Sutikno, S.Pd.I., M.Pd.I
Dosen Agama Islam Universitas Malahayati
–
Sebagaimana dipahami bahwa pada bulan Ramadhan banyak keistimewaan-keistimewaan  dan salah satunya adalah malam lailatul qodar,
Apa keistimewaan lailatul qodar? 
Lailatul Qadar merupakan malam keistimewaan yang hanya dimiliki bulan Ramadhan, yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai malam yang lebih baik daripada seribu bulan
Allah SWT berfirman , “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qadar. Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3)
Pada malam Lailatul Qadar tersebut, Allah SWT mengabulkan doa-doa hamba-Nya dan mengampuni dosa-dosa mereka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Kapan terjadi lailatul qodar? 
Para ulama memiliki berbagai pendapat mengenai waktu terjadinya Lailatul Qadar. Mayoritas sepakat bahwa malam mulia ini terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadan, terutama pada malam-malam ganjil yaitu malam ke-21, 23, 25, 27, atau 29.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:”Carilah Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” (HR. Bukhari & Muslim).
Namun, kapan tepatnya? Itu tetap menjadi misteri. Banyak ulama dan mufasir berpendapat bahwa ketidakjelasan ini adalah bagian dari hikmah Allah SWT. Hal tersebut dirahasiakan waktunya agar umat Islam berusaha mencarinya dan mendapatkan pahala yang besar.
Rasulullah SAW juga tidak pernah menyebutkan waktu atau tanggal pastinya, hanya memberi petunjuk bahwa ia berada di sepuluh malam terakhir dan lebih mungkin terjadi pada malam-malam ganjil.
Apa ciri-ciri malam lailatul qodar?
Setidaknya ada 4 ciri turunya lailatul qodar, sesuai keterangan hadits yaitu:
- Sinar Cahaya yang Sangat Kuat dan Terang.
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Lailatul Qadar (terjadi) pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa yang menghidupkan malam-malam itu karena berharap keutamaannya, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang. Dan malam itu adalah pada malam ganjil, ke dua puluh sembilan, dua puluh tujuh, dua puluh lima, dua puluh tiga atau malam terakhir di bulan Ramadhan,” dan Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya tanda Lailatul Qadar adalah malam cerah, terang, seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tentram, tidak dingin dan tidak pula panas. Pada malam itu tidak dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya. Dan sesungguhnya, tanda Lailatul Qadar adalah, matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu.” (HR Ahmad).
- Angin Berhembus dengan Tenang.
Rosulullah bersabda “Sesungguhnya aku melihat Lailatul Qadar kemudian aku melupakannya, Lailatul Qadar turun pada 10 akhir (bulan Ramadan) yaitu malam yang terang, tidak dingin, tidak panas, serta tidak turun hujan.” (HR Ibnu Khuzaimah no. 2190 dan Ibnu Hibban no.3688 dan disahihkan oleh keduanya)
- Matahari Terbit Pagi Harinya dalam Keadaan Tidak Menyilaukan.
Dari Ibnu Abbas dimana Rasulullah SAW bersabda: “Lailatul Qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan tampak kemerah-merahan.” (HR Ath-Thayalisi dan Al Baihaqi)
- Matahari Terpancar Terang dan Berwarna Putih.
Rasulullah SAW bersabda: Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke 27 (dari bulan Ramadan). Dan, tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru. (HR Muslim)
 Apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan lailatul qodar?
Bayangkan kita mendapatkan pahala sempurna dan lebih baik dari seribu bulan, maka tentu kita akan berusaha meraihnya dengan sekuat tenaga. Karena 1000 bulan utu setara dengan kurang lebih 83 tahun, dan ini lebih banyak dari rata-rata umur manusia saat ini.
Maka kiat untuk meraih lailatul qodar sebagaimana dicontohkan oleh nabi adalah memperbanyak intensitas ibadah di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: “Ketika memasuki sepuluh akhir Ramadhan, Nabi fokus beribadah, mengisi malamnya dengan ibadah, dan membangunkan keluarganya untuk ikut ibadah,” (HR Al-Bukhari).
Apa yang dilakukan Rasulullah di sepuluh malam terakhir Ramadhan?
Di banyak literasi bahwa nabi memprioritaskan amalan khusus di 10 hari terahir di bulan Ramadhan, diantaranya:
- Menghidupkan malam-malam Ramadhan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Muslim, ‘Aisyah meriwayatkan: “Aku selalu menyaksikan beliau beribadah selama Ramadhan hingga menjelang subuh,”
- Rasulullah saw selalu membangunkan keluarganya untuk shalat malam di malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan hadits Abi Dzar menggambarkan hal ini dengan jelas: “Bahwasannya Rasulullah saw beserta keluarganya bangun (untuk beribadah) pada malam 23, 25, 27. Khususnya pada malam 29.”
- Rasulullah mengencangkan ikat pinggang dalam arti menghindari tempat tidur pada sepuluh malam terakhir Ramadhan. Hal ini bersandar pada hadits: Rasulullah saw ketika memasuki sepuluh terakhir malam Ramadhan beliau mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan (beribadah) malam itu dan membangunkan keluarganya.
- Rasulullah saw selalu beri’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan.
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan oleh orang khusus (maksudnya dengan niat) dengan sifat tertentu (menyangkut syarat, waktu, definisi masjid, dan aturan sistematis lainnya)
Oleh karena itu mari kita hidupkan sisa 10 hari terakhir Ramadhan ini dengan sebaok-baiknya sesuai apa yang diajarkan oleh rasulullah SAW. Dan pengahapan kita dapat meraih lailatul qodar, amin ya rabbal ‘Alamin. (STK)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H.
Mari padukan rasa ikhlas untuk saling memaafkan dan meraih kemenangan yang hakiki.
Saling berjabat tangan, satukan hati, dan rangkai indah silaturahmi.
Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Taqabbal Ya Karim
Minal ‘Aidin wal-Faizin
Mohon Maaf Lahir dan Batiin. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Sungkem
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada tanggal satu Syawal saat Hari Raya Idul Fitri yang akan datang beberapa jam lagi, pada sebagain masyarakat khususnya Jawa, ada satu acara ritual yaitu sungkem kepada orang tua, atau yang dituakan. Mudik dijalani menjelajah negeri, hanya ingin satu kata berjumpa dengan orang tua untuk melakukan sungkem bersimpuh di hadapannya. Oleh karena itu, orang bijak berkata manakala orang tua sudah tiada, kampung halaman tinggal cerita. Selain itu, ada semacam rangkaian sungkem antara lain setelah kepada kedua orang tua, kemudian istri kepada suami, anak-anak kepada kedua orang tua, dan seterusnya.
Lalu, apa sejatinya sungkem itu? Berdasarkan penelusuran perpustakaan digital ditemukan informasi sebagai berikut: Tradisi sungkem pada hari raya Idulfitri di Indonesia diperkirakan telah ada sejak masuknya Islam ke Nusantara, khususnya melalui penyebaran ajaran Wali Songo pada abad ke-15 dan ke-16. Tradisi ini merupakan akulturasi antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal, terutama budaya Jawa yang sangat menjunjung tinggi penghormatan kepada orang tua dan leluhur.
Sejarah dan Perkembangannya:
Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa sudah mengenal tradisi penghormatan kepada orang tua dan sesepuh, yang tercermin dalam budaya sembah bakti. Ketika Islam masuk, nilai ini tetap dipertahankan tetapi diberi makna islami, yakni sebagai bentuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua) dan memohon maaf.
Dakwah Wali Songo dan Islamisasi Tradisi
Para Wali Songo menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya, tidak menghapus adat istiadat yang baik, tetapi menyelaraskannya dengan ajaran Islam. Dalam hal ini, sungkem menjadi bagian dari tradisi silaturahmi saat Idulfitri sebagai simbol penghormatan, permohonan maaf, dan doa restu dari orang tua atau sesepuh.
Tradisi Keraton dan masyarakat umum di lingkungan Keraton Mataram Islam (abad ke-16 hingga sekarang), tradisi sungkem sudah menjadi bagian dari tata cara penghormatan kepada raja dan orang tua. Tradisi ini kemudian menyebar ke masyarakat umum dan menjadi kebiasaan yang terus lestari, terutama di Jawa, Sunda, dan daerah lain yang memiliki pengaruh budaya serupa.
Pengaruh Kolonialisme dan Modernisasi
Meskipun Indonesia mengalami berbagai perubahan sosial selama masa kolonial dan modernisasi, tradisi sungkem tetap bertahan. Bahkan hingga saat ini, banyak keluarga masih menjalankan sungkem sebagai bagian dari momen Idulfitri, meskipun dengan bentuk yang lebih sederhana atau disesuaikan dengan kondisi keluarga masing-masing.
Beberapa negara lain memiliki tradisi serupa yang juga menekankan penghormatan kepada orang tua atau sesepuh, hanya beda caranya; berdasarkan penelusuran digital begara-negara tadi adalah:
1. Korea – Sebae (세배)
Di Korea, saat perayaan Seollal (Tahun Baru Imlek versi Korea), anak-anak dan anggota keluarga yang lebih muda melakukan sebae, yaitu membungkuk dengan posisi duduk (disebut keunjeol, 큰절) kepada orang tua dan sesepuh sebagai tanda penghormatan dan doa untuk kesehatan serta kebahagiaan mereka. Sebagai balasannya, orang tua biasanya memberikan nasihat dan angpao (sebaedon).
2. Jepang – Ojigi (お辞儀)
Jepang memiliki budaya ojigi, yaitu membungkuk sebagai tanda penghormatan. Meskipun tidak dilakukan secara khusus pada momen Idul Fitri atau perayaan keluarga, ojigi digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk meminta maaf, menunjukkan rasa hormat, dan mengucapkan terima kasih—konsep yang mirip dengan sungkem dalam budaya Jawa.
3. Tiongkok – Kowtow (叩头)
Dalam budaya Tiongkok, kowtow (menyentuhkan dahi ke lantai) merupakan bentuk penghormatan tertinggi yang diberikan kepada orang tua, leluhur, atau kaisar pada zaman dulu. Saat perayaan Tahun Baru Imlek atau dalam upacara tradisional, anak-anak biasanya bersujud kepada orang tua dan leluhur sebagai tanda bakti.
4. Thailand – Wai (ไหว้)
Masyarakat Thailand memiliki tradisi wai, yaitu gerakan menangkupkan tangan di dada dan membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Dalam konteks keluarga, terutama saat hari raya atau peristiwa penting, wai dilakukan kepada orang tua sebagai ungkapan penghormatan dan terima kasih, mirip dengan sungkem.
5. India – Pranāma (प्रणाम)
Dalam budaya India, pranāma adalah gestur penghormatan yang dilakukan dengan membungkuk dan menyentuh kaki orang tua atau guru sebagai tanda bakti. Ini adalah bentuk penghormatan yang umum dalam keluarga Hindu, terutama selama perayaan keagamaan atau acara keluarga penting.
Pertanyaan tersisa adalah masihkah tradisi luhur itu ada pada generasi Alfa sekarang. Dan, ini adalah tugas budaya kita semua untuk melakukan asimilasi dan akulturasi pada generasi penerus, agar terus lestari budaya bangsa ini. Melalui tulisan ini secara pribadi penulis mengucapkan Minal Aidin Wal Faizin mohon maaf lahir batin kepada seluruh staf redaksi dan sidang pembaca yang saya muliakan. Jika ada tulis yang tak berkenan mohon dimaafkan. Dan, semoga kita masih diberi kesempatan untuk ketemu Ramadhan yang akan datang. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kalah Tidak Sakit, Menang Merasa Terbantu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Subuh sepulang dari melaksanakan ibadah di musholah dekat rumah, melihat caption komentar dari seorang doktor pendidikan yang sekarang menjadi petinggi di daerah ini; dengan satu kalimat seperti judul di atas, setelah beliau membaca tulisan beberapa waktu lalu. Sontak semua itu membuat ingin menelusurinya secara filosofis dari hakekat diksi yang bijak itu.
Berdasarkan penelusuran literature digital ditemukan informasi sebagai berikut: Filosofi “Kalah tak tersakiti, menang merasa terbantu” mencerminkan sikap mental yang bijak dan harmonis dalam menghadapi persaingan atau konflik. Maknanya bisa dijabarkan sebagai berikut: Kalah tak tersakiti → Jika mengalami kekalahan, seseorang tidak merasa sakit hati, dendam, atau terpuruk. Kekalahan diterima dengan lapang dada sebagai pelajaran dan pengalaman untuk berkembang lebih baik.
Menang merasa terbantu → Jika menang, seseorang tidak merasa sombong atau merendahkan lawan, melainkan menyadari bahwa kemenangan tersebut juga berkat adanya pihak lain, termasuk lawan yang memberikan tantangan dan pembelajaran.
Filosofi ini menanamkan semangat sportivitas, kesadaran diri, dan kebijaksanaan dalam berkompetisi. Baik menang maupun kalah, yang utama adalah proses dan pembelajaran yang didapat. Ini selaras dengan prinsip “menang tanpa ngasorake” dalam budaya Jawa, yang berarti menang tanpa merendahkan atau menyakiti lawan.
Filosofi ini mengajarkan bahwa tindakan individu tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi berpengaruh pada keluarga dan masyarakat. “Kalah tak tersakiti, menang merasa terbantu” juga menekankan bahwa kemenangan atau kekalahan bukan hanya urusan pribadi, tetapi terkait dengan hubungan sosial dan bagaimana seseorang dihormati oleh orang lain. Oleh sebab itu filosofi ini juga mengandung pemaknaan kesadaran akan konsekuensi tindakan dan pentingnya menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain filosofi ini mengajarkan kita juga untuk tetap berjiwa besar dalam kekalahan dan rendah hati dalam kemenangan.
Namun pada tataran praksis topic di atas tidak mudah untuk dibumikan, apalagi disederhanakan; karena seperti disinggung di atas bahwa perilaku individu itu bukan berada pada ruang hampa; banyak variabel yang berkelindan di sana. Salah satu diantaranya adalah adanya kelompok petualang yang berperilaku pecundang. Karena kelompok ini salah satu karakternya adalah hidup di dua alam; alam konflik dan alam damai. Jika konflik terjadi mereka harus mendapat keuntungan, jika damai terjadi mereka harus dapat kedudukan.
Oleh sebab itu agar kelompok pecundang tidak berkembang, perlu dibangun: ruang diskusi yang sehat tanpa saling menyalahkan. Gunakan pihak ketiga sebagai mediator jika perlu. Fokus pada solusi, bukan pada siapa yang benar atau salah. Akan tetapi semua ini pada tataran teori; sementara pada tataran praksis ialah ada pada kesadaran diri, atau kedewasaan diri untuk menyelesaiakan persoalan apapun dengan pola” menang bersama”. Dan, jika itu dapat diwijudkan maka akan terjadi dinamika yang sehat, tidak ada dendam diantara pelaku.
Negeri ini tidak bisa dibangun dengan cara apapun jika para penyelenggara negerinya hanya sibuk mencari kesalahan fihak lain, karena ingin menyalurkan hasrat untuk membalas dendam. Padahal sudah seharusnya menyudahi pertikaian dan mencari kesamaan untuk membangun beradaban. Menang wasyukurilah, kalah alhamdullilah; adalah perwujudan dari ketinggian dan keteguhan akan keimanan dalam menjalankan syareat ketuhanan.
Kita tidak perlu mengirimkan kepala binatang kepada orang yang mengkritik kita, karena bisa jadi apa yang dikatakan benar adanya. Namun juga kita tidak perlu terlalu jumawa menjadi pengkritik paling keras, kalau kita tidak pernah juga memberikan solusi yang bijak. Dengan kata lain di dalam hak itu ada kuwajiban; dan, di dalam kuwajiban itu ada hak yang harus ditunaikan. Semoga diujung bulan suci ramadhan ini kita dapat menemukenali kembali diri kita, siapa kita, dari mana kita, akan kemana kita; apakah bekal perjalanan kita menuju kemana kita sudah mencukupi. Bisa jadi selama ini kita hanya mengejar fatamorgana kehidupan yang tidak pernah berakhir. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Transformasi Babi Ngepet, Teror dari Ketiak Kekuasaan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Membaca berita pada media yang digawangi HBM ini berkaitan dengan pelaporan akan kejadian Majalah Tempo yang dikirimi kepala babi tanpa telinga dan tikus tanpa kepala.
Dawai jiwa sebagai jurnalis bergetar menandakan kegemasan atas fenomena teror tersebut. Teringat kembali masa Orde Baru, setiap pemberitaan yang menyudutkan pemerintah harus berhadapan dengan satu kata: bredel.
Kata itu jadi momok saat itu, namun perubahan dalam bentuk teror kepala babi dan tikus tanpa kepala untuk mengintimidasi kerja-kerja jurnalistik sungguh sangat menjijikan sekali.
Sebagai orang yang pernah dididik dalam dunia jurnalistik langsung dari dua punggawanya, BM Diah dan Rosehan Anwar, tahun 1974-an, teror yang dapat katakan lebih kejam dibandingkan masa itu.
Dapat dianalogikan, jika babi ngepet untuk mereka yang ingin kaya tetapi tidak bekerja, cukup dengan “menjual dirinya” dengan para iblis. Tampaknya, babi ngepet era milenial ini untuk mencari harta dan tahta sekaligus.
Hanya bedanya, jika babi ngepet pesugijan minta bantuan mahluk lain, sementara yang sekarang justru berlindung di ketiak para penguasa dan pengusaha. Kemungkinan besar, mereka yang mengirim kepala babi dan tikus itu terusik oleh kekritisan Majalah Tempo.
TRANSFORMASI SIMBOL
Dalam banyak budaya, babi sering dikaitkan dengan kerakusan dan keburukan. Perubahan manusia menjadi babi dalam mitos ini bisa diartikan sebagai simbol bahwa seseorang yang mencari kekayaan dengan cara haram telah kehilangan kemanusiaannya dan berubah menjadi mahluk yang serakah.
Pengiriman kepala babi kepada institusi ini menunjukkan bahwa sang pengirim ingin menyampaikan pesan bahwa “dirinya pengecut dan tidak berani unjuk diri” oleh karena itu diwakilkan dengan kepala babi.
Berarti ini meneguhkan bahwa ketidakberanian sekaligus ketidakberadaban yang menyatu dalam diri si pengirim. Mengirim kepala babi kepada suatu institusi adalah tindakan simbolis yang bisa memiliki berbagai makna tergantung pada konteks budaya, sosial, dan politiknya.
Dalam banyak kasus, tindakan ini sering dikaitkan dengan ancaman, penghinaan, atau bentuk protes keras.
SIMBOL KETIDAKWARASAN
Dalam konteks tertentu, terutama di negara dengan mayoritas muslim atau bahkan Yahudi sekalipun, babi dianggap najis, mengirim kepala babi bisa dianggap sebagai bentuk penghinaan religius atau budaya.
Ini adalah bentuk ketidakwarasan yang berawal dari kepanikan karena “kerakusannya” yang buka kedoknya.
Dalam beberapa interpretasi, babi melambangkan keserakahan, korupsi, atau ketamakan. Bisa bermakna: “Institusi ini rakus dan busuk,” terutama jika institusi tersebut terkait dengan skandal atau kejahatan.
Oleh karena itu mengirimkan kepada pihak lain, itu sebenarnya adalah apa yang dimiliki sendiri oleh si pengirimnya.
Secara umum, ini adalah tindakan ekstrem yang bertujuan untuk memberikan efek psikologis yang kuat, baik berupa ancaman, penghinaan, atau perlawanan, kepada pihak lain yang tidak disukai; namun dengan cara-cara yang tidak beradab.
Oleh sebab itu menjadi aneh jika ada pejabat sekelas menteri berkata yang tidak seharusnya dia katakan saat diminta pendapat tentang ini.
Melalui tulisan ini ujuk keprihatinan ditujukan kepada seluruh insan pers bahwa ini adalah tindakan ketidakberadaban terhadap kita semua.
Terlepas apapun motifnya dan siapapun pelakunya, tetapi tindakan seperti sangat tidak elok dilakukan oleh manusia yang merasa dirinya masih sebagai manusia. Namun juga berarti peneguhan akan kebenaran apa yang sudah dikatakan oleh Tempo sebagai media melalui para jurnalisnya.
Mari kita rapatkan barisan untuk tetap kritis terhadap apapun yang menyimpang dari kaidah-kaidah dan norma-norma kehidupan. Sekali layar terkembang pantang surut kembali pulang. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
“Rebut Balung Tanpo Isi”
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari itu panas terik sekali serasa menyengat ubun-ubun; sekalipun matahari tidak begitu tampak, namun karena udara terperangkap pada awan yang mulai menghitam, akibatnya udara menjadi serasa di dalam oven. Pada kondisi itu alat media cakap berdering berarti ada yang masuk; tetapi karena situasi tidak mendukung maka tidak ada keinginan untuk menyambutnya; lagi pula jika suara keras seperti itu berarti tidak ada pada buku telpon sehingga bisa dipastikan itu pendatang baru. Namun karena sudah lebih dari tiga kali berdering, maka dengan kemalasan yang ada, terpaksa alat cakap itu diangkat. Ternyata, di seberang sana ada sahabat yang sudah lama sekali tidak jumpa meminta waktu untuk bicara, dan beliau mengonfirmasi bahwa mendapatkan nomor dari salah seorang mahasiswa program doktor di satu universitas ternama di daerah ini.
Percakapan dimulai dari yang ringan-ringan sampai pada titik tertentu membicarakan hal yang serius dari satu persoalan. Beliau menggunakan diksi dalam bahasa Jawa yang sudah lama tidak terdengar yaitu istilah seperti judul tulisan ini. Sontak ingatan menerawang jauh kepada kedua almarhum orang tua yang pernah menggunakan diksi itu dalam menasehati kami anak-anaknya, bahasa lengkapnya begini: “Anak-anakku kabeh, Bapak-Ibumu orak ninggalke bondo dunyo, mung ninggalke kepintaran ono sirahmu; mergo nek bondo dunyo mengko kuwe podo rebutan koyo dene rebutan balung tanpo isi; luwih becik taktinggali kepinteran supoyo kowe kabeh podo jajah deso milangkori”. Terjemahan bebasnya kira-kira “Anak-anakku, Bapak-Ibumu tidak mewariskan harta dunia, tetapi hanya meninggalkan kepandaian yang ada di kepalamu, sebab kalau harta dunia nanti kalian akan rebutan bagai berubut tulang tanpa isi, lebih baik saya tinggalkan kepandaian supaya kalian bisa keliling dunia”.
Seputus bicara dengan sohib lama tadi, kenangan lama bersama saudara-saudara dan orang tua terbayang kembali dalam ingatan. Bagaimana orang tua dahulu berkorban dengan berbagai cara agar anak-anaknya harus bersekolah di tengah situasi sulit saat itu. Alhamdullilah, kami semua sekarang menikmati hasilnya sesuai dengan doa beliau dan menjalankan kodratnya masing-masing.
Sebelum lebih jauh membumikan istilah diatas, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa konsep dari rebut balung tanpo isi itu. Dari penelusuran digital ditemukan jejak sebagai berikut: Ungkapan “rebut balung tanpo isi” berasal dari kearifan lokal dalam filsafat Jawa yang menekankan kebijaksanaan dalam bertindak dan memahami nilai sejati dalam kehidupan.
Meskipun tidak memiliki catatan sejarah formal yang jelas, konsep ini erat kaitannya dengan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dalam budaya Jawa, terutama dalam ajaran keselarasan (harmoni), kebijaksanaan, dan eling lan waspada (kesadaran dan kewaspadaan).
Asal-Usul dan Konteks Sejarah :
1. Era Kerajaan Jawa (Mataram Kuno hingga Mataram Islam). Dalam masa kerajaan-kerajaan Jawa, persaingan dan perebutan kekuasaan sering terjadi, baik antarsaudara maupun antarabangsawan. Banyak perang saudara atau konflik yang justru menghancurkan tatanan masyarakat karena perebutan sesuatu yang tidak benar-benar bernilai (misalnya, tahta tanpa legitimasi atau wilayah yang miskin sumber daya). Konsep “rebut balung tanpo isi” muncul sebagai kritik terhadap perebutan kekuasaan yang tidak membawa manfaat bagi rakyat, tetapi hanya melayani ambisi pribadi.
2. Filosofi Wayang dan Serat Kuno
Dalam wayang kulit, ada banyak kisah yang menggambarkan tokoh-tokoh yang bertarung demi sesuatu yang sia-sia. Misalnya, dalam kisah Mahabharata, tokoh seperti Duryudana dan Karna bisa dianggap “merebut balung tanpa isi” karena memperebutkan kerajaan secara tidak adil, meskipun akhirnya kehancuranlah yang mereka dapatkan.
Dalam serat-serat kuno seperti Serat Wulangreh (oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IV), ajaran kebijaksanaan sering kali menyoroti pentingnya memahami mana yang benar-benar berharga dan mana yang hanya ilusi duniawi.
3. Pengaruh Filsafat Jawa
Dalam ajaran budaya Jawa, manusia diajarkan untuk selalu mempertimbangkan apakah sesuatu layak diperjuangkan atau tidak. Sejatining urip(hakikat hidup) tidak terletak pada harta atau kekuasaan, melainkan pada keseimbangan dan kebijaksanaan. Prinsip ini juga sejalan dengan konsep “sabar, nrimo, lan waskita” (kesabaran, penerimaan, dan kebijaksanaan dalam melihat masa depan).
Oleh sebab itu dalam konteks kehidupan, ungkapan ini sering digunakan untuk menggambarkan: Pertarungan sia-sia – misalnya, perebutan kekuasaan, jabatan, atau harta yang sebenarnya tidak membawa kesejahteraan atau kebahagiaan sejati. Keserakahan tanpa esensi – orang yang hanya mengejar keuntungan materi tanpa memperhatikan nilai moral dan spiritual. Pertarungan demi harga diri semu – ketika orang bertengkar atau bersaing hanya demi gengsi atau ego, tanpa melihat apakah hal yang diperebutkan benar-benar bermanfaat.
Ungkapan ini mengajarkan agar manusia tidak terjebak dalam ambisi kosong yang hanya membawa kehancuran. Filsafat Jawa menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam memilih perjuangan, sehingga hidup tidak hanya sekadar mengejar sesuatu yang tampaknya berharga, tetapi sebenarnya kosong dan tidak bermakna.
Ternyata rebut balung tanpo isi itu sekarang tidak hanya melanda keluarga, akan tetapi juga merambah ke warga negara terhadap negaranya. Hanya bedanya sekarang berubah “rebut balung,sementara isinya sudah disedot orang lain duluan”; bisa dibayangkan kita berteriak basmi korupsi, basmi nepotisme dan lain sebagainya. Ternyata diseberang sana mereka berpesta dalam ruangan berpendingin sejuk dengan tertawa-tawa menikmati hasil korupsi berjamaah; sebagai misal korupsi di anak usaha Pertamina.
Semula semua ingin jadi pahlawan, seiring perjalanan waktu karena mengetahui aliran dana bagai Bengawan Solo yang mengalir sampai jauh, semua membisu. Kita berteriak pagar laut yang ilegal, dari rakyat sampai pejabat; ternyata yang punya sedang minum kopi panas bersama ketua. Sekali lagi, kita semua sedang berebut balung yang sudah tidak bersumsum. Buktinya hutang bejibun tapi mau diselesaikan dengan cara “melamun”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, Santuni dan Bagikan THR untuk 1.000 Anak Yatim di Lampung
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dalam semangat berbagi di bulan suci Ramadan 1446 H, Rektor Universitas Malahayati Bandarlampung, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, menggelar kegiatan sosial dengan membagikan Tunjangan Hari Raya (THR) dan santunan kepada 1.000 anak yatim di Provinsi Lampung.
Kegiatan ini berlangsung pada Selasa, 25 Maret 2025, di Graha Bintang, Universitas Malahayati. Anak-anak yatim dari berbagai daerah di Lampung diundang untuk menerima santunan secara langsung. Selain itu, Dr. Muhammad Kadafi juga menyempatkan diri mengunjungi rumah-rumah anak yatim untuk memberikan bantuan secara pribadi.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Muhammad Kadafi menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmennya untuk membantu mereka yang membutuhkan, terutama anak-anak yatim yang harus tetap mendapat perhatian dan kasih sayang dari masyarakat.
“Kegiatan berbagi ini sudah menjadi bagian dari kepedulian kami di Universitas Malahayati. Ramadan adalah waktu yang penuh berkah, dan kami ingin berbagi kebahagiaan dengan anak-anak yatim agar mereka juga bisa merasakan sukacita menjelang Idul Fitri,” ujar Dr. Muhammad Kadafi.
Menurutnya, memberikan perhatian kepada anak-anak yatim bukan sekadar bentuk kepedulian sosial, tetapi juga bagian dari nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijaga. Ia berharap kegiatan seperti ini dapat terus dilakukan secara berkelanjutan dan menginspirasi lebih banyak pihak untuk ikut berbagi.
Kegiatan ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat, terutama para penerima manfaat yang merasa sangat terbantu menjelang Hari Raya Idul Fitri. Seorang ibu yang mengasuh tiga anak yatim mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih atas bantuan yang diberikan.
“Alhamdulillah, bantuan ini sangat berarti bagi kami. Terima kasih kepada Bapak Dr. Muhammad Kadafi yang sudah peduli dengan anak-anak yatim. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan keberkahan,” ujarnya.
Selain pembagian santunan dan THR, acara ini juga diisi dengan doa bersama agar keberkahan Ramadan dapat dirasakan oleh semua pihak, serta agar semakin banyak yang tergerak untuk membantu sesama, terutama mereka yang membutuhkan.
Dengan adanya kegiatan ini, Universitas Malahayati menunjukkan peran aktifnya dalam kegiatan sosial, sekaligus menguatkan nilai kepedulian dan kebersamaan di tengah masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Gelar Santunan dan Doa Bersama Anak Yatim di Graha Bintang
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandarlampung kembali menunjukkan komitmennya dalam kegiatan sosial dengan menggelar santunan dan doa bersama anak yatim binaan Yayasan Alih Teknologi Bandar Lampung. Acara yang berlangsung di Graha Bintang Universitas Malahayati ini dihadiri oleh 372 anak yatim dan ibu yatim, serta seluruh civitas akademika universitas.
Acara yang diselenggarakan pada Selasa (25/3) ini dihadiri langsung oleh Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, beserta jajaran pimpinan universitas, termasuk Wakil Rektor I, Wakil Rektor II, Wakil Rektor III, Wakil Rektor IV, para dekan dan wakil dekan, ketua program studi, kepala lembaga, serta kepala biro.
“Universitas Malahayati selalu berkomitmen untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak yatim yang merupakan tanggung jawab bersama. Melalui acara ini, kami berharap dapat menebar kebahagiaan dan berbagi rezeki kepada mereka yang membutuhkan. Semoga kegiatan ini membawa keberkahan bagi kita semua,” ujar Rektor.
Acara ini juga menjadi semakin khidmat dengan momen buka puasa bersama, yang menambah kehangatan dan kebersamaan antara civitas akademika dan anak-anak yatim. Dalam suasana penuh syukur, para peserta berbagi cerita, harapan, dan kebahagiaan dalam kebersamaan.
Dengan terselenggaranya acara ini, Universitas Malahayati semakin menegaskan posisinya tidak hanya sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga yang peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Tetapkan Jadwal Libur dan Cuti Bersama Idul Fitri 1446 H
Keputusan ini diambil untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa, dosen, serta tenaga kependidikan dalam merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Dengan adanya libur dan cuti bersama ini, diharapkan seluruh civitas akademika dapat memanfaatkan waktu dengan baik untuk berkumpul, beristirahat, serta mempersiapkan diri sebelum kembali menjalani kegiatan akademik.
Selama periode libur, layanan administrasi kampus juga akan ditutup sementara. Bagi mahasiswa yang memiliki urusan akademik atau administratif, disarankan untuk menyelesaikannya sebelum tanggal 26 Maret atau setelah masa libur berakhir.
Universitas Malahayati mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H, mohon maaf lahir dan batin. Semoga kebahagiaan dan kedamaian senantiasa menyertai seluruh civitas akademika. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Program Studi DIII Kebidanan Universitas Malahayati Gelar Pengabdian Masyarakat dan Berbagi di Panti Asuhan Al Ghoni Raudhah
Devi Kurniasari, SST., Bdn., M.Kes, selaku Ketua Program Studi DIII Kebidanan Universitas Malahayati, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memberikan edukasi kesehatan kepada anak-anak, khususnya mengenai pentingnya mencuci tangan dengan benar sebagai bagian dari upaya menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh. “Kegiatan ini juga sebagai bentuk komitmen kami, baik dosen maupun mahasiswa, dalam mendukung kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak yang berada di lingkungan panti asuhan,” ujar Devi.
“Dengan berbuka bersama, kami berharap dapat memperkuat silaturahmi dan memberikan kebahagiaan bagi anak-anak yang sedang menjalani bulan Ramadhan ini,” tambah Devi Kurniasari.
Melalui kegiatan ini, diharapkan tidak hanya meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup sehat, tetapi juga membangun kepedulian sosial yang lebih luas dalam rangka menciptakan masyarakat yang sehat dan peduli satu sama lain, terutama di bulan penuh berkah ini. (gil)
Editor: Gilang Agusman
10 Hari Demi 1000 Bulan
Sutikno, S.Pd.I., M.Pd.I
Dosen Agama Islam Universitas Malahayati
–
Sebagaimana dipahami bahwa pada bulan Ramadhan banyak keistimewaan-keistimewaan dan salah satunya adalah malam lailatul qodar,
Apa keistimewaan lailatul qodar?
Lailatul Qadar merupakan malam keistimewaan yang hanya dimiliki bulan Ramadhan, yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai malam yang lebih baik daripada seribu bulan
Allah SWT berfirman , “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qadar. Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 1-3)
Pada malam Lailatul Qadar tersebut, Allah SWT mengabulkan doa-doa hamba-Nya dan mengampuni dosa-dosa mereka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Kapan terjadi lailatul qodar?
Para ulama memiliki berbagai pendapat mengenai waktu terjadinya Lailatul Qadar. Mayoritas sepakat bahwa malam mulia ini terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadan, terutama pada malam-malam ganjil yaitu malam ke-21, 23, 25, 27, atau 29.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:”Carilah Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” (HR. Bukhari & Muslim).
Namun, kapan tepatnya? Itu tetap menjadi misteri. Banyak ulama dan mufasir berpendapat bahwa ketidakjelasan ini adalah bagian dari hikmah Allah SWT. Hal tersebut dirahasiakan waktunya agar umat Islam berusaha mencarinya dan mendapatkan pahala yang besar.
Rasulullah SAW juga tidak pernah menyebutkan waktu atau tanggal pastinya, hanya memberi petunjuk bahwa ia berada di sepuluh malam terakhir dan lebih mungkin terjadi pada malam-malam ganjil.
Apa ciri-ciri malam lailatul qodar?
Setidaknya ada 4 ciri turunya lailatul qodar, sesuai keterangan hadits yaitu:
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Lailatul Qadar (terjadi) pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa yang menghidupkan malam-malam itu karena berharap keutamaannya, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang. Dan malam itu adalah pada malam ganjil, ke dua puluh sembilan, dua puluh tujuh, dua puluh lima, dua puluh tiga atau malam terakhir di bulan Ramadhan,” dan Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya tanda Lailatul Qadar adalah malam cerah, terang, seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tentram, tidak dingin dan tidak pula panas. Pada malam itu tidak dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya. Dan sesungguhnya, tanda Lailatul Qadar adalah, matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu.” (HR Ahmad).
Rosulullah bersabda “Sesungguhnya aku melihat Lailatul Qadar kemudian aku melupakannya, Lailatul Qadar turun pada 10 akhir (bulan Ramadan) yaitu malam yang terang, tidak dingin, tidak panas, serta tidak turun hujan.” (HR Ibnu Khuzaimah no. 2190 dan Ibnu Hibban no.3688 dan disahihkan oleh keduanya)
Dari Ibnu Abbas dimana Rasulullah SAW bersabda: “Lailatul Qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan tampak kemerah-merahan.” (HR Ath-Thayalisi dan Al Baihaqi)
Rasulullah SAW bersabda: Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke 27 (dari bulan Ramadan). Dan, tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru. (HR Muslim)
Apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan lailatul qodar?
Bayangkan kita mendapatkan pahala sempurna dan lebih baik dari seribu bulan, maka tentu kita akan berusaha meraihnya dengan sekuat tenaga. Karena 1000 bulan utu setara dengan kurang lebih 83 tahun, dan ini lebih banyak dari rata-rata umur manusia saat ini.
Maka kiat untuk meraih lailatul qodar sebagaimana dicontohkan oleh nabi adalah memperbanyak intensitas ibadah di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: “Ketika memasuki sepuluh akhir Ramadhan, Nabi fokus beribadah, mengisi malamnya dengan ibadah, dan membangunkan keluarganya untuk ikut ibadah,” (HR Al-Bukhari).
Apa yang dilakukan Rasulullah di sepuluh malam terakhir Ramadhan?
Di banyak literasi bahwa nabi memprioritaskan amalan khusus di 10 hari terahir di bulan Ramadhan, diantaranya:
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan oleh orang khusus (maksudnya dengan niat) dengan sifat tertentu (menyangkut syarat, waktu, definisi masjid, dan aturan sistematis lainnya)
Oleh karena itu mari kita hidupkan sisa 10 hari terakhir Ramadhan ini dengan sebaok-baiknya sesuai apa yang diajarkan oleh rasulullah SAW. Dan pengahapan kita dapat meraih lailatul qodar, amin ya rabbal ‘Alamin. (STK)
Editor: Gilang Agusman