simbolis dan penuh makna batin. Bisa dibayangkan seseorang menulis surat untuk seseorang yang dicintainya. Setelah dikirimkan, kemudian salinan surat itu dibakar, agar tak ada yang tahu isi surat itu — hanya si pengirim dan si penerima.

Jika konteks ini disimbolkan kepada kita saat berdo’a maka, surat itu adalah amal perbuatan atau do’a, dan si penerima adalah Tuhan. Maka, membakar surat sama dengan menghapus jejak niat untuk dipuji, diingat, atau dihargai oleh siapa pun, selain Tuhan. Jika kita maknai secara filosofis, berarti kita sedang menutup ruang ego. Maknanya, jika kita menyimpan salinan surat (amal), bisa jadi kita ingin membanggakannya di masa depan — entah pada orang lain, atau pada diri sendiri. Oleh karena itu Imam Ghazali mengajarkan: “lepaskan semua itu. Jangan mengklaim kebaikanmu”.

Hal ini juga menunjukkan bahwa kita dapat melampaui kesadaran sosial; maksudnya dunia sosial penuh dengan pujian, validasi, suka/tidak suka — tapi ikhlas itu berlaku di ruang batin, sunyi dari keramaian. Dengan kata lain saat kita “membakar surat”, berarti kita menutup pintu dari keinginan dinilai oleh siapa pun kecuali “Dia”.

Hal ini juga menunjukkan totalitas ketulusan; maksudnya Ikhlas itu bukan setengah-setengah. Membakar surat berarti juga kita tidak menyisakan bukti, tidak ingin diakui — bahkan oleh diri kita sendiri. Oleh sebab itu pada posisi ini kita harus hati hati, bisa jadi dimana kita beranggapan bahkan berucap bahwa “aku telah ikhlas”; itupun bisa jadi jebakan ego, sekaligus sesungguhnya menunjukkan ketidakihlasan.

Lebih jauh para sufi mengatakan bahwa ikhlas itu makna spiritualnya: mengandung laku fana (lenyapnya aku) — bahwa dalam amal sejati, “aku tak penting, yang penting adalah Dia”. Oleh karena itu ada ungkapan sufi yang terkenal mengatakan :”Ya Allah, aku berbuat bukan karena aku mulia, tapi karena Engkau pantas menerima segalanya.”

Oleh sebab itu jika kita refleksikan dengan sejumlah pertanyaan: apakah kita benar-benar rela berbuat baik tanpa disadari siapa pun termasuk diri kita?. Bisakah kita tetap berbuat baik walau tak pernah ada yang tahu, mengingat, atau membalas?. Tentu jawabannya sangat subyektif dan sangat personal.

Salah satu nukilan tentang ini adalah satu pernyataan sufi dari Abu Yazid al-Bistami yang mengatakan “orang yang masih melihat dirinya ikhlas, sejatinya belum ikhlas.” Yang maknanya: selama masih merasa bahwa “akulah yang ikhlas”, itu berarti masih ada aku di sana. Ikhlas sejati adalah saat kau beramal dan bahkan lupa bahwa dirinya telah beramal. Dengan kata lain amal yang ikhlas adalah amal yang tak diketahui siapa pun, bahkan oleh diri sendiri.

Oleh karenanya, dalam jalan sufi, seseorang tidak mengejar ikhlas, karena jika kita mengejarnya, berarti kita masih mengejar sesuatu. Sementara yang kita kejar adalah mahabbah (cinta) kepada Allah. Dari cinta yang tulus, muncullah amal yang ikhlas — tanpa dipaksa, tanpa dibuat-buat. Oleh karenanya Rābiʿah al-ʿAdawiyyah berkata “Aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka, dan bukan juga karena ingin surga, tapi karena aku mencintai-Mu.”

Ikhlas adalah keadaan batin yang hanya bisa diraih lewat cinta, kehancuran ego, dan kesadaran bahwa tiada daya selain dari-Nya. Oleh karena itu “amalmu bukan milikmu. Bila kau anggap itu milikmu, maka kau telah mengotorinya.” Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Terjebak Pada Pilihan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Selepas hari lebaran Idhul Fitri banyak kerabat kembali ke asal dengan menggunakan sejumlah moda angkutan. Ada pengalaman menarik dari mereka adalah terjebak pada pilihan; yaitu mereka berasumsi bahwa pada saat hari lebaran kendaraan masih jarang dan lalu lintas lancar. Mereka memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah dua jam setelah usai sholat Id agar tidak terjebak kemacetan. Ternyata keluarga yang berfikir demikian bukan hanya dirinya; banyak keluarga lain yang berasumsi sama. Akhirnya mereka terjebak pada kemacetan panjang yang memakan waktu lebih lama dari yang mereka duga.

Ternyata asumsi seperti ini tidak hanya saat berkendaraan; banyak jalan kehidupan yang dihadapkan pada pilihan, dan pilihan itu seolah jebakan yang tidak dapat dihindari. Berdasarkan penelusuran digital makna simbolis ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Makna dari “terjebak pada pilihan” bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, tapi secara umum, frasa ini menggambarkan kondisi ketika seseorang merasa tidak benar-benar bebas dalam memilih, meskipun tampaknya ada opsi yang tersedia. Ada semacam tekanan, kebingungan, atau ketidakpastian yang membuat pilihan itu terasa seperti jebakan, bukan kebebasan.

Beberapa makna diantaranya: Pertama, Kebingungan dan keraguan. Seseorang bisa merasa terjebak karena tidak tahu mana yang terbaik. Semua pilihan punya risiko, dan rasa takut salah membuatnya tidak bisa melangkah. Kedua, Pilihan yang terbatas atau sama-sama buruk. Kadang, semua opsi yang tersedia tidak ideal, sehingga memilih salah satu terasa seperti mengorbankan sesuatu. Maka, walaupun “memilih”, sebenarnya tidak ada pilihan yang benar-benar diinginkan. Ketiga, Tekanan dari luar. Bisa jadi seseorang merasa harus memilih karena tuntutan sosial, keluarga, pasangan, atau pekerjaan. Jadi, meskipun tampaknya ia yang memilih, sebenarnya ia hanya mengikuti arus. Keempat, Konflik batin. Hati ingin satu hal, tapi logika atau realita mendorong ke arah lain; maka, apapun yang dipilih terasa salah atau berat.

Ternyata terjebak pada pilihan jika dilihat dari sudut pandang filsafat tidak sesederhana frasenya. Hal itu dapat diuraikan bahwa: Filosofi dari “terjebak pada pilihan” bisa dikaitkan dengan beberapa aliran atau pemikiran dalam filsafat, terutama yang berkaitan dengan kebebasan, kehendak, dan eksistensi. Ini beberapa pendekatan filosofis yang bisa memberi makna lebih dalam:

1. Eksistensialisme – Jean-Paul Sartre, Kierkegaard, Simone de Beauvoir.

Eksistensialis percaya bahwa manusia bebas memilih, tapi kebebasan itu bukan hal ringan. Justru karena terlalu bebas, manusia sering merasa cemas, takut, dan bahkan “terjebak” dalam pilihan-pilihannya sendiri.

“Man is condemned to be free.” – Sartre.

Maknanya: Kita harus memilih, tapi tiap pilihan membentuk makna hidup kita, dan itu tanggung jawab besar. Saat kita bingung, itu bukan karena tidak ada pilihan, tapi karena semua pilihan menuntut kita untuk menjadi sesuatu.

2. Determinisme vs. Kebebasan

Dari sisi determinisme, ada gagasan bahwa kita tidak sepenuhnya bebas karena semua pilihan kita dipengaruhi oleh faktor luar—kondisi sosial, budaya, sejarah pribadi. Maka, terjebak pada pilihan bisa berarti sadar bahwa kita sedang “dipaksa” memilih dalam batas-batas yang sudah ditentukan.

3. Stoikisme – Seneca, Epictetus, Marcus Aurelius

Stoik percaya bahwa yang bisa kita kendalikan hanya batin dan respons kita. Kalau kita merasa terjebak pada pilihan, itu karena kita mengikat diri pada hal-hal di luar kendali. Filosofinya adalah melepaskan keterikatan dan menerima apa yang terjadi dengan kebijaksanaan.

4. Taoisme – Laozi

Dalam Taoisme, ada ide bahwa terlalu banyak berpikir dan memilih bisa membuat kita kehilangan “aliran alami” kehidupan. Wu wei—tidak memaksa, membiarkan segala sesuatu mengalir—adalah kunci. Saat kita merasa terjebak, mungkin karena kita melawan arus yang seharusnya kita ikuti.

Jika kita ringkaskan kesimpulan Filosofisnya ialah, “Terjebak pada pilihan” adalah momen eksistensial. Ia menyingkap kerapuhan kita sebagai manusia yang ingin kebebasan tapi takut akan konsekuensinya. Ia menguji apakah kita sungguh hidup dengan sadar, atau hanya bereaksi pada tekanan luar.

Banyak peristiwa di dunia ini menggiring manusia terjebak pada pilihan, dan pilihan itu tidak bisa diulang atau dihindari. Akibatnya kita sering menerima akibat dari sesuatu sebab yang tidak kita kehendaki. Dengan kata lain kita berada pada posisi harus memilih dari suatu pilihan yang sejatinya semua tidak kita pilih; akibatnya kita berada pada lingkar pilihan yang tidak mengenakkan. Memang dalam alam demokrasi ada pilihan untuk tidak memilih juga suatu pilihan; akan tetapi itu jika yang dipilih tidak memiliki ikatan dalam bentuk apapun. Berbeda jika pilihan yang harus dipilih itu diajukan oleh mereka yang memiliki ikatan yang bentuknya bisa beragam. Tentu saja keadaan ini akan memposisikan yang memilih masuk ke dalam kondisi terjebak pada pilihan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman