Oleh: Sudjarwo 
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Selepas hari lebaran Idhul Fitri banyak kerabat kembali ke asal dengan menggunakan sejumlah moda angkutan. Ada pengalaman menarik dari mereka adalah terjebak pada pilihan; yaitu mereka berasumsi bahwa pada saat hari lebaran kendaraan masih jarang dan lalu lintas lancar. Mereka memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah dua jam setelah usai sholat Id agar tidak terjebak kemacetan. Ternyata keluarga yang berfikir demikian bukan hanya dirinya; banyak keluarga lain yang berasumsi sama. Akhirnya mereka terjebak pada kemacetan panjang yang memakan waktu lebih lama dari yang mereka duga.
Ternyata asumsi seperti ini tidak hanya saat berkendaraan; banyak jalan kehidupan yang dihadapkan pada pilihan, dan pilihan itu seolah jebakan yang tidak dapat dihindari. Berdasarkan penelusuran digital makna simbolis ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Makna dari “terjebak pada pilihan” bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, tapi secara umum, frasa ini menggambarkan kondisi ketika seseorang merasa tidak benar-benar bebas dalam memilih, meskipun tampaknya ada opsi yang tersedia. Ada semacam tekanan, kebingungan, atau ketidakpastian yang membuat pilihan itu terasa seperti jebakan, bukan kebebasan.
Beberapa makna diantaranya: Pertama, Kebingungan dan keraguan. Seseorang bisa merasa terjebak karena tidak tahu mana yang terbaik. Semua pilihan punya risiko, dan rasa takut salah membuatnya tidak bisa melangkah. Kedua, Pilihan yang terbatas atau sama-sama buruk. Kadang, semua opsi yang tersedia tidak ideal, sehingga memilih salah satu terasa seperti mengorbankan sesuatu. Maka, walaupun “memilih”, sebenarnya tidak ada pilihan yang benar-benar diinginkan. Ketiga, Tekanan dari luar. Bisa jadi seseorang merasa harus memilih karena tuntutan sosial, keluarga, pasangan, atau pekerjaan. Jadi, meskipun tampaknya ia yang memilih, sebenarnya ia hanya mengikuti arus. Keempat, Konflik batin. Hati ingin satu hal, tapi logika atau realita mendorong ke arah lain; maka, apapun yang dipilih terasa salah atau berat.
Ternyata terjebak pada pilihan jika dilihat dari sudut pandang filsafat tidak sesederhana frasenya. Hal itu dapat diuraikan bahwa: Filosofi dari “terjebak pada pilihan” bisa dikaitkan dengan beberapa aliran atau pemikiran dalam filsafat, terutama yang berkaitan dengan kebebasan, kehendak, dan eksistensi. Ini beberapa pendekatan filosofis yang bisa memberi makna lebih dalam:
1. Eksistensialisme – Jean-Paul Sartre, Kierkegaard, Simone de Beauvoir.
Eksistensialis percaya bahwa manusia bebas memilih, tapi kebebasan itu bukan hal ringan. Justru karena terlalu bebas, manusia sering merasa cemas, takut, dan bahkan “terjebak” dalam pilihan-pilihannya sendiri.
“Man is condemned to be free.” – Sartre.
Maknanya: Kita harus memilih, tapi tiap pilihan membentuk makna hidup kita, dan itu tanggung jawab besar. Saat kita bingung, itu bukan karena tidak ada pilihan, tapi karena semua pilihan menuntut kita untuk menjadi sesuatu.
2. Determinisme vs. Kebebasan
Dari sisi determinisme, ada gagasan bahwa kita tidak sepenuhnya bebas karena semua pilihan kita dipengaruhi oleh faktor luar—kondisi sosial, budaya, sejarah pribadi. Maka, terjebak pada pilihan bisa berarti sadar bahwa kita sedang “dipaksa” memilih dalam batas-batas yang sudah ditentukan.
3. Stoikisme – Seneca, Epictetus, Marcus Aurelius
Stoik percaya bahwa yang bisa kita kendalikan hanya batin dan respons kita. Kalau kita merasa terjebak pada pilihan, itu karena kita mengikat diri pada hal-hal di luar kendali. Filosofinya adalah melepaskan keterikatan dan menerima apa yang terjadi dengan kebijaksanaan.
4. Taoisme – Laozi
Dalam Taoisme, ada ide bahwa terlalu banyak berpikir dan memilih bisa membuat kita kehilangan “aliran alami” kehidupan. Wu wei—tidak memaksa, membiarkan segala sesuatu mengalir—adalah kunci. Saat kita merasa terjebak, mungkin karena kita melawan arus yang seharusnya kita ikuti.
Jika kita ringkaskan kesimpulan Filosofisnya ialah, “Terjebak pada pilihan” adalah momen eksistensial. Ia menyingkap kerapuhan kita sebagai manusia yang ingin kebebasan tapi takut akan konsekuensinya. Ia menguji apakah kita sungguh hidup dengan sadar, atau hanya bereaksi pada tekanan luar.
Banyak peristiwa di dunia ini menggiring manusia terjebak pada pilihan, dan pilihan itu tidak bisa diulang atau dihindari. Akibatnya kita sering menerima akibat dari sesuatu sebab yang tidak kita kehendaki. Dengan kata lain kita berada pada posisi harus memilih dari suatu pilihan yang sejatinya semua tidak kita pilih; akibatnya kita berada pada lingkar pilihan yang tidak mengenakkan. Memang dalam alam demokrasi ada pilihan untuk tidak memilih juga suatu pilihan; akan tetapi itu jika yang dipilih tidak memiliki ikatan dalam bentuk apapun. Berbeda jika pilihan yang harus dipilih itu diajukan oleh mereka yang memiliki ikatan yang bentuknya bisa beragam. Tentu saja keadaan ini akan memposisikan yang memilih masuk ke dalam kondisi terjebak pada pilihan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Membakar Suratnya Sendiri
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu saat turun dari kegiatan ritual subuh di mushala, berbincang dengan sesama jamaah dengan topik “ikhlas”. Tentu saja karena beragam pengetahuan dan kedalaman masing-masing pemahaman yang berbeda; maka pendefinisian tentang ikhlas ini beragam. Saat sampai di rumah, lanjut untuk menelusuri makna ikhlas yang sesungguhnya itu seperti apa. Hasil penelusuran digital ditemukan uraian yang sangat menarik jika dilihat dari konsep filsafat.
Imam Al-Ghazali merumuskan tentang ikhlas dengan suatu simbol — “seperti orang yang membakar suratnya sendiri setelah mengirimkannya, agar tak ada yang tahu selain Sang Maha Mengetahui dan tujuan surat itu dilayangkan” — adalah simbolis dan penuh makna batin. Bisa dibayangkan seseorang menulis surat untuk seseorang yang dicintainya. Setelah dikirimkan, kemudian salinan surat itu dibakar, agar tak ada yang tahu isi surat itu — hanya si pengirim dan si penerima.
Jika konteks ini disimbolkan kepada kita saat berdo’a maka, surat itu adalah amal perbuatan atau do’a, dan si penerima adalah Tuhan. Maka, membakar surat sama dengan menghapus jejak niat untuk dipuji, diingat, atau dihargai oleh siapa pun, selain Tuhan. Jika kita maknai secara filosofis, berarti kita sedang menutup ruang ego. Maknanya, jika kita menyimpan salinan surat (amal), bisa jadi kita ingin membanggakannya di masa depan — entah pada orang lain, atau pada diri sendiri. Oleh karena itu Imam Ghazali mengajarkan: “lepaskan semua itu. Jangan mengklaim kebaikanmu”.
Hal ini juga menunjukkan bahwa kita dapat melampaui kesadaran sosial; maksudnya dunia sosial penuh dengan pujian, validasi, suka/tidak suka — tapi ikhlas itu berlaku di ruang batin, sunyi dari keramaian. Dengan kata lain saat kita “membakar surat”, berarti kita menutup pintu dari keinginan dinilai oleh siapa pun kecuali “Dia”.
Hal ini juga menunjukkan totalitas ketulusan; maksudnya Ikhlas itu bukan setengah-setengah. Membakar surat berarti juga kita tidak menyisakan bukti, tidak ingin diakui — bahkan oleh diri kita sendiri. Oleh sebab itu pada posisi ini kita harus hati hati, bisa jadi dimana kita beranggapan bahkan berucap bahwa “aku telah ikhlas”; itupun bisa jadi jebakan ego, sekaligus sesungguhnya menunjukkan ketidakihlasan.
Lebih jauh para sufi mengatakan bahwa ikhlas itu makna spiritualnya: mengandung laku fana (lenyapnya aku) — bahwa dalam amal sejati, “aku tak penting, yang penting adalah Dia”. Oleh karena itu ada ungkapan sufi yang terkenal mengatakan :”Ya Allah, aku berbuat bukan karena aku mulia, tapi karena Engkau pantas menerima segalanya.”
Oleh sebab itu jika kita refleksikan dengan sejumlah pertanyaan: apakah kita benar-benar rela berbuat baik tanpa disadari siapa pun termasuk diri kita?. Bisakah kita tetap berbuat baik walau tak pernah ada yang tahu, mengingat, atau membalas?. Tentu jawabannya sangat subyektif dan sangat personal.
Salah satu nukilan tentang ini adalah satu pernyataan sufi dari Abu Yazid al-Bistami yang mengatakan “orang yang masih melihat dirinya ikhlas, sejatinya belum ikhlas.” Yang maknanya: selama masih merasa bahwa “akulah yang ikhlas”, itu berarti masih ada aku di sana. Ikhlas sejati adalah saat kau beramal dan bahkan lupa bahwa dirinya telah beramal. Dengan kata lain amal yang ikhlas adalah amal yang tak diketahui siapa pun, bahkan oleh diri sendiri.
Oleh karenanya, dalam jalan sufi, seseorang tidak mengejar ikhlas, karena jika kita mengejarnya, berarti kita masih mengejar sesuatu. Sementara yang kita kejar adalah mahabbah (cinta) kepada Allah. Dari cinta yang tulus, muncullah amal yang ikhlas — tanpa dipaksa, tanpa dibuat-buat. Oleh karenanya Rābiʿah al-ʿAdawiyyah berkata “Aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka, dan bukan juga karena ingin surga, tapi karena aku mencintai-Mu.”
Ikhlas adalah keadaan batin yang hanya bisa diraih lewat cinta, kehancuran ego, dan kesadaran bahwa tiada daya selain dari-Nya. Oleh karena itu “amalmu bukan milikmu. Bila kau anggap itu milikmu, maka kau telah mengotorinya.” Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Terjebak Pada Pilihan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Selepas hari lebaran Idhul Fitri banyak kerabat kembali ke asal dengan menggunakan sejumlah moda angkutan. Ada pengalaman menarik dari mereka adalah terjebak pada pilihan; yaitu mereka berasumsi bahwa pada saat hari lebaran kendaraan masih jarang dan lalu lintas lancar. Mereka memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah dua jam setelah usai sholat Id agar tidak terjebak kemacetan. Ternyata keluarga yang berfikir demikian bukan hanya dirinya; banyak keluarga lain yang berasumsi sama. Akhirnya mereka terjebak pada kemacetan panjang yang memakan waktu lebih lama dari yang mereka duga.
Ternyata asumsi seperti ini tidak hanya saat berkendaraan; banyak jalan kehidupan yang dihadapkan pada pilihan, dan pilihan itu seolah jebakan yang tidak dapat dihindari. Berdasarkan penelusuran digital makna simbolis ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Makna dari “terjebak pada pilihan” bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, tapi secara umum, frasa ini menggambarkan kondisi ketika seseorang merasa tidak benar-benar bebas dalam memilih, meskipun tampaknya ada opsi yang tersedia. Ada semacam tekanan, kebingungan, atau ketidakpastian yang membuat pilihan itu terasa seperti jebakan, bukan kebebasan.
Beberapa makna diantaranya: Pertama, Kebingungan dan keraguan. Seseorang bisa merasa terjebak karena tidak tahu mana yang terbaik. Semua pilihan punya risiko, dan rasa takut salah membuatnya tidak bisa melangkah. Kedua, Pilihan yang terbatas atau sama-sama buruk. Kadang, semua opsi yang tersedia tidak ideal, sehingga memilih salah satu terasa seperti mengorbankan sesuatu. Maka, walaupun “memilih”, sebenarnya tidak ada pilihan yang benar-benar diinginkan. Ketiga, Tekanan dari luar. Bisa jadi seseorang merasa harus memilih karena tuntutan sosial, keluarga, pasangan, atau pekerjaan. Jadi, meskipun tampaknya ia yang memilih, sebenarnya ia hanya mengikuti arus. Keempat, Konflik batin. Hati ingin satu hal, tapi logika atau realita mendorong ke arah lain; maka, apapun yang dipilih terasa salah atau berat.
Ternyata terjebak pada pilihan jika dilihat dari sudut pandang filsafat tidak sesederhana frasenya. Hal itu dapat diuraikan bahwa: Filosofi dari “terjebak pada pilihan” bisa dikaitkan dengan beberapa aliran atau pemikiran dalam filsafat, terutama yang berkaitan dengan kebebasan, kehendak, dan eksistensi. Ini beberapa pendekatan filosofis yang bisa memberi makna lebih dalam:
1. Eksistensialisme – Jean-Paul Sartre, Kierkegaard, Simone de Beauvoir.
Eksistensialis percaya bahwa manusia bebas memilih, tapi kebebasan itu bukan hal ringan. Justru karena terlalu bebas, manusia sering merasa cemas, takut, dan bahkan “terjebak” dalam pilihan-pilihannya sendiri.
“Man is condemned to be free.” – Sartre.
Maknanya: Kita harus memilih, tapi tiap pilihan membentuk makna hidup kita, dan itu tanggung jawab besar. Saat kita bingung, itu bukan karena tidak ada pilihan, tapi karena semua pilihan menuntut kita untuk menjadi sesuatu.
2. Determinisme vs. Kebebasan
Dari sisi determinisme, ada gagasan bahwa kita tidak sepenuhnya bebas karena semua pilihan kita dipengaruhi oleh faktor luar—kondisi sosial, budaya, sejarah pribadi. Maka, terjebak pada pilihan bisa berarti sadar bahwa kita sedang “dipaksa” memilih dalam batas-batas yang sudah ditentukan.
3. Stoikisme – Seneca, Epictetus, Marcus Aurelius
Stoik percaya bahwa yang bisa kita kendalikan hanya batin dan respons kita. Kalau kita merasa terjebak pada pilihan, itu karena kita mengikat diri pada hal-hal di luar kendali. Filosofinya adalah melepaskan keterikatan dan menerima apa yang terjadi dengan kebijaksanaan.
4. Taoisme – Laozi
Dalam Taoisme, ada ide bahwa terlalu banyak berpikir dan memilih bisa membuat kita kehilangan “aliran alami” kehidupan. Wu wei—tidak memaksa, membiarkan segala sesuatu mengalir—adalah kunci. Saat kita merasa terjebak, mungkin karena kita melawan arus yang seharusnya kita ikuti.
Jika kita ringkaskan kesimpulan Filosofisnya ialah, “Terjebak pada pilihan” adalah momen eksistensial. Ia menyingkap kerapuhan kita sebagai manusia yang ingin kebebasan tapi takut akan konsekuensinya. Ia menguji apakah kita sungguh hidup dengan sadar, atau hanya bereaksi pada tekanan luar.
Banyak peristiwa di dunia ini menggiring manusia terjebak pada pilihan, dan pilihan itu tidak bisa diulang atau dihindari. Akibatnya kita sering menerima akibat dari sesuatu sebab yang tidak kita kehendaki. Dengan kata lain kita berada pada posisi harus memilih dari suatu pilihan yang sejatinya semua tidak kita pilih; akibatnya kita berada pada lingkar pilihan yang tidak mengenakkan. Memang dalam alam demokrasi ada pilihan untuk tidak memilih juga suatu pilihan; akan tetapi itu jika yang dipilih tidak memiliki ikatan dalam bentuk apapun. Berbeda jika pilihan yang harus dipilih itu diajukan oleh mereka yang memiliki ikatan yang bentuknya bisa beragam. Tentu saja keadaan ini akan memposisikan yang memilih masuk ke dalam kondisi terjebak pada pilihan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kerja Sama Riset Genetik Forensik Antara Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati dan BRIN Teken Perjanjian Kolaborasi Penelitian
Penandatanganan perjanjian ini adalah wujud nyata dari kunjungan Tim Pusat Riset Biomedis BRIN yang dipimpin oleh Prof. Dr. Sunarno pada April 2024. Kunjungan tersebut bertujuan untuk menjajaki peluang kolaborasi riset antara Pusat Riset Biomedis BRIN dan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati. Fokus utama dari kolaborasi ini adalah pengembangan riset dalam bidang genetik forensik molekuler, yang nantinya akan digunakan untuk membantu identifikasi individu berdasarkan profil DNA, terutama dalam konteks bencana masal yang sering terjadi di Provinsi Lampung.
Selain itu, Provinsi Lampung sering menghadapi potensi bencana alam, yang dapat menghasilkan jenazah dalam kondisi yang sangat bervariasi, mulai dari yang utuh, sebagian utuh, hingga yang telah membusuk, terbakar, atau terkubur. Oleh karena itu, penelitian ini akan sangat berguna dalam mengidentifikasi individu yang tidak dikenal, khususnya dalam situasi bencana masal.
Dari pihak Pusat Riset Biomedis BRIN, Dr. Abdul Hadi Furqoni, S.Kep., M.Si, yang turut terlibat dalam koordinasi teknis penelitian, juga menambahkan, “Penelitian ini akan menjadi milestone penting dalam riset forensik di Indonesia, khususnya dalam menangani identifikasi korban bencana di wilayah yang sangat beragam secara genetik seperti Lampung.”
Kolaborasi antara Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati dan Pusat Riset Biomedis BRIN ini bukan hanya membuka peluang bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang genetik, tetapi juga diharapkan dapat memberikan solusi praktis dalam menghadapi tantangan identifikasi jenazah pasca-bencana. Penelitian ini juga berpotensi untuk menghasilkan database profil DNA personal yang dapat digunakan untuk keperluan identifikasi di masa mendatang, baik dalam konteks hukum maupun sosial.
Ke depan, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pengembangan instrumen identifikasi DNA yang khusus ditujukan untuk masyarakat Suku Lampung. Hal ini tentu akan memberikan kontribusi besar terhadap keamanan dan kemajuan riset forensik di Indonesia.
Dengan adanya kerja sama ini, Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati dan BRIN membuka babak baru dalam riset biomedis dan forensik di Indonesia. Diharapkan, kolaborasi ini akan membawa manfaat yang lebih luas, tidak hanya bagi masyarakat Lampung, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan dalam menghadapi berbagai tantangan bencana dan identifikasi personal. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Rektor Universitas Malahayati Gelar Halal Bihalal Bersama Pimpinan Organisasi Kemahasiswaan dan Alumni, Satukan Langkah Menuju Kampus Unggul
Hadir dalam kegiatan ini Wakil Rektor I Prof. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., Wakil Rektor III Dr. Eng. Rina Febrina, ST., MT., serta Wakil Rektor IV Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes. Acara tersebut menjadi momentum penting untuk mempererat tali silaturahmi sekaligus menyelaraskan visi dalam membangun Universitas Malahayati yang lebih maju dan unggul.
“Halal bihalal adalah momen sakral yang menyatukan kita dalam semangat kebersamaan. Kita tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga hadir dengan hati yang bersih, untuk kembali merajut komunikasi, memperbaiki hubungan, dan memperkuat kepercayaan antar semua elemen di kampus ini,” ujar Rektor Kadafi.
Ia menegaskan bahwa Universitas Malahayati saat ini terus bergerak meningkatkan mutu pendidikan, kualitas riset, dan pelayanan publik. Tidak hanya itu, ia juga mengungkapkan target besar universitas ke depan, yaitu meraih status sebagai kampus unggul secara nasional dan mampu bersaing di tingkat global.
“Kami memiliki komitmen kuat untuk menjadikan Universitas Malahayati sebagai kampus unggulan. Untuk itu, dibutuhkan sinergi yang solid antara mahasiswa, alumni, dan seluruh sivitas akademika. Roda organisasi kemahasiswaan harus terus berjalan dengan baik. Mahasiswa harus menjadi agen perubahan, sedangkan alumni harus tetap menjadi inspirasi dan mitra strategis dalam pembangunan kampus,” tambahnya.
“Halal bihalal bukan hanya tentang silaturahmi, tapi juga tentang membangun kembali semangat kolektif. Mahasiswa dan alumni adalah dua pilar penting dalam ekosistem kampus. Mahasiswa menjadi motor penggerak organisasi, sementara alumni adalah wajah nyata keberhasilan universitas di masyarakat,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya organisasi kemahasiswaan sebagai ruang tumbuh yang membentuk karakter, kepemimpinan, dan tanggung jawab sosial. Kepada alumni, ia menyampaikan apresiasi atas segala bentuk dukungan, serta berharap kolaborasi antara universitas dan alumni dapat terus ditingkatkan dalam bentuk nyata — mulai dari mentoring, jejaring kerja, hingga pengembangan program bersama.“Mari kita perkuat sinergi ini, bukan hanya dalam seremoni, tapi dalam aksi nyata. Kampus ini adalah rumah kita bersama,” pungkasnya.
Kegiatan halal bihalal ini diharapkan menjadi awal yang baik untuk membangun komunikasi yang lebih terbuka, kerja sama yang lebih erat, dan semangat baru dalam menyongsong masa depan Universitas Malahayati yang unggul, maju, dan membanggakan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Viral, antara Ilusi dan Prestasi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Akhir-akhir ini jagad dunia maya berkembang begitu pesat, baik isi maupun ragamnya. Teknologi informasi tampaknya sedang tumbuh dan berkembang begitu pesat, karena memudahkan suatu peristiwa menyebar luas tanpa tenggang waktu yang cukup lama. Lima belas tahun yang lalu hal seperti ini baru merupakan mimpi bahkan ilusi; walaupun sudah diberi peringatan dini, banyak pihak tidak percaya bahkan abai akan dekade ini.
Begitu pesat perkembangan teknologi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh siapapun, dengan maksud apapun, sehingga menjadikan apa saja menjadi terbuka untuk diketahui oleh siapa saja. Sekat-sekat sosial, jarak, waktu; sudah bukan menjadi hambatan; justru menjadi momentum untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga dari kepala daerah sampai orang biasa, atau bukan siapa-siapa dapat membuat dan kemudian mengunggahnya untuk dapat diviralkan.
Saat ini sedang menjadi “hias layar” Gubernur, Bupati, Pemuka Agama, ahli mekanik, pemerhati, pendidik , menampilkan acara singkatnya dengan harapan apa yang diinginkan cepat menyebar luas di tengah masyarakat melalui dunia maya. Atas nama “mengedukasi masyarakat” mereka mengejar rating sekaligus mendapatkan imbalan dari penyelenggara media. Oleh sebab itu ada diantara mereka mendapatkan penghasilan yang cukup besar dari kegiatan seperti ini.
Lebih jauh kita menelisik tentang ini; bersumber dari berbagai pustaka digital ditemukan informasi secara filosofis sebenarnya makna dari Ungkapan “prestasi apa ilusi” mengandung pertanyaan mendalam tentang makna dan nilai dari apa yang kita sebut sebagai prestasi. Berikut beberapa interpretasi dan makna yang bisa ditarik:
1. Pertanyaan tentang Makna Sejati Prestasi
Ungkapan ini mengajak kita untuk merenungkan apakah pencapaian yang kita raih atau yang dinilai oleh masyarakat benar-benar mencerminkan keberhasilan yang hakiki. Dengan kata lain, apakah apa yang kita anggap sebagai “prestasi” hanyalah suatu konstruksi atau gambaran ilusi, yang pada akhirnya tidak memiliki substansi atau arti mendalam dalam kehidupan?
2. Kritik Terhadap Standar Sosial
Di era modern, standar keberhasilan sering kali diukur dari pencapaian materiil, pengakuan sosial, atau reputasi. Ungkapan ini bisa dilihat sebagai kritik terhadap kecenderungan tersebut, yaitu bahwa:
Nilai Prestasi Relatif: Apa yang dianggap sebagai prestasi bisa berbeda-beda tergantung pada norma sosial dan budaya yang berlaku.
Superfisialitas: Penghargaan dan pencapaian yang terlihat cemerlang di permukaan belum tentu mencerminkan kualitas, dedikasi, atau kebahagiaan sejati seseorang.
3. Refleksi atas Realitas dan Harapan
Ungkapan ini juga mengandung dimensi reflektif, mengajak setiap individu untuk: Pertama, mengevaluasi Tujuan Hidup: Apakah pencapaian yang dikejar hanya untuk memenuhi ekspektasi eksternal atau memang sejalan dengan nilai dan keinginan pribadi?. Kedua, menerima Ketidaksempurnaan: Di balik sorotan gemerlap prestasi, ada realitas kehidupan yang kadang tak seindah penampilannya. Hal ini mengingatkan kita bahwa tidak semua pencapaian bersifat permanen atau benar-benar “nyata.”
4. Mengajak pada Pemikiran Kritis
Dengan mengajukan pertanyaan “prestasi apa ilusi”, kita didorong untuk: Pertama, mempertanyakan Sistem Penilaian: Bagaimana kita mengukur kesuksesan? Apakah melalui pencapaian yang tampak atau melalui proses dan pertumbuhan pribadi?. Kedua, mengutamakan Makna Personal: Mungkin pencapaian yang sejati adalah yang memberi kepuasan batin dan memberikan dampak positif, bukan semata-mata pengakuan dari pihak luar.
Secara keseluruhan, ungkapan “prestasi apa ilusi” merupakan undangan untuk menilai ulang arti sebenarnya dari kesuksesan dan pencapaian. Ini menantang kita untuk berpikir apakah pencapaian yang kita kejar hanyalah bayangan yang dibentuk oleh harapan dan norma sosial, ataukah merupakan realitas yang bermakna dalam konteks kehidupan dan nilai-nilai pribadi. Ungkapan ini membuka ruang untuk diskusi mengenai bagaimana kita mendefinisikan keberhasilan dan apakah kita sebaiknya mencari kepuasan dari dalam diri daripada terpaku pada standar yang dibentuk oleh masyarakat.
Tak terbayangkan sebelumnya bahwa setiap momen peristiwa saat ini dapat seketika diunggahsiarkan kepada khalayak maya; sehingga apapun kejadiannya bisa dengan cepat merambatsebar keseluruh penjuru. Namun sayangnya banyak diantara kita tidak sadar bahwa apapun peristiwanya akan membuat penilaian berbelah tiga; pertama yang mendukung, kedua netral, ketiga antipati. Diksi yang dipilihpun tidak jarang membuat terperangah pembacanya, karena sering dengan pilihan yang fulgar; bahkan seolah tak bernorma. Tetapi itulah kenyataan dunia maya, manakala kita tidak siap menghadapinya, lebih baik cukup membaca dan melihatnya. Pengambilan jarak aman seperti inipun bukan berarti kita terbebas dari emosi. Oleh sebab itu pendewasaan berfikir harus terus kita lakukan agar tidak terjebak kepada kesesatan berfikir; sehingga kita masih waras untuk membedakan mana prestasi dan mana yang hanya ilusi. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Datang dan Pergi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Mendapat kiriman berita duka dari seorang sahabat yang ibunda tercintanya meninggal dunia, atau dalam budaya Jawa dikenal dengan “lelayu”; tentu secara otomatis meluncur doa untuk almarhum semoga surga tempatnya, diampuni segala dosanya, dan dilipatgandakan ganjaran amal sholehnya. Peristiwa itu membangkitkan kenangan mendalam kepada almarhum dan almarhumah kedua orang tua dahulu yang pergi menghadap Sang Khalik beriringan, dengan selisih waktu tiga hari pada tahun 2006 dalam usia 106 Tahun dan 98 tahun.
Ternyata semua itu menunjukkan bukti bahwa dunia ini bagai “bandara besar” yang menampung penumpang datang dan pergi/berangkat. Ada yang harus menunggu lama karena pesawat yang harus ditumpangi belum tiba; namun ada juga yang baru tiba langsung naik pesawat berangkat ke tujuannya. Adapun jeda waktu masing-masing penumpang itu berbeda-beda; juga pesawat yang dinaiki dengan maskapai penerbangan yang tidak sama pula. Ada yang datang dan berangkat dengan “maskapai” yang sama; namun ada juga datang dan pergi dengan maskapai yang berbeda.
Berdasarkan penelusuran literatur digital diksi “datang dan pergi, dunia bagai bandara” dalam filsafat adalah pernyataan yang sangat bermakna dan bisa ditafsirkan secara mendalam. Diantara makna dari kalimat ini ialah:
1. Filsafat sebagai sesuatu yang dinamis
Kalimat ini menggambarkan bahwa filsafat tidak pernah diam—ia datang dengan pertanyaan, pergi dengan jawaban (atau sebaliknya), lalu datang lagi dengan pertanyaan baru. Seperti di bandara, di mana orang-orang datang dan pergi, demikian pula ide-ide filsafat: tak pernah menetap selamanya, selalu berganti, selalu dinamis. Oleh karena itu jika mereka yang sudah ada pada wilayah filsafat, tidak pernah berhenti memikirkan hakekat sesuatu, setiap peristiwa dan kejadian apapun namanya.
2. Dunia sebagai tempat perlintasan
Mengibaratkan dunia sebagai bandara menunjukkan bahwa hidup ini sementara, tempat singgah saja. Dalam konteks ini, filsafat hadir untuk memberi makna dalam “transit kehidupan” ini. Tapi sebagaimana di bandara, filsafat pun tidak permanen; ia bisa datang saat kita sedang mencari arah, lalu menghilang saat kita merasa “sudah sampai”.
3. Keterasingan dan pencarian makna
Bandara juga bisa diartikan sebagai tempat di mana orang asing berkumpul—tidak ada yang benar-benar tinggal di sana. Ini bisa mencerminkan rasa keterasingan manusia di dunia, dan filsafat adalah “penumpang” yang datang menemani dalam waktu tertentu, memberi refleksi atau kejelasan, lalu pergi lagi.
4. Kritik terhadap konsumerisme ide
Kalimat itu juga bisa dibaca secara lebih sinis: bahwa kini filsafat diperlakukan seperti komoditas yang “datang dan pergi”, bukan lagi sebagai jalan hidup, tapi sebagai tren, seperti orang lalu-lalang di bandara—cepat, instan, dan seringkali tanpa kedalaman.
Oleh karena itu tidak heran jika di bandara besar ini “penumpang” nya bertingkah macam-macam; ada yang duduk manis dengan segala perenungannya, ada yang asyik dengan dirinya sendiri, ada yang mengejar barang-barang branded dalam etalase, ada yang bersendagurau, dan masih banyak lagi. Oleh karenanya ada penumpang yang begitu menikmati seolah tidak akan “pergi” dari sana, ada yang ingin sekali cepat berangkat karena sudah lelah ataupun jenuh, ada juga yang biasa-biasa saja; namun tidak sedikit yang tidak tahu harus berbuat apa.
Semua akan menaiki pesawatnya masing-masing setelah ada “panggilan” akan keberangkatannya. Dan, panggilan itu tidak dapat ditunda sejenakpun, karena jadwal yang ada bersifat permanen sekaligus imanen. Tidak ada seorangpun pengantar yang bisa masuk ke dalam “pesawat”; semua persoalan harus diselesaikan sendiri.
Demikian halnya yang dibawa; ada penumpang yang membawa begitu banyak bawaan, namun tidak sedikit yang hanya berlenggang karena merasa diri yakin dengan “kartu sakti” yang ada di sakunya. Merasa “amalnya” sudah cukup sebagai bekal untuk menuju tujuan; namun ada juga yang was-was apakah “kartu”nya bisa menyelesaikan segala persoalan, penumpang yang model begini hanya pasrah akan takdirnya. Dan, masing-masing penumpang akan sibuk dengan dirinya sendiri, sekalipun itu suami istri, kakak adik, saudara. Seolah ada sekat diri pada masing-masing dalam melanjutkan “perjalanan abadi” itu.
Tidaklah salah peringatan dini yang ditulis oleh para winasis terdahulu “jangan terlalu pusing memikirkan dunia, sampai sampai membuat tidak sadar kalau sebenarnya kita sedang antri untuk meninggalkannya”. Kalau sudah begini pertanyaan tersisa “masihkah kita harus berebut dengan isi dunia, yang jelas-jelas akan kita tinggalkan jika waktunya tiba”. Masihkah kita terus mengejar fatamorgana dunia hingga lupa akan darah daging kita yang semua nanti akan dimintai pertanggungjawabannya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
“Sumeleh”
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu ada seorang “piyantun ngayojokarto hadiningrat” yang sudah cukup lama kenal dan tinggal di daerah ini; pada kesempatan itu beliau mengirimkan satu vidio yang berisi bagaimana sikap hidup “sumeleh” dalam budaya Jawa. Tentu saja media itu sering diputar untuk merenungkan apa esensi pesan yang disampaikan; terutama yang berkaitan dengan pengenalan pandangan hidup sekaligus pandangan batin akan ciptaan Yang Maha Kuasa.
Menarik untuk dicermati apa itu sumeleh dalam pemahaman filsafat manusia. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan penjelasan esensial sebagai berikut: dalam filsafat manusia (Jawa), “sumeleh” adalah konsep penting yang menggambarkan sikap pasrah dengan penuh kesadaran dan ketulusan kepada kehendak Tuhan (Gusti Allah), tanpa kehilangan semangat hidup atau tanggung jawab pribadi.
Secara etimologis dan filosofis, sumeleh berasal dari kata dasar seleh yang berarti “meletakkan” atau “menyerahkan”. Maka sumeleh dapat dimaknai sebagai meletakkan diri dalam kepasrahan total kepada kehendak Ilahi, namun tetap berusaha dengan ikhlas dan tidak terikat hasil.
Dengan demikian, esensi dari sumeleh adalah: pasrah aktif – bukan menyerah tanpa usaha, tapi berusaha sebaik mungkin, lalu menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Oleh sebab itu dalam pandangan filsafat Jawa, konsep tawakal lekat dengan kesadaran rasa (rasa sejati). Salah satu cirinya adalah mewujudkan inner peace (ketenangan batin) – orang yang sumeleh tidak mudah galau, tidak larut dalam kekhawatiran, karena percaya semua sudah dalam kendali Tuhan. Oleh karenanya diperlukan sikap rendah hati – mengakui keterbatasan diri di hadapan yang Maha Kuasa.
Konsep sumeleh dalam filsafat Jawa memang tidak berdiri sendiri—ia erat kaitannya dengan prinsip-prinsip lain seperti nerima, legawa, dan eling lan waspada. Semuanya saling mendukung dan membentuk satu kesatuan nilai hidup yang dalam.
Hubungan sumeleh dengan nerima, legawa, serta eling lan waspada adalah: nerima (nrimo ing pandum) – menerima dengan ikhlas apa yang diberikan oleh Tuhan. Nerima adalah pondasi dari sumeleh. Orang yang nerima tidak protes terhadap nasib atau takdir, tetapi menerimanya sebagai bagian dari kehendak Ilahi. Tetapi bukan berarti pasif—ia tetap berusaha, hanya saja hatinya tidak ngoyo dan tidak serakah. Hubungannya dengan sumeleh adalah: orang tidak bisa sumeleh kalau belum bisa nerima. Sumeleh lahir dari hati yang nerima.
Sementara legawa (ikhlas lahir batin) – melepaskan dengan lapang dada. Legawa adalah kemampuan untuk tidak terikat, termasuk terhadap hasil, orang lain, bahkan ego sendiri. Oleh karena itu dalam hidup, kita harus siap menerima kehilangan, kegagalan, atau perlakuan tidak adil tanpa dendam. Hubungannya dengan sumeleh: sumeleh butuh legawa agar tidak terbebani oleh kekecewaan atau penyesalan. Dengan legawa, kita bisa menyerahkan segala sesuatu dengan ringan.
Sedangkan eling lan waspada – selalu ingat pada Tuhan dan waspada terhadap godaan duniawi. Penjelasannya eling berarti sadar—bahwa hidup ini fana, bahwa kita hidup dalam skenario Tuhan. Waspada artinya hati-hati, waspada terhadap hawa nafsu, ambisi berlebih, dan ego.
Hubungannya dengan sumeleh: agar bisa sumeleh, seseorang harus punya kesadaran spiritual (eling) dan tidak lengah dalam hidup (waspada). Tanpa ini, sumeleh bisa jadi sekadar alasan untuk malas atau pasrah buta.
Sumeleh = Nerima + Legawa + Eling + Waspada. Keempatnya adalah laku batin yang menuntun seseorang menuju ketenangan jiwa, kebijaksanaan, dan harmoni dengan alam dan Tuhan. Namun bukan berarti sumeleh adalah hasil jumlah dari keempat unsur; tetapi lebih kepada terintegrasinya antarunsur keempat hal tadi diberi nama sumeleh.
Oleh karena itu, sangat salah dalam pandangan filsafat jika konsep di atas dipahamkan sebagai “klenik”, dan itu menunjukkan kedangkalan sekaligus kesesatan berfikir.
Pertanyaannya adalah bagaimana membumikan sumeleh itu dalam laku sehari-hari. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan mendadak atau seketika; akan tetapi lebih kepada proses mengendapnya rasa berserah kepada yang Maha Kuasa saat manembah melalui syariat yang diajarkan agama secara sempurna dan sungguh-sungguh. Di sini posisi shalat kita itu dalam pandangan filsafat adalah tiang agama, dan manakala shalatnya khusuk, maka sejatinya kita sudah sumeleh kepada kodratnya Alloh Sang Maha Pencipta. Tentu pendapat ini masih sangat debateble jika dikaji dari berbagai disiplin ilmu, dan itu sah-sah saja, akan tetapi dengan catatan “tidak perlu merasa benar sendiri”. Karena kebenaran pada wilayah filsafat berbeda dengan wilayahnya ilmu pengetahuan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Tetap Baik Walau Berbeda
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sudah menjadi kebiasaan umum saat hari Raya Id Fitri seperti beberapa hari lalu, kita mendapatkan ucapan atau juga mengirimkan ucapan yang berisi permohonan maaf kepada sanak saudara, handai tolan, kerabat dan “teman jauh” sekalipun. Apalagi saat seseorang ada pada posisi puncak karier atau jabatan; tidak aneh jika yang bersangkutan “kebanjiran” ucapan maupun “bingkisan” dari berbagai penjuru. Sampai-sampai Gubernur Jawa Barat harus berkata bahwa sebaiknya “pemberian” itu disalurkan kepada mereka yang berhak untuk mendapatkannya.
Peristiwa seperti itu juga sudah pernah dialami lebih dari dua puluh tahun lalu; dan seiring perjalanan waktu seleksi alami berjalan. Melalui “kematian” dan “pelupaan” dan, pemilahan seperti itu terus berjalan, sampai menyisakan residu sosial yang juga ikut menua. Akan tetapi ternyata “mutiara akan tetap sebagai mutiara, sekalipun dia ada di dalam lumpur hitam pekat”. Demikian juga manusia yang terbalut ahlak mulia, sekalipun memiliki keyakinan yang berbeda; dia tetap muncul sebagai “sinar terang” ditengah kegelapan. Dan, itu sekaligus yang membedakan dirinya dengan yang lain. Ternyata dari penelusuran lieratur yang ada makna filosofi “tetap baik walau berbeda” mencerminkan nilai kebijaksanaan, toleransi, dan kemanusiaan dalam perbedaan. Agar lebih jelasnya beberapa aspek filosofis tadi jika diuraikan akan kita temukan informasi sebagai berikut :
Kesadaran akan Keberagaman
Setiap individu memiliki latar belakang, keyakinan, dan cara pandang yang berbeda. Namun, perbedaan bukan alasan untuk bersikap buruk kepada orang lain.
Toleransi dan Harmoni
Menjaga kebaikan dalam perbedaan menunjukkan sikap toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima keberagaman tanpa harus mengubah atau menentang perbedaan tersebut. Walaupun pada tataran praksis persoalan ini tidak mudah dibumikan, karena yang sama saja belum tentu bisa toleran apalagi yang berbeda. Di sini diperlukan kedewasaan sikap dan fikiran yang sehat serta kematangan jiwa yang baik.
Kemanusiaan di Atas Segalanya
Kebaikan adalah nilai universal yang melampaui batasan suku, agama, budaya, atau ideology, bahkan agama. Dengan tetap bersikap baik, kita menunjukkan bahwa kemanusiaan lebih penting daripada perbedaan yang ada.
Kebijaksanaan dalam Berinteraksi
Sikap baik dalam menghadapi perbedaan mencerminkan kedewasaan dan kebijaksanaan. Tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama, namun bukan berarti harus bermusuhan.
Keseimbangan dalam Hidup
Dalam konsep harmoni kehidupan (sering disebut dalam filsafat Jawa atau Timur), menjaga keseimbangan antara perbedaan dan kebersamaan adalah kunci ketenteraman dan kebahagiaan bersama.
Filosofi ini mengajarkan bahwa perbedaan adalah bagian alami dari kehidupan, dan cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan tetap menjunjung nilai-nilai kebaikan. Ternyata kebaikan itu bisa menembus sekat perbedaan apapun, termasuk keyakinan. Oleh sebab itu tidak aneh jika seiring perjalanan waktu mutiara itu muncul dipenghujung dari pendulangan yang lama “digoyang” oleh hempasan peristiwa dan prahara.
Bisa dibayangkan sekian puluh tahun lalu menebar benih kebaikan, ternyata seiring perjalanan waktu pohon yang pada waktu itu tumbuh subur, bisa jadi kini tinggal tidak lebih dari dua batang saja. Demikian halnya “anakkan” yang dulu sumbur berlimpah, ternyata yang tersisa tidak lebih hanya empat anakan yang kini juga baaraau tumbuh dewasa. Tidak salah jika orang bijak pernah berpesan “teruslah berbuat baik, sekalipun kebaikanmu tidak didunia ini tubuh suburnya; namun Tuhan menjanjikan atasnya kelak di alam sana dia akan bersamamu”. Tidak salah juga jika tokoh agama terkenal selalu mewanti-wanti bahwa “ahlak itu sering tidak terkait dengan agama, sekalipun agama selalu mengajarkan akan pentingnya ahlakulkharimah”.
Di samping itu jangan pula berhenti berdoa karena Jalaluddin Rumi pernah berpesan “jangan batasi doa mu dengan nalar pikiranmu, karena yang kau anggap mustahil, bisa dengan mudah Allah mewujudkannya”. Terimakasih orang baik, keyakinan kita bisa berbeda, namun kemuliahan hatimu bisa menembus batas ruang dan waktu. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Nakal
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Dalam filsafat, makna “nakal” dapat ditinjau dari berbagai perspektif tergantung pada konteks dan aliran pemikiran yang digunakan. Berikut adalah beberapa sudut pandang yang bisa digunakan untuk memahami konsep “nakal”:
1. Etika dan Moralitas
Etika Aristotelian: Aristoteles berbicara tentang “keutamaan” (virtue) sebagai jalan tengah antara dua ekstrem. “Nakal” bisa dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dari kebajikan, tetapi tidak selalu buruk jika itu merupakan ekspresi dari kebebasan atau keberanian dalam batas yang tepat.
Sementara itu Utilitarianisme (Jeremy Bentham & John Stuart Mill): Tindakan “nakal” dinilai berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan atau penderitaan. Jika kenakalan meningkatkan kebahagiaan tanpa merugikan orang lain, maka bisa dianggap netral atau bahkan positif.
Dari kacamata Deontologi (Immanuel Kant): Dari perspektif Kantian, “nakal” bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban moral yang universal, terutama jika itu bertentangan dengan prinsip moral yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang.
2. Eksistensialisme dan Kebebasan Individu.
Jean-Paul Sartre: “Nakal” bisa dilihat sebagai bentuk ekspresi kebebasan individu. Jika seseorang bertindak “nakal” untuk menegaskan keberadaannya (existence precedes essence), itu bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap norma sosial yang menekan.
Friedrich Nietzsche: Dalam konsep “Übermensch” (Manusia Unggul), “nakal” bisa menjadi simbol penolakan terhadap moralitas budak dan penciptaan nilai-nilai baru yang lebih sesuai dengan kehendak pribadi dan kekuatan diri.
3. Perspektif Sosial dan Budaya
Dalam filsafat postmodernisme (misalnya Michel Foucault), “nakal” bisa dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang mengontrol individu. Apa yang dianggap “nakal” sebenarnya bisa menjadi alat untuk membongkar norma-norma yang menekan kebebasan manusia.
4. Perspektif Mistisisme dan Spiritualitas Timur
Dalam filsafat Timur seperti Taoisme, “nakal” bisa dipandang sebagai ekspresi spontanitas dan harmoni dengan dao (jalan alam). Jika kenakalan dilakukan dengan kesadaran akan keseimbangan, maka itu bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan bentuk permainan yang alami dalam kehidupan.
Secara umum, “nakal” dalam filsafat bukan sekadar tindakan melawan norma, tetapi juga bisa menjadi simbol kebebasan, kreativitas, atau bahkan refleksi kritis terhadap aturan sosial. Maknanya tergantung pada bagaimana tindakan itu dipahami dalam konteks moral, sosial, atau spiritual.
Sayangnya tidak semua kita, termasuk penguasa; yang mau memahami eksistensi berfikir nakal. Justru kebanyakan terjebak pada perilaku nakal; padahal keduanya sangat berbeda makhomnya. Oleh sebab itu berfikir nakal adalah karunia keilahian yang dilimpahkan kepada manusia; termasuk kepada sedikit jurnalis , termasuk didalamnya HBM.
Sementara perilaku nakal adalah hasil proses interaksi kehidupan yang salah duduk. Tidak salah jika ada tokoh bihavioris yang mengatakan bahwa “orang pandai itu adalah mereka yang diberi kelebihan oleh Tuhan untuk berfikir nakal”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
“Kontemplasi” Yang Tersisa Dari Ramadhan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat dikejauhan berkumandang takbir penanda berakhirnya bulan suci ramadhan, selepas isya’ duduk seorang diri sambil menikmati lantunan pujian kebesaran yang sayup-sayup terdengar. Jika menilik usia sekarang berarti sudah lebih dari tujuh puluh kali mendengar pujian dahsyat itu. Dan, ternyata sudah banyak teman-teman yang tidak sempat menikmati lagi alunan suci itu.
Berkontemplasi seperti ini membuat jalannya fikir makin jauh; lalu apa itu kontemplasi. Dari kenakalan berfikir ini mendorong untuk menelusuri lorong-lorong filsafat yang membahasnya. Dalam filsafat, berkontemplasi berarti merenung secara mendalam dan penuh perhatian terhadap suatu konsep, realitas, atau kebenaran tertentu. Kontemplasi bukan sekadar berpikir biasa, tetapi melibatkan pemusatan pikiran yang mendalam untuk mencapai pemahaman yang lebih esensial atau transendental.
Makna berkontemplasi dalam berbagai tradisi filsafat:
Filsafat Yunani Kuno – Plato dan Aristoteles menganggap kontemplasi (theoria) sebagai aktivitas intelektual tertinggi yang memungkinkan manusia mendekati kebenaran dan kebijaksanaan. Bagi Aristoteles, kontemplasi adalah bentuk kebahagiaan tertinggi karena menghubungkan manusia dengan aspek ilahi.
Filsafat Timur – Dalam ajaran filsafat timur, kontemplasi sering dikaitkan dengan meditasi dan kesadaran penuh (mindfulness), yang bertujuan mencapai pencerahan dan pemahaman akan hakikat realitas.
Filsafat Abad Pertengahan – Para filsuf seperti Agustinus dan Thomas Aquinas melihat kontemplasi sebagai cara untuk memahami Tuhan dan mencapai kesatuan spiritual dengan-Nya.
Eksistensialisme dan Fenomenologi – Heidegger dan Sartre menekankan kontemplasi sebagai cara untuk memahami keberadaan (being) dan kesadaran diri dalam dunia. Singkatnya, berkontemplasi adalah proses berpikir mendalam yang tidak hanya mencari jawaban rasional tetapi juga pengalaman langsung terhadap makna keberadaan dan kebenaran.
Dalam filsafat Islam, kontemplasi (tafakkur atau muraqabah) memiliki makna yang lebih mendalam, yaitu sebagai proses perenungan terhadap hakikat keilahian, alam semesta, dan diri sendiri. Kontemplasi dalam Islam tidak hanya bersifat intelektual tetapi juga spiritual, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami realitas yang lebih tinggi.
Tafakkur (Pemikiran Mendalam). Tafakkur adalah aktivitas berpikir mendalam yang dianjurkan dalam Al-Qur’an. Allah sering kali memerintahkan manusia untuk merenungkan tanda-tanda-Nya di alam semesta. Para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menggunakan tafakkur untuk memahami hubungan antara Tuhan sebagai Wujud Wajib (eksistensi niscaya) dan ciptaan-Nya.
Muraqabah (Kesadaran akan Kehadiran Tuhan). Dalam tasawuf, kontemplasi sering dikaitkan dengan muraqabah, yaitu kesadaran penuh bahwa seseorang selalu diawasi oleh Allah. Tokoh seperti Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa kontemplasi membawa manusia pada tingkat ma’rifat (pengetahuan hakiki tentang Tuhan). Melalui dzikir dan meditasi Islam, seseorang dapat mencapai fanā’ (peleburan diri dalam Tuhan) dan baqā’ (kehidupan spiritual yang kekal).
Ishraq (Pencerahan Spiritual). Filsuf Suhrawardi, dalam filsafat iluminasi (Hikmah al-Ishraq), menyatakan bahwa kebenaran sejati dapat dicapai melalui kontemplasi dan pencerahan batin, bukan hanya melalui logika rasional. Proses ini disebut sebagai penyinaran (tajalli), di mana cahaya Ilahi menerangi hati dan akal manusia.
Wujudiyah (Eksistensialisme Islam). Ibnu Arabi dalam filsafat wujud (wahdatul wujud) menyebut bahwa kontemplasi membawa manusia pada kesadaran bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari Tuhan. Kontemplasi dalam konteks ini bukan hanya merenungkan Tuhan sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi menyadari keberadaan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan.
Kontemplasi dalam filsafat Islam adalah sarana untuk memahami Tuhan, eksistensi, dan hakikat diri. Ia menggabungkan aspek rasional dan spiritual, sehingga menjadi jembatan antara akal dan hati. Melalui tafakkur, muraqabah, ishraq, dan wujudiyah, seorang muslim dapat mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas dan tujuan hidupnya. Oleh karena itu tidak salah jika kita merenungkan secara kontemplatif dari pendapat filosof islam terbesar pada jamannya yang mengatakan “belajar tasawauf bukan untuk menjadi alim; Apalagi merasa diri suci. Belajar tasawuf itu sejatinya untuk lebih mengenal kelemahan dan keburukan hati sendiri, karena tanpa tasawuf kita akan sibuk mencari-cari aib dan kesalahan orang lain”.
Pertanyaan tersisa apakah puasa yang baru selesai kita laksanakan sudah mencapai tataran seperti pada uraian di atas. Tentu jawabannya sangat subyektif karena hanya Tuhan dan diri-lah yang mengetahui. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman