UKT = Uang Kuliah “Tinggi”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Berita tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sangat tinggi, akhir-akhir ini menyeruak ke permukaan, bahkan ada perguruan tinggi negeri yang mematok sampai harga seratus juta rupiah lebih. Di sisi lain, badan statistik nasional merilis data bahwa rata-rata tingkat pendidikan di negeri ini hanya kelas tujuh; berarti setara dengan pendidikan anak sekolah lanjutan pertama kelas satu. Jika dibuka kurikulumnya mereka baru sampai batasan pengenalan benda, proses sederhana, dan hal-hal remeh temeh lainnya.

Keadaan itu dikejutkan bak halilintar di tengah hari dengan pernyataan petinggi yang mengurusi bidang pendidikan dengan pernyataan…”jenjang pendidikan tinggi itu bersifat tersier”…. Artinya bukan skala prioritas untuk anak negeri ini, dengan alasan perioritas utama ada pada pendidikan dasar. Dengan logika sederhana maka tidak harus kuliah karena kuliah itu untuk mereka yang berduit.

Pejabat sekelas profesor itu mengucapkannya tanpa ada rasa empati atas anak negeri; bahkan terkesan memperlebar jurang antara orang kaya dengan mereka yang kurang beruntung. Label yang ditabalkan kepada pendidikan tinggi seolah-olah membenarkan apa yang diterapkan pemerintah kepada rakyatnya. Beliau lupa bahwa tugas profesor itu diantaranya adalah ikut mencerdaskan bangsa, bukan ikut membodohkan bangsa dengan mengkuti kemauan pemerintah yang juga kadang sesat.

Berbeda lagi dengan saat anak negeri ini melamar pekerjaan dimanapun berada, mereka selalu dihadapan dengan kalimat …..”berijazah minimal sarjana”…. Padahal untuk menjadi calon anggota parlemen tidak setinggi itu syaratnya, bahkan menjadi presiden cukup Sekolah Lanjutan Atas.

Menjadi lebih gila lagi jika kita bandingkan secara statistik, ternyata jumlah sarjana dari total penduduk di negeri ini dibandingkan negara-negara lain masih sangat minim. Data lain menunjukkan jumlah perguruan tinggi negeri jauh lebih sedikit dibandingkan perguruan tinggi swasta; ini berarti seharusnya pemerintah punya keleluasaan dana untuk membiayai perguruan tinggi negeri, dibandingkan dengan swasta. Namun ini justru terbalik; perguruan tinggi swasta yang dana operasionalnya sangat tergantung dari uang masuk sumbangan mahasiswa, dan jumlahnya sangat kecil itu; masih mampu bertahan dan berkualitas, bahkan masih ngopeni anak negeri yang secara ekonomi kurang beruntung.

Anehnya urusan standardisasi pemerintah sibuk menyetandarkan swasta menjadi negeri untuk urusan akademik, tetapi untuk urusan pendanaan mereka tidak pernah mau belajar kepada swasta bagaimana harus mengelola dengan baik. Buktinya rektor perguruan tinggi negeri yang ditangkap KPK jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan rektor perguruan tinggi swasta. Bahkan ada rektor perguruan tinggi negeri yang tega memeras calon mahasiswa untuk membayar sejumlah uang guna masuk kefakultas favoritnya. Sementara uangnya dibagi-bagikan kepada para pendereknya, dan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Atas pertimbangan yang sulit dipahami dengan menggunakan istilah uang kuliah tunggal yang mengharuskan masuk sebanyak-banyaknya, maka jumlah mahasiswa yang diterima menjadi tidak terbatas. Berlindung dengan beragam jalur, yang ujung-ujungnya harus bayar sekian. Ada mantan dekan dari perguruan tinggi negeri mengeluh karena harus mengajar mahasiswa program sarjana jumlahnya tiga kali lipat dari kapasitas normal. Beliau sangat prihatin akan mutu yang akan diperoleh, sementara perguruan tinggi swasta harus mau menanggung beban, sisa-sisa mahasiswa yang tidak lulus “obyokan” dari perguruan tinggi negeri. Adagium kalau di perguruan tinggi negeri susah mencari dosen, sementara kalau di perguruan tinggi swasta susah mencari mahasiswa; seolah menjadi sempurna jadinya.

Upaya seleksi sosial yang dibangun di negeri ini seolah-olah memang dijadikan semacam nilai yang bersifat kontradiktif. Satu sisi setiap lembaga pendidikan, terutama negeri, diberi dana bantuan dengan bermacam nama, tetapi tetap saja peserta didik harus bayar; itupun jumlahnya tidak lagi memperhatikan rasio dosen dengan mahasiswa, lebih kepada orientasi profit. Sementara perguruan tinggi swasta yang mengandalkan jumlah mahasiswa untuk pendanaan dibiarkan mencari upaya sendiri; namun untuk administrasi akademik yang terkadang tidak ada hubungannya dengan kelembagaannya diminta untuk diadakan, dengan ancaman jika tidak bisa memenuhi aturan itu dipersilahkan tutup.

Pada batas-batas tertentu untuk pengendalian mutu, hal tersebut baik-baik saja; namun jika pelayanan itu menyangkut semua aspek, termasuk aturan administrasi personal, rasanya kurang tepat; sebab yayasan mempunyai kebijakan sendiri dalam rangka mengamankan asset dan kepemilikian dan keberlanjutan.

Di negeri ini menjadi terkesan jika berurusan dengan uang, jika untuk kepentingan pemerintah harus sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, tiba giliran untuk warganya maka prinsipnya berubah menjadi …“ kalau bisa nanti kenapa harus sekarang”. Contohnya sampai tulisan ini dibuat ada sekolah negeri yang gurunya belum menerima uang sertifikasi; bahkan kenaikan gaji duabelas persenpun belum mereka nikmati. Jika ditanyakan ke pusat jawabannya itu wewenang daerah, jika ditanyakan ke daerah, jawabannya itu wilayah pusat. Namun begitu nanti ada pemilihan kepala daerah, maka hampir semua calon mendatangi guru dengan berbagai dalih.

Masih banyak lagi persoalan yang tidak mungkin diurai pada media ini, sebab membacanya akan membosankan, dan banyak lagi komentar “itu curhat saja” atau “kelompok tidak puas…jangan didengar…”; yang lebih menyakitkan lagi dijawab “ini kan era kami”. Semoga yang waras atau merasa waras dapat memahami, jika masih ada orang yang peduli berarti di sana masih ada rasa sayang kepada negeri.
Salam Waras (SJ)

Selamat Hari Kebangkitan Nasional, Bangkit Untuk Indonesia Emas!

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Hari ini, kita mengenang dan merayakan semangat perjuangan bangsa yang telah mengantarkan kita pada kemerdekaan dan kemajuan. Semoga semangat kebangkitan nasional senantiasa menginspirasi kita untuk terus berinovasi, bersatu, dan bekerja keras demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Mari kita jadikan momentum ini sebagai pengingat bahwa kebersamaan dan tekad kuat adalah kunci untuk menghadapi segala tantangan.

Dengan semangat kebangkitan nasional, mari kita terus berkontribusi dan berkolaborasi untuk kemajuan bangsa. Bersama, kita wujudkan cita-cita dan harapan untuk Indonesia yang lebih maju, adil, dan sejahtera.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. “Bangkit Untuk Indonesia Emas”.

Editor : Gilang Agusman

Dewi Pilkadawati

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Cerita pewayangan tentang Baratayudha memang menarik dan tidak habis-habisnya digandrungi bagi mereka yang mengerti dan paham akan cerita karya Walmiki itu. Namun kreativitas penikmat cerita ini juga tinggi. Salah satu di antaranya adalah mempertanyakan setelah Lakon Pandawa Moksa, cerita berikutnya apa. Di sana mulai kreatifitas muncul, terutama para Dalang Wayang Kulit untuk membuat lakon gubahan sendiri atau dikenal dengan “Carangan”. Tulisan ini juga ingin menyajikan satu carangan cerita lanjutan dengan judul di atas, soal autentifikasi , orsinilitas, atau mungkin juga pengawuran; kita abaikan dulu, karena jika ditelaah hubungan antara Mahabarata dengan judul di atas tidak ada hubungan sama sekali, bahkan mungkin ngawur.

Syahdan pada suatu perdikan negeri sempalan bekas kerajaan besar Hastinapura masyarakatnya sedang dihadapkan pada tatacara pemilihan Kepala Perdikan. Kalau masa kerajaan besar dulu Kepala Perdikan selalu ditunjuk “Pusat” dengan berbagai teknik; ada yang ditunjuk langsung, ada yang melalui kolusi dengan para penggawa kerajaan, dan masih banyak lagi cara yang ditempuh. Sementara sekarang tidak ada orang pusat kerajaan yang peduli, karena merekapun sibuk korupsi masing-masing. Bahkan saking rakusnya “Celana Dalam Wanita” oleh-oleh dari pekerja migran yang pahlawan devisa-pun mereka korupsi. Konon makanan ringan Coklat yang harganya serepes juga mereka embat dengan cara menaikkan harga menjadi lima kepeng. Dan, ujung-ujungnya mereka badog sendiri.

Jika masa “kuno” orang akan menjadi kepala, termasuk kepala perdikan harus mencari “Wahyu” sebagai mandat langit guna pengesahan dan membangun kekuatan spiritual. Dengan cara bertapa di gua atau hutan untuk dapat wangsit, lakunya puasa menutup semua hawa nafsu. Kemudian wahyu berubah menjadi restu pusat sebagai pemegang kendali wilayah perdikan. Sementara sekarang semua berubah menjadi kuasa rakyat, sementara rakyatnya memerlukan “kayu bakar” agar dapur mereka ngebul. Berarti siapapun calon kepala perdikan harus punya kepeng untuk membeli bahan bakar dan dibagikan kepada kawulo alit. Terus pertanyaannya dari mana kepeng yang sebanyak itu didapat, karena itu diperlukan sumber kepeng atau paling tidak adalah dermawan yang mau mengucurkan sedikit kepengnya, walau tentu tidak ada Dermawan Syurga kalau urusan beginian.

Untung di Perdikan itu ada seorang wanita dermawanwati bernama Ibu Dewi Pilkadawati yang menjadi saudagar, sekaligus memiliki kebon gula yang sangat luas. Beliau dikenal seorang dermawanwati, dan sangat open (jawa: perhatian) dengan pendidikan katanya, dan juga pada orang terlantar. Tidak kalah pentingnya open dengan calon kepala perdikan; tentu dengan konsesi-konsesi tertentu, yang semua itu dibicarakan di bawah meja; tidak seorangpun yang mengetahui kecuali Tuhan.

Sekarang para calon kepala perdikan sedang pusing tujuh keliling karena banyak calon yang berminat, tentu persaingan makin ketat, entah apa penyebabnya. Para calon harus mempu meyakinkan para kawulo alit sebagai orang yang akan memilih, dan konon jumlahnya sekarang cukup besar. Para calon juga harus selalu pasang mata-mata untuk mematamatai calon lain berkaitan dengan strategi pemenangan. Berarti harus menyiapkan team sukses yang tangguh, dan itu semua tidak ada yang gratis. Terakhir harus mampu meyakinkan Ibu Dewi Pilkadawati bahwa dirinya banyak memiliki pendukung dan mampu memberikan konsesi kepada ibu agar pabriknya tetap ngebul asapnya, pajaknya bisa terjaga dan masih banyak lagi tentunya.

Menariknya, para kawula alit sekarang sudah pada cerdas; mereka adalah para pemain sandiwara yang gamben alias lihai. Semua bisa dilakonkan dengan nyaris sempurna; bila ada calon kepala perdikan mendatangi, mereka pasang aksi seolah pendukung beratnya, setelah dikasih kepeng mereka tidak segan berjanji siap membantu. Demikian seterusnya manakala ada calon lain yang datang, dengan sikap sempurna yang sama mereka lakukan, dan, bantuan kepeng datang lagi. Bahkan diantara mereka ada yang teriak “enak jaman sak iki to……ngapusi wae entuk duwit”…. Terjemahan bebasnya enak jaman sekarang…berbohong saja dapat uang.

Lalu bagaimana cara Ibu Dewi Pilkadawati mencari kepeng guna menyediakan maunya para calon kepala perdikan. Beliau cukup menaikkan setengah margin harga produknya yang merupakan kebutuhan utama sebagian besar para kawulo alit; maka selesailah urusan semuanya. Dengan kata lain beliau menterjemahkan hukum sosial “dari kita untuk kita” dengan sempurna. Beliau beramal tidak harus dengan bersusah payah menghitung nisabnya harta; tetapi dengan kecerdasan model emak-emak saat anak-anaknya meminta uang jajan saat mau berangkat sekolah; semua selesai nyaris sempurna.

Semoga Perdikan yang akan melakukan pemilihan kepala ini mendapatkan pimpinan sesuai tuntutan jamannya. Semoga Tuhan menunjukkan jalan terang dan menuntun mereka yang dikodratkan untuk menjadi pemimpin terbaik dengan tidak harus emosian apalagi temperamental. Tancep Kayon Gunungan Keluar tanda wayang sudah berakhir.

Salam Waras (SJ)

Nabilla Diana Alda Putri Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih Juara 3 Bidang Matematika Ajang Kompetisi Siswa Saintech Indonesia (KSSI) 2024

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Nabilla Diana Alda Putri (23370073) Mahasiswa Prodi S1 Psikologi Universitas Malahayati yang berhasil mendapatkan “Juara 3 Bidang Matematika” pada Kejuaraan Tingkat Nasional Kompetisi Siswa Saintech Indonesia (KSSI) 2024 Kategori Mahasiswa. Acara ini diselenggarakan oleh @saintech.id, 28 Januari 2024.

Nabilla ucapkan rasa syukur, rasa senang dan bangga atas pencapaian ini. “Keberhasilan ini menjadikan motivasi tersendiri untuk saya agar dapat terus belajar dan berprestasi,” ucapnya.

Ia mengungkapkan, menjadi juara 3 di ajang olimpiade matematika ini tidak hanya mengukuhkan kemampuan akademik saya. Tetapi juga memperkuat keyakinan saya bahwa dengan usaha yang sungguh-sungguh, apapun dapat dicapai.

Lebih lanjut, Nabila mengatakan akhirnya kemenangan ini menjadi titik awal bagi saya untuk terus belajar dan berkembang. Saya menyadari bahwa masih banyak yang harus saya pelajari dan kembangkan dalam bidang matematika.

Nabilla berkomitmen untuk tidak berhenti disini dan akan terus mengembangkan kemampuannya. “Saya harus terus belajar dan berusaha agar saya bisa meraih prestasi yang lebih tinggi dimasa depan,” tuntasnya.

Ricko Gunawan, M.Kes selaku Ka.Biro Kemahasiswaan Universitas Malahayati Bandarlampung, mengatakan “Teruslah kembangkan bakat yang dimiliki agar terus berprestasi”. Ricko berpesan, semoga dengan keberhasilan ini dapat memberikan memotivasi mahasiswa Univeraitas Malahayati agar menjadi anak muda bangsa yang berkualitas. (gil/humasmalahayatinews)

Kerukunan yang Membedakan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada masyarakat jawa dikenal adagium “rukun agawe santoso” adalah salah satu pepatah atau ajaran yang secara harfiah berarti: “agawe santoso” sama dengan membuat kuat. Sedangkan “Rukun” memiliki arti kesatuan atau persatuan yang damai. Jadi, “Rukun Agawe Santoso” dapat diartikan sebagai kesatuan atau persatuan untuk mencapai kedamaian atau kebahagiaan. Ini mencerminkan nilai-nilai harmoni, persatuan, dan kerukunan yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Pepatah ini mengajarkan pentingnya hidup dalam keselarasan dan kerukunan dengan sesama untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan bersama.

Oleh sebab itu dalam konteks filsafat manusia ada aliran yang berpendapat bahwa jodoh itu adalah “ketidaksamaan”. Contohnya kaki kiri itu jodohnya kaki kanan. Kalau kiri semua atau kanan semua, maka kaki itu tidak jodoh. Dengan kata lain aliran ini berpendapat “jodoh adalah ketidaksamaan”. Siang jodohnya malam, senang jodohnya susah; maka jika kita ingin memahami bagaimana hakekat dari hadirnya ketidaksamaan yang membuat harmoni, disanalah letak kuasa keilahian. Kesimpulan sementara yang dapat kita tarik ialah, jika “jodoh itu adalah ketidaksamaan”, maka pada ketidaksamaan itulah ada hamoni.

Bagaimana kenyataan itu terjadi dalam masyarakat, yang ada ternyata tidak seindah dalam teori di atas. Kita paling sulit memahami bahwa ketidaksamaan itu adalah sunatullah. Ini terbukti ada pemuka kaum yang dengan mudah mengeluarkan ucapan yang tidak sama dengan keyakinannya adalah kafir. Menjadi lebih miris lagi mengatakan bahwa yang benar itu hanya miliknya. Beliau lupa jika angka Sembilan dilihat dari lawan arah yang berbeda menjadi angka Enam. Jika kita simpulkan angkanya yang salah, tentu itu salah karena angkanya sama; jika kita katakan mata kita yang salah juga salah karena dengan mata yang samapun perbedaan angka tadi nyata jika kita melihatnya dari sisi yang berbeda.

Perbedaan perspektif seperti inilah yang sekarang sedang tumbuh subur; namun sayangnya tidak disertai tumbuhnya kesadaran akan adanya perbedaan, justru yang ada pemaksaan pendapat. Sebabnya tentu bermacam-macam, salah satu diantaranya adalah tingkat pendidikan yang tidak equivalent dengan kematangan berfikir, serta kesiapan untuk menerima karunia keilahian dalam memahami hakekat dari suatu sebab.

Manakala kita mampu memahami hakekat dari suatu peristiwa yang tergelar di muka bumi ini dengan jernih; maka kita tidak akan dengan mudah serta merta menyimpulkan bahwa perbedaan itu adalah dosa. Karena perbedaan itu memang diciptakan untuk memberi garis batas diantara sesuatu dengan sesuatu lainnya. Dengan garis batas tadi akan tampak secara tegas garis pisah sekaligus garis pilah dan pilih. Tinggal penetapan keputusan akan jatuhnya pilihan, itu tergantung kepada individu pemilihnya. Tidak salah jika pilihan itu bersifat personal; sebab di sana ada kebebasan untuk setiap individu menetapkan pilihan dan atau posisinya. Bahkan memilih untuk tidak memilih juga merupakan suatu pilihan, dan itu tidak salah.

Oleh sebab itu dalam ajaran jawa dikenal kata sareh, yang maknanya adalah berkaitan dengan sifat atau keadaan seseorang yang tenang, sabar, atau tidak terburu-buru. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mampu mengendalikan emosinya, tidak mudah marah, dan menghadapi situasi dengan kepala dingin.

Sayangnya sekarang orang yang masuk kategori sareh itu sudah menjadi barang langka, yang ada sekarang adalah orang yang “grusa-grusu” atau makna bebasnya berarti tergesa-gesa atau terburu-buru. Istilah ini menggambarkan perilaku atau tindakan yang dilakukan dengan cepat dan tanpa perencanaan yang matang, sering kali karena terburu-buru atau panik. Kata ini bisa digunakan dalam berbagai konteks untuk menggambarkan seseorang yang melakukan sesuatu dengan terburu-buru dan kurang hati-hati, sehingga berpotensi menghasilkan hasil yang kurang baik atau bahkan menimbulkan masalah.

Semoga dengan datangnya hari jumat penuh barokah ini dapat mengingatkan kita semua bahwa hidup itu akan indah jika ada perbedaan, karena dengan perbedaan kita akan mencapai kesepakatan, dan kebulatan akan kesepakatan itulah yang disebut harmoni. Suatu areal jika tumbuh satu jenis tumbuhan bunga saja, maka itu layak disebut kebun bunga; namun jika ditumbuhi oleh beragam bunga warna-warni yang menjadikan indah, maka itu layak disebut taman bunga. Tinggal bagaimana kita akan menghiasi hidup ini, apakah cukup sebagai kebun, atau kita menginginkan taman. Kedua pilihan itu tentu saja memiliki konsekwensi-konsekwensi yang satu dengan lainnya berbeda dalam menyikapi.

Salam Waras (SJ)

Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Gelar Yudisium, 52 Mahasiswa Resmi Bergelar Sarjana Kedokteran

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandarlampung menggelar Yudisium Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran di ruang 1.13 Universitas Malahayati. Sebanyak 52 mahasiswa lulus menyandang Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Yudisium periode ini. Kamis, (16/5/2024).

Acara ini juga dihadiri oleh, Sekretaris Fakultas Kedokteran, Sekretaris Prodi Pendidikan Dokter, Sekretaris Pendidikan Profesi Dokter, serta Ka. Biro Administrasi Akademik, Tarmizi SE.,M.Ak.

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, menyampaikan proses magang akan berbeda saat pendidikan, kita akan langsung melihat seperti apa penanganan pasien, yang selama ini hanya kita pelajari di buku.

“Kalo ada apa-apa jangan bertindak sendiri, harus selalu tanya apa saja yang harus kalian lakukan, jadi ada instruksi dari dokter yang bertanggungjawab,” pesan Dr. toni.

Dr. Toni mengingatkan untuk selalu jaga etika sebagai seorang dokter, etika itu nomor satu karena itu yang menjadi penilaian penting, bukan masalah pinter gaknya tapi yang utama etika dulu. “Semakin banyak kalian melihat semakin terampil kalian menjadi dokter,” ucapnya.

Dirinya menekankan bahwa era digital saat ini memainkan peran penting dalam proses magang, dan mengingatkan para calon dokter untuk tidak merekam kegiatan pelayanan dan pengobatan pada pasien.

Dekan juga mengimbau para calon dokter untuk menghindari pembuatan konten-konten untuk media sosial yang berhubungan dengan pelayanan medis.

Dalam kesempatan tersebut, Dr. Toni Prasetia juga menekankan pentingnya menjaga hubungan baik antara calon dokter dengan perawat dan petugas medis lainnya. Ia menyampaikan bahwa solidaritas dan kekompakan di antara mereka merupakan hal yang paling penting.

“Dua tahun lagi, kita akan bertemu dengan suasana yang sama, namun dengan tema yang berbeda, yakni saat sumpah dokter. Saya berharap kita semua berhasil ke depan dan dapat mengabulkan harapan orang tua agar kita sukses menjadi dokter kelak,” tambah Dr. Toni Prasetia.

Selanjutnya, Wakil Rektor 4 Drs Suharman, M.Pd., M.Kes mengucapkan selamat kepada 52 peserta yudisium sarjana kedokteran yang telah mendapatkan gelar S.Ked. Ia menekankan pentingnya menjaga sikap, sopan santun, dan etika selama menjalani co-ass karena hal tersebut akan menjadi penilaian di masa depan. Wakil Rektor juga mengingatkan para calon dokter untuk selalu menjaga nama baik almamater mereka, yaitu Universitas Malahayati.

Para peserta yudisium juga diingatkan untuk tetap rendah hati meskipun telah meraih gelar S.Ked setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran. Wakil Rektor 4 mengingatkan bahwa ini hanya tahap awal dalam perjalanan mereka, dan masih ada tahap pendidikan profesi dokter yang akan dihadapi. (gil/humasmalahayatinews)

Nanda Kurniawan, Mahasiswa Psikologi Universitas Malahayati Raih Medali Perunggu Ajang Olimpiade Saintech 2024

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Nanda Kurniawan (23370076) Mahasiswa Prodi S1 Psikologi Universitas Malahayati Bandarlampung  yang telah berhasil mendapatkan “Juara 3 Bidang Biologi” pada Kejuaraan Tingkat Nasional Olimpiade Siswa Saintech 2024 Kategori Mahasiswa, yang diselenggarakan oleh @saintech.id, 21 April 2024.

Nanda menyampaikan terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi dalam pencapaiannya hingga saat ini. “Saya ingin berterima kasih kepada orang-orang di sekitar saya yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam setiap langkah perjalanan kompetisi ini. Prestasi ini adalah hasil kerja keras bersama,” ujarnya.

Mahasiswa yang baru memasuki semester kedua ini menunjukkan keberanian dan kepercayaan diri dengan memilih mengikuti lomba saintech ini. Ia menjelaskan bahwa pilihannya didasarkan pada pemahaman akan potensinya dalam bidang pelajaran biologi.

Dalam harapan dan motivasinya ke depan, Nanda mempunyai harapan semoga dapat membuka peluangnya kedepan dan terus dapat menorehkan prestasi yang akan berdampak baik bagi kariernya kedepan.

Prestasi Nanda Kurniawan menjadi kebanggaan bagi Universitas Malahayati, dan harapannya dapat menginspirasi mahasiswa lain untuk terus mengejar passion dan berprestasi dalam berbagai bidang.

Editor : Gilang Agusman

Kentus dan Kementhus

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Ketus dan Kementhus. Kedua kata itu berasal dari bahasa Jawa yang ucapannya hampir sama, tetapi maknanya sangat berbeda. Kentus atau tombong merupakan cikal bakal pembentukan tunas kelapa. Kentus kelapa bentuknya bulat dan terletak di dalam daging buah kelapa yang sudah tua. Waktu kecil zaman tahun 50-an dahulu kalau mengupas kelapa yang sudah tua, maka di dalam dagingnya tadi ada juga daging bulat, dengan tekstur yang sangat lembut, dan itulah namanya kentus. Biasanya menjadi rebutan kami yang masih anak-anak pada waktu itu, dan itu merupakan kebahagiaan tersendiri.

Berbeda lagi dengan Kementhus; dari hasil penelusuran digital ditemukan informasi Kata “kumenthus” dan “kumaki” sering diucapkan “kementhus” dan “kemaki” masih sering kita dengar dalam percakapan bahasa Jawa. Arti umumnya adalah “sombong”. Masih banyak orang yang berbahasa ibu “Jawa” mengerti hal ini. Yang bukan Jawa pun tahu mengatakan “kemaki”.

Kumenthus berasal dari kata “Kenthus”, yaitu sejenis katak yang bisa menggembungkan perutnya. Kataknya kecil-kecil saja, tetapi kalau pas menggelembung dia akan menjadi besar. Tidak hanya besar badannya tetapi suaranya pun menjadi besar. Kita tidak akan menyangka kalau bunyi yang keras itu dikeluarkan oleh makhluk sekecil itu. Orang “kumenthus” adalah orang yang berlagak sok berani sepertinya dia yang paling jagoan.

Tampaknya sekarang sedang banyak para kemethus ini berkeliaran disekitar kita dengan berlagak sok berani mencegat kendaraan berat untuk dimintai uang. Hampir sepanjang jalan raya yang dilalui kendaraan berat, mereka selalu beroperasi dengan cara memintapaksa kepada sopir kendaraan. Itu adalah permintaan yang terang-terangan dilakukan mereka ditengah jalan.

Bagaimana dengan para kementhus yang berbaju petugas dengan teknik “uang keamanan” mereka memeras para sopir kendaraan berat. Walaupun kalau kita telusuri mereka beraksi itu karena ada target yang harus mereka capai guna menenangkan Sang Bos. Persoalannya siapakah Sang Bos ini; ternyata Bos ini bagai multilevel, dimana setiap Bos punya Bos Besar lagi di atasnya; dan seterusnya.

Dunia kementus ternyata tidak hanya ada di jalan, tetapi kementhus berdasi juga tidak kurang; justru ini pada umumnya lebih rakus. Terkadang perilakunya menggelikan, kelihatan sok bersih bahkan sok suci; ternyata menerima storan lebih banyak dan lebih beragam. Kantornya berpendingin, bersih, wangi; walaupun sejatinya bau bangkai. Untuk masuk keruangannya-pun harus melalui lapisan security yang berlapis-lapis; namun manakala berhadapan dengan penyetoran, maka kata orang Palembang…..”lanjak ke”…

Lucunya lagi juga melanda orang yang merasa menjadi tokoh agama, yang seharusnya bisa berkata lebih santun, lembut dan penuh etika. Ternyata saat berhadapan dengan perbedaan sudut pandang; asli kementhusnya keluar; bahkan tidak segan-segan mengkafirkan orang yang alim dan hafal kitab suci yang sama dia yakini, dan belum tentu dia mampu menghafal dan sedalam pemahaman yang dikafirkan. Ternyata kementhus sudah menutupi akal sehatnya sebagai manusia yang merasa diri sebagai ahli.

Dunia kementhus sudah merajalela ke semua sendi kehidupan; hanya tampilannya saja yang membedakan. Ada yang berpola terang-terangan, ada yang malu-malu tapi mau, ada yang sok menolak tapi sebenarnya rakus. Atau gabungan dari ketiganya, dan ini yang sering tampak sekarang, bahkan bisa jadi musang berbulu ayam; tampak sekilas alim alamak ternyata kelakuannya saat sendiri bagai singa lapar yang tujuh hari tidak makan.

Kekementhusan ini tampaknya sudah menjadi “wabah sosial” karena hampir di semua lapisan masyarakat perilaku kementhus melanda. Terlepas apakah itu bawaan lahir, namun tampaknya keacuhtakacuhan masyarakat selama ini akan kondisi sosial sekitar ikut mengkontribusi tumbuh suburnya sikap kementhus. Miskinnya keteladanan dari pemimpin bangsa yang tampaknya akhir-akhir ini makin sulit didapat, diduga juga memberi kontribusi yang signifikan akan tumbuhkembangnya sikap kementhus bagi rakyatnya.

Dagelan kementhus tiap hari ditampilkan dihadapan kita, pertanyaan tersisa sampai kapan sikap kementhus itu akan terus dipertontonkan. Tentu saja jawabannya sampai alam ini digulung oleh malaikat atas perintahNYA. Konon juga kehancuran alam ini diakibatkan oleh sikap kementhus penghuninya. Semoga kita tidak menjadi bagian pengkontribusi timbulnya sikap kementhus.
Salam Waras (SJ)

Turut Berduka Cita…

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Rektor dan Sivitas Akademika Universitas Malahayati Bandar Lampung Mengucapkan Turut Berduka Cita atas wafatnya Ibu Sairah Binti H. Tanjid, Mahasiswa Profesi Kebidanan Universitas Malahayati. Semoga semua amal ibadahnya diterima di sisi-Nya (gil/humasmalahayatinews)

Rektor Universitas Malahayati Sambut Kunjungan Tim Asesor LamPTKes untuk Asesmen Lapangan Prodi S1 Farmasi

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr. MM., menyambut kunjungan Tim Asesor dari Lembaga Akreditasi Program Studi Teknologi Kesehatan (Lam-PTKes) di Lt.5 Gedung Rektorat, Selasa (14/5/2024).

Tim yang terdiri dari Dr. Apt. Diky Mudhakir, M. Si dan Prof. Dr. Apt. Dian Ratih Laksmitawati, M. Biomed ini hadir sebagai bagian dari proses asesmen lapangan akreditasi Program Studi S1 Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati.

Dalam sambutannya, Rektor Achmad Farich menyatakan komitmen Universitas Malahayati untuk menyediakan pendidikan tinggi berkualitas di bidang farmasi. Dia menyambut hangat kehadiran Tim Asesor LamPTkes dan berharap kunjungan ini akan memberikan wawasan berharga bagi pengembangan program studi farmasi di universitas tersebut.

“Kami sangat senang menyambut Tim Asesor LamPTkes di kampus kami. Kunjungan ini merupakan kesempatan bagi kami untuk mendapatkan umpan balik yang berharga tentang Program Studi S1 Farmasi kami. Kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan kami sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh lembaga akreditasi,” ujar Rektor Achmad Farich.

Tim Asesor LamPTKes kemudian melakukan serangkaian kegiatan evaluasi lapangan selama tiga hari ke depan, termasuk observasi langsung terhadap fasilitas, kurikulum, dan proses pembelajaran di Program Studi S1 Farmasi Universitas Malahayati. Mereka juga akan berinteraksi dengan dosen, mahasiswa, dan staf administrasi untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang program studi tersebut.

Dalam prosesnya, Tim Asesor akan menilai Program Studi S1 Farmasi berdasarkan sembilan kriteria akreditasi yang mencakup visi, misi, tujuan, tata kelola, mahasiswa, sumber daya manusia, keuangan, sarana dan prasarana, pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta luaran dan capaian. Penilaian ini akan menjadi dasar untuk menentukan status akreditasi program studi, apakah Terakreditasi dengan peringkat Unggul, Baik Sekali, atau Tidak Terakreditasi. (*)

 

Editor: Asyihin