Kalah Tidak Sakit, Menang Merasa Terbantu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Subuh sepulang dari melaksanakan ibadah di musholah dekat rumah, melihat caption komentar dari seorang doktor pendidikan yang sekarang menjadi petinggi di daerah ini; dengan satu kalimat seperti judul di atas, setelah beliau membaca tulisan beberapa waktu lalu. Sontak semua itu membuat ingin menelusurinya secara filosofis dari hakekat diksi yang bijak itu.

Berdasarkan penelusuran literature digital ditemukan informasi sebagai berikut: Filosofi “Kalah tak tersakiti, menang merasa terbantu” mencerminkan sikap mental yang bijak dan harmonis dalam menghadapi persaingan atau konflik. Maknanya bisa dijabarkan sebagai berikut: Kalah tak tersakiti → Jika mengalami kekalahan, seseorang tidak merasa sakit hati, dendam, atau terpuruk. Kekalahan diterima dengan lapang dada sebagai pelajaran dan pengalaman untuk berkembang lebih baik.

Menang merasa terbantu → Jika menang, seseorang tidak merasa sombong atau merendahkan lawan, melainkan menyadari bahwa kemenangan tersebut juga berkat adanya pihak lain, termasuk lawan yang memberikan tantangan dan pembelajaran.

Filosofi ini menanamkan semangat sportivitas, kesadaran diri, dan kebijaksanaan dalam berkompetisi. Baik menang maupun kalah, yang utama adalah proses dan pembelajaran yang didapat. Ini selaras dengan prinsip “menang tanpa ngasorake” dalam budaya Jawa, yang berarti menang tanpa merendahkan atau menyakiti lawan.

Filosofi ini mengajarkan bahwa tindakan individu tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi berpengaruh pada keluarga dan masyarakat. “Kalah tak tersakiti, menang merasa terbantu” juga menekankan bahwa kemenangan atau kekalahan bukan hanya urusan pribadi, tetapi terkait dengan hubungan sosial dan bagaimana seseorang dihormati oleh orang lain. Oleh sebab itu filosofi ini juga mengandung pemaknaan kesadaran akan konsekuensi tindakan dan pentingnya menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain filosofi ini mengajarkan kita juga untuk tetap berjiwa besar dalam kekalahan dan rendah hati dalam kemenangan.

Namun pada tataran praksis topic di atas tidak mudah untuk dibumikan, apalagi disederhanakan; karena seperti disinggung di atas bahwa perilaku individu itu bukan berada pada ruang hampa; banyak variabel yang berkelindan di sana. Salah satu diantaranya adalah adanya kelompok petualang yang berperilaku pecundang. Karena kelompok ini salah satu karakternya adalah hidup di dua alam; alam konflik dan alam damai. Jika konflik terjadi mereka harus mendapat keuntungan, jika damai terjadi mereka harus dapat kedudukan.

Oleh sebab itu agar kelompok pecundang tidak berkembang, perlu dibangun: ruang diskusi yang sehat tanpa saling menyalahkan. Gunakan pihak ketiga sebagai mediator jika perlu. Fokus pada solusi, bukan pada siapa yang benar atau salah. Akan tetapi semua ini pada tataran teori; sementara pada tataran praksis ialah ada pada kesadaran diri, atau kedewasaan diri untuk menyelesaiakan persoalan apapun dengan pola” menang bersama”. Dan, jika itu dapat diwijudkan maka akan terjadi dinamika yang sehat, tidak ada dendam diantara pelaku.

Negeri ini tidak bisa dibangun dengan cara apapun jika para penyelenggara negerinya hanya sibuk mencari kesalahan fihak lain, karena ingin menyalurkan hasrat untuk membalas dendam. Padahal sudah seharusnya menyudahi pertikaian dan mencari kesamaan untuk membangun beradaban. Menang wasyukurilah, kalah alhamdullilah; adalah perwujudan dari ketinggian dan keteguhan akan keimanan dalam menjalankan syareat ketuhanan.

Kita tidak perlu mengirimkan kepala binatang kepada orang yang mengkritik kita, karena bisa jadi apa yang dikatakan benar adanya. Namun juga kita tidak perlu terlalu jumawa menjadi pengkritik paling keras, kalau kita tidak pernah juga memberikan solusi yang bijak. Dengan kata lain di dalam hak itu ada kuwajiban; dan, di dalam kuwajiban itu ada hak yang harus ditunaikan. Semoga diujung bulan suci ramadhan ini kita dapat menemukenali kembali diri kita, siapa kita, dari mana kita, akan kemana kita; apakah bekal perjalanan kita menuju kemana kita sudah mencukupi. Bisa jadi selama ini kita hanya mengejar fatamorgana kehidupan yang tidak pernah berakhir. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Transformasi Babi Ngepet, Teror dari Ketiak Kekuasaan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Membaca berita pada media yang digawangi HBM ini berkaitan dengan pelaporan akan kejadian Majalah Tempo yang dikirimi kepala babi tanpa telinga dan tikus tanpa kepala.

Dawai jiwa sebagai jurnalis bergetar menandakan kegemasan atas fenomena teror tersebut. Teringat kembali masa Orde Baru, setiap pemberitaan yang menyudutkan pemerintah harus berhadapan dengan satu kata: bredel.

Kata itu jadi momok saat itu, namun perubahan dalam bentuk teror kepala babi dan tikus tanpa kepala untuk mengintimidasi kerja-kerja jurnalistik sungguh sangat menjijikan sekali.

Sebagai orang yang pernah dididik dalam dunia jurnalistik langsung dari dua punggawanya, BM Diah dan Rosehan Anwar, tahun 1974-an, teror yang dapat katakan lebih kejam dibandingkan masa itu.

Dapat dianalogikan, jika babi ngepet untuk mereka yang ingin kaya tetapi tidak bekerja, cukup dengan “menjual dirinya” dengan para iblis. Tampaknya, babi ngepet era milenial ini untuk mencari harta dan tahta sekaligus.

Hanya bedanya, jika babi ngepet pesugijan minta bantuan mahluk lain, sementara yang sekarang justru berlindung di ketiak para penguasa dan pengusaha. Kemungkinan besar, mereka yang mengirim kepala babi dan tikus itu terusik oleh kekritisan Majalah Tempo.

TRANSFORMASI SIMBOL

Dalam banyak budaya, babi sering dikaitkan dengan kerakusan dan keburukan. Perubahan manusia menjadi babi dalam mitos ini bisa diartikan sebagai simbol bahwa seseorang yang mencari kekayaan dengan cara haram telah kehilangan kemanusiaannya dan berubah menjadi mahluk yang serakah.

Pengiriman kepala babi kepada institusi ini menunjukkan bahwa sang pengirim ingin menyampaikan pesan bahwa “dirinya pengecut dan tidak berani unjuk diri” oleh karena itu diwakilkan dengan kepala babi.

Berarti ini meneguhkan bahwa ketidakberanian sekaligus ketidakberadaban yang menyatu dalam diri si pengirim. Mengirim kepala babi kepada suatu institusi adalah tindakan simbolis yang bisa memiliki berbagai makna tergantung pada konteks budaya, sosial, dan politiknya.

Dalam banyak kasus, tindakan ini sering dikaitkan dengan ancaman, penghinaan, atau bentuk protes keras.

SIMBOL KETIDAKWARASAN

Dalam konteks tertentu, terutama di negara dengan mayoritas muslim atau bahkan Yahudi sekalipun, babi dianggap najis, mengirim kepala babi bisa dianggap sebagai bentuk penghinaan religius atau budaya.

Ini adalah bentuk ketidakwarasan yang berawal dari kepanikan karena “kerakusannya” yang buka kedoknya.

Dalam beberapa interpretasi, babi melambangkan keserakahan, korupsi, atau ketamakan. Bisa bermakna: “Institusi ini rakus dan busuk,” terutama jika institusi tersebut terkait dengan skandal atau kejahatan.

Oleh karena itu mengirimkan kepada pihak lain, itu sebenarnya adalah apa yang dimiliki sendiri oleh si pengirimnya.

Secara umum, ini adalah tindakan ekstrem yang bertujuan untuk memberikan efek psikologis yang kuat, baik berupa ancaman, penghinaan, atau perlawanan, kepada pihak lain yang tidak disukai; namun dengan cara-cara yang tidak beradab.

Oleh sebab itu menjadi aneh jika ada pejabat sekelas menteri berkata yang tidak seharusnya dia katakan saat diminta pendapat tentang ini.

Melalui tulisan ini ujuk keprihatinan ditujukan kepada seluruh insan pers bahwa ini adalah tindakan ketidakberadaban terhadap kita semua.

Terlepas apapun motifnya dan siapapun pelakunya, tetapi tindakan seperti sangat tidak elok dilakukan oleh manusia yang merasa dirinya masih sebagai manusia. Namun juga berarti peneguhan akan kebenaran apa yang sudah dikatakan oleh Tempo sebagai media melalui para jurnalisnya.

Mari kita rapatkan barisan untuk tetap kritis terhadap apapun yang menyimpang dari kaidah-kaidah dan norma-norma kehidupan. Sekali layar terkembang pantang surut kembali pulang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

“Rebut Balung Tanpo Isi”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu panas terik sekali serasa menyengat ubun-ubun; sekalipun matahari tidak begitu tampak, namun karena udara terperangkap pada awan yang mulai menghitam, akibatnya udara menjadi serasa di dalam oven. Pada kondisi itu alat media cakap berdering berarti ada yang masuk; tetapi karena situasi tidak mendukung maka tidak ada keinginan untuk menyambutnya; lagi pula jika suara keras seperti itu berarti tidak ada pada buku telpon sehingga bisa dipastikan itu pendatang baru. Namun karena sudah lebih dari tiga kali berdering, maka dengan kemalasan yang ada, terpaksa alat cakap itu diangkat. Ternyata, di seberang sana ada sahabat yang sudah lama sekali tidak jumpa meminta waktu untuk bicara, dan beliau mengonfirmasi bahwa mendapatkan nomor dari salah seorang mahasiswa program doktor di satu universitas ternama di daerah ini.

Percakapan dimulai dari yang ringan-ringan sampai pada titik tertentu membicarakan hal yang serius dari satu persoalan. Beliau menggunakan diksi dalam bahasa Jawa yang sudah lama tidak terdengar yaitu istilah seperti judul tulisan ini. Sontak ingatan menerawang jauh kepada kedua almarhum orang tua yang pernah menggunakan diksi itu dalam menasehati kami anak-anaknya, bahasa lengkapnya begini: “Anak-anakku kabeh, Bapak-Ibumu orak ninggalke bondo dunyo, mung ninggalke kepintaran ono sirahmu; mergo nek bondo dunyo mengko kuwe podo rebutan koyo dene rebutan balung tanpo isi; luwih becik taktinggali kepinteran supoyo kowe kabeh podo jajah deso milangkori”. Terjemahan bebasnya kira-kira “Anak-anakku, Bapak-Ibumu tidak mewariskan harta dunia, tetapi hanya meninggalkan kepandaian yang ada di kepalamu, sebab kalau harta dunia nanti kalian akan rebutan bagai berubut tulang tanpa isi, lebih baik saya tinggalkan kepandaian supaya kalian bisa keliling dunia”.

Seputus bicara dengan sohib lama tadi, kenangan lama bersama saudara-saudara dan orang tua terbayang kembali dalam ingatan. Bagaimana orang tua dahulu berkorban dengan berbagai cara agar anak-anaknya harus bersekolah di tengah situasi sulit saat itu. Alhamdullilah, kami semua sekarang menikmati hasilnya sesuai dengan doa beliau dan menjalankan kodratnya masing-masing.

Sebelum lebih jauh membumikan istilah diatas, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa konsep dari rebut balung tanpo isi itu. Dari penelusuran digital ditemukan jejak sebagai berikut: Ungkapan “rebut balung tanpo isi” berasal dari kearifan lokal dalam filsafat Jawa yang menekankan kebijaksanaan dalam bertindak dan memahami nilai sejati dalam kehidupan.

Meskipun tidak memiliki catatan sejarah formal yang jelas, konsep ini erat kaitannya dengan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dalam budaya Jawa, terutama dalam ajaran keselarasan (harmoni), kebijaksanaan, dan eling lan waspada (kesadaran dan kewaspadaan).

Asal-Usul dan Konteks Sejarah :

1. Era Kerajaan Jawa (Mataram Kuno hingga Mataram Islam). Dalam masa kerajaan-kerajaan Jawa, persaingan dan perebutan kekuasaan sering terjadi, baik antarsaudara maupun antarabangsawan. Banyak perang saudara atau konflik yang justru menghancurkan tatanan masyarakat karena perebutan sesuatu yang tidak benar-benar bernilai (misalnya, tahta tanpa legitimasi atau wilayah yang miskin sumber daya). Konsep “rebut balung tanpo isi” muncul sebagai kritik terhadap perebutan kekuasaan yang tidak membawa manfaat bagi rakyat, tetapi hanya melayani ambisi pribadi.

2. Filosofi Wayang dan Serat Kuno
Dalam wayang kulit, ada banyak kisah yang menggambarkan tokoh-tokoh yang bertarung demi sesuatu yang sia-sia. Misalnya, dalam kisah Mahabharata, tokoh seperti Duryudana dan Karna bisa dianggap “merebut balung tanpa isi” karena memperebutkan kerajaan secara tidak adil, meskipun akhirnya kehancuranlah yang mereka dapatkan.
Dalam serat-serat kuno seperti Serat Wulangreh (oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IV), ajaran kebijaksanaan sering kali menyoroti pentingnya memahami mana yang benar-benar berharga dan mana yang hanya ilusi duniawi.

3. Pengaruh Filsafat Jawa
Dalam ajaran budaya Jawa, manusia diajarkan untuk selalu mempertimbangkan apakah sesuatu layak diperjuangkan atau tidak. Sejatining urip(hakikat hidup) tidak terletak pada harta atau kekuasaan, melainkan pada keseimbangan dan kebijaksanaan. Prinsip ini juga sejalan dengan konsep “sabar, nrimo, lan waskita” (kesabaran, penerimaan, dan kebijaksanaan dalam melihat masa depan).

Oleh sebab itu dalam konteks kehidupan, ungkapan ini sering digunakan untuk menggambarkan: Pertarungan sia-sia – misalnya, perebutan kekuasaan, jabatan, atau harta yang sebenarnya tidak membawa kesejahteraan atau kebahagiaan sejati. Keserakahan tanpa esensi – orang yang hanya mengejar keuntungan materi tanpa memperhatikan nilai moral dan spiritual. Pertarungan demi harga diri semu – ketika orang bertengkar atau bersaing hanya demi gengsi atau ego, tanpa melihat apakah hal yang diperebutkan benar-benar bermanfaat.

Ungkapan ini mengajarkan agar manusia tidak terjebak dalam ambisi kosong yang hanya membawa kehancuran. Filsafat Jawa menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam memilih perjuangan, sehingga hidup tidak hanya sekadar mengejar sesuatu yang tampaknya berharga, tetapi sebenarnya kosong dan tidak bermakna.

Ternyata rebut balung tanpo isi itu sekarang tidak hanya melanda keluarga, akan tetapi juga merambah ke warga negara terhadap negaranya. Hanya bedanya sekarang berubah “rebut balung,sementara isinya sudah disedot orang lain duluan”; bisa dibayangkan kita berteriak basmi korupsi, basmi nepotisme dan lain sebagainya. Ternyata diseberang sana mereka berpesta dalam ruangan berpendingin sejuk dengan tertawa-tawa menikmati hasil korupsi berjamaah; sebagai misal korupsi di anak usaha Pertamina.

Semula semua ingin jadi pahlawan, seiring perjalanan waktu karena mengetahui aliran dana bagai Bengawan Solo yang mengalir sampai jauh, semua membisu. Kita berteriak pagar laut yang ilegal, dari rakyat sampai pejabat; ternyata yang punya sedang minum kopi panas bersama ketua. Sekali lagi, kita semua sedang berebut balung yang sudah tidak bersumsum. Buktinya hutang bejibun tapi mau diselesaikan dengan cara “melamun”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, Santuni dan Bagikan THR untuk 1.000 Anak Yatim di Lampung


BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id):
Dalam semangat berbagi di bulan suci Ramadan 1446 H, Rektor Universitas Malahayati Bandarlampung, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, menggelar kegiatan sosial dengan membagikan Tunjangan Hari Raya (THR) dan santunan kepada 1.000 anak yatim di Provinsi Lampung.

Kegiatan ini berlangsung pada Selasa, 25 Maret 2025, di Graha Bintang, Universitas Malahayati. Anak-anak yatim dari berbagai daerah di Lampung diundang untuk menerima santunan secara langsung. Selain itu, Dr. Muhammad Kadafi juga menyempatkan diri mengunjungi rumah-rumah anak yatim untuk memberikan bantuan secara pribadi.

Dalam kesempatan tersebut, Dr. Muhammad Kadafi menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmennya untuk membantu mereka yang membutuhkan, terutama anak-anak yatim yang harus tetap mendapat perhatian dan kasih sayang dari masyarakat.

“Kegiatan berbagi ini sudah menjadi bagian dari kepedulian kami di Universitas Malahayati. Ramadan adalah waktu yang penuh berkah, dan kami ingin berbagi kebahagiaan dengan anak-anak yatim agar mereka juga bisa merasakan sukacita menjelang Idul Fitri,” ujar Dr. Muhammad Kadafi.

Menurutnya, memberikan perhatian kepada anak-anak yatim bukan sekadar bentuk kepedulian sosial, tetapi juga bagian dari nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijaga. Ia berharap kegiatan seperti ini dapat terus dilakukan secara berkelanjutan dan menginspirasi lebih banyak pihak untuk ikut berbagi.

Kegiatan ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat, terutama para penerima manfaat yang merasa sangat terbantu menjelang Hari Raya Idul Fitri. Seorang ibu yang mengasuh tiga anak yatim mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih atas bantuan yang diberikan.

“Alhamdulillah, bantuan ini sangat berarti bagi kami. Terima kasih kepada Bapak Dr. Muhammad Kadafi yang sudah peduli dengan anak-anak yatim. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan keberkahan,” ujarnya.

Selain pembagian santunan dan THR, acara ini juga diisi dengan doa bersama agar keberkahan Ramadan dapat dirasakan oleh semua pihak, serta agar semakin banyak yang tergerak untuk membantu sesama, terutama mereka yang membutuhkan.

Dengan adanya kegiatan ini, Universitas Malahayati menunjukkan peran aktifnya dalam kegiatan sosial, sekaligus menguatkan nilai kepedulian dan kebersamaan di tengah masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Gelar Santunan dan Doa Bersama Anak Yatim di Graha Bintang


BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id):
Universitas Malahayati Bandarlampung kembali menunjukkan komitmennya dalam kegiatan sosial dengan menggelar santunan dan doa bersama anak yatim binaan Yayasan Alih Teknologi Bandar Lampung. Acara yang berlangsung di Graha Bintang Universitas Malahayati ini dihadiri oleh 372 anak yatim dan ibu yatim, serta seluruh civitas akademika universitas.

Acara yang diselenggarakan pada Selasa (25/3) ini dihadiri langsung oleh Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, beserta jajaran pimpinan universitas, termasuk Wakil Rektor I, Wakil Rektor II, Wakil Rektor III, Wakil Rektor IV, para dekan dan wakil dekan, ketua program studi, kepala lembaga, serta kepala biro.

Dalam sambutannya Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian Universitas Malahayati terhadap anak yatim, sekaligus menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi keberkahan di bulan suci.

“Universitas Malahayati selalu berkomitmen untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak yatim yang merupakan tanggung jawab bersama. Melalui acara ini, kami berharap dapat menebar kebahagiaan dan berbagi rezeki kepada mereka yang membutuhkan. Semoga kegiatan ini membawa keberkahan bagi kita semua,” ujar Rektor.

Selain itu, seluruh hadirin turut mendoakan keberlanjutan dan kemajuan Universitas Malahayati serta keluarga besar Bapak Rusli Bintang dan Ibu Rosnati Syekh, agar senantiasa diberikan kesehatan, kelancaran rezeki, serta kemudahan dalam terus memberikan manfaat bagi universitas dan anak-anak yatim binaan.

Acara ini juga menjadi semakin khidmat dengan momen buka puasa bersama, yang menambah kehangatan dan kebersamaan antara civitas akademika dan anak-anak yatim. Dalam suasana penuh syukur, para peserta berbagi cerita, harapan, dan kebahagiaan dalam kebersamaan.

Universitas Malahayati berharap kegiatan ini dapat menjadi tradisi yang terus berlanjut, sebagai bagian dari upaya mewujudkan nilai-nilai kepedulian sosial dalam dunia pendidikan.

Dengan terselenggaranya acara ini, Universitas Malahayati semakin menegaskan posisinya tidak hanya sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga yang peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Tetapkan Jadwal Libur dan Cuti Bersama Idul Fitri 1446 H

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati resmi menetapkan jadwal libur dan cuti bersama dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah. Berdasarkan pengumuman yang dikeluarkan oleh pihak universitas, masa libur akan berlangsung mulai 26 Maret hingga 8 April 2025, dan seluruh aktivitas akademik serta administratif akan kembali berjalan seperti biasa pada 9 April 2025.

Keputusan ini diambil untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa, dosen, serta tenaga kependidikan dalam merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Dengan adanya libur dan cuti bersama ini, diharapkan seluruh civitas akademika dapat memanfaatkan waktu dengan baik untuk berkumpul, beristirahat, serta mempersiapkan diri sebelum kembali menjalani kegiatan akademik.

Selama periode libur, layanan administrasi kampus juga akan ditutup sementara. Bagi mahasiswa yang memiliki urusan akademik atau administratif, disarankan untuk menyelesaikannya sebelum tanggal 26 Maret atau setelah masa libur berakhir.

Universitas Malahayati mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H, mohon maaf lahir dan batin. Semoga kebahagiaan dan kedamaian senantiasa menyertai seluruh civitas akademika. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi DIII Kebidanan Universitas Malahayati Gelar Pengabdian Masyarakat dan Berbagi di Panti Asuhan Al Ghoni Raudhah

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, Program Studi DIII Kebidanan Universitas Malahayati menggelar kegiatan Pengabdian Masyarakat dan Berbagi di Panti Asuhan Al Ghoni Raudhah, Bandar Lampung. Acara ini melibatkan dosen dan mahasiswa dengan tema “Gerakan Sehat: Mencuci Tangan yang Benar” untuk anak-anak usia 6-12 tahun. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Jumat, 21 Maret 2025, sebagai bentuk kepedulian terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak-anak di panti asuhan.

Kegiatan diawali dengan edukasi kesehatan mengenai pentingnya mencuci tangan yang benar. Para mahasiswa dan dosen mengajarkan langkah-langkah mencuci tangan yang tepat melalui demonstrasi langsung kepada anak-anak, dengan tujuan agar kebiasaan sehat ini dapat menjadi bagian dari pola hidup sehari-hari mereka. Program ini menjadi kesempatan bagi para mahasiswa untuk terlibat langsung dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat sekaligus menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial.

Devi Kurniasari, SST., Bdn., M.Kes, selaku Ketua Program Studi DIII Kebidanan Universitas Malahayati, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memberikan edukasi kesehatan kepada anak-anak, khususnya mengenai pentingnya mencuci tangan dengan benar sebagai bagian dari upaya menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh. “Kegiatan ini juga sebagai bentuk komitmen kami, baik dosen maupun mahasiswa, dalam mendukung kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak yang berada di lingkungan panti asuhan,” ujar Devi.

Setelah sesi edukasi, acara dilanjutkan dengan kegiatan berbagi donasi berupa kebutuhan pokok bagi anak-anak di panti asuhan, seperti pakaian, makanan, dan perlengkapan sekolah. Selain itu, acara berbuka puasa bersama menjadi momen yang mempererat tali silaturahmi antara dosen, mahasiswa, dan penghuni Panti Asuhan Al Ghoni Raudhah.

“Dengan berbuka bersama, kami berharap dapat memperkuat silaturahmi dan memberikan kebahagiaan bagi anak-anak yang sedang menjalani bulan Ramadhan ini,” tambah Devi Kurniasari.

Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari pihak Panti Asuhan Al Ghoni Raudhah, yang menyampaikan rasa terima kasih atas kepedulian dan dukungan yang diberikan oleh Universitas Malahayati. “Kami sangat berterima kasih atas kegiatan ini. Selain mendapatkan edukasi kesehatan yang bermanfaat, anak-anak juga merasa senang dan dihargai,” kata salah satu pengurus panti asuhan.

Melalui kegiatan ini, diharapkan tidak hanya meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup sehat, tetapi juga membangun kepedulian sosial yang lebih luas dalam rangka menciptakan masyarakat yang sehat dan peduli satu sama lain, terutama di bulan penuh berkah ini. (gil)

Editor: Gilang Agusman

10 Hari Demi 1000 Bulan

Sutikno, S.Pd.I., M.Pd.I
Dosen Agama Islam Universitas Malahayati

Sebagaimana dipahami bahwa pada bulan Ramadhan banyak keistimewaan-keistimewaan  dan salah satunya adalah malam lailatul qodar,

Apa keistimewaan lailatul qodar?

Lailatul Qadar merupakan malam keistimewaan yang hanya dimiliki bulan Ramadhan, yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai malam yang lebih baik daripada seribu bulan

Allah SWT berfirman , “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qadar. Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3)

Pada malam Lailatul Qadar tersebut, Allah SWT mengabulkan doa-doa hamba-Nya dan mengampuni dosa-dosa mereka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)

Kapan terjadi lailatul qodar?

Para ulama memiliki berbagai pendapat mengenai waktu terjadinya Lailatul Qadar. Mayoritas sepakat bahwa malam mulia ini terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadan, terutama pada malam-malam ganjil yaitu malam ke-21, 23, 25, 27, atau 29.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:”Carilah Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” (HR. Bukhari & Muslim).

Namun, kapan tepatnya? Itu tetap menjadi misteri. Banyak ulama dan mufasir berpendapat bahwa ketidakjelasan ini adalah bagian dari hikmah Allah SWT. Hal tersebut dirahasiakan waktunya agar umat Islam berusaha mencarinya dan mendapatkan pahala yang besar.

Rasulullah SAW juga tidak pernah menyebutkan waktu atau tanggal pastinya, hanya memberi petunjuk bahwa ia berada di sepuluh malam terakhir dan lebih mungkin terjadi pada malam-malam ganjil.

Apa ciri-ciri malam lailatul qodar?

Setidaknya ada 4 ciri turunya lailatul qodar, sesuai keterangan hadits yaitu:

  1. Sinar Cahaya yang Sangat Kuat dan Terang.

Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Lailatul Qadar (terjadi) pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa yang menghidupkan malam-malam itu karena berharap keutamaannya, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang. Dan malam itu adalah pada malam ganjil, ke dua puluh sembilan, dua puluh tujuh, dua puluh lima, dua puluh tiga atau malam terakhir di bulan Ramadhan,” dan Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya tanda Lailatul Qadar adalah malam cerah, terang, seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tentram, tidak dingin dan tidak pula panas. Pada malam itu tidak dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya. Dan sesungguhnya, tanda Lailatul Qadar adalah, matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu.” (HR Ahmad).

  1. Angin Berhembus dengan Tenang.

Rosulullah bersabda “Sesungguhnya aku melihat Lailatul Qadar kemudian aku melupakannya, Lailatul Qadar turun pada 10 akhir (bulan Ramadan) yaitu malam yang terang, tidak dingin, tidak panas, serta tidak turun hujan.” (HR Ibnu Khuzaimah no. 2190 dan Ibnu Hibban no.3688 dan disahihkan oleh keduanya)

  1. Matahari Terbit Pagi Harinya dalam Keadaan Tidak Menyilaukan.

Dari Ibnu Abbas dimana Rasulullah SAW bersabda: “Lailatul Qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan tampak kemerah-merahan.” (HR Ath-Thayalisi dan Al Baihaqi)

  1. Matahari Terpancar Terang dan Berwarna Putih.

Rasulullah SAW bersabda: Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke 27 (dari bulan Ramadan). Dan, tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru. (HR Muslim)

 Apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan lailatul qodar?

Bayangkan kita mendapatkan pahala sempurna dan lebih baik dari seribu bulan, maka tentu kita akan berusaha meraihnya dengan sekuat tenaga. Karena 1000 bulan utu setara dengan kurang lebih 83 tahun, dan ini lebih banyak dari rata-rata umur manusia saat ini.

Maka kiat untuk meraih lailatul qodar sebagaimana dicontohkan oleh nabi adalah memperbanyak intensitas ibadah di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: “Ketika memasuki sepuluh akhir Ramadhan, Nabi fokus beribadah, mengisi malamnya dengan ibadah, dan membangunkan keluarganya untuk ikut ibadah,” (HR Al-Bukhari).

Apa yang dilakukan Rasulullah di sepuluh malam terakhir Ramadhan?

Di banyak literasi bahwa nabi memprioritaskan amalan khusus di 10 hari terahir di bulan Ramadhan, diantaranya:

  1. Menghidupkan malam-malam Ramadhan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Muslim, ‘Aisyah meriwayatkan: “Aku selalu menyaksikan beliau beribadah selama Ramadhan hingga menjelang subuh,”
  2. Rasulullah saw selalu membangunkan keluarganya untuk shalat malam di malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan hadits Abi Dzar menggambarkan hal ini dengan jelas: “Bahwasannya Rasulullah saw beserta keluarganya bangun (untuk beribadah) pada malam 23, 25, 27. Khususnya pada malam 29.”
  3. Rasulullah mengencangkan ikat pinggang dalam arti menghindari tempat tidur pada sepuluh malam terakhir Ramadhan. Hal ini bersandar pada hadits: Rasulullah saw ketika memasuki sepuluh terakhir malam Ramadhan beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan (beribadah) malam itu dan membangunkan keluarganya.
  4. Rasulullah saw selalu beri’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan.

I’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan oleh orang khusus (maksudnya dengan niat) dengan sifat tertentu (menyangkut syarat, waktu, definisi masjid, dan aturan sistematis lainnya)

Oleh karena itu mari kita hidupkan sisa 10 hari terakhir Ramadhan ini dengan sebaok-baiknya sesuai apa yang diajarkan oleh rasulullah SAW. Dan pengahapan kita dapat meraih lailatul qodar, amin ya rabbal ‘Alamin. (STK)

Editor: Gilang Agusman

Kanan Mbuwang, Kiri Nendang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang, ruangan kerja kedatangan tamu seorang sahabat lama; sebagai adat timur saling berbagi berita tentang kesehatan kami masing-masing. Terakhir dari kalimat yang diucapkan beliau adalah “Saya itu sehat Prof, tetapi sedang tidak waras”. Tentu kalimat ini mengundang tanya yang mendalam “Ada apa gerangan?”. Setelah bicara panjang lebar, ternyata beliau sedang ada pada posisi ibarat pepatah lama “dimakan, mati Bapak, tidak di makan, mati Emak”. Tentu posisi dilematis seperti ini tidak cukup di jawab dengan “Ya..jual saja” atau “Tinggalkan saja”; karena apapun jawabannya memiliki konsekuensi.

Teman lama ini bercerita bahwa perusahaan tempatnya bekerja sedang mengalami konflik internal yang berkepanjangan, sampai-sampai konflik itu nyaris terbuka. Akibatnya posisi teman yang menduduki jabatan strategis tadi menjadi serba salah, karena jika memilih opsi A beliau akan terbuang, sebaliknya jika memilih opsi B beliau akan ditendang. Akhirnya kami memecahkan persoalan ini dengan menggunakan pendekatan SWOT analisis. Dan, ditemukan jawaban persoalan ini adalah memunculkan opsi baru yang profesional sifatnya yaitu “Apakah pemilik jawaban A dan Jawaban B memerlukan kita? jika sama-sama menjawab “Ya”, maka tolong dengar suara kami”. Itu adalah opsi bijak yang tidak membuat luka hati siapapun mereka, walaupun untuk melakukannya dan berada pada posisi itu juga tidak mudah.

Akan tetapi, ada yang harus diwaspadai dalam persoalan ini; yaitu kelompok atau teman sendiri yang berpola pikir avonturir, ciri mereka ini bermuka seribu dengan pola jika berhadapan dengan A akan menjelekkan B, dan jika ketemu B akan menjelekkan A, bahkan apa yang seharusnya dirahasiakan mereka tidak segan untuk membukanya jika itu menguntungkan dirinya. Karakter atau pola seperti ini ada di semua lini, menyedihkan lagi jika mereka yang ada pada posisi ini lebih banyak dibandingkan yang istiqomah pada posisinya.

Tidak kurang pentingnya adalah adanya kelompok “tunggu dan lihat”; ciri kelompok ini hanya ingin ikut menang saja, dan tidak mau ambil resiko apapun. Dalam bahasa Palembang kelompok ini disebut “melok menang bae” , maksudnya hanya ikut yang menang saja, atau yang menguntungkan mereka. Apakah mereka-mereka itu salah; tentu saja tidak, karena hal-hal yang berkaitan dengan pilihan itu adalah hak dasar manusia. tinggal pertimbangan moral sebagai ukuran untuk menilainya.

Secara realita sosial dapat kita temukan dalam banyak kasus; justru jurus ini sering digunakan untuk “membuang” mereka yang dianggap oposisi atau terlalu pandai. Terutama dalam dunia perpolitikkan langkah ini sangat nyata adanya. Mereka-mereka yang dianggap terlalu banyak tahu, dan atau diduga akan membahayakan posisi dan organisasi, maka langkah ini sangat efektif dipakai. Adapun cara yang dipilih disesuaikan dengan situasi yang mendukung.

Banyak contoh dari level nasional sampai lokal; bisa dirasakan dan dilihat secara jelas; saat sebelum menjadi, mereka diajak kemana pergi bahkan difasilitasi. Namun, begitu sudah duduk “mukti wibowo” (tercapai cita-citanya); maka langkah pembersihan dilakukan, dan mereka yang terindikasi tidak segaris atau akan menjadi batu sandungan kelak dikemudian hari, segera disingkirkan atas nama reshuffle.

Keberpihakan memang diperlukan, namun pada posisi tertentu kita dipaksa untuk mengambil sikap; dan sikap pilihan itu pada umumnya hanya dua. Oleh sebab itu berdasarkan pengalaman, kita diminta cerdas; tidak salah jika kita membalikkan yang kita pilih tadi untuk bagaimana caranya memilih kita, karena dasar kompetensi kita. oleh sebab itu pada posisi ini tidak cukup kita pandai, akan tetapi harus cerdas dalam artian sebenarnya. Disini peran diskusi-diskusi perlu kita bangun bersama mereka-mereka yang sudah berpengalaman pada dunianya. Karena mereka sudah paham akan asam garam pergaulan yang tidak jarang bagai fatamorgana; tampak indah dari jauh, ternyata jurang yang menganga. Hasriadi Mat Akin pernah mengingatkan melalui tulisannya “dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar, tetapi hanya satu mulut untuk bicara. Sebab dalam hidup, memahami lebih penting dari pada sekedar berucap”. Dan, pemahamanlah yang akan menjadi suluh kita dalam menemukenali persoalan, terutama yang berhubungan dengan perilaku manusia.

Pesan lain, pada saat seperti itu ingat orang bijak yang mengatakan “Pada saat terasa tidak ada jalan keluar, ingatlan Allah selalu mempersiapkan jalan yang tidak kita duga, karena setiap kesulitan adalah pintu menuju kemudahan; kalian tidak sendirian, setiap air mata, setiap doa Allah mendengarkan, tetap teguh, pertolongan Allah itu dekat”.

Manakala perspektif berfikir kita terbentur pada tembok ketidaktahuan, maka perlu kita ingat akan pesan filosof terkemuka pada zamannya yang mengatakan “Ketika kita sadar segala sesuatu dalam hidup ini terjadi atas kehendak Allah, maka tak ada satupun yang pantas untuk disesali karena esok dan masa depan adalah rahasia. Tak perlu menebak-nebak hidup dalam rasa khawatir, percayalah selama kita berusaha, Allah menyediakan yang terbaik untuk kita”.

Oleh karena itu, sebelum kita menentukan sikap sebaiknya bermunajatlah kepada Sang Maha Mengetahui, dan perlu disadari bahwa memilih untuk tidak memilih, atau berpihak untuk tidak memihak; terkadang juga merupakan suatu pilihan yang bijak. Namun apapun alasan kebenaran itu akan menemukan jalannya sendiri. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Biasa Aja Kali

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Istilah ini muncul disekitar awal tahun dua ribuan seiring tumbuhkembangnya generasi millennial saat itu. Saat ini mereka sudah melahirkan generasi Alpha yang lebih kaya lagi akan diksi bahasa, dan jika tidak cermat kita akan tertinggal dari perkembangan bahasa mereka. Kecepatan perkembangan bahasa ternyata juga berkaitan dengan perspektif penggunanya.

Bahasa sebagai media penyampai, untuk saat ini sudah berkembang dengan cepat, terutama bahasa-bahasa pergaulan yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Salah satu diantaranya adalah diksi “biasa aja kali”. Hasil penelusuran digital diperoleh informasi sebagai berikut: Istilah ini kemungkinan besar muncul secara alami dalam percakapan sehari-hari masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa gaul atau informal. Karena sifatnya yang sangat umum dan tidak terkait dengan istilah akademik atau budaya tertentu, sulit untuk menentukan kapan tepatnya ungkapan ini pertama kali digunakan dan siapa pengguna pertamanya.

Namun, ada beberapa faktor yang bisa membantu memahami asal-usulnya:

1. Evolusi Bahasa Gaul di Indonesia

Bahasa gaul di Indonesia terus berkembang, terutama sejak era media sosial dan internet. Ungkapan seperti “biasa aja” dan penambahan kata “kali” (yang menegaskan atau melembutkan pernyataan) sudah lama digunakan dalam bahasa lisan. Istilah ini kemungkinan besar berkembang sejak era 1990-an hingga 2000-an, seiring dengan popularitas bahasa santai di kalangan anak muda.

2. Pengaruh Media & Pop Culture

Banyak istilah gaul mendapatkan popularitas melalui sinetron, film, lagu, atau media sosial. Frasa seperti “biasa aja kali” sering muncul dalam percakapan karakter di film atau sinetron yang menggambarkan kehidupan anak muda. Seiring waktu, istilah ini menjadi bagian dari percakapan sehari-hari.

3. Penggunaan dalam Konteks Digital & Meme

Di era media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok, ekspresi “biasa aja kali” sering digunakan sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dianggap dilebih-lebihkan. Meme dan komentar di platform ini turut memperkuat penyebarannya.

Lebih lanjut ditemukan informasi filosofi dari “biasa aja kali” bisa diinterpretasikan sebagai cara pandang hidup yang santai, tidak berlebihan, dan lebih menerima keadaan apa adanya. Beberapa makna filosofis yang bisa dikaitkan dengan ungkapan ini antara lain:

1. Sikap Anti-Drama & Anti-Berlebihan

Dalam kehidupan, banyak orang yang terlalu membesar-besarkan suatu hal, entah itu kesuksesan, kegagalan, atau masalah kecil. Filosofi “biasa aja kali” mengajarkan bahwa tidak semua hal harus dibesar-besarkan. Hidup akan lebih ringan jika kita tidak selalu bereaksi berlebihan terhadap segala sesuatu.

2. Hidup Sederhana dan Rendah Hati

Menganggap sesuatu sebagai “biasa aja” bisa berarti tidak mudah terjebak dalam kesombongan atau euforia berlebihan. Misalnya, ketika seseorang mendapatkan pencapaian, tetapi tetap merasa bahwa itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang wajar, maka ia tidak akan cepat terlena.

3. Mengurangi Ekspektasi, Meningkatkan Kebahagiaan

Sering kali, ekspektasi yang terlalu tinggi bisa menyebabkan kekecewaan. Dengan filosofi “biasa aja kali,” seseorang belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaannya pada harapan yang muluk-muluk, sehingga lebih mudah merasa puas dan bersyukur.

4. Menghadapi Hidup dengan Lebih Tenang

Filosofi ini juga mencerminkan sikap zen atau ketenangan batin. Tidak semua hal harus direspons dengan intensitas yang tinggi. Ada kalanya kita hanya perlu mengamati, menerima, dan melanjutkan hidup tanpa terbawa arus emosi yang tidak perlu.

Secara maknawi filosofi “biasa aja kali” bukan berarti apatis atau tidak peduli, tetapi lebih kepada mindset yang tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan. Ini adalah cara untuk menjaga keseimbangan dalam hidup, tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi sesuatu, tetapi tetap sadar dan bijak dalam bertindak.

Oleh karena itu generasi pengguna istilah ini lebih tahan akan “gempuran” dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Mereka akan dengan cepat melakukan penyesuaian diri dengan keadaan yang ada. Hal ini makin kokoh lagi karena penguasaan akan teknologi digital; rerata mereka sangat menguasai penggunaan piranti ini. Informasi berada digegaman tangannya, oleh sebab itu mereka cepat mengambil sikap manakala ada sesuatu yang datang sebagai stimulan.

Resain dari pekerjaan, hijrah ke luar negeri, atau bekerja paruh waktu, dan berkeinginan mengejar pendapatan yang besar, melakukan perjalanan wisata; hak-hal itu adalah pilihan gaya hidup yang sangat dekat dengan mereka. Oleh sebab itu jika ada sesuatu yang menstimulan, mereka merasa tidak nyaman; lalu memilih menghindar atau pergi ke negeri orang; hal ini merupakan style budaya yang mereka miliki. Tinggal sekarang mampukah negeri ini menemukenali kemudian memanfaatkan keunggulan mereka sehingga tetap bermanfaat bagi negaranya; jangan terlalu tergesa-gesa menjastifikasi mereka sebagai orang yang tipis nasionalismenya. Karena “kenyinyiran” seperti itu adalah bentuk ketidaktanggungjawaban kepada generasi penerus. Negeri ini dibangun tidak cukup dengan orasi, dijogeti, di hardik dan ditakut-takuti; akan tetapi harus ada kerja nyata, dan bukti nyata. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman