Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa saat gema perayaan ulang tahun kemerdekaan sayup-sayup mulai menjauh. Hampir semua kita kemarin larut didalamnya bersukacita untuk menyambut setiap tahun. Namun kali ini ada yang berbeda dari perayaan-perayaan sebelumnya, baik secara nasional maupun lokal. Secara nasional perayaan dipusatkan di Ibu Kota Negara yang baru; sementara yang lokal dipusatkan di Kota Baru yang sudah lama.
Perubahan adalah keniscayaan, itu kata para sosiolog; bahkan Selo Sumardjan bapak sosiologi Indonesia mengatakan “tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan”. Namun esensi perubahan-lah yang membedakan antarperubahan itu terjadi. Hampir semua kita paham betul bahwa kemerdekaan yang membawa perubahan di negeri ini, tidak diperoleh dengan cuma-cuma; tetapi dengan perjuangan berdarah-darah dari para pendiri negeri ini dengan durasi waktu yang sangat panjang dan lama.
Berdasarkan penelusuran digital kata “merdeka” itu memiliki tautan sejarah panjang, diantaranya informasi tersebut adalah: secara umum, kata ini berasal dari bahasa Sanskerta “mahārdhika,” yang berarti “makmur” atau “kaya.” Namun, dalam konteks bahasa Melayu dan Indonesia, makna kata ini berkembang menjadi “bebas” atau “independen.”
Kata “merdeka” sudah digunakan dalam literatur melayu klasik sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Pada masa itu, kata ini lebih merujuk pada status seseorang yang bebas dari perbudakan atau penjajahan. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kebebasan pribadi dan tidak terikat oleh tuan atau majikan.
Perkembangan makna selanjutnya pada era kolonialisme: selama era ini disebut juga masa penjajahan oleh kekuatan Eropa di Asia Tenggara, kata “merdeka” mulai memperoleh makna politik yang lebih luas. Kata ini kemudian menjadi simbol perjuangan melawan penjajahan dan kekuasaan asing. Di Indonesia, kata “merdeka” menjadi sangat identik dengan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan kemudian Jepang.
Pada era Proklamasi Kemerdekaan: Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno, presiden pertama Indonesia, mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam proklamasi tersebut, kata “merdeka” menjadi simbol utama kebebasan dan kedaulatan negara Indonesia yang baru merdeka. Setelah proklamasi, kata ini menjadi bagian dari identitas nasional Indonesia.
Pada era kontemporer saat ini, kata “merdeka” tidak hanya merujuk pada kemerdekaan politik, tetapi juga sering digunakan dalam konteks kebebasan individu, hak asasi manusia, dan ekspresi kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan. Kata ini juga sering muncul dalam semboyan dan slogan, seperti “Merdeka atau Mati!” yang digunakan selama perjuangan kemerdekaan.
Kata “merdeka” memiliki makna yang mendalam dan penuh dengan perjuangan, serta menjadi simbol penting dalam sejarah dan identitas bangsa Indonesia.
Perubahan adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan selalu terjadi dalam kehidupan, baik dalam konteks individu, sosial, ekonomi, maupun budaya. Hakekat perubahan melibatkan proses transformasi dari keadaan atau kondisi yang lama ke kondisi yang baru.
Perubahan dapat terjadi secara involusi (sangat lambat sekali tetapi terus dan berkelanjutan), evolusioner (bertahap) atau revolusioner (cepat dan signifikan). Beberapa aspek penting dari hakekat perubahan meliputi: Pertama, Konstansi Perubahan: Perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Tidak ada yang tetap, segala sesuatu selalu bergerak dan berubah.
Kedua, Perubahan Sosial: Dalam konteks sosial, perubahan sering kali terjadi karena pengaruh berbagai faktor seperti teknologi, politik, ekonomi, dan budaya. Perubahan sosial bisa mencakup perubahan dalam pola pikir, nilai-nilai, kebiasaan, dan struktur sosial.
Ketiga, Adaptasi dan Inovasi: Perubahan menuntut adaptasi dan inovasi. Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan sering kali menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan yang muncul.
Keempat, Perubahan sebagai Kesempatan: Perubahan sering kali dipandang sebagai peluang untuk memperbaiki atau mengembangkan hal-hal baru. Ini bisa melibatkan inovasi dalam produk, layanan, atau cara berpikir.
Sedangkan hakekat kemerdekaan: adalah kondisi bebas dari kontrol, dominasi, atau penindasan oleh pihak lain. Hakekat kemerdekaan sering kali dikaitkan dengan kebebasan individu, politik, dan sosial. Beberapa aspek penting dari hakekat kemerdekaan meliputi: Pertama, Kebebasan untuk Memilih: Kemerdekaan memberikan individu atau bangsa kebebasan untuk membuat keputusan dan pilihan sendiri tanpa paksaan dari pihak luar.
Kedua, Kedaulatan: Dalam konteks negara, kemerdekaan berarti memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur urusan dalam negeri dan luar negeri tanpa campur tangan asing.
Ketiga, Hak Asasi Manusia: Kemerdekaan juga terkait erat dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Setiap individu memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan tanpa diskriminasi atau penindasan.
Keempat, Tanggung Jawab: Kemerdekaan membawa tanggung jawab. Baik individu maupun negara yang merdeka harus bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan mereka.
Kelima, Kemerdekaan Spiritual dan Mental: Selain kemerdekaan fisik dan politik, ada juga kemerdekaan spiritual dan mental, yaitu kebebasan dari belenggu pemikiran atau perasaan yang menghambat perkembangan diri.
Secara keseluruhan, perubahan dan kemerdekaan adalah dua konsep yang saling terkait. Perubahan sering kali diperlukan untuk mencapai atau mempertahankan kemerdekaan, dan kemerdekaan memberikan ruang bagi perubahan untuk terjadi. Keduanya seolah dua sisi mata uang yang satu sama lain saling meneguhkan; oleh sebab itu jika ada perubahan itu adalah konsekwensi dari adanya kemerdekaan, dan kemerdekaan akan menjadi begitu bermakna manakala ada perubahan didalamnya.
Oleh sebab itu, mari kita isi hari-hari mendatang negeri ini dengan berfikir positif terhadap perubahan apapun yang terjadi dinegeri ini. Sebab, kita tidak mungkin akan menghentikan perubahan, tinggal pertanyaan tersisa “andil” apa yang kita dapat berikan kepada negeri ini, sehingga keberlanjutan dan kelestariannya akan terjamin sampai kapan-pun. Sekalipun itu tidak mudah karena dalam perjalanannya negeri ini justru sering dirusak oleh anak negerinya sendiri yang gelap mata akan kekuasaan dan kemaruk harta.
Kursi disusun untuk anak dan istri, korupsi dipelihara untuk dijadikan penjara. Nepotism dipertontonkan bagai artis, orang jujur dibuat hancur, orang culas dibuat waras. Semua seolah berjalan tanpa batas. Namun, Ibu kota boleh berpindah, ideology tidak boleh berubah. Presiden boleh berganti, namun negeri ini tetap harus berdiri. Benar apa yang dipesankan oleh salah seorang presiden negara terbesar dunia yang berkata: “jangan bertanya apa yang akan kau dapatkan dari negeri ini, tetapi bertanyalah apa yang sudah dan akan kau berikan kepada negeri ini”. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Perilaku “Micek-Mbudeg”
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari menjelang senja ada teman nun jauh di sana mengajak diskusi situasi kekinian negeri ini melalui piranti media sosial. Beliau menyoroti bagaimana para elite negeri ini yang tidak mau mendengar aspirasi warga atau rakyat, yang nota bene sudah memilih mereka bahkan menggaji mereka. Ditambah lagi tindakan represif yang ditampilkan “anak-anak kemarin sore” yang berbaju seragam karena “membeli” kepada para pengunjuk rasa. Sisi lain perilaku pengujuk rasa dari zaman Malari (tahun 1970-an) sampai kini masih begitu-begitu saja. Kalau tidak membakar nan bekas, merobohkan pagar, mengangkat tiang bendera, rasanya tidak gagah. Kesimpulan sementara diskusi daring itu ada pada kebanyakan kita terutama pejabat yang berwenang termasuk anggota terhormat dari lembaga yang dipilih rakyat adalah “micek lan mbudeg” (pura-pura buta dan tuli).
“Mata picek kuping budeg” adalah sebuah metafora Jawa yang menggambarkan seseorang yang tidak peduli atau tidak mau mendengar dan melihat kenyataan di sekitarnya. Mata picek secara harfiah berarti “mata buta”. Itu untuk menggambarkan seseorang yang tidak bisa atau tidak mau melihat. Kuping budeg berarti “telinga tuli”, yang menunjukkan seseorang yang tidak bisa atau tidak mau mendengar.
Dalam konteks ini, istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan orang atau sekelompok orang yang acuh tak acuh atau sengaja mengabaikan fakta, peringatan, atau pendapat dari orang lain. Filosofi dari ungkapan “moto picek kuping budeg” dalam budaya Jawa menggambarkan sikap seseorang yang memilih untuk menutup mata dan telinga terhadap realitas atau nasihat/ pendapat orang yang ada di sekitarnya. Secara mendalam, ungkapan ini mengandung makna terkait dengan etika dan perilaku sosial, serta pengajaran moral.
Beberapa poin filosofis yang dapat diambil dari ungkapan ini: Pertama, Penghindaran Tanggung Jawab: Ungkapan ini mencerminkan sikap seseorang yang berusaha menghindari tanggung jawab atau kenyataan dengan berpura-pura tidak tahu. Dalam kehidupan sosial, sikap ini dianggap tidak bertanggung jawab dan merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Kedua, Penolakan Kebenaran: “Mata picek kuping budeg” juga bisa diartikan sebagai penolakan untuk menerima kebenaran atau kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan pribadi. Ini mengingatkan akan pentingnya keterbukaan pikiran dan hati dalam menghadapi berbagai kenyataan hidup.
Ketiga, Kebijaksanaan dalam Mendengar dan Melihat: Dalam tradisi Jawa, kebijaksanaan sering kali dilambangkan dengan kemampuan untuk mendengar dan melihat dengan baik. Ungkapan ini mengajarkan bahwa untuk menjadi bijaksana, seseorang harus mau membuka mata dan telinga, mendengarkan orang lain, serta menerima pandangan dan nasihat dari berbagai sudut.
Keempat, Kritik Sosial: Istilah ini juga sering digunakan sebagai kritik sosial terhadap mereka yang berkuasa atau memiliki pengaruh tetapi memilih untuk menutup mata dan telinga terhadap penderitaan atau masalah masyarakat. Ini menjadi pengingat agar para pemimpin tetap peka terhadap suara-suara di sekitarnya.
Secara keseluruhan, filosofi dari “moto picek kuping budeg” menekankan pentingnya kesadaran, keterbukaan, dan tanggung jawab dalam interaksi sosial serta dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Juga filosofis ini mengandung maksud sebagai pengingat bagi setiap individu atau kelompok untuk tetap membuka mata dan telinga terhadap dunia di sekitarnya. Ini mengajarkan bahwa kehidupan yang bijaksana adalah kehidupan yang penuh dengan kesadaran, kepekaan, dan perhatian terhadap orang lain serta lingkungan.
Pada kehidupan sehari-hari saja kita tidak boleh berperilaku seperti itu, apalagi dalam mengelola negara yang sangat pluralis seperti ini, tentu kemampuan menangkap aspirasi dan pendapat dari elemen bangsa harus menjadi skala prioritas. Apalagi berkaitan dengan nasib bangsa dan negara, tentu kepekaan “rasa dan karsa” sebagai individu yang diberi amanah untuk berada pada “selangkah di depan, seranting di atas” amat diperlukan.
Atas dasar parameter di atas, tinggal kita melakukan evaluasi sekaligus penilaian sedang bagaimana negeri ini sekarang. Jadi jangan salahkan generasi “Z” dan generasi “Alpha” saat ini menyalurkan ketidaksukaan akan kondisi yang selalu memaksakan kehendak hanya untuk kepentingan sepihak. Mereka sangat menguasai teknologi, bahkan mereka adalah generasi yang sangat diuntungkan oleh teknologi. Oleh karena itu, reaksi mereka dapat menggemparkan seantero negeri hanya cukup dengan bermodal ujung jari. Salam waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Teknik Universitas Malahayati Gelar Yudisium ke-36
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Teknik Universitas Malahayati Bandar Lampung menggelar Yudisium ke-36, di Gedung Malahayati Career Center (MCC), Jumat, 23 Agustus 2024. Sebanyak 11 lulusan dari berbagai program studi di Fakultas Teknik telah resmi dinyatakan lulus dalam acara yang dihadiri para dosen dan undangan lainnya.
Plt. Wakil Rektor I, Dr. Eng Rina Febrina, ST., M.T., dalam sambutannya mengucapkan selamat kepada para lulusan. “Kalian hari ini telah dinyatakan lulus dan meraih gelar Sarjana Teknik, namun ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan kalian. Jaga nama baik almamater Universitas, dan implementasikan visi misi program studi yang selama ini sudah kalian pelajari,” pesannya.
Ia juga menambahkan bahwa pendidikan berbasis Keluaran (Outcome Based) yang diterapkan di Universitas Malahayati telah membawa banyak perubahan dalam kurikulum yang mendukung pengembangan akademik dan keahlian para mahasiswa.
Dr. Eng Rina mengingatkan para lulusan untuk terus membangun dan menjalin komunikasi dengan para alumni. “Jika nanti kalian sudah menjadi orang hebat dan sukses, jangan melupakan junior-seniornya. Beri juga peluang kepada mereka yang memiliki semangat tinggi,” ucapnya.
Dekan Fakultas Teknik, Dr. Weka Indra Dharmawan, ST., MT., menyampaikan bahwa kelulusan para mahasiswa adalah sebuah pencapaian besar, namun ia menekankan bahwa tantangan sebenarnya justru dimulai setelah mereka lulus.
“Alhamdulillah, dengan lulusnya kuliah ini, satu beban di pundak kalian telah berakhir. Namun, belajar yang sebenarnya itu adalah di lapangan, sementara di kampus hanya teori pendukung,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya para lulusan untuk dapat mengimplementasikan visi dan misi masing-masing program studi, karena hal tersebut akan menjadi indikator kesuksesan mereka di masa depan.
Jihan Shabrina, perwakilan lulusan dari Program Studi Teknik Lingkungan, dalam sambutannya mengucapkan terima kasih kepada para dosen yang telah dengan sabar dan tulus membimbing mereka selama menempuh pendidikan.
“Ini adalah momentum berharga dimana setiap langkah dan perjuangan semasa kuliah telah sampai ke pintu gerbang keberhasilan. Setelah ini, kita tidak hanya wajib untuk menjadi sukses tetapi juga harus membuat perbedaan dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara,” ujarnya. (*)
Editor: Asyihin
Mesin Pintar yang tidak Pintar
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Minggu lalu redaktur dan penulis dari rekan media dibuat bingung sebab tulisan yang diunggah ternyata tidak mucul penuh, yang hadir di laman pembaca hanya judul, sementara isinya tidak tampak sama sekali. Tentu saja hal ini membuat seribu tanya bagi kami yang bergerak di media online.
Satu persatu kami telusuri, dari langkah awal sampai dengan akhir, serta uji coba dengan berita lain, ternyata semua baik-baik saja. Hipotesis kami ajukan bagaimana jika judul tulisan ditambah dengan diksi lain tanpa mengubah makna, walaupun sebenarnya itu sudah ada penjelasan pada alineia kedua batang tubuh tulisan. Betul saja setelah diberi penambahan diksi yang tidak mengubah makna, baru tulisan bisa ditampilkan penuh oleh mesin pintar.
Peristiwa ini membuat kami semua tertawa terbahak-bahak; ternyata mesin pintar itu tetap buatan manusia dan memiliki keterbatasan. Manakala aspek rasa dan budaya dilambangkan dengan diksi, maka mesin tidak mampu melakukan diteksi, akhirnya mesin memfonis kategori yang tidak bisa tampil.
Hal serupa dialami oleh teman sejawat saat menghadiri undangan pernikahan dirumah seorang sahabat. Beliau mencoba menggunakan media pintar menditeksi jalan dan tempat. Ternyata beliau disesatkan ketempat yang jauh memutar. Padahal lokasi yang dituju itu ditepi jalan utama kota ini, setelah dicek semua benar, dan beliau menyimpulkan mesin ini justru menjadi mesin penyesat.
Seiring dengan itu ada peristiwa pengabulan permohonan kepada lembaga tertinggi dinegeri ini yang mengadili peraturan perundangan. Ternyata keputusannya “dianggap” tidak sejalan dengan keinginan dari penguasa negeri ini. Saat tulisan ini dibuat, ada upaya dari para penguasa negeri untuk membuat “mesin sosial” tandingan. Tentu saja mesin sosial ini tampak menjadi “mesin bodoh”, karena untuk mereka berlaku “penidakan” sementara untuk orang lain “pengharusan”.
Hal ini membuat para cerdik pandai negeri ini merasa terpanggil untuk menyelamatkan negeri dari “keserakahan kekuasaan” dari segelintir orang. Mereka bahu-membahu melakukan penggalangan agar supaya semua kita menyadari bahwa sedang berlangsung “perampokan sosial” demi melangengkan kekuasan .
Ternyata mesin pintar yang tidak pintar sedang meraung dinegeri ini, mengejar tenggat waktu yang tinggal hitungan minggu, mereka mengeluarkan tenaga sekuat-kuatnya, dan dilakukan dengan cara apa saja; agar kemamuan mereka dapat terwujud, mengatur negeri seolah milik sendiri. Mereka lupa bahwa di sana ada Tuhan yang mengawasi dan siap menghakimi kita mahluknya. Mesin pintar bisa mereka akali untuk mengikuti kemauannya, namun mereka lupa ada kodrat disetiap tangan mahlukNYA.
Sistem algoritma ini memungkinkan mesin pintar untuk bekerja di berbagai bidang, mulai dari analisis data, pengambilan keputusan otomatis, hingga pemrosesan informasi kompleks dalam waktu nyata. Pemilihan algoritma tergantung pada jenis tugas yang harus diselesaikan dan karakteristik data yang digunakan. Termasuk mengutakatik hasil pemilihan apapun, karena dengan cara ini seolah-olah kecurangan menjadi kebenaran. Namun jangan lupa mesin, tetap mesin yang tidak punya rasa; oleh karena itu jangan kaget kalau yang dihasilkannya menjadi mati rasa. Akibatnya semua mau diakali termasuk undang-undangpun akan dikerjain, dianggap semua orang sudah buta rasa.
Peristiwa di atas seyogyanya menyadarkan kita bahwa sepintar apapun kita, bahkan mesin pintarpun dapat kita buat; namun itu tidak berarti apa-apa. Ilmu pengetahuan ditugaskan salah satunya adalah “mencari kesalahan dari tumpukkan kebenaran, dan mencari kebenaran dari tumpukan kesalahan”; karena tidak ada kebenaran dan kesalahan sempurna di muka bumi ini. Manusia hanya menjalankan kodrat dari apa yang telah ditetapkan sebelum dirinya lahir didunia ini. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Dukungan itu Bernama Gombal
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Tulisan ini terinspirasi oleh penarikan dukungan dari dua kelompok “agak besar” terhadap satu calon pimpinan daerah “bekas” ibu kota negara; karena alasan yang “katanya” sulit diungkapkan. Dengan waktu hampir bersamaan, karena sesuatu “hil yang mustahal” mereka bersamaan menarik dukungan. Terlepas apa pun alasannya, tulisan ini tidak punya kepentingan apapun atas peristiwa itu. Hanya sebagai “penonton drama sosial” di negeri ini, menjadi tertawa sendiri melihat “penggombalan” yang dilakukan oleh kedua organisasi besar tadi.
Sebelum lebih jauh membahas apakah itu “gombal” dimaksud, maka dilakukan terlebih dahulu penelusuran maknanya. Dalam bahasa Jawa, kata “gombal” memiliki beberapa makna tergantung pada konteksnya. Secara harfiah, “gombal” bisa berarti kain perca atau kain bekas yang sudah tidak terpakai. Namun, dalam konteks sehari-hari, kata “gombal” juga sering digunakan secara kiasan untuk menggambarkan ucapan yang tidak tulus atau berlebihan, mirip dengan rayuan yang tidak serius atau basa-basi yang hanya untuk menyenangkan hati seseorang. Misalnya, jika seseorang dianggap terlalu banyak berbicara manis tetapi tidak benar-benar serius, mereka mungkin disebut “tukang gombal.”
Filsafat “gombal” adalah konsep yang sering kali digunakan secara kiasan untuk menggambarkan pandangan atau pemikiran yang terdengar mendalam atau filosofis, tetapi sebenarnya dangkal, tidak tulus, atau hanya berisi kata-kata indah tanpa makna yang nyata. Istilah ini menggabungkan gagasan filsafat, yang secara tradisional melibatkan pemikiran kritis dan mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental kehidupan, dengan kata “gombal,” yang berarti sesuatu yang kosong, basa-basi, atau tidak serius.
Konsep filsafat gombal dapat mencakup beberapa hal berikut: Pertama, Retorika yang Keren, tapi Dangkal: Orang yang berfilsafat gombal mungkin menggunakan bahasa yang indah, retorika yang rumit, atau kutipan dari filsuf terkenal untuk memberikan kesan mendalam, tetapi tanpa landasan logis yang kuat atau tanpa maksud yang sungguh-sungguh.
Kedua, Rayuan Filosofis: Dalam konteks sosial, filsafat gombal bisa berarti menggunakan argumen filosofis atau pemikiran yang tampaknya serius sebagai cara untuk merayu atau memikat orang lain, tetapi tanpa maksud yang tulus atau komitmen yang mendalam.
Ketiga, Basa-Basi Intelektual: Filsafat gombal juga dapat merujuk pada percakapan atau diskusi intelektual yang hanya dilakukan untuk pamer atau untuk menunjukkan pengetahuan seseorang, tanpa niat untuk benar-benar mengeksplorasi atau memahami isu-isu yang dibahas.
Keempat, Kritik Sosial: Dalam beberapa kasus, konsep ini juga digunakan untuk mengkritik pemikiran atau gagasan yang dipandang tidak autentik, hanya mengikuti tren, atau hanya memanfaatkan istilah-istilah filosofis tanpa pemahaman yang mendalam.
Secara keseluruhan, filsafat gombal adalah semacam sindiran terhadap pemikiran atau ucapan yang terlihat pintar atau berbobot, tetapi sebenarnya tidak memiliki kedalaman atau keseriusan. Dan, inilah yang sangat membahayakan bagi mereka yang terkena gombalan, sehingga bagi mereka yang memiliki jiwa rapuh bisa-bisa mengalami “cidra psikhis”.
Akhir-akhir tampaknya negeri ini sedang dilanda sikap “saling gombal-i”; baik dari level atas, sampai paling bawah. Saling gombal ini diiringi dengan sikap “seolah-olah tidak tapi..Ya..” atau sebaliknya “seolah-olah ya padahal tidak”. Oleh sebab itu, bagi banyak orang ini disikapi sebagai kelompok tanpa pendirian; padahal sebenarnya mereka itu memang tidak berpendirian jika dirinya tidak ada didalamnya, atau tidak terpenuhi kepentingannya. Namun, jika ada, maka mereka akan berbuat apa saja sampai labidonya tersalurkan.
Politik gombal dapat memiliki berbagai akibat negatif bagi masyarakat dan sistem politik secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa dampak yang bisa timbul akibat politik gombal:
Pertama, Kehilangan Kepercayaan Masyarakat: Janji-janji yang tidak terpenuhi dan retorika yang tidak diikuti dengan tindakan nyata dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap politisi dan lembaga pemerintahan. Ini bisa menyebabkan apatisme politik di kalangan masyarakat bawah.
Kedua, Penurunan Partisipasi Politik: Masyarakat yang merasa dikecewakan oleh politik gombal cenderung menjadi kurang tertarik untuk terlibat dalam proses politik, seperti pemilu atau partisipasi dalam kegiatan politik lainnya. Banyak pihak memprediksi pada pemilukada yang akan datang sikap apatisme politik akan meningkat; ini bentuk kekecewaan terhadap penyelenggara negara.
Ketiga, Kebijakan yang Tidak Efektif: Politik gombal sering kali menghasilkan kebijakan yang bersifat populis dan tidak berdasarkan pada analisis yang mendalam. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak efektif dalam menyelesaikan masalah yang ada dan hanya menjadi upaya untuk mencari popularitas semata.
Keempat, Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Ketika politisi lebih fokus pada retorika daripada tindakan nyata, ini bisa menjadi celah untuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka mungkin mengalihkan perhatian dari tindakan-tindakan yang tidak etis dengan janji-janji besar yang tidak pernah terealisasi.
Kelima, Penurunan Kualitas Demokrasi: Jika politik gombal menjadi budaya yang meluas, kualitas demokrasi bisa menurun karena proses politik lebih banyak diwarnai oleh manipulasi dan pencitraan daripada substansi dan kebijakan yang baik.
Ternyata gombal-menggombal itu seolah-olah dilanggengkan dalam dunia perpolitikan saat ini, justru yang kasihan adalah rakyat yang semakin hari didorong untuk tidak memiliki pilihan. Memilih untuk tidak memilih seolah terkondisikan, sehingga penyelenggara negara tidak merasa bersalah. Sebab, rakyatlah yang memilih, sementara jatuhnya pemilihan di tangan rakyat dengan berada pada posisi tidak memilih adalah sesuatu yang memang dikondisikan jauh-jauh hari.
Soal gombal-menggombal ini ternyata juga menular kedaerah lain; sebagai contoh dikota ini beberapa waktu lalu seorang mantan kepala dinas dengan yakin betul mendapat rekomendasi dari salah satu partai untuk maju menjadi kepala daerah. Dengan gagah berani yang bersangkutan melaukan deklarasi; saat pelaksanaan molor sampai dua jam, dan ternyata hanya mendapat rekomendasi saja, itupun oleh sekretaris. Wal hasil hari ini yang bersangkutan-pun harus menerima kenyataan bahwa dirinya hanya “digombali”.
Ada lagi pimpinan partai politik besar yang sudah dibesarkan oleh dirinya, maksud hati ikut kontestasi pilkada dan berharap dapat dukungan dari ketua umum. Begitu hari “H” ternyata dukungan justru diberikan kepada rival politiknya, tentu dengan alasan yang dibuat “rasional”. Pupus sudah harapan dan entah apa yang ada di benak beliau, dibela-belain lompat partai, ternyata partainya sendiri menjadi “pembunuhnya”. Kasihan memang, tetapi “itulah politik bung” tidak ada teman abadi yang ada kepentingan abadi. Sementara salah satu metoda dari cara melanggengkannya dengan “pengkadalan”.
Tampaknya cerita belum tamat. Babak baru dimulai lagi dengan penetapan yang membangkitkan harapan baru untuk mereka yang ditinggalkan. Lembaga yang berwenang mengadili suatu aturan memutuskan lain. Keputusan itu justru membuyarkan skenario yang ada dan selama ini dipakai. Walaupun pada menit-menit terakhir namun tampaknya Tuhan berkehendakl lain, apakah itu mempercepat kesengsaraan atau menunjukkan jalan penyelesaian. Mari kita tunggu skenario langit dalam mengatur jagat raya dan isinya. Tuhan tidak akan menggombali makhluknya. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
19 Lulusan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati Ikuti Yudisium ke-36
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 19 lulusan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati Bandar Lampung mengikuti Yudisium angkatan ke-36 di Malahayati Career Center (MCC), Kamis, 22 Agustus 2024.
Para lulusan terdiri dari 5 orang Program Studi Manajemen, 12 orang Program Studi S1 Akuntansi, dan 2 orang Program Studi S2 Akuntansi.
Acara bertema “Alumni Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati, Agen Perubahan, Membawa Kebanggaan, dan Menginspirasi Negeri”.
Plt. Wakil Rektor I, Dr. Eng Rina Febrina, ST., M.T., dalam sambutannya mengucapkan selamat kepada para lulusan yang mengikuti yudisium tersebut.
“Ini bukanlah akhir, tapi adalah langkah langkah kalian menuju kehidupan berikutnya,” katanya.
Eng Rina meyakini bahwa para lulusan yang hadir hari ini akan menjadi orang sukses di masa yang akan datang.
Dirinya juga menekankan pentingnya menjaga nama baik almamater dan tetap menjalin komunikasi dengan sesama alumni.
“Fakultas ini telah banyak menghasilkan prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Semoga ke depan, prestasi-prestasi ini semakin bertambah dengan adanya generasi baru,” tambahnya.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Dr. Rahyono, S.Sos., M.M., juga menyampaikan bahwa yudisium ini merupakan awal dari perjuangan para lulusan di tengah-tengah masyarakat.
“Hari ini adalah momentum yang dinanti-nantikan oleh para mahasiswa, yaitu menyelesaikan pendidikan. Kami berharap, di tengah masyarakat nanti, kalian tetap menjaga nama baik almamater Universitas Malahayati Bandar Lampung,” pesannya.
Acara tersebut berlangsung dengan khidmat, dihadiri kepala prodi dan dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati. (*)
Editor: Asyihin
BPJS Ketenagakerjaan Sosialisasi Manfaat Kepesertaan bagi Dosen dan Karyawan di Universitas Malahayati Bandar Lampung
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): BPJS Ketenagakerjaan mengadakan sosialisasi tentang manfaat kepesertaan bagi dosen dan karyawan di Gedung Rektorat Universitas Malahayati Bandar Lampung, Rabu, 21 Agustus 2024.
Plt Wakil Rektor 1 Dr. Eng Rina Febrina, ST., M.T., saat membuka acara mengatakan, sangat menyambut baik kegiatan sosialisasi ini karena BPJS Ketenagakerjaan adalah organisasi pemerintah yang bertanggung jawab atas program jaminan sosial di Indonesia.
“Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa semua dosen dan karyawan memiliki akses ke manfaat yang mereka butuhkan. Ini merupakan hak dasar bagi tenaga kerja yang semestinya diberikan oleh pemberi kerja,” kata Dr. Eng Rina Febrina.
Menurutnya, menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan untuk menjamin kesejahteraan pekerja dan keluarganya ketika terjadi hal-hal yang tidak terduga, seperti kecelakaan kerja, kematian, atau dalam usia tidak produktif lagi untuk bekerja.
“Kami berharap dengan adanya sosialisasi dari tim BPJS Ketenagakerjaan dapat memberikan informasi-informasi yang tentunya sangat berguna tentang program-program BPJS Ketenagakerjaan dan manfaat yang ditawarkan kepada para dosen dan karyawan,” tambahnya.(*)
Editor: Asyihin
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Gelar Yudisium, Dorong Lulusan Jadi Lawtechnopreneur
Bandar Lampung (malahayati.ac.id) : Fakultas Hukum Universitas Malahayati Bandar Lampung menggelar Yudisium Program Studi S1 Ilmu Hukum di Gedung Pascasarjana Universitas Malahayati, Rabu, 21 Agustus 2024.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH, MH, dalam sambutannya menyampaikan bahwa lulusan Fakultas Hukum kini memiliki peluang yang luas tidak hanya sebagai akademisi, advokat, atau profesi lain di bidang hukum, tetapi juga dapat meraih kesuksesan di dunia usaha. Ia mendorong para lulusan untuk optimis terhadap masa depan mereka, karena gelar sarjana hukum membuka berbagai peluang karier.
“Lulusan Sarjana Hukum harus mampu menjadi Lawtechnopreneur, di mana mereka memiliki pemahaman mendalam tentang hukum serta kemampuan untuk memanfaatkan teknologi dalam mengembangkan bisnis,” ungkap Aditia.
Aditia berharap lulusan Fakultas Hukum Universitas Malahayati dapat berperan dalam menciptakan dan mengelola bisnis di bidang teknologi, serta siap menghadapi tantangan hukum yang menyertainya.
“Banyak dosen kita yang selain akademisi juga seorang pengusaha, ada yang bergerak di bidang pariwisata, properti hingga hasil perkebunan seperti kopi. Oleh karena itu, bidang entrepreneur merupakan pilihan potensial yang bisa para lulusan geluti,” tambahnya.
Selain itu, Aditia menekankan upaya Fakultas Hukum dalam meningkatkan kapasitas pendidikan dosennya hingga ke jenjang doktor. Saat ini, Fakultas Hukum baru memiliki satu dosen bergelar doktor, namun pada tahun 2026, diharapkan jumlah tersebut akan bertambah sehingga memungkinkan Fakultas Hukum untuk membuka Program S2 Hukum.
“Syarat membuka prodi S2 Hukum adalah memiliki lima dosen bergelar doktor. Pada tahun 2026, jika tidak ada kendala, Fakultas akan menambah empat doktor lagi, sehingga ke depan bisa membuka prodi S2 Hukum,” jelasnya.
Menutup sambutannya, Aditia juga mengingatkan para lulusan untuk selalu menghormati dan menghargai jasa orang tua yang telah mendukung mereka hingga meraih gelar sarjana.
Sementara itu, Kepala Program Studi S1 Ilmu Hukum, Rissa Afni Martinouva, SH, MH, berpesan kepada para lulusan untuk menjaga nama baik almamater Universitas Malahayati dan terus menjalankan ibadah dengan baik.
“Jangan melupakan semua pendidikan yang diperoleh di Universitas Malahayati dan terus meningkatkan kemampuan sebagai lulusan prodi ilmu hukum sesuai slogan kita, yakni menjadi lulusan Lawtechnopreneur,” pungkasnya. (*)
Editor: Asyihin
Kemerdekaan dan Perubahan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa saat gema perayaan ulang tahun kemerdekaan sayup-sayup mulai menjauh. Hampir semua kita kemarin larut didalamnya bersukacita untuk menyambut setiap tahun. Namun kali ini ada yang berbeda dari perayaan-perayaan sebelumnya, baik secara nasional maupun lokal. Secara nasional perayaan dipusatkan di Ibu Kota Negara yang baru; sementara yang lokal dipusatkan di Kota Baru yang sudah lama.
Perubahan adalah keniscayaan, itu kata para sosiolog; bahkan Selo Sumardjan bapak sosiologi Indonesia mengatakan “tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan”. Namun esensi perubahan-lah yang membedakan antarperubahan itu terjadi. Hampir semua kita paham betul bahwa kemerdekaan yang membawa perubahan di negeri ini, tidak diperoleh dengan cuma-cuma; tetapi dengan perjuangan berdarah-darah dari para pendiri negeri ini dengan durasi waktu yang sangat panjang dan lama.
Berdasarkan penelusuran digital kata “merdeka” itu memiliki tautan sejarah panjang, diantaranya informasi tersebut adalah: secara umum, kata ini berasal dari bahasa Sanskerta “mahārdhika,” yang berarti “makmur” atau “kaya.” Namun, dalam konteks bahasa Melayu dan Indonesia, makna kata ini berkembang menjadi “bebas” atau “independen.”
Kata “merdeka” sudah digunakan dalam literatur melayu klasik sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Pada masa itu, kata ini lebih merujuk pada status seseorang yang bebas dari perbudakan atau penjajahan. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kebebasan pribadi dan tidak terikat oleh tuan atau majikan.
Perkembangan makna selanjutnya pada era kolonialisme: selama era ini disebut juga masa penjajahan oleh kekuatan Eropa di Asia Tenggara, kata “merdeka” mulai memperoleh makna politik yang lebih luas. Kata ini kemudian menjadi simbol perjuangan melawan penjajahan dan kekuasaan asing. Di Indonesia, kata “merdeka” menjadi sangat identik dengan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan kemudian Jepang.
Pada era Proklamasi Kemerdekaan: Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno, presiden pertama Indonesia, mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam proklamasi tersebut, kata “merdeka” menjadi simbol utama kebebasan dan kedaulatan negara Indonesia yang baru merdeka. Setelah proklamasi, kata ini menjadi bagian dari identitas nasional Indonesia.
Pada era kontemporer saat ini, kata “merdeka” tidak hanya merujuk pada kemerdekaan politik, tetapi juga sering digunakan dalam konteks kebebasan individu, hak asasi manusia, dan ekspresi kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan. Kata ini juga sering muncul dalam semboyan dan slogan, seperti “Merdeka atau Mati!” yang digunakan selama perjuangan kemerdekaan.
Kata “merdeka” memiliki makna yang mendalam dan penuh dengan perjuangan, serta menjadi simbol penting dalam sejarah dan identitas bangsa Indonesia.
Perubahan adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan selalu terjadi dalam kehidupan, baik dalam konteks individu, sosial, ekonomi, maupun budaya. Hakekat perubahan melibatkan proses transformasi dari keadaan atau kondisi yang lama ke kondisi yang baru.
Perubahan dapat terjadi secara involusi (sangat lambat sekali tetapi terus dan berkelanjutan), evolusioner (bertahap) atau revolusioner (cepat dan signifikan). Beberapa aspek penting dari hakekat perubahan meliputi: Pertama, Konstansi Perubahan: Perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Tidak ada yang tetap, segala sesuatu selalu bergerak dan berubah.
Kedua, Perubahan Sosial: Dalam konteks sosial, perubahan sering kali terjadi karena pengaruh berbagai faktor seperti teknologi, politik, ekonomi, dan budaya. Perubahan sosial bisa mencakup perubahan dalam pola pikir, nilai-nilai, kebiasaan, dan struktur sosial.
Ketiga, Adaptasi dan Inovasi: Perubahan menuntut adaptasi dan inovasi. Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan sering kali menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan yang muncul.
Keempat, Perubahan sebagai Kesempatan: Perubahan sering kali dipandang sebagai peluang untuk memperbaiki atau mengembangkan hal-hal baru. Ini bisa melibatkan inovasi dalam produk, layanan, atau cara berpikir.
Sedangkan hakekat kemerdekaan: adalah kondisi bebas dari kontrol, dominasi, atau penindasan oleh pihak lain. Hakekat kemerdekaan sering kali dikaitkan dengan kebebasan individu, politik, dan sosial. Beberapa aspek penting dari hakekat kemerdekaan meliputi: Pertama, Kebebasan untuk Memilih: Kemerdekaan memberikan individu atau bangsa kebebasan untuk membuat keputusan dan pilihan sendiri tanpa paksaan dari pihak luar.
Kedua, Kedaulatan: Dalam konteks negara, kemerdekaan berarti memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur urusan dalam negeri dan luar negeri tanpa campur tangan asing.
Ketiga, Hak Asasi Manusia: Kemerdekaan juga terkait erat dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Setiap individu memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan tanpa diskriminasi atau penindasan.
Keempat, Tanggung Jawab: Kemerdekaan membawa tanggung jawab. Baik individu maupun negara yang merdeka harus bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan mereka.
Kelima, Kemerdekaan Spiritual dan Mental: Selain kemerdekaan fisik dan politik, ada juga kemerdekaan spiritual dan mental, yaitu kebebasan dari belenggu pemikiran atau perasaan yang menghambat perkembangan diri.
Secara keseluruhan, perubahan dan kemerdekaan adalah dua konsep yang saling terkait. Perubahan sering kali diperlukan untuk mencapai atau mempertahankan kemerdekaan, dan kemerdekaan memberikan ruang bagi perubahan untuk terjadi. Keduanya seolah dua sisi mata uang yang satu sama lain saling meneguhkan; oleh sebab itu jika ada perubahan itu adalah konsekwensi dari adanya kemerdekaan, dan kemerdekaan akan menjadi begitu bermakna manakala ada perubahan didalamnya.
Oleh sebab itu, mari kita isi hari-hari mendatang negeri ini dengan berfikir positif terhadap perubahan apapun yang terjadi dinegeri ini. Sebab, kita tidak mungkin akan menghentikan perubahan, tinggal pertanyaan tersisa “andil” apa yang kita dapat berikan kepada negeri ini, sehingga keberlanjutan dan kelestariannya akan terjamin sampai kapan-pun. Sekalipun itu tidak mudah karena dalam perjalanannya negeri ini justru sering dirusak oleh anak negerinya sendiri yang gelap mata akan kekuasaan dan kemaruk harta.
Kursi disusun untuk anak dan istri, korupsi dipelihara untuk dijadikan penjara. Nepotism dipertontonkan bagai artis, orang jujur dibuat hancur, orang culas dibuat waras. Semua seolah berjalan tanpa batas. Namun, Ibu kota boleh berpindah, ideology tidak boleh berubah. Presiden boleh berganti, namun negeri ini tetap harus berdiri. Benar apa yang dipesankan oleh salah seorang presiden negara terbesar dunia yang berkata: “jangan bertanya apa yang akan kau dapatkan dari negeri ini, tetapi bertanyalah apa yang sudah dan akan kau berikan kepada negeri ini”. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Revani Junia Tari Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih Medali Emas dan Perak Ajang Indonesian Student Science Competition (ISSC)
Revani juga Meraih Medali Perak Bidang Bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh @puskanas di Yogyakarta, 16 Juli 2024.
Indonesian Student Science Competition (ISSC) 2024 adalah sebuah kompetisi ilmiah untuk siswa dan mahasiswa yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Sains (Puskanas) di Yogyakarta. Kompetisi ini mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk sains, teknologi, teknik, bahasa, dan matematika.
Tujuan dari ISSC adalah untuk mendorong minat dan kemampuan siswa dan mahasiswa dalam bidang sains dan teknologi, serta untuk menyediakan platform bagi siswa untuk menunjukkan hasil penelitian dan proyek ilmiah mereka. Kompetisi ini juga bertujuan untuk menjalin jaringan antara siswa, pendidik, dan praktisi sains dari berbagai daerah.
Revani ucapkan rasa syukur dan bangga atas prestasi yang ia raih ini. “Alhamdulilah sangat bersyukur dapat memperoleh Medali Emas dan Medali Perak dalam ajang ini,” ucapnya.
“Saya juga berterimasih kepada orang tua, diri saya sendiri, prodi dan Universitas Malahayati yang telah mensupport saya sejauh ini,” tambahnya.
Revani mengungkapkan alasannya mengikuti ajang ini adalah untuk meningkatkan prestasi akademik dirinya dan dapat mengembangkan minat dan bakat yang ada pada dirinya. Ia juga beralasan bahwa ingin terus berkembang dan bergerak lebih maju serta memberikan yang terbaik buat kampus tercinta Universitas Malahayati.
Lanjutnya, ia berharap kedepannya ia bisa terus meningkatkan skill dan kemampuan yang dimiliki dan dapat membuat keluarga, prodi dan kampus bangga dengan apa yang telah ia raih. “Semoga untuk tahun kedepannya semakin banyak lomba yang akan saya ikuti dan semakin banyak prestasi yang saya ukir,” tandasnya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Tidak Penuh
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu mendapat kiriman berita dari sohib disatu kabupaten, yang menunjukkan berita dengan gambar ada satu lembaga pendidikan justru diruang pimpinan lembaga negara itu tertera nama seseorang penasehat hukum swasta. Tentu saja hal ini memancing urat geli sekaligus konyol; mana ada lembaga negara bertindak atas nama negara yang memiliki petugas hukum negara (kejaksaan), justru memasang nama penasehat hukum swasta. Kiriman yang disertai komen dan pertanyaan itu mengingatkan satu istilah dalam bahasa jawa kata “Koplak”.; walaupun kata itu tidak tepat benar, karena diksi itu seolah konyol tetapi sebenarnya itu merupakan gambaran ketidakpahaman diri akan persoalan.
Sebelum lebih jauh kita memahami istilah itu, kita telusuri terlebih dahulu maknawinya. Dalam bahasa Jawa, istilah “koplak” sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berperilaku konyol, lucu, atau bodoh dalam konteks yang tidak serius. Kata ini biasanya digunakan dalam situasi santai atau bercanda, dan meskipun mengandung unsur ejekan, penggunaannya lebih bersifat ringan atau untuk menegur atas kesalahan teman dengan cara yang tidak menyakitkan. Misalnya, jika seseorang melakukan sesuatu yang aneh atau lucu, teman-temannya mungkin menyebutnya “koplak” sebagai bentuk candaan.
Namun akhir-akhir ini kita sering menemukan “gaya kepemimpinan koplak” ini: yaitu, menggambarkan pendekatan kepemimpinan yang cenderung tidak konvensional, konyol, dan kadang-kadang dianggap tidak serius. Meskipun gaya ini mungkin tampak tidak efektif, namun ada kalanya situasi di mana pemimpin dengan pendekatan seperti ini bisa membawa dampak positif, terutama dalam konteks yang membutuhkan fleksibilitas, humor, atau suasana kerja yang santai. Berikut adalah beberapa karakteristik gaya kepemimpinan “koplak”:
1. Santai dan Tidak Formal
Pemimpin dengan gaya “koplak” biasanya tidak kaku dan lebih santai dalam berinteraksi dengan tim. Mereka mungkin tidak terlalu peduli dengan formalitas dan cenderung mengutamakan suasana yang nyaman dan penuh canda. Dalam beberapa kasus, ini bisa membantu mengurangi stres dan membuat tim merasa lebih dekat dengan pemimpin mereka.
2. Menggunakan Humor sebagai Alat
Gaya kepemimpinan “koplak” sering kali menggunakan humor sebagai alat utama dalam memimpin. Pemimpin ini mungkin sering bercanda, membuat lelucon, atau bersikap konyol untuk mencairkan suasana. Humor ini bisa membantu membangun hubungan yang baik dengan tim, tetapi jika tidak digunakan dengan bijak, bisa mengurangi rasa hormat atau profesionalisme.
3. Keputusan yang Tidak Konvensional
Pemimpin “koplak” mungkin membuat keputusan yang tampak aneh atau tidak biasa bagi orang lain. Mereka mungkin cenderung mengambil risiko, mencoba pendekatan baru, atau melakukan hal-hal yang tidak lazim dalam situasi tertentu. Pendekatan ini bisa membawa inovasi, tetapi juga bisa berisiko jika tidak disertai dengan pertimbangan yang matang. Contoh kasus pimpinan lembaga yang dikirim oleh teman di atas, termasuk kategori ini.
4. Fleksibel dan Tidak Kaku
Fleksibilitas adalah salah satu kekuatan dari pemimpin dengan gaya ini. Mereka mungkin tidak terlalu terikat pada aturan atau prosedur yang ketat, dan lebih memilih menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Ini bisa sangat berguna dalam lingkungan yang cepat berubah, tetapi bisa menjadi masalah jika tim membutuhkan arahan yang jelas.
5. Cenderung Kurang Disiplin
Salah satu kelemahan utama dari gaya kepemimpinan “koplak” adalah kurangnya disiplin. Pemimpin ini mungkin kesulitan menetapkan batasan, tenggat waktu, atau standar yang jelas. Mereka bisa dianggap tidak serius oleh tim, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi kinerja dan tingkat produktivitas.
6. Mengutamakan Hubungan Sosial
Pemimpin “koplak” sering kali lebih fokus pada membangun hubungan sosial yang baik dengan tim daripada memastikan bahwa semua tugas selesai dengan sempurna. Mereka mungkin lebih memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan tim daripada kinerja atau hasil akhir.
7. Mampu Menciptakan Suasana Kerja yang Nyaman
Meskipun gaya ini memiliki kelemahan, salah satu kelebihannya adalah kemampuan untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman dan tidak tegang. Tim yang dipimpin oleh pemimpin “koplak” mungkin merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri dan tidak takut membuat kesalahan.
Kapan Gaya Kepemimpinan “Koplak” Bisa Efektif ?. Dalam Lingkungan Kreatif: Gaya kepemimpinan ini bisa sangat efektif dalam industri kreatif di mana inovasi dan pemikiran out-of-the-box sangat dihargai, terutama dalam situasi: Pertama, Menghadapi Tekanan: Ketika tim menghadapi tekanan yang besar, humor dan suasana yang santai dari pemimpin “koplak” bisa membantu meredakan stres. Kedua, Memperbaiki Hubungan Tim: Jika tim mengalami masalah dalam hal dinamika kelompok atau ada ketegangan internal, pemimpin dengan gaya ini bisa membantu memperbaiki hubungan melalui pendekatan yang lebih ringan dan sosial.
Risiko Gaya Kepemimpinan “Koplak” adalah: Pertama, Kurangnya Kredibilitas: Jika humor dan ketidakseriusan terlalu sering ditonjolkan, pemimpin bisa kehilangan kredibilitas di mata tim, bahkan bisa kehilangan kewibawaan.
Kedua, Ketidakjelasan Arah: Tanpa arahan yang jelas dan disiplin yang memadai, tim bisa merasa bingung tentang apa yang sebenarnya diharapkan dari mereka. Ketiga, Efisiensi yang Terganggu: Gaya ini bisa mengganggu efisiensi kerja jika terlalu banyak waktu dihabiskan untuk hal-hal yang tidak produktif.
Secara keseluruhan, gaya kepemimpinan “koplak” bisa efektif dalam situasi tertentu, terutama ketika keseimbangan antara kerja keras dan suasana yang menyenangkan diperlukan. Namun, penting bagi pemimpin dengan gaya ini untuk tetap menjaga keseimbangan antara humor dan keseriusan agar tujuan organisasi tetap tercapai. Menjadi persoalan manakala kekoplakan itu terjadi karena kebodohan sipemimpin sendiri dalam memformulasikan persoalan dalam tugas yang dia hadapi. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman