Para Pemimpin Tak Boleh Banyak Meriang Ketimbang Sehatnya

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Tubuh senja seperti saya ini ternyata sudah susah dikondisikan, pagi segar bugar siang jelang sore meriang, mriang dalam Bahasa Jawa, bidapan dalam Bahasa Sumatera Selatan; maring dalam Bahasa Lampung.

Ternyata, usia di atas kepala tujuh, masalah kesehatan sama dengan cuaca, tidak bisa diprediksi alias tidak menentu.

Akan tetapi semua itu alami, usia biologis beriring dengan turunnya daya tahan tubuh. Jadi wajar, jika lamon maring ne jak sihat ne (banyak sakitnya ketimbang sehatnya).

Berbeda dengan pemimpin, harus dibalik: lamon sihat ne jak maring ne. Jika tidak demikian, maka akan terjadi seperti saat ini, antarpimpinan jawabannya berbeda bahkan bertolak belakang.

Seorang pemimpin mengatakan ada pelanggaran, satunya menjawab belum ada laporan, lainnya mengatakan sudah ada ijin. Lebih parah lagi, pemimpin menjawab: saya tidak tahu, kok tanya saya.

Kita menjadi bingung, mereka dalam satu garis komando yang sama tetapi memiliki jawaban yang berbeda. Sebagai contoh kasus pagar laut, antarpejabat saling lempar bola panas seolah melempar tanggung jawab.

Kebiasaan seperti ini menjadi lebih parah lagi jika berlindung pada alasan “saya baru diangkat, jadi belum paham persoalan, nanti akan saya tanyakan pada staf”. Tampak sekali “kemaringan” pejabat model begini, karena menunjukkan tingkat adaptasinya rendah, kemampuan menemukenali persoalan juga parah.

Seolah pejabat seperti ini hanya mau menikmati fasilitas jabatannya, tetapi enggan akan beban kerja, dan tanggung jawab bidangnya.

Bentuk kemaringan yang lain dipertontonkan sebagai contoh adalah sangat terlambatnya informasi yang menjadi tugas dari pejabat berkaitan dengan bencana.

Kota yang kita tinggali ini baru saja ditimpa musibah dengan adanya banjir di hampir semua wilayah. Namun sampai tulisan ini dibuat, siaran resmi dari pemerintah wilayah mana saja yang terkena langsung, terdampak, dan apa yang akan mereka lakukan untuk rakyat dalam jangka panjang semua mak jelas. 

Langkah konferhensif dan koordinatif yang ditunggu tidak pernah terwujud sehingga masing-masing jalan sendiri-sendiri. Akibatnya, tak satu langkah dengan program diperorah programnya sendiri tidak jelas.

Belum lagi masalah penguasaan lahan sampai laut oleh pemilik modal yang sempat bermain mata dengan pejabat. Jika tidak dimuat di media masa secara berseri. Bahkan cenderung jika tidak dimuat berseri semua seolah aman terkendali.

Padahal pagar laut sudah dibentang, pagar tinggi sudah dipasang. Begitu diinvestigasi jurnalis dan dimuat, semua meriang; mulai jurus “saling tunjuk” dilakukan demi penyelamatan.

Tampaknya musibah selalu membawa hikmah itu benar adanya; dengan cara-Nya Tuhan menunjukkan sesuatu kepada mahluk-Nya di dunia ini. Keteledoran yang ditutup-tutupi selama ini akhirnya terkuak bahkan seolah “ditelanjangi” oleh waktu.

Hanya saja, apakah semua pemangku kepentingan mau menyadari, atau tetap asyik berlindung pada “lebih baik maring dari pada sihat”.

Sepertinya harus ada evaluasi menyeluruh kepada sistem pemerintahan yang terbangun sepuluh tahun terakhir, sebab indikasi “pembusukan” dari dalam tampaknya terus terjadi.

Apakah ini penanda bahwa kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang tidak patut, akan berakibat hanyut; hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui.

Mari dengan waktu yang ada ini, kita dang lamon ga cawa tapi lamon kerja se helau ini. Namun bukan berarti kita tidak boleh cawa sebab lamun mak cawa tian seago-ago.

Killu maaf lamun wat salah-salah, sebab salah sina pakaian manusia”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Hukum Universitas Malahayati Gelar Yudisium, Angkat Tema “From Nothing to Something”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Hukum Universitas Malahayati menggelar Yudisium ke-10 Periode Genap 2023/2024. Acara ini mengangkat tema “From Nothing to Something,” menekankan pentingnya menjadi lulusan yang unggul dan beretika religius. Kamis (23/1/2025).

Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes selaku Wakil Rektor 4 Universitas Malahayati menyampaikan ucapan selamat kepada para mahasiswa yang akan menerima pengakuan atas kerja keras, dedikasi, dan prestasi akademik mereka.

“Perjalanan ini adalah awal dari petualangan baru, saya mengingatkan bahwa gelar yang diterima hari ini bukanlah akhir dari perjalanan kalian,” katanya.

Drs. Suharman, juga mengapresiasi ketekunan, kecerdasan, dan semangat yang luar biasa yang ditunjukkan mahasiswa dalam menghadapi berbagai tantangan selama masa studi mereka.

“Terima kasih kepada dosen Fakultas Hukum atas bimbingan pengetahuan dan dukungan selama masa studi. Saya berharap bahwa gelar sarjana hukum yang diterima akan membuka pintu kesuksesan dan memberikan para sarjana kesempatan untuk berkontribusi dalam membangun masyarakat melalui pengetahuan hukum,” ucapnya.

Drs. Suharman, terus mengingatkan para lulusan untuk terus belajar dan mengasah keterampilan agar tetap relevan dan kompetitif di dunia hukum. Di akhir sambutan, Wakil Rektor 4 mengajak para lulusan untuk menjaga etika di manapun berada, menjunjung tinggi nama baik almamater, dan utamakan hubungan baik dengan rekan-rekan sesama lulusan.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH., MH., dalam sambutannya menekankan pentingnya penerapan ilmu hukum dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks ibadah. “Setelah dikukuhkan, SH yang kalian peroleh bukan hanya sekadar gelar, tapi sebuah amanah untuk menjadikan ilmu yang dimiliki sebagai sarana ibadah dan manfaat bagi masyarakat,” ungkapnya.

Dekan juga menyoroti kecerdasan intelektual dan emosional sebagai komponen penting keberhasilan. “Selain memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional juga sangat diperlukan. Di dunia kerja, interaksi dengan rekan kerja, teman, dan lingkungan sekitar memerlukan kecerdasan emosional yang baik,” tambahnya.

Acara ini juga dihadiri oleh Kaprodi Ilmu Hukum Rissa Afni Martinouva, SH., MH, serta para dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Malahayati Bandar Lampung. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Sedikit Sakit (Meriang)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Istilah “meriang” berasal dari bahasa Jawa yang merujuk pada kondisi tubuh yang tidak enak atau merasa sakit, biasanya ditandai dengan demam ringan, menggigil, atau badan terasa lemas. Kondisi ini seringkali dianggap sebagai tanda awal tubuh sedang melawan penyakit, seperti flu atau infeksi ringan. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan perasaan tubuh yang kurang fit tanpa gejala berat. Dan, kondisi ini sering melanda penulis pada akhir-akhir ini; namun karena semangat untuk hidup dan keinginan selalu berguna untuk kepentingan orang banyak, maka kondisi itu sering terabaikan.

Untuk kali ini kita tidak membicarakan meriang dalam konteks personal, akan tetapi lebih kepada yang lebih luas yaitu sosial; dan dikhususkan lagi kepada para pemangku kepentingan. Karena akhir-akhir ini banyak diantara mereka terkena “meriang sosial” yaitu, situasi di mana seorang pejabat merasa tidak nyaman, tertekan, atau terganggu secara sosial akibat faktor-faktor tertentu di lingkungannya. Pejabat merasa “panas-dingin” karena sorotan media, kritik masyarakat, atau desakan dari berbagai pihak atas kebijakan atau tindakannya.

Bisa dibayangkan tekanan terhadap mereka saat ini sangat luar biasa: Pertama; mereka belum pasti masih dipakai pada periode kepemimpinan hasil pemilihan kepala daerah yang lalu. Bisa saja mereka akan terlempar miniml tergeser, oleh sebab itu saat seperti sekarang mau mengambil kebijakkan apapun, akan merasa takut, sekalipun secara perundangan sudah benar. Penyakit ragu seperti ini terutama bagi pejabat yang tidak memiliki kopetensi, hanya mengandalkan relasi, serta pemberi upeti; sehingga seolah layang-layang putus tali.

Kedua: bencana alam yang mengakibatkan kerusakan sarana dan prasarana yang ada, dan itu dibawah tanggungjawabnya. Ingin melakukan perbaikan, takut nanti persoalan pertanggungjawaban anggaran dikemudian hari jadi masalah; tidak melakukan juga bermasalah karena dianggap tidak becus. Akhirnya badan jadi meriang karena diam salah, berbuat juga takut salah. Kondisi serba salah ini membuat mereka “cari aman” dengan menghindar atau menghilang.

Ketiga: dengan sistem kementerian yang banyak dan departemen yang baru, mengakibatkan penyesuaian administrasi yang tidak mudah, dan cenderung melambat. Akibatnya sistem belum terbangun secara baik, dan berdampak pada budaya kerja yang belum terbentuk. Menjadi pemimpin dalam situasi seperti ini membuat banyak orang untuk bersikap sangat berhati-hati, karena jika salah melangkah di ujung sana sudah menunggu kejaksaan atau KPK.

Situasi di atas makin membuat “ketakutan” para pemangku kepentingan manakala pimpinan tertinggi hasil pemilihan yang belum dilantik saat ini tidak ada ditempat, karena sesuatu alasan yang tidak dapat diungkapkan. Akibatnya mereka bukan sibuk menyelesaikan pekerjaannya, tetapi memohon-mohon kepada media untuk tidak mengungkapkan hal ini kepada publik.

Ternyata meriang sosial itu lebih sulit obatnya dibandingkan dengan meriang badan, bagi para pejabat yang tidak memiliki maruwah. Bagi mereka yang memilik justru saat ini adalah tempat medan uji nyali bagaimana dia mengimplementasikan dirinya pada kehidupan nyata. Model pejabat seperti ini sangat yakin bahwa Tuhan adalah tempat bersandar untuk segalanya. Kelegowoan pejabat model inilah sebenarnya yang diharapkan dalam menghadapi persoalan; sebab mereka berprinsip “persoalan itu bukan untuk dihindari atau diabaikan, tetapi untuk diselesaikan”. Adapun konsekwensi dari pekerjaan itu sukses atau gagal, jika semua sudah sesuai dengan aturan, maka tinggal skenario Tuhan yang akan berjalan.

Namun sayang model yang terakhir tadi saat ini sudah menjadi sesuatu yang langka. Justru yang ada sekarang cenderung terjadi pembiaran akan semua persoalan yang ada. Jika sudah di viralkan oleh media sosial, baru mereka seolah sibuk. Sehingga jika ada pimpinan lembaga yang lurus dalam bekerja menjadi sesuatu yang aneh; dan tidak jarang yang begini sering dikerjain untuk dicari kesalahannya atau dibuatkan drama, agar yang bersangkutan terjebak menjadi “pemain”.

Ternyata meriang sosial itu sekarang sedang berjangkit dimana-mana, karena rakyat sudah semakin cerdas. Apakah ini bentuk seleksi alam yang di rancang Tuhan untuk mahluk ciptaanNYA; entahlah. Tetapi paling tidak ini merupakan peringatan bagi kita yang sadar akan keterbatasan manusia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Pembenaran yang Tidak Benar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sebenarnya badan ini belum begitu sehat, namun pikiran dan diskusi batin tidak bisa dihindari manakala melihat perilaku para petinggi daerah ini dalam menghadapi persoalan-persoalan warga. Seolah-olah masalahnya akan selesai jika mereka datang dengan membawa sedikit bantuan untuk hari itu, dan paling untuk jangka pendek. Sementara pokok H yang menjadi biangnya tidak pernah tersentuh. Akhirnya pikiran ini berkelana ke alam filsafat untuk mencari tahu tempat “gantungan” berpikir guna menemukenali perilaku mereka. Bisa dibayangkan ucapan janji kampanye saat “mengemis” kepada rakyat untuk dipilih, setelah dipilih mereka seolah mengidap amnesia. Dari alur inilah maka tulisan ini diberi “tetenger” seperti di atas.

Berdasarkan penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa filsafat pembenaran yang tidak benar merujuk pada upaya memberikan alasan atau argumen untuk sesuatu yang pada dasarnya salah atau keliru, baik dari segi fakta, logika, maupun moral. Dalam filsafat, konsep ini bisa dikaji dari beberapa perspektif.

Pertama, Rasionalisasi. Adalah proses menciptakan pembenaran logis untuk tindakan atau kepercayaan yang sebenarnya didasarkan pada motif atau alasan lain, sering kali tidak rasional. Orang yang merasionalisasi sering kali tidak menyadari bahwa pembenarannya tidak sahih. Contohnya, statemen ini: “saya korupsi karena atasan saya juga korupsi.”

Kedua, Ad Populum (Bandwagon Fallacy), yaitu, suatu kesalahan logika yang membenarkan sesuatu hanya karena banyak orang setuju dengannya. Dalam filsafat, ini dikenal sebagai fallacy. Contoh kalimatnya: “semua orang melakukannya, maka itu pasti benar; padahal bisa jadi itu adalah salah.”

Ketiga, Relativisme Moral yang Tidak Tepat. Dalam relativisme moral, pembenaran sering kali muncul berdasarkan budaya atau konteks individu. Namun, ini menjadi problematik jika digunakan untuk membenarkan tindakan yang melanggar nilai universal. Contoh: “Di budaya saya, korupsi adalah bagian dari tradisi, jadi tidak ada yang salah dengan itu.”

Keempat, Kesesatan Logika (Logical Fallacies). Banyak bentuk pembenaran yang salah timbul dari penggunaan kesesatan logika, seperti ini bentuknya berupa (1). Straw Man Argument : menggambarkan argumen lawan secara keliru untuk lebih mudah diserang. (2). Appeal to Emotion : menggunakan emosi, bukan fakta, untuk membenarkan sesuatu.

Kelima, Perspektif Nietzschean. Friedrich Nietzsche menyoroti bagaimana manusia sering menciptakan “kebenaran” untuk menutupi kenyataan yang tidak menyenangkan. Ia menyebut ini sebagai upaya untuk mempertahankan ilusi demi kenyamanan psikologis. Oleh sebab itu beliau mengatakan bahwa “Kebenaran adalah ilusi yang telah kita lupakan bahwa itu adalah ilusi.”

Keenam, Kritik dari Filsafat Postmodern. Postmodernisme, seperti yang disampaikan oleh Jean-François Lyotard, menolak klaim kebenaran universal dan menyoroti bagaimana narasi besar sering kali digunakan untuk membenarkan ketidakadilan atau kesalahan. Namun, kritik terhadap postmodernisme adalah bahwa relativisme ekstrem dapat membingungkan antara benar dan salah.
Atas dasar sejumlah aliran pemikiran filsafat di atas, maka kita akan menemukan dasar berpijak jika menjumpai pemimpin yang “lupa” akan janjinya saat kampanye dahulu. Mereka banyak tidak menyadari bahwa jejak digital mereka masih tersimpan di dunia maya, dan kapanpun bisa diunduh ulang. Namun dengan bersandar dari salah satu saja aliran filsafat di atas; maka seolah-olah mereka terbebas dari ucapannya dahulu.

Lebih sistemik lagi pembenarannya berkedok agama; dengan cara memberikan fasilitas khusus untuk melaksanakan kegiatan peribadatan. Padahal azaz kebermanfaatannya lebih pada personal, sementara kebutuhan umat yang lebih besar dan mendasar diabaikan. Perilaku seperti ini menjadikan pembenaran yang tidak benar menjadi semakin sempurna; sebab banyak pihak merasa sungkan untuk mempersoalkan, padahal dana itu bukan milik pribadi tetapi milik rakyat banyak dengan berlabel Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Keperuntukkannya harus berskala prioritas untuk kemaslahatan umat yang lebih besar kebermanfaatannya.

Kondisi ini dikamuflase lagi dengan bantuan sarana-prasarana (termasuk pendidikan), yang seyogyanya bersifat personal, dibuat massal. Akibatnya kualitas tidak memenuhi syarat, bahkan tidak layak; sehingga yang terjadi di lapangan ukuran hanya ada tiga kategori, dan perlengkapan prasarana bermutu rendah. Semua berakhir pada kehancuran material karena tidak layak guna; tetapi karena berlindung pada salah satu filsafat di atas; maka pembenaran yang tidak benar menjadi sempurna adanya. Dengan kata lain “pencuri berbaju dermawan”; karena begitu rapinya sistem dibangun dan “hukuman” diberlakukan kepada anak buah yang bersuara “miring”.

Upaya “akal-akalan” seperti ini sudah seharusnya dihentikan; mari kembali kepada khittah sebagai pemimpin umat, bukan golongan atau kelompok. Kepedulian untuk sesama, terutama mereka yang kurang beruntung, adalah skala prioritas negara untuk hadir dengan direpresentasikan oleh pemimpin guna mengentaskan mereka dari kepapaan. Jangan pula membantu yang kurang beruntung tetapi dengan cara membuntungkan pihak lain; karena perbuatan ini juga terkategori dholim. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Keterangan Berkelakuan Baik

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKKB) yang menjadi persyaratan apapun di negeri ini dan akhir abad 20 berubah menjadi Surat Keterangan Catatan Kepolisian, ternyata memiliki sejarah yang panjang. Berdasarkan penelusuran di mesin telusur digital, diketahui bahwa SKBB sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Dokumen serupa SKBB dikenal sebagai Verklaring van Goed Gedrag (Pernyataan Kelakuan Baik). Dokumen ini dikeluarkan oleh otoritas kolonial untuk memeriksa latar belakang seseorang, terutama bagi orang-orang yang ingin bekerja di lembaga pemerintah kolonial atau bepergian ke luar negeri.

Setelah Indonesia merdeka, konsep administrasi kolonial ini tetap dipertahankan dan diadaptasi ke dalam sistem hukum Indonesia. Surat semacam ini menjadi alat penting dalam memastikan latar belakang moral dan hukum seseorang bersih, terutama dalam konteks pembangunan institusi negara. Bahkan pada masa Orde Baru surat sakti ini harus didampingi dengan Surat Bersih Diri dan Lingkungan yang dikeluarkan oleh institusi militer yang berisi keterangan bahwa yang bersangkutan bukan anak atau dari keluarga yang tercatat berpaham komunis. Surat ini bisa keluar setelah melalui skrining yang ketat berkaitan dengan orang tua, paman, adik, kakak, mertua, saudara bapak/ibu dan sebagainya.

Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) digunakan hingga sekitar tahun 1980-an. Sejak akhir abad ke-20, istilah Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) mulai digunakan secara resmi menggantikan SKKB. SKCK lebih menekankan pada pemeriksaan catatan kriminal dalam arsip kepolisian.

Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) digunakan untuk memverifikasi bahwa seseorang tidak memiliki catatan kriminal. Oleh sebeb itu, SKCK menjadi dokumen wajib untuk keperluan tertentu, seperti: Melamar pekerjaan di instansi pemerintah atau perusahaan tertentu. Mengajukan visa untuk bepergian ke luar negeri. Mendaftar sebagai calon pejabat atau kepala desa atau lembaga lain yang mempersyaratkannya menjadi wajib. Dengan demikian, proses penerbitan SKCK membantu memastikan bahwa individu yang terlibat dalam kegiatan sosial atau ekonomi memenuhi kriteria keamanan tertentu.
SKBB, yang kini dikenal sebagai SKCK itu, telah melalui proses evolusi panjang dari masa kolonial hingga modern. Fungsinya tetap sebagai alat verifikasi moral dan hukum individu dalam masyarakat yang semakin kompleks.

Seiring perjalanan waktu ternyata surat ini menjelma menjadi “Surat Sakti” bagi para terpidana, termasuk terpidana korupsi (Koruptor). Karena surat sakti ini bisa dikeluarkan oleh pihak lembaga permasyarakatan dimana sang koruptor berada, untuk dilampirkan sebagai syarat pengurangan hukuman. Atau juga alasan “berkelakuan baik” selama mengikuti persidangan dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, termasuk perkara korupsi.

Di sini pintu masuk yang dapat dilakukan oleh pihak berwenang untuk memberikan alasan mengapa seorang koruptor yang menilep uang negara triyunan dapat dijatuhi hukuman lebih ringan dibandingkan dengan terpidana lain. Terlepas bagaimana cara untuk mendapatkan pertimbangan itu.
Tentu saja menyimak tontonan “sandiwara sosial” ini hati nurani mereka yang waras merasa terusik.

Akibatnya, media sosial sebagai lahan protes, ungkap pendapat, atau apapun namanya; menjadi tempat melempiaskan kekesalan yang paling dekat. Belum lagi parodi yang memang dirancang oleh mereka yang ahli bidang media, sehingga semakin sempurna kekesalahan massa tadi.

Tampaknya “auman singa asia” yang digadang-gadang dapat membersihkan kotoran sosial seperti ini, belum menembus telinga mereka yang ada; bahkan seolah semakin tidak ada takutnya. Hal ini dibuktikan dengan makin tidak sinkronnya antara harapan dengan kenyataan; akibatnya tingkat kepercayaan kepada lembaga penegakkan hukum makin rendah. Ditambah lagi perilaku yang dipertontonkan individu sebagai anggota institusi tidak mendukung atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip lembaganya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Banjir Bandarlampung, Lebih Baik Mati Sombong Ketimbang Mati Bengong

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat tulisan ini dibuat, Kota Bandarlampung sedang deras-deranya diguyur hujan. Diinformasikan melalui media sosial, seluruh kota banjir. Bahkan banyak sarana dan prasarana kota yang hancur, serta hanyutnya beberapa kendaraan.

Sejumlah pemukiman tenggelam bahkan sampai memakan korban jiwa akibat berbagai sebab. Kilas balik, kalau mau jujur, banjir seperti akibat tata kota dan tata kelola yang dilakukan oleh pemangku kepentingan sekitar sepuluh tahun lalu.

Masih ingat banjir yang melanda sungai dekat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek dan putusnya jalan raya utama akibat ditimbunnya daerah resapan oleh pengembang di Rajabasa? Tentu saja, banyak penyebabnya banjir.

Salah satu, kita coba lihat Sukadanaham. Semula, daerah tersebut merupakan kawasan tangkapan air. Kini, tumbuh pemukiman dengan beberapa pengembang.

Terakhir hutan kota yang dibabat untuk wilayah bisnis dengan berlindung menyerap tenaga kerja; sementara Pusat Pembelanjaan yang ada di sana sudah menjamur dan dengan kondisi “mati segan hidup pingsan”.

Puncaknya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang terancam ditutup Kementerian LH karena dari tahun 2013, Pemkot Bandarlampung abai terhadap Analisis Dampak Lingkungan dari wilayah ini.

Belum lagi daerah lereng Gunung Batu yang ada di atas Panjang; daerah tangkapan air itu sekarang sudah berubah menjadi rumah susun yang tak bersusun.

Sementara pembangunan jembatan layang yang tidak disertai kajian matang, dibangun dimana-mana; salah satu diantaranya diabaikannya drainase dari jembatan.

Pembangunan jembatan mungkin diperlukan untuk kelancaran mobilitas, namun jika akibat dari pembangunan itu menyengsarakan rakyat di bawahnya, apakah kita tidak termasuk kategori sombong.

Jika pembaca ada waktu sambil lalu di jembatan layang saat musim hujan, maka akan tampak genangan air yang mengalir kemana-mana. Seolah bingung mencari alamat akhir yang harus dia tuju.

Bahkan jembatan layang yang terpanjang, saat hujan menjadi sungai, dan diingatkan oleh jurnalis; pemerintah kota malah seolah menyalahkan laporan investigasi tadi.

Sekarang kita semua menuai hasil dari “keteledoran” masa lalu; yang pada waktu itu pemimpinnya jika diingatkan langsung dianggap penantangnya; sehingga seolah “lebih baik mati sombong, dari pada mati bengong”.

Untungnya penerusnya sekarang adalah teman tidurnya, akibatnya mereka berdua sekarang tidak bisa tidur; atau malah tidur pulas. Entahlah..

Belajar dari semua itu hal yang mendesak dilakukan adalah memperbaiki sistem drainase kota secara menyeluruh, dengan menyertakan masyarakat untuk memelihara melalui musyawarah desa menggunakan dana kelurahan.

Menata ulang daerah tangkapan air yang diawasi secara ketat agar terjaga, dan mental pejabatnya harus tahan godaan dari para pengembang yang membawa cuan.

Tidak lupa harus ada perencanaan jangka panjang yang mengikat tetang tata kota; sehingga siapapun walikotanya tidak bisa berbuat seenaknya sendiri dalam membangun.

Semua dilakukan secara terbuka dan transparan. Dewan kota difungsikan sebagai pemberi masukan, bukan lembaga “pengaminan” atau dalam bahasa Palembang “iyo ke bae ngecik ke balak”.

Bantuan sembako, perbaikan rumah yang dilakukan untuk saat ini adalah bersifat sementara, dan itu sah-sah saja; namun yang sangat urgen adalah perbaikan kedepan secara menyeluruh.

Jadi bukan hanya mengobati lukanya dengan obat luka, akan tetapi harus ada upaya jangan ada lagi yang terluka.

Di daerah ini, ada dua perguruan tinggi negeri yang memiliki bidang kajian “Perencanaan Wilayah” bahkan ada yang spesifik “Kota dan Pesisir”.

Semua itu adalah modal dasar yang sudah seharusnya diminta bantuan untuk mengurai benang kusut tentang banjir di kota ini, sebelum semakin parah.

Wali kota cukup mendatangi pimpinan perguruan tingginya untuk diminta partisipasi secara kelembagaan melalui program studi terkait.

Semoga musibah ini mengingatkan kita semua bahwa di sana ada campurtangan kita yang abai akan anugerah Tuhan akan alam-Nya.

Tulisan ini bukan mencari “kambing hitam” tetapi perenungan untuk kemudian membangkitkan kesadaran kita bersama menyelamatkan kota.

Untuk para pemimpin siapapun anda, jika ada warga anda yang peduli dengan memberikan peringatan, itu berarti warga tadi peduli pada anda dan kota kita; bukan berarti itu musuh anda. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selisih yang Tersisih

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pelantikan pemenang Pemilukada akan dilakukan hasil dari “berpeluh-peluh” kemaren dulu yang sama-sama kita lakukan. Semua terjadi seolah sekejap jika dibandingkan dengan persiapan panjang yang dilakukan. Namun ternyata ada yang tersisa di benak beberapa petugas penyelenggara. Mata pilih yang ada dengan yang menggunakan haknya ternyata jauh selisihnya; dalam arti banyak diantara mereka tidak datang untuk menggunakan haknya. Walaupun fenomena ini tidak dapat di generalisir untuk diambil kesimpulan, tetapi dari pandangan filsafat sosial ada persoalan di sana yang perlu digali. Sampai-sampai Daerah Ibu Kota yang calonnya kalah, ingin mempersoalkan ini seolah kerja panitia tidak baik. Untung dipenghujung waktu hal itu tidak dilaksanakan tentu dengan banyak pertimbangan.

Penasaran dengan keadaan di atas, saat itu juga terbersit ingin melakukan penelitian mini dengan metoda wawancara mendalam beberapa responden berpola snow bolling, dengan menyasar mereka yang kemaren dulu diduga berpartisipasi ikut mendatangi bilik suara guna melaksanakan haknya. Saat menemukan hasil pertama menjadi terperangah; ternyata dari sepuluh responden yang diambil secara acak tak berstruktur, didapat hanya dua orang yang menggunakan hak pilihnya. Begitu didalami ternyata keduanya menggunakan haknya karena tidak enak kepada keluarga yang bekerja di pemerintah; namun anehnya saat didesak memilih siapa, dua-dua responden mencoblos semua gambar yang ada.

Penasaran dengan ini, kemudian responden disempitkan lagi khusus kepada tenaga profesional tertentu, yang jumlahnya hanya lebih kurang dua puluh orang. Hasilnya di luar nalar, ternyata semua responden memilih untuk tidak hadir memilih. Begitu didesak alasannya, tentu dengan perjanjian untuk merahasiakan identitas secara penuh; mereka menyatakan sudah tidak tertarik lagi dengan acara seperti itu berjumlah 90 persen; sementara yang sepuluh persen merasa tidak kenal dengan para calon, baik provinsi maupun kota. Pertanyaannya? Apa yang menyebabkan mereka tidak kenal atau tidak mengenal? Bisa jadi mereka sendiri yang memang kurang hirau terhadap lingkungan.

Semua ini membuat semakin penasaran; perburuan dilanjutkan dengan menyasar orang muda yang sedang studi. Justru menarik sebab saat mewawancarai responden rerata mereka memilih karena ikutan teman termasuk memilih siapa, karena mereka tidak mengenal, tidak mengerti siapa yang mencalonkan diri itu. Namun ada juga yang menggembirakan diantara mereka ada yang berapi-api menjawab ingin merawat demokrasi di negeri ini, soal siapa yang dipilih yang bersangkutan bersikukuh untuk tidak mau menjawab karena itu hak personal. Luar biasa tentunya responden ini, dan setelah ditelusuri ternyata yang bersangkutan adalah aktivis kampus yang memang militan. Semoga kedepan orang-orang seperti ini bertebaran di negeri tercinta ini.

Begitu juga saat tiba di suatu tempat yang terkenal basis dari organisasi politik tertentu, saat dilakukan cross chek tentang pemilihan kepala daerah yang baru beberapa bulan lalu, ternyata ditemukan potret lima orang diantara mereka tidak menggunakan hak pilih, dua orang menggunakan, sisanya tidak menjawab dan hanya mengatakan tidak mendatangi tempat pemungutan suara. Menariknya ada seorang Bapak mengatakan bahwa: yang tingkat dua saja beliau pilih; pilihan yang diminta menantunya, karena calon itu adalah teman baiknya; sedangkan untuk provinsi beliau coblos dua-duanya karena tidak kenal mereka.

Semua di atas akan makin panjang jika terus ditelusuri, tetapi sesuai prinsip penelitian kualitatif dengan pola grounded research yang harus berani menyetop wawancara jika telah dianggap cukup karena menemukan informasi yang sejenis berkali-kali dengan responden yang berbeda. Ternyata ada sisi-sisi gelap dari pemilukada yang baru saja berlalu. Memang hal itu tidak terlalu berpengaruh dengan hasil secara kuantitatif; namun persoalan-persoalan sosial bisa juga muncul akibat kita mengabaikan sesuatu yang bersifat kualitatif.

Adakah ini penanda “kelelahan sosial” yang dialami masyarakat karena dalam waktu yang berdekatan penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legeslatif diselenggarakan dengan Pemilukada secara beriringan. Atau semakin suburnya paham pragmatis di tengah masyarakat. Bisa jadi juga sebab lain seperti pola kampanye, pola bagi-bagi uang yang masih tercium baunya di sana-sini, atau masih banyak lagi. Semua itu perlu ada pengkajian akademik secara komprehensif agar ditemukan solusi cerdas, guna kepentingan bangsa ke depan.

Menariknya lagi kelompok relatif mapan secara ekonomi justru lebih banyak mendominasi tidak menggunakan hak pilih. Sementara mereka yang secara ekonomi masih memerlukan bantuan paling getol untuk menggunakan hak pilihnya. Apakah ini merupakan indikasi bahwa kelompok rentan secara ekonomi lebih diuntungkan jika dilakukan pola pemilihan berkali-kali atau berturut-turut. Jawabannya ada pada para pembaca artikel ini.

Terlepas dari tingkat error yang tinggi karena kesalahan metodologi, hasil penelitian sederhana ini dapat dijadikan penanda awal untuk melakukan penelitian mendalam dan lebih akademis oleh pihak lain yang berkeinginan mendalaminya. Selamat Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Katalog buku Bahan Pemanis Implikasi Pemanis Bagi Kesehatan

Judul buku: Katalog buku Bahan Pemanis Implikasi Pemanis Bagi Kesehatan

ISBN : Proses

Penulis: Vito Zhafran Octonariz ,Adam Aulia Rahman , Robby Candra Purnama

Penerbit: Universitas Malahayati

Sinopsis:

Bahan pemanis sebagai bahan tambahan pangan
menjadi sebuah ciri khas tersendiri dalam bidang ilmu
pengetahuan. Hal ini juga tidak lepas dalam dunia kesehatan.
Baik itu pemanis alami, maupun pemanis buatan.
Implikasi Pemanis Bagi Kesehatan tidak dapat dipisahkan
dari berbagai aspek ilmu pengetahuan terutama dibidang
industri. Baik industri farmasi maupun industri makanan dan
minuman. Mengetahui Implikasi Pemanis Bagi Kesehatan
menjadi salah satu dasar untuk melakukan manajemen risiko
atau evaluasi peraturan terkait bahan pemanis.

Katalog Buku Optimasi Proses Torefaksi: Pengembangan Model Sistem Torefaksi Kontinu

Judul Buku : Optimasi Proses Torefaksi: Pengembangan Model Sistem Torefaksi Kontinu

Penulis :

  1. Agus Apriyanto, S.T., M.T.
  2. Fauzi Ibrahim, S.T., M.T.
  3. Novia Utami Putri, S.T., M.T.
  4. Adam Wisnu Murti, S.T., M.T

 

Penerbit: Universitas Malahayati

ISBN: Proses

Sinopsis:

Torefaksi, sebagai proses termokimia yang dapat meningkatkan
nilai kalor biomassa, memainkan peran penting dalam
menghasilkan bahan bakar berkualitas tinggi. Teknologi reaktor
tubular dengan sistem pemanas oil jacket menjadi fokus utama
dalam buku ini, karena mampu menawarkan solusi yang unggul
dalam hal efisiensi energi dan kontinuitas proses. Buku ini
dirancang untuk memberikan wawasan yang komprehensif
mengenai dasar-dasar torefaksi, rancang bangun reaktor
tubular, serta proses optimasi yang diperlukan untuk mencapai
kinerja terbaik

Sosialisasi Peminatan Konsentrasi Prodi Manajemen Universitas Malahayati, Angkat Tema “Choosing Concentration: A Roadmap To Your Future”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati menggelar kegiatan Sosialisasi Peminatan Konsentrasi untuk mahasiswa angkatan 2023. Acara ini diselenggarakan di Gedung Graha Bintang dan diikuti sebanyak 565 mahasiswa dengan tujuan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai peminatan konsentrasi yang tersedia di program studi ini, menjelang Semester Genap 2024/2025. Kamis (16/1/2025).

Prodi Manajemen Universitas Malahayati menawarkan empat konsentrasi utama yang dapat dipilih oleh mahasiswa, yakni: Pemasaran, Keuangan, Sumber Daya Manusia (SDM), dan Kewirausahaan. Sosialisasi ini bertujuan untuk membantu mahasiswa dalam menentukan peminatan yang sesuai dengan minat dan bidang keilmuan mereka, sekaligus memetakan masa depan karier mereka dengan tepat.

Kepala Program Studi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si, dalam sambutannya menekankan pentingnya pemilihan konsentrasi yang tepat, karena keputusan ini akan memengaruhi arah pendidikan dan karier masa depan mahasiswa. “Penting bagi mahasiswa untuk memahami dengan baik tiap konsentrasi yang ada, agar mereka dapat membuat pilihan yang tepat untuk masa depan mereka,” ungkap Dr. Febrianty.

Tema yang diangkat dalam kegiatan sosialisasi kali ini adalah “Choosing Concentration: A Roadmap To Your Future”. Tema ini bertujuan untuk mengajak mahasiswa untuk melihat pemilihan konsentrasi sebagai langkah penting dalam merancang masa depan mereka. Dengan memilih konsentrasi yang sesuai, mahasiswa dapat lebih fokus dalam mendalami bidang ilmu yang mereka minati, dan mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja yang semakin kompetitif.

Acara ini dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Bapak Dr. Rahyono, S.Sos., M.M, yang menyampaikan sambutan penuh semangat. Dalam sambutannya, beliau memberikan motivasi kepada mahasiswa agar mereka dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk menentukan langkah yang tepat dalam pendidikan mereka.

“Saya berharap mahasiswa dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memahami lebih dalam tentang konsentrasi yang ada, dan dapat memilih konsentrasi yang sesuai dengan minat serta tujuan karier mereka,” kata Dr. Rahyono.

Sosialisasi ini juga dihadiri oleh dosen-dosen ahli dan pembicara inspiratif dari masing-masing konsentrasi yang ada di Prodi Manajemen, antara lain:

  • Konsentrasi Sumber Daya Manusia (SDM): Dr. Febrianty, S.E., M.Si., Dr. Muhammad, S.Kom., M.M., Dr. Afit Afrizal, S.Si., M.M., Muhammad Irfan Pratama, S.E., M.Si., Reza Hardian Pratama, S.E., M.M., Anita, S.E., M.E.
  • Konsentrasi Kewirausahaan: Amril Samosir, S.Kom., M.Ti., Rizki Agung Wibowo, S.Mat., M.Mat., Hamida Nur Rahmawati, S.Pd., M.Pd.
  • Konsentrasi Pemasaran: Dr. Nurbaiti, S.E., M.M., Dr. Yopita, S.E., M.M., Ayu Nursari, S.E.
  • Konsentrasi Keuangan: Prof. Erna Listyaningsih, S.E., M.Si., Ph.D., A.F.A., Lestari Wuryanti, S.E., M.M., Euis Mufahamah, S.E., M.Ak., Hiro Sejati, S.E., M.M., Mohammad Athian Manaan, S.M., M.M., Harold Kevin Alfredo, S.E., M.B.A., Muhammad Irfan Pratama, S.E., M.E., Anita, S.E., M.E., Ayyumi Khusnul Khotimah, S.E., M.M.

Selain itu, acara ini juga dimeriahkan dengan penampilan mahasiswa berprestasi dalam bidang akademik dan non-akademik, yang semakin memotivasi para peserta untuk terus berprestasi.

Kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih komprehensif kepada mahasiswa mengenai pilihan konsentrasi yang ada, serta membantu mereka membuat keputusan yang tepat dalam menentukan arah studi mereka. Konsentrasi yang dipilih nantinya akan menjadi dasar dari topik tugas akhir mahasiswa, serta mempersiapkan mereka untuk lulus dalam waktu tiga setengah tahun.

“Sosialisasi ini bukan hanya sebagai sarana informasi, tetapi juga sebagai langkah awal bagi mahasiswa untuk memetakan masa depan mereka. Dengan pemilihan konsentrasi yang tepat, mahasiswa akan lebih siap menghadapi tantangan di dunia kerja,” pungkas Dr. Febrianty.

Kegiatan ini diharapkan dapat terus menjadi agenda rutin yang memberikan dampak positif bagi mahasiswa dalam menentukan arah pendidikan dan karier mereka. (gil)

Editor: Gilang Agusman