Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menyimak tulisan HBM di media ini beberapa saat lalu, pertama saya ucapkan selamat ulang tahun, walau agak terlambat; kedua bagaimana HBM menganalisis peluang bakal terjadinya “lawan kotak kosong” pada Pilgub Lampung 2024 yang begitu tajam lewat opini Calon Tunggal vs Oligarki Pilgub Lampung.
Namun, ada sisi-sisi lain yang akan dilengkapi oleh tulisan ini, mengingat “suasana” atau “atmosfir” pemilihan kali ini agak sedikit berbeda dibandingkan dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya.
Perbedaan atmosfir ini tampaknya sedikit banyak akan berpengaruh kepada “perilaku” pemilih dipandang dari kacamata sosiologis, terutama aspek perilaku sosial dengan pisau analisis fenomenologis.
AYAM SAYUR
Pertama, pemilihan kali ini agaknya tidak ada “penyandang dana” seperti pemilihan sebelumnya yang jor-joran menggelontorkan dana untuk mendukung calonnya.
Tentu, konsekuensinya, nafas dari para calon agak terengah-engah. Namun, untuk jangka panjang, terasa mulai ada udara segar yang akan menyehatkan demokrasi daerah ini.
Persoalannya sekarang, siapapun pemenangnya kelak harus berani adu “nyali” berhadapan dengan gajah-gajah yang selama ini kemungkinan bimsalabim denga. kewajibannya kepada pemerintah, termasuk pemerintah daerah.
Jika di tengah jalan “masuk angin”, apalagi kalau itu “angin duduk” yang bisa membuat orang “terduduk”; maka apapun kalkulasi pemilihan dilakukan sangat tergantung kepada tipe kepemimpinan si pemenang.
Jika pemenangnya tipe “ayam sayur” akan percumah saja pemilihan dilakukan, karena tidak akan terjadi perubahan yang signifikan ke depan.
KOTAK KOSONG
Kedua, sangat mungkin terjadi kotak kosong yang menang. Penyebabnya, bukan akibat banyaknya pemilih menjatuhkan pilihan ke kotak kosong, tapi yang dikhawatirkan rendahnya tingkat partisipasi pemilih datang ke TPS.
Kenapa ada potensi rendahnya partisipasi pemilih. Secara fenomenologis, hal ini akibat terjadinya dua hal:
Pertama, pemilih merasa tidak mendapatkan apa-apa dari pemilihan itu. Hal ini disebabkan karena selama ini yang namanya pemilihan ada “tentengan” yang dibawa pulang atau paling tidak “amplop” sedekahnya.
Sementara saat ini, penyandang dana untuk menyediakan tentengan bakal tidak ada lagi. Akibatnya sikap sosial “berani berapa, dapat apa” yang selama ini terbentuk, menjadi ambyar.
Kedua, sikap apatisme dari kalangan menengah yang berpersepsi “siapapun” yang terpilih, mereka tidak kerja, mereka tidak makan.
Sikap seperti ini melekat terutama bagi mereka yang di lampung ini “hanya numpang hidup” maksudnya bekerja di Lampung, namun keluarga ada di luar Lampung. Saat hari pemilihan, justru mereka manfaatkan untuk “pulang” menjumpai keluarga, tidak tertarik untuk berpartisipasi mendatangi lokasi pemilihan.
Oleh sebab itu, calon sekarang hanya memiliki alternatif jalan menuju kemenangan adalah mengandalkan hubungan primordial.
Termasuk, dalam hubungan pola ini adalah kekerabatan, baik dari pihak ayah/ibu, mertua, adik-kakak, saudara dari adik atau saudara dari kakak, teman main ayah/ibu/mertua, dan handai tolan. Itu yang bersifat primer
Yang sekunder, teman organisasi profesi, teman alumni, dan organisasi masa lainnya.
Sementara organisasi politik justru tidak bisa banyak diharap karena banyak sekali konflik kepentingan dan lain sebagainya, terutama negosiasi-negosiasi kepentingan.
Apapun kejadiannya Pilkada harus jalan, tinggal bagaimana “tim sukses” para calon bekerja. Jika mereka setengah hati, maka hasilnyapun seperempat harap.
Jika tidak bekerja, hanya menonton, maka hasilnya-pun sudah bisa diduga akan kedodoran. Sekalipun pemilihan ini tidak berada dipersimpangan jalan, namun tetap saja jalan terjal akan dijumpai oleh siapapun calonnya.
Kondisi partai pengusung yang carut-marut, juga sedikit banyak akan berpengaruh kepada persepsi pemilih dalam menentukan pilihannya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kemerdekaan itu untuk Siapa?
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu, seperti sudah menjadi rutinitas setiap pukul tujuh tigapuluh pagi saat hari kerja, posisi selalu sudah berada di perempatan jalan raya yang harus berhenti sejenak, karena lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Perjalanan ini dipertontonkan Tuhan untuk melihat bagaimana anak-anak kecil yang badannya dicat warna putih metalik, berdiri di samping jalan yang padat kendaraan. Mereka meminta sedikit uang kepada setiap pengendara yang berhenti menunggu lampu lalu lintas berubah berwarna hijau.
Di kejauhan sana ada wanita setengah baya mengawasi mereka. Matanya sedikit terbelalak jika anak-anak tadi aksinya kurang berkenaan di batinnya. Ini berlangsung sepanjang hari. Anehnya, di negeri ini ada Departemen Sosial yang salah satu tuasnya memberikan perlindungan pada anak-anak, tetapi entah ke mana beliau-beliau itu.
Saat menemani istri berbelanja dapur untuk beberapa hari ke depan di suatu pasar tempel, karena lokasinya menempel di antara rumah dan jalan raya, para pedagang kecil berhimpitan berjualan sayuran dan semua perlengkapan masak-memasak. Usia mereka umumnya sudah tidak muda lagi. Mereka mengais rezeki dari sedikit kemurahan hati emak-emak yang berbelanja pagi.
Sejurus kemudian ada laki-laki setengah baya meminta uang kepada mereka semua pedagang. Saat ditanya uang apa itu, dengan ketus laki-laki paro baya menjawab untuk uang keamanan. Entah siapa yang diamankan dan apa yang diamankan. Padahal, ibu penjual di sudut sana dari tadi belum satu pun dagangannya laku. Ia kelihatan lelah dan pucat. Mungkin ia belum makan. Dia tidak memerlukan pengamanan karena dagangannya berupa daun singkong muda dipetik dari kebun sendiri kemudian dibawa ke pasar ini.
Nun jauh di sana, di gedung mewah berpendingin udara yang sangat sejuk, makanan lezat tertata rapi di meja. Katanya mereka sedang melangsungkan rapat organisasi dengan acara memilih pimpinan tertinggi. Mereka yang datang semua berdasi pakai jaket lambang organisasi. Pidato kampanye dimula. Semua calon bersemangat ingin membangun negeri. Namun dari belakang sudah beredar amplop berisi cuan. Bagi yang menerima untuk memilih yang memberi. Mulut berkata demokras, berantas korupsi. Namun suara bisa dibeli. Penerima bersenang hati karena dapat “rejeki”. Si pemberi bergembira karena bisa membeli.
“Demokrasi” begitu gaduh di negeri ini. Untuk meraih kekuasaan, kegaduhan harus disertai cuan. Cuan yang banyak. Itu pun belum jadi jaminan kekuasaan bisa didapatkan. Seperti yang dialami seorang sahabat saya misalnya. Ya, dalam pesta demokrasi kemarin ia mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat. Ia sebenarnya sudah diberi tahu bahwa untuk lolos jadi wakil rakyat harus punya modal guna membeli suara.
Dasar orang muda yang masih idealis, dengan gagah perkasa dan penuh semangat memaksa diri menjual yang ada untuk menggapai cita cita membangun negeri. Cuan pun banyak dia keluarkan. Hasilnya: ia gagal karena suaranya tidak mencukupi untuk meraih satu kursi. Uang sekarung sudah terhambur, tetapi suara tidak terkumpul. Selidik punya selidik, ternyata sohib tadi dikadali oleh “kadal gurun” yang memang haus akan cuan. Tidak peduli apa itu saudara atau siapa. Uang memang lebih kuasa dari segalanya.
Juga atas nama demokrasi, baru saja terjadi tokoh partai paling tua di negeri ini mengundurkan diri. Padahal selama ini ia termasuk pemimpin partai yang sukses. Suara dari balik layar (yang sejatinya yang jauh lebih faktual dibanding yang diberitakan televisi dan media online), pemimpin partai itu terpaksa harus menyerah karena diduga “separo badannya” sudah tersandera pihak eksternel. Tak lain tak bukan, ialah orang superkuat yang bisa menghitam-putihkan hukum dan tatanan. Demi nama baik keluarga dan partai, ia harus mengalah. Menepi. Ia mungkin masih bisa tertawa lepas dengan orang kuat di ruang dan meja yang sama. Tapi tidak ada yang tahu betapa pedih sebenarnya hatinya.
Yang ini terjadi di Indonesia. Ya, Indonesia yang sedang menyiapkan hari kemerdekaan di ibu kota negara yang baru (maksudnya, ibu kotanya yang baru). Berita mengejutkan datang lagi: detik-detik menjelang upacara kenaikan Bendera Pusaka, petugas putri yang menggunakan busana keagamaa, demi keseragaaman harus melepaskan hijabnya. Ternyata negeri ini sudah bisa membatalkan hukum Tuhan hanya demi kekuasaan. Atas nama keseragaman semua disamakan. Padahal negeri ini adalah plural. Bhineka. Dan Tuhan menciptakan mahluk-Nya pun tidak seragam. Berani benar mereka yang hanya sekadar kuasa, lalu berbuat semena-mena. Setelah nitizen goyangkan media sosial…buru-buru…larangan ditarik…seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Ibu Pertiwi saat ini berduka melihat tingkah polah kita semua. Penguasa merajalela. Rakyat terus dibuat sengsara. Lalim terus bersahabat untuk membabat semua yang terlihat. Kekuasaan menjadi mutlak hanya untuk para kerabat. Pekik merdeka hanya sesaat, agar terlihat oleh rakyat. Ironisnya lagi, sementara pejabat upacara pakai anggaran negara, rakyat mau buat hiburan demi kemerdekaa harus mengemis cari dana keman-mana.
Negeri ini sudah tua, 79 tahun. Dewasa. Semestinya ia sudah matang untuk menjadi. Namun isi negeri ini masih suka untuk berilusi, sehingga sibuk menyusun kursi untuk anak dan istri. Dulu saat reformasi semua ingin terbebas dari korupsi dan kolusi. Ironisnya (atau paradoksnya!), kini kita menjad lebih ganas dari yang tempo hari. Korupsi, kolusi, dan nepotisme dipertontonkan di muka orang ramai dengan tanpa rasa malu. Nepotisme yang dulu menjadi ancaman dan harus dijauhi, sekarang dimaklumi dengan sejumlah embel-embel permakluman.
Sudah 79 tahun kita merdeka. Kegembiraan lomba lari dengan kelereng di sendok yang digigit bocah-bocah lugu pun terasa hambar. Lomba tarik tambang pun sudah tidak bisa kita lakukan karena semua “tambang” sudah habis dibagi. Panjat pinang pun tidak bisa kita lakukan karen sebelum dipanja semua kursi sudah “dipinang” duluan oleh yang bercuan.
Walaupaun didera aneka cobaan, negeri ini tetaplah negeri kita. Siapa pun penguasanya, ia tetapkan negeri yang kita cintai. Dirgahayu Indonesiaku! (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Gelar Upacara HUT RI ke-79, Rektor Ajak Civitas Akademika Jaga Amanah Kemerdekaan
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandar Lampung menggelar upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 pada 17 Agustus 2024.
Upacara ini dipimpin langsung Rektor Universitas Malahayati, Dr. Achmad Farich, dr., MM, yang juga bertindak sebagai Komandan Upacara.
Dalam pidatonya, Rektor menyampaikan rasa syukur dan kebanggaannya karena masih mendapat kepercayaan untuk mengisi kemerdekaan sesuai dengan bidang profesi dan kemampuan masing-masing.
“Tahun ini kita banyak mengabdi dan menyaksikan berbagai perubahan serta pembaharuan. Kita baru saja melalui pemilihan umum, dan dengan terpilihnya presiden, wakil presiden, serta anggota legislatif, kita harus siap mendukung perubahan kepemimpinan yang akan datang,” ujar Rektor.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga amanah konstitusi dan undang-undang, serta turut mensukseskan setiap perubahan yang terjadi.
Rektor mengingatkan bahwa Universitas Malahayati terus mendukung program pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa, sejalan dengan tagline “Semua Bisa Kuliah”.
Hal ini diwujudkan dengan memberikan kesempatan luas bagi masyarakat dari berbagai daerah untuk mengenyam pendidikan di Universitas Malahayati, menciptakan keberagaman budaya yang harmonis.
Rektor juga mengimbau kepada para dosen untuk terus meningkatkan kinerja, mengikuti perkembangan aturan dan kebijakan terbaru, sehingga tidak tertinggal dalam upaya mencetak lulusan yang unggul dan siap bersaing di dunia kerja.
Ia juga mendorong para mahasiswa untuk memperluas wawasan tentang kehidupan global, agar mampu bersaing di dunia kerja yang semakin kompetitif.
Acara ini diakhiri dengan pemberian penghargaan kepada dosen dan tenaga pendidik teladan Universitas Malahayati, serta penyerahan Surat Keputusan (SK) kelulusan kepada calon mahasiswa program KIP Kuliah.
Rektor berharap Universitas Malahayati dapat terus berkembang dan adaptif terhadap segala perubahan yang terjadi, khususnya di bidang pendidikan.
“Selamat Dirgahayu Republik Indonesia ke-79. Semoga Indonesia terus maju di kancah dunia demi kesejahteraan rakyat,” pungkas Rektor. (*)
Editor: Asyihin
Maksud Baik yang Tidak Baik
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu ada teman jurnalis mengirimkan sejumlah kliping berita dari berbagai media online, isinya tentang bagaimana oknum di sekolah dasar kota ini “menghimpun” dana dari murid sebesar tigaribu rupiah per minggu dengan alasan digunakan untuk membiayai kegiatan kelas. Sayangnya jurnalis media online tidak menjelaskan secara rinci berita tersebut dengan kaidah-kaidah kejurnalistikan, sehingga kesannya hanya laporan pandangan mata. Bahkan terkesan berita itu menjadi seolah “persepsi” dari jurnalis, padahal jika digali dengan ilmu kejurnalistikan, berita tadi menjadi betul-betul “news”. Namun demikian dari kiriman berita itu ada hal yang menarik dari hasil kerja kejurnalistikan tadi yaitu segera tanggapnya pihak inspektorat untuk mengambil langkah. Sayangnya juga langkah seperti apa yang diambil, hanya diberitakan secara normatif saja; padahal jika digali lebih dalam banyak hal menjadi menarik.
Pada sisi lain yang perlu digali dari persoalan ini adalah, mengapa hampir setiap periode persoalan tarikmenarik uang menjadi semacam “bumbu masak” yang jika tidak dipakai maka masakan tidak sedap, padahal bumbu itu merusak sistem yang ada. Sementara sisi lain pemerintah sudah menyediakan dana Bantuan Sekolah baik dari pusat maupun daerah. Anehnya lagi jika persoalan ini tidak “tercium” oleh teman jurnalis, seolah-olah “lancar jaya”. Tentu hal ini akan mengundang tanya bagi banyak pihak ada persoalan apa sebenarnya di sana. Beberapa waktu lalu juga ada media online yang memberitakan ditangkapnya seorang oknum kepala sekolah Sekolah Menengah Pertama negeri di salah satu kabupaten di provinsi ini, karena korupsi dana Bantuan Sekolah yang uangnya digunakan untuk Judi Online. Sementara peristiwa itu sudah cukup lama terjadi. Pertanyaannya kemana kepengawasan selama ini.
Memang jika dibandingkan dengan menggunakan metode statistika, jumlah itu tidak mempengaruhi populasi. Namun untuk masalah pendidikan hukum itu tidak berlaku, justru yang diberlakukan pepatah “nila setitik merusak susu sebelanga”; jadi sekalipun dilakukan hanya satu orang, namun hal itu akan menggoncangkan sendi sendi kehidupan pendidikan di negeri ini.
Tampaknya dunia pendidikan sedang “tidak baik-baik saja” manakala barometer yang dipakai adalah pengulangan persoalan yang hampir sama disetiap periode tertentu. Hal ini menunjukkan sistem yang ada belum bekerja secara baik dan benar. Pertanyaan mendasar kenapa peristiwa itu sampai terjadi, bagaimana sistem pencegahan yang dilakukan, bagaimana kinerja instrument pengawasan. Semua menjadi pertanyaan substantif, karena peristiwa itu seharusnya terjadi hanya satu kali, jika sudah berkali-kali berarti ada instrumen yang tidak jalan.
Berdasarkan penelusuran referensi yang ada tugas inspektorat yang membidangi pendidikan dasar itu adalah sebagai berikut: Pertama, Pengawasan dan Evaluasi: Cakupannya meliputi; Audit Kinerja Sekolah: Melakukan audit terhadap kinerja sekolah, termasuk manajemen, administrasi, dan penggunaan sumber daya pendidikan. Evaluasi Implementasi Kebijakan: Menilai sejauh mana kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat atau daerah telah diimplementasikan dengan baik di sekolah-sekolah dasar. Penilaian Standar Pendidikan: Mengawasi dan memastikan bahwa standar pendidikan nasional dan daerah dipenuhi oleh sekolah-sekolah dasar.
Kedua, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi: mencakup : Pengawasan Penggunaan Dana Pendidikan: Memastikan bahwa dana yang dialokasikan untuk pendidikan dasar, seperti Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), digunakan sesuai dengan peraturan dan tujuan yang telah ditetapkan. Deteksi dan Investigasi: Mengidentifikasi potensi penyelewengan atau penyalahgunaan anggaran pendidikan serta mengambil tindakan preventif dan korektif.
Ketiga, Pembinaan dan Pengembangan: meliputi; Pembinaan Kelembagaan: Memberikan arahan dan pembinaan kepada sekolah dalam hal manajemen, administrasi, dan pengelolaan pendidikan. Pengembangan SDM: Mendorong pengembangan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan melalui pelatihan, workshop, dan kegiatan pengembangan lainnya.
Keempat, Penegakan Disiplin dan Kepatuhan: meliputi: Penegakan Aturan dan Kebijakan: Memastikan bahwa seluruh elemen pendidikan, termasuk guru, kepala sekolah, dan staf lainnya, mematuhi peraturan dan kebijakan yang berlaku. Tindak Lanjut Temuan Audit: Mengambil tindakan terhadap temuan-temuan audit yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian atau pelanggaran dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di sekolah.
Kelima, Pelaporan: meliputi: Pelaporan Hasil Pengawasan: Menyusun dan menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada atasan dan pihak terkait, serta memberikan rekomendasi untuk perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan. Transparansi dan Akuntabilitas: Menjamin bahwa proses pengawasan dan audit dilakukan secara transparan dan akuntabel, serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Keenam, Koordinasi dan Kerjasama: meliputi: Koordinasi dengan Lembaga Terkait: Bekerja sama dengan dinas pendidikan, sekolah, dan pihak-pihak lain yang terkait dalam proses pengawasan dan pembinaan. Sosialisasi Kebijakan: Membantu dalam menyosialisasikan kebijakan-kebijakan baru dari pemerintah terkait pendidikan dasar kepada sekolah-sekolah.
Dengan menjalankan tugas-tugas ini, inspektorat berperan dalam memastikan bahwa pendidikan berjalan sesuai dengan tujuan dan standar yang telah ditetapkan, serta mendukung peningkatan kualitas pendidikan. oleh sebab itu unsur pembinaan lebih dikedepankan dibandingkan dengan penghukuman.
Teman-teman jurnalis seyogyanya juga mengkorek apakah peran inspektorat sudah berjalan sesuai dengan amanat undang-undang yang mengaturnya; karena kesan public selama ini justru inspektorat datang jika ada pelanggaran, atau datang ke lapangan hanya jika pemeriksaan berkala saja.
Maksud baik dilakukan dengan cara yang kurang baik, bisa jadi hasilnya akan tidak baik, karena maksud baik dilakukan dengan cara baik-pun belum tentu berhasil baik, sebab situasi untuk berbuat baik juga ikut menentukan. Kerjasama yang baik untuk tidak saling mengadili, tetapi lebih kepada saling mengingatkan; adalah tugas mulia yang diemban kita bersama sebagai mahluk Tuhan yang pasti memiliki kekurangan dan kelemahan, karena kekurangan dan kelemahan adalah penyempurna dari ketidaksempurnaan sebagi mahluk. Kesempurnaan hanya milik Tuhan semata, tak ada satupun yang dapat menandingiNYA. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Hasil Penelitian Dosen Universitas Malahayati Raih Medali Emas di Ajang Southern Inventor Award 2024 Thailand
THAILAND (malahayati.ac.id): Dr. Dwi Marlina Syukri, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati (Unmal), kembali mengharumkan nama Indonesia khususnya Provinsi Lampung dengan meraih medali emas dalam ajang Southern Inventor Award 2024, diselenggarakan di Thaksin University, Thailand, Selasa, 1-3 Agustus 2024.
Dalam kompetisi bergengsi ini, produk penelitian Dwi Marlina Syukri yang berjudul “Antibacterial Coated Silk Suture” berhasil mencuri perhatian para juri.
Kegiatan ini merupakan ajang inovasi yang diikuti berbagai peneliti dari seluruh dunia, dengan fokus pada penemuan-penemuan yang berkontribusi dalam bidang kesehatan dan teknologi.
Produk penelitian Dwi Marlina Syukri, yang sebelumnya telah dipublikasikan dalam bentuk paper ilmiah, menunjukkan kemampuan antibakterial yang signifikan melalui metode pelapisan benang sutera dan fungsionalisasi nilon.
Dua publikasi yang berkaitan dengan produk penelitian ini, yaitu ‘Antibacterial Coated Silk Suture’ dan ‘Antibacterial Functionalization of Nylon’
“Dalam kompetisi ini, tiga mahasiswa yang saya bimbing mewakili saya menyampaikan produk penelitian ini. Mereka adalah Pannatat Mannanee, Inarm Ekkakaraphiban, dan Peemphon Engchuan,” ucap Dwi Marlina Syukri.
Produk penelitian yang telah mendapatkan pengakuan internasional ini diharapkan dapat memberikan dampak besar dalam dunia medis, khususnya dalam pencegahan infeksi pasca-operasi.
“Produk saya tersebut terdaftar paten di Thailand dengan nomor 2003001900,” ujarnya. (*)
Editor: Asyihin
Universitas Malahayati Jadi Test Center TOEIC di Provinsi Lampung
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandar Lampung kini menjadi salah satu test center TOEIC (Test of English for International Communication) di Provinsi Lampung.
Ini ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) antara Rektor Universitas Malahayati, Dr. Achmad Farich, dr., M.M., dan International Test Center (ITC), Selasa, 13 Agustus 2024.
Kerja sama ini merupakan upaya Universitas Malahayati dalam meningkatkan kualitas dan daya saing lulusannya di kancah internasional. “Dengan adanya test center TOEIC di Universitas Malahayati, mahasiswa serta masyarakat umum di Provinsi Lampung kini dapat mengakses tes kemampuan bahasa Inggris yang diakui secara global dengan lebih mudah,” ucap Rektor Achmad Farich.
Penandatanganan MOU ini merupakan hasil dari inisiatif Kepala Bagian Kerjasama Internasional, Slamet Widodo, S.S., M.Kes., bersama Kepala UPT Balai Bahasa Universitas Malahayati, Syafik Arisandi, S.S., M.Kes.
Mereka berdua berperan penting dalam membawa fasilitas ini ke universitas, dengan tujuan untuk mendukung peningkatan kemampuan bahasa Inggris di kalangan akademisi dan masyarakat Lampung.
“Dengan adanya fasilitas ini, kami berharap Universitas Malahayati dapat memberikan kontribusi lebih dalam meningkatkan kemampuan bahasa Inggris di Lampung, baik di kalangan mahasiswa maupun masyarakat umum,” ujar Syafik Arisandi.
Dengan MOU ini, UPT Balai Bahasa Universitas Malahayati kini memiliki empat jenis tes kompetensi bahasa Inggris, yaitu TOEIC, TOEFL ITP, IELTS, dan MEPT, yang siap digunakan untuk menguji dan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris di lingkungan akademik dan masyarakat luas. (*0
Editor: Asyihin
Lebih Gilo dari Wong Gilo
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang di penghulu hari itu sudah menjadi kebiasaan untuk memuliakan hari penuh berkah ini. Ada sejumlah ritual keagamaan yang sunah untuk dilakukan, diantaranya melakukan ritual mandi jumat. Namun entah mengapa hari itu agak sedikit malas untuk beranjak dari kursi “pelamunan” tempat mencari inspirasi; mendadak dawai media sosial berbunyi pertanda ada pesan masuk, ternyata benar berita dari yunior sesama Sumatera Selatan mengirimkan berita dengan aksen Plembang. Sayang pesan itu tidak untuk dipublikasikan, karena kami berdiskusi tentang negeri yang sedang tidak baik-baik ini lewat media dan ditutup dengan kata kunci seperti judul di atas.
Sebelum lebih jauh membahas kata kunci “gilo”; sebaiknya kita beri batasan terlebih dahulu; berdasarkan penelusuran digital istilah ini dalam bahasa Palembang memiliki makna yang agak sedikit berbeda dengan “gila” dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Palembang, kata “gilo” bisa berarti “aneh” atau “konyol.” Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dianggap tidak biasa atau lucu dengan cara yang sedikit berlebihan. Misalnya, jika seseorang melakukan tindakan yang aneh atau membuat orang lain tertawa karena kelucuannya, orang tersebut bisa disebut “gilo.” Kata ini juga bisa digunakan dalam konteks bercanda antara teman-teman.
Filosofi kata “gilo” dalam bahasa Palembang mencerminkan pandangan masyarakat terhadap perilaku yang dianggap diluar kebiasaan atau norma. Dalam penggunaannya, kata ini sering mengandung unsur keheranan dan humor, serta menggambarkan reaksi spontan terhadap sesuatu yang dianggap tidak biasa atau absurd.
Secara budaya, penggunaan kata “gilo” dapat menunjukkan toleransi dan penerimaan terhadap keunikan individu. Dalam konteks sosial, menyebut seseorang “gilo” bukanlah sebuah penghinaan, melainkan lebih kepada pengakuan atas perilaku yang lucu atau aneh dengan nada yang ringan dan tanpa maksud merendahkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “gilo” sering digunakan untuk meredakan ketegangan atau sebagai bagian dari interaksi sosial yang hangat. Ini mencerminkan cara masyarakat Palembang menggunakan humor dan keceriaan sebagai alat untuk mempererat hubungan sosial dan mengatasi situasi yang mungkin menimbulkan kebingungan atau ketidaknyamanan.
Meskipun dalam banyak konteks kata “gilo” dalam bahasa Palembang digunakan dengan nada bercanda dan humor, kata ini juga bisa memiliki konotasi negatif tergantung pada cara dan konteks penggunaannya.
Dalam konteks yang lebih serius atau marah, “gilo” bisa digunakan untuk mengejek atau mengkritik seseorang yang dianggap berperilaku tidak masuk akal, tidak pantas, atau terlalu berlebihan. Ketika diucapkan dengan intonasi yang tajam atau dalam situasi yang tegang, kata ini bisa menunjukkan ketidaksetujuan atau rasa tidak hormat terhadap perilaku seseorang.
Misalnya, jika seseorang bertindak dengan cara yang dianggap mengganggu atau merugikan orang lain, kata “gilo” bisa diucapkan dengan nada yang menunjukkan ketidakpuasan atau rasa jengkel. Dalam situasi seperti ini, kata tersebut bisa dianggap sebagai sindiran atau bahkan hinaan.
Secara keseluruhan, meskipun “gilo” sering kali digunakan dalam konteks yang ringan dan humoris, konteks, intonasi, dan situasi bisa mengubah maknanya menjadi sesuatu yang lebih negatif atau kritis. Karena diksi “gilo” berada pada wilayah ontologi, maka akan berubah “rasa bahasa” nya jika masuk ke wilayah epistemologi dan aksiologi.
Sebagai contoh jika kata ini masuk dalam ranah kekuasaan, maka kata “gilo” seringkali dipakai untuk menyoroti sesuatu yang dianggap luar biasa atau tidak biasa dari seorang pemimpin atau orang yang berkuasa. Baik itu dalam bentuk kekaguman, keheranan, maupun kritik, tergantung pada bagaimana orang tersebut memandang tindakan atau otoritas yang dimaksud.
Sebagai contoh orang Palembang jika melihat orang yang sangat bernafsu ingin memangku banyak jabatan, maka pada umumnya mereka akan megatakannya dengan “gilo jabatan”. Dalam konteks bahasa Palembang, “arti gilo jabatan” merujuk pada seseorang yang sangat berambisi atau terobsesi dengan jabatan, sehingga ingin berada pada banyak posisi. Istilah ini sering digunakan secara negatif untuk menggambarkan individu yang sangat menginginkan kekuasaan atau status hingga mereka rela melakukan apa saja untuk mencapainya. Maknawi yang terkandung disini berarti “gila” atau “sangat terobsesi,” sehingga “gilo jabatan” bisa diartikan sebagai “gila jabatan.”
Namun demikian jangan terkejut jika kita berada di tengah-tengah “wong Plembang” mendengar perkataan “gilo” dalam percakapan mereka yang diucapkan sambil tertawa terbahak-bahak; karena bisa jadi itu kegirangan yang amat sangat, bisa juga mengumpat dengan cara satir terhadap sesuatu yang diluar kebiasaan, atau memang sedang terperanjat (bahasa Palembang: tekanjat), melihat keanehan dari sesuatu.
Ternyata ketakjuban akan sesuatu bisa juga diberi label “gilo” oleh orang Palembang yang terkenal humoris; sebagai bukti tidak ada “wong Plembang” yang tidak punya pekerjaan atau menganggur, karena setiap ditanya mau pergi kemana jawabannya “ado gawe”. Akan tetapi bisa juga karena ketidaksukaan terhadap perilaku orang lain yang menurut mereka menyimpang dari norma umumnya, maka mereka akan berucap “lebih gilo dari wong gilo”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kotak Kosong, Siapa Takut
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menyimak tulisan HBM di media ini beberapa saat lalu, pertama saya ucapkan selamat ulang tahun, walau agak terlambat; kedua bagaimana HBM menganalisis peluang bakal terjadinya “lawan kotak kosong” pada Pilgub Lampung 2024 yang begitu tajam lewat opini Calon Tunggal vs Oligarki Pilgub Lampung.
Namun, ada sisi-sisi lain yang akan dilengkapi oleh tulisan ini, mengingat “suasana” atau “atmosfir” pemilihan kali ini agak sedikit berbeda dibandingkan dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya.
Perbedaan atmosfir ini tampaknya sedikit banyak akan berpengaruh kepada “perilaku” pemilih dipandang dari kacamata sosiologis, terutama aspek perilaku sosial dengan pisau analisis fenomenologis.
AYAM SAYUR
Pertama, pemilihan kali ini agaknya tidak ada “penyandang dana” seperti pemilihan sebelumnya yang jor-joran menggelontorkan dana untuk mendukung calonnya.
Tentu, konsekuensinya, nafas dari para calon agak terengah-engah. Namun, untuk jangka panjang, terasa mulai ada udara segar yang akan menyehatkan demokrasi daerah ini.
Persoalannya sekarang, siapapun pemenangnya kelak harus berani adu “nyali” berhadapan dengan gajah-gajah yang selama ini kemungkinan bimsalabim denga. kewajibannya kepada pemerintah, termasuk pemerintah daerah.
Jika di tengah jalan “masuk angin”, apalagi kalau itu “angin duduk” yang bisa membuat orang “terduduk”; maka apapun kalkulasi pemilihan dilakukan sangat tergantung kepada tipe kepemimpinan si pemenang.
Jika pemenangnya tipe “ayam sayur” akan percumah saja pemilihan dilakukan, karena tidak akan terjadi perubahan yang signifikan ke depan.
KOTAK KOSONG
Kedua, sangat mungkin terjadi kotak kosong yang menang. Penyebabnya, bukan akibat banyaknya pemilih menjatuhkan pilihan ke kotak kosong, tapi yang dikhawatirkan rendahnya tingkat partisipasi pemilih datang ke TPS.
Kenapa ada potensi rendahnya partisipasi pemilih. Secara fenomenologis, hal ini akibat terjadinya dua hal:
Pertama, pemilih merasa tidak mendapatkan apa-apa dari pemilihan itu. Hal ini disebabkan karena selama ini yang namanya pemilihan ada “tentengan” yang dibawa pulang atau paling tidak “amplop” sedekahnya.
Sementara saat ini, penyandang dana untuk menyediakan tentengan bakal tidak ada lagi. Akibatnya sikap sosial “berani berapa, dapat apa” yang selama ini terbentuk, menjadi ambyar.
Kedua, sikap apatisme dari kalangan menengah yang berpersepsi “siapapun” yang terpilih, mereka tidak kerja, mereka tidak makan.
Sikap seperti ini melekat terutama bagi mereka yang di lampung ini “hanya numpang hidup” maksudnya bekerja di Lampung, namun keluarga ada di luar Lampung. Saat hari pemilihan, justru mereka manfaatkan untuk “pulang” menjumpai keluarga, tidak tertarik untuk berpartisipasi mendatangi lokasi pemilihan.
Oleh sebab itu, calon sekarang hanya memiliki alternatif jalan menuju kemenangan adalah mengandalkan hubungan primordial.
Termasuk, dalam hubungan pola ini adalah kekerabatan, baik dari pihak ayah/ibu, mertua, adik-kakak, saudara dari adik atau saudara dari kakak, teman main ayah/ibu/mertua, dan handai tolan. Itu yang bersifat primer
Yang sekunder, teman organisasi profesi, teman alumni, dan organisasi masa lainnya.
Sementara organisasi politik justru tidak bisa banyak diharap karena banyak sekali konflik kepentingan dan lain sebagainya, terutama negosiasi-negosiasi kepentingan.
Apapun kejadiannya Pilkada harus jalan, tinggal bagaimana “tim sukses” para calon bekerja. Jika mereka setengah hati, maka hasilnyapun seperempat harap.
Jika tidak bekerja, hanya menonton, maka hasilnya-pun sudah bisa diduga akan kedodoran. Sekalipun pemilihan ini tidak berada dipersimpangan jalan, namun tetap saja jalan terjal akan dijumpai oleh siapapun calonnya.
Kondisi partai pengusung yang carut-marut, juga sedikit banyak akan berpengaruh kepada persepsi pemilih dalam menentukan pilihannya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Prodi S1 Farmasi Universitas Malahayati Gelar Kuliah Tamu tentang Kosmetik Herbal
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi S1 Farmasi Universitas Malahayati Bandar Lampung menggelar kuliah tamu di Malahayati Career Center, Selasa, 13 Agustus 2024.
Kuliah tamu ini mengusung tema “Ensuring Herbs Cosmetics Safety In Society dan Potensi Buah Parijoto sebagai Agen Fertilitas”.
Tema ini dipilih untuk memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya keamanan produk kosmetik berbahan dasar herbal serta menjelaskan potensi buah parijoto sebagai agen fertilitas.
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati Dr. Lolita Sary, M. Kes., membuka acara ini dan berharap mahasiswa mendapat pencerahan dan wawasan yang bermanfaat dari para narasumber.
Kuliah umum ini menghadirkan dua pembicara utama yang ahli di bidangnya, Dr. apt. Rina Wijayanti, M.Sc, Dekan Fakultas Farmasi, dan Dr. Apt. Naniek Widyaningrum, M.Sc, Kaprodi Profesi Apoteker dari Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang
Kepala Program Studi S1 Farmasi Universitas Malahayati, apt. Ade Maria Ulfa, M.Kes, menyampaikan, kegiatan bertujuan memperluas pengetahuan mahasiswa terkait pengembangan produk farmasi berbasis herbal serta memahami aspek keamanan dan efektivitasnya di masyarakat.
“Kami berharap melalui kuliah umum ini, mahasiswa dapat lebih memahami pentingnya keamanan dalam penggunaan kosmetik herbal serta melihat potensi besar yang dimiliki oleh buah parijoto dalam bidang farmasi, khususnya sebagai agen fertilitas,” ujar Ade Maria.
Selain menggelar kuliah tamu, kehadiran narasumber dari Unissula juga untuk menjajaki kerjasama dalam pelaksanaan tridharma perguruan tinggi di bidang kefarmasian.
Kegiatan diikuti 100 mahasiswa program studi S1 Farmasi dari setiap tingkatan semester dan 25 dosen. Mereka berkesempatan untuk bertanya langsung kepada narasumber, sehingga terjadi diskusi yang interaktif dan memperkaya pemahaman mereka tentang topik yang dibahas. (*)
Editor: Asyihin
Bintang Arriza Mahasiswa Prodi Hukum Universitas Malahayati, Raih Medali Perak Bidang Matematika OSSN 2024
Olimpiade Sains Siswa Nasional (OSSN) 2024 bidang matematika yang diselenggarakan oleh @puskanas di Yogyakarta adalah kompetisi yang dirancang untuk menilai dan merayakan keterampilan matematika siswa-siswa di seluruh Indonesia. OSSN mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk matematika.
Selama kompetisi, peserta akan dihadapkan pada berbagai masalah matematika yang memerlukan penerapan teori dan teknik matematika, serta kemampuan problem solving. Peserta yang berhasil menunjukkan keterampilan luar biasa akan berkesempatan untuk meraih medali dan mendapatkan pengakuan atas prestasi mereka dalam bidang matematika.
Bintang Arriza mengucapkan rasa syukur dan bangga atas raihan medali perak ini. “Alhamdulilah sangat bersyukur dapat memberikan prestasi dan membawa nama baik Universitas Malahayati dan Fakultas Ilmu Hukum ditingkat nasional pada jenjang perguruan tinggi,” ucapnya.
Lebih lanjut Bintang mengungkapkan alasannya mengikuti lomba ini adalah untuk berkompetisi dengan siswa-siswa terbaik dari seluruh Indonesia. “Ini merupakan kesempatan berharga untuk mengukur kemampuan saya di tingkat nasional, belajar dari peserta lain, dan mendapatkan pengalaman berharga dalam situasi kompetitif yang mendukung,” ungkapnya.
Bintang berharap kedepannya agar ia terus bisa lebih berprestasi lagi dengan banyak mengikuti perlombaan lainnya. “Saya ingin berkembang dibidang akademik maupun non akademik, itu motivasi saya,” tegasnya.
Bintang juga mengajak agar teman-teman mahasiswa juga lebih berperan aktif dengan mengikuti perlombaan-perlombaan yang ada. “Ayo teman-teman kita gapai prestasi dan harumkan nama Universitas Malahayati,” serunya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Profil Prof. Dr. H. Madrie, M.Si, Rektor Pertama Universitas Malahayati Bandar Lampung
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Profesor Dr. H. Madrie, M.Si adalah seorang akademisi, mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan. Ia lahir di Mutaralam pada 13 Agustus 1938. Ia merupakan guru besar di Bidang Ilmu Pendidikan, dan selama hidupnya, ia memberikan banyak kontribusi dalam mengembangkan pendidikan di Provinsi Lampung.
H. Madrie beristrikan Hj. S. Dwi Yatmi, dan dikaruniai tujuh anak, Dra. Aviandini Wirasti Ananda, MM.Pd, Ardiantika Bernasari Ananda, S.Sos., MM., Hj. Lely Andewi Ananda, S.Psi, Dr. Hj. Armalia Reny Wijayanti Ananda, SP., MM., Isfanda Deny Taurusia Ananda, SE., MM., Shinta Merinda Wulansari Ananda, SE., MM, dan Dr. Yudhinanto Cahyo Nugroho, SE., MM.
H. Madrie menempuh pendidikan awalnya di Dusun Sukaraja, Provinsi Lampung. Ia melanjutkan pendidikan menengah pertamanya di Kotabumi, Provinsi Lampung, dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di Sekolah Guru Atas (SGA) Palembang, Sumatera Selatan. Ia kemudian melanjutkan studi tingginya, meraih gelar Sarjana (S1) di FKIP Sanata Dharma Yogyakarta, kemudian meraih gelar Magister Sains (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1981, dan gelar Doktor (S3) dari IPB pada 1986.
Karir H. Madrie di dunia pendidikan sangat cemerlang. Ia menjadi Guru Besar di Bidang Ilmu Pendidikan pada 1988. Ia juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) di Universitas Lampung pada 1968. Selain itu, ia pernah menjadi Direktur STIP Muhammadiyah Metro pada 1974 dan Pembantu Rektor IV Universitas Lampung pada 1978. Ia juga terlibat dalam pelatihan P4 BP7 Provinsi Lampung dan memimpin Lembaga Penelitian & Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) di Universitas Lampung.
Nama H. Madrie muncul sebagai calon rektor Universitas Malahayati setelah pertemuan antara Dr. (HC) Rusli Bintang (Pendiri Universitas Malahayati) dengan Prof. Dr. Ir. HR Sambas Wirakusumah, M. Sc, dan Prof. Dr. Yuhara Sukra, Guru Besar Institut Pertanian Bogor. Dalam pertemuan tersebut, H. Madrie diusulkan sebagai calon rektor Universitas Malahayati.
Penunjukan H. Madrie sebagai Rektor Universitas Malahayati dianggap sangat tepat mengingat saat itu jumlah profesor di Lampung masih sangat sedikit, dan Profesor Madrie adalah guru besar di Universitas Lampung. Namun, takdir berkata lain, sebelum dapat melaksanakan proses akademik di Universitas Malahayati, H. Madrie meninggal pada 26 Juni 1994, dan jabatan rektor kemudian dilanjutkan Dr. Zulkarnain. (*)
Editor: Asyihin