Oleh: Sudjarwo 
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Istilah ini muncul disekitar awal tahun dua ribuan seiring tumbuhkembangnya generasi millennial saat itu. Saat ini mereka sudah melahirkan generasi Alpha yang lebih kaya lagi akan diksi bahasa, dan jika tidak cermat kita akan tertinggal dari perkembangan bahasa mereka. Kecepatan perkembangan bahasa ternyata juga berkaitan dengan perspektif penggunanya.
Bahasa sebagai media penyampai, untuk saat ini sudah berkembang dengan cepat, terutama bahasa-bahasa pergaulan yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Salah satu diantaranya adalah diksi “biasa aja kali”. Hasil penelusuran digital diperoleh informasi sebagai berikut: Istilah ini kemungkinan besar muncul secara alami dalam percakapan sehari-hari masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa gaul atau informal. Karena sifatnya yang sangat umum dan tidak terkait dengan istilah akademik atau budaya tertentu, sulit untuk menentukan kapan tepatnya ungkapan ini pertama kali digunakan dan siapa pengguna pertamanya.
Namun, ada beberapa faktor yang bisa membantu memahami asal-usulnya:
1. Evolusi Bahasa Gaul di Indonesia
Bahasa gaul di Indonesia terus berkembang, terutama sejak era media sosial dan internet. Ungkapan seperti “biasa aja” dan penambahan kata “kali” (yang menegaskan atau melembutkan pernyataan) sudah lama digunakan dalam bahasa lisan. Istilah ini kemungkinan besar berkembang sejak era 1990-an hingga 2000-an, seiring dengan popularitas bahasa santai di kalangan anak muda.
2. Pengaruh Media & Pop Culture
Banyak istilah gaul mendapatkan popularitas melalui sinetron, film, lagu, atau media sosial. Frasa seperti “biasa aja kali” sering muncul dalam percakapan karakter di film atau sinetron yang menggambarkan kehidupan anak muda. Seiring waktu, istilah ini menjadi bagian dari percakapan sehari-hari.
3. Penggunaan dalam Konteks Digital & Meme
Di era media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok, ekspresi “biasa aja kali” sering digunakan sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dianggap dilebih-lebihkan. Meme dan komentar di platform ini turut memperkuat penyebarannya.
Lebih lanjut ditemukan informasi filosofi dari “biasa aja kali” bisa diinterpretasikan sebagai cara pandang hidup yang santai, tidak berlebihan, dan lebih menerima keadaan apa adanya. Beberapa makna filosofis yang bisa dikaitkan dengan ungkapan ini antara lain:
1. Sikap Anti-Drama & Anti-Berlebihan
Dalam kehidupan, banyak orang yang terlalu membesar-besarkan suatu hal, entah itu kesuksesan, kegagalan, atau masalah kecil. Filosofi “biasa aja kali” mengajarkan bahwa tidak semua hal harus dibesar-besarkan. Hidup akan lebih ringan jika kita tidak selalu bereaksi berlebihan terhadap segala sesuatu.
2. Hidup Sederhana dan Rendah Hati
Menganggap sesuatu sebagai “biasa aja” bisa berarti tidak mudah terjebak dalam kesombongan atau euforia berlebihan. Misalnya, ketika seseorang mendapatkan pencapaian, tetapi tetap merasa bahwa itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang wajar, maka ia tidak akan cepat terlena.
3. Mengurangi Ekspektasi, Meningkatkan Kebahagiaan
Sering kali, ekspektasi yang terlalu tinggi bisa menyebabkan kekecewaan. Dengan filosofi “biasa aja kali,” seseorang belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaannya pada harapan yang muluk-muluk, sehingga lebih mudah merasa puas dan bersyukur.
4. Menghadapi Hidup dengan Lebih Tenang
Filosofi ini juga mencerminkan sikap zen atau ketenangan batin. Tidak semua hal harus direspons dengan intensitas yang tinggi. Ada kalanya kita hanya perlu mengamati, menerima, dan melanjutkan hidup tanpa terbawa arus emosi yang tidak perlu.
Secara maknawi filosofi “biasa aja kali” bukan berarti apatis atau tidak peduli, tetapi lebih kepada mindset yang tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan. Ini adalah cara untuk menjaga keseimbangan dalam hidup, tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi sesuatu, tetapi tetap sadar dan bijak dalam bertindak.
Oleh karena itu generasi pengguna istilah ini lebih tahan akan “gempuran” dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Mereka akan dengan cepat melakukan penyesuaian diri dengan keadaan yang ada. Hal ini makin kokoh lagi karena penguasaan akan teknologi digital; rerata mereka sangat menguasai penggunaan piranti ini. Informasi berada digegaman tangannya, oleh sebab itu mereka cepat mengambil sikap manakala ada sesuatu yang datang sebagai stimulan.
Resain dari pekerjaan, hijrah ke luar negeri, atau bekerja paruh waktu, dan berkeinginan mengejar pendapatan yang besar, melakukan perjalanan wisata; hak-hal itu adalah pilihan gaya hidup yang sangat dekat dengan mereka. Oleh sebab itu jika ada sesuatu yang menstimulan, mereka merasa tidak nyaman; lalu memilih menghindar atau pergi ke negeri orang; hal ini merupakan style budaya yang mereka miliki. Tinggal sekarang mampukah negeri ini menemukenali kemudian memanfaatkan keunggulan mereka sehingga tetap bermanfaat bagi negaranya; jangan terlalu tergesa-gesa menjastifikasi mereka sebagai orang yang tipis nasionalismenya. Karena “kenyinyiran” seperti itu adalah bentuk ketidaktanggungjawaban kepada generasi penerus. Negeri ini dibangun tidak cukup dengan orasi, dijogeti, di hardik dan ditakut-takuti; akan tetapi harus ada kerja nyata, dan bukti nyata. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kanan Mbuwang, Kiri Nendang
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang, ruangan kerja kedatangan tamu seorang sahabat lama; sebagai adat timur saling berbagi berita tentang kesehatan kami masing-masing. Terakhir dari kalimat yang diucapkan beliau adalah “Saya itu sehat Prof, tetapi sedang tidak waras”. Tentu kalimat ini mengundang tanya yang mendalam “Ada apa gerangan?”. Setelah bicara panjang lebar, ternyata beliau sedang ada pada posisi ibarat pepatah lama “dimakan, mati Bapak, tidak di makan, mati Emak”. Tentu posisi dilematis seperti ini tidak cukup di jawab dengan “Ya..jual saja” atau “Tinggalkan saja”; karena apapun jawabannya memiliki konsekuensi.
Teman lama ini bercerita bahwa perusahaan tempatnya bekerja sedang mengalami konflik internal yang berkepanjangan, sampai-sampai konflik itu nyaris terbuka. Akibatnya posisi teman yang menduduki jabatan strategis tadi menjadi serba salah, karena jika memilih opsi A beliau akan terbuang, sebaliknya jika memilih opsi B beliau akan ditendang. Akhirnya kami memecahkan persoalan ini dengan menggunakan pendekatan SWOT analisis. Dan, ditemukan jawaban persoalan ini adalah memunculkan opsi baru yang profesional sifatnya yaitu “Apakah pemilik jawaban A dan Jawaban B memerlukan kita? jika sama-sama menjawab “Ya”, maka tolong dengar suara kami”. Itu adalah opsi bijak yang tidak membuat luka hati siapapun mereka, walaupun untuk melakukannya dan berada pada posisi itu juga tidak mudah.
Akan tetapi, ada yang harus diwaspadai dalam persoalan ini; yaitu kelompok atau teman sendiri yang berpola pikir avonturir, ciri mereka ini bermuka seribu dengan pola jika berhadapan dengan A akan menjelekkan B, dan jika ketemu B akan menjelekkan A, bahkan apa yang seharusnya dirahasiakan mereka tidak segan untuk membukanya jika itu menguntungkan dirinya. Karakter atau pola seperti ini ada di semua lini, menyedihkan lagi jika mereka yang ada pada posisi ini lebih banyak dibandingkan yang istiqomah pada posisinya.
Tidak kurang pentingnya adalah adanya kelompok “tunggu dan lihat”; ciri kelompok ini hanya ingin ikut menang saja, dan tidak mau ambil resiko apapun. Dalam bahasa Palembang kelompok ini disebut “melok menang bae” , maksudnya hanya ikut yang menang saja, atau yang menguntungkan mereka. Apakah mereka-mereka itu salah; tentu saja tidak, karena hal-hal yang berkaitan dengan pilihan itu adalah hak dasar manusia. tinggal pertimbangan moral sebagai ukuran untuk menilainya.
Secara realita sosial dapat kita temukan dalam banyak kasus; justru jurus ini sering digunakan untuk “membuang” mereka yang dianggap oposisi atau terlalu pandai. Terutama dalam dunia perpolitikkan langkah ini sangat nyata adanya. Mereka-mereka yang dianggap terlalu banyak tahu, dan atau diduga akan membahayakan posisi dan organisasi, maka langkah ini sangat efektif dipakai. Adapun cara yang dipilih disesuaikan dengan situasi yang mendukung.
Banyak contoh dari level nasional sampai lokal; bisa dirasakan dan dilihat secara jelas; saat sebelum menjadi, mereka diajak kemana pergi bahkan difasilitasi. Namun, begitu sudah duduk “mukti wibowo” (tercapai cita-citanya); maka langkah pembersihan dilakukan, dan mereka yang terindikasi tidak segaris atau akan menjadi batu sandungan kelak dikemudian hari, segera disingkirkan atas nama reshuffle.
Keberpihakan memang diperlukan, namun pada posisi tertentu kita dipaksa untuk mengambil sikap; dan sikap pilihan itu pada umumnya hanya dua. Oleh sebab itu berdasarkan pengalaman, kita diminta cerdas; tidak salah jika kita membalikkan yang kita pilih tadi untuk bagaimana caranya memilih kita, karena dasar kompetensi kita. oleh sebab itu pada posisi ini tidak cukup kita pandai, akan tetapi harus cerdas dalam artian sebenarnya. Disini peran diskusi-diskusi perlu kita bangun bersama mereka-mereka yang sudah berpengalaman pada dunianya. Karena mereka sudah paham akan asam garam pergaulan yang tidak jarang bagai fatamorgana; tampak indah dari jauh, ternyata jurang yang menganga. Hasriadi Mat Akin pernah mengingatkan melalui tulisannya “dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar, tetapi hanya satu mulut untuk bicara. Sebab dalam hidup, memahami lebih penting dari pada sekedar berucap”. Dan, pemahamanlah yang akan menjadi suluh kita dalam menemukenali persoalan, terutama yang berhubungan dengan perilaku manusia.
Pesan lain, pada saat seperti itu ingat orang bijak yang mengatakan “Pada saat terasa tidak ada jalan keluar, ingatlan Allah selalu mempersiapkan jalan yang tidak kita duga, karena setiap kesulitan adalah pintu menuju kemudahan; kalian tidak sendirian, setiap air mata, setiap doa Allah mendengarkan, tetap teguh, pertolongan Allah itu dekat”.
Manakala perspektif berfikir kita terbentur pada tembok ketidaktahuan, maka perlu kita ingat akan pesan filosof terkemuka pada zamannya yang mengatakan “Ketika kita sadar segala sesuatu dalam hidup ini terjadi atas kehendak Allah, maka tak ada satupun yang pantas untuk disesali karena esok dan masa depan adalah rahasia. Tak perlu menebak-nebak hidup dalam rasa khawatir, percayalah selama kita berusaha, Allah menyediakan yang terbaik untuk kita”.
Oleh karena itu, sebelum kita menentukan sikap sebaiknya bermunajatlah kepada Sang Maha Mengetahui, dan perlu disadari bahwa memilih untuk tidak memilih, atau berpihak untuk tidak memihak; terkadang juga merupakan suatu pilihan yang bijak. Namun apapun alasan kebenaran itu akan menemukan jalannya sendiri. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Biasa Aja Kali
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Istilah ini muncul disekitar awal tahun dua ribuan seiring tumbuhkembangnya generasi millennial saat itu. Saat ini mereka sudah melahirkan generasi Alpha yang lebih kaya lagi akan diksi bahasa, dan jika tidak cermat kita akan tertinggal dari perkembangan bahasa mereka. Kecepatan perkembangan bahasa ternyata juga berkaitan dengan perspektif penggunanya.
Bahasa sebagai media penyampai, untuk saat ini sudah berkembang dengan cepat, terutama bahasa-bahasa pergaulan yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Salah satu diantaranya adalah diksi “biasa aja kali”. Hasil penelusuran digital diperoleh informasi sebagai berikut: Istilah ini kemungkinan besar muncul secara alami dalam percakapan sehari-hari masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa gaul atau informal. Karena sifatnya yang sangat umum dan tidak terkait dengan istilah akademik atau budaya tertentu, sulit untuk menentukan kapan tepatnya ungkapan ini pertama kali digunakan dan siapa pengguna pertamanya.
Namun, ada beberapa faktor yang bisa membantu memahami asal-usulnya:
1. Evolusi Bahasa Gaul di Indonesia
Bahasa gaul di Indonesia terus berkembang, terutama sejak era media sosial dan internet. Ungkapan seperti “biasa aja” dan penambahan kata “kali” (yang menegaskan atau melembutkan pernyataan) sudah lama digunakan dalam bahasa lisan. Istilah ini kemungkinan besar berkembang sejak era 1990-an hingga 2000-an, seiring dengan popularitas bahasa santai di kalangan anak muda.
2. Pengaruh Media & Pop Culture
Banyak istilah gaul mendapatkan popularitas melalui sinetron, film, lagu, atau media sosial. Frasa seperti “biasa aja kali” sering muncul dalam percakapan karakter di film atau sinetron yang menggambarkan kehidupan anak muda. Seiring waktu, istilah ini menjadi bagian dari percakapan sehari-hari.
3. Penggunaan dalam Konteks Digital & Meme
Di era media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok, ekspresi “biasa aja kali” sering digunakan sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dianggap dilebih-lebihkan. Meme dan komentar di platform ini turut memperkuat penyebarannya.
Lebih lanjut ditemukan informasi filosofi dari “biasa aja kali” bisa diinterpretasikan sebagai cara pandang hidup yang santai, tidak berlebihan, dan lebih menerima keadaan apa adanya. Beberapa makna filosofis yang bisa dikaitkan dengan ungkapan ini antara lain:
1. Sikap Anti-Drama & Anti-Berlebihan
Dalam kehidupan, banyak orang yang terlalu membesar-besarkan suatu hal, entah itu kesuksesan, kegagalan, atau masalah kecil. Filosofi “biasa aja kali” mengajarkan bahwa tidak semua hal harus dibesar-besarkan. Hidup akan lebih ringan jika kita tidak selalu bereaksi berlebihan terhadap segala sesuatu.
2. Hidup Sederhana dan Rendah Hati
Menganggap sesuatu sebagai “biasa aja” bisa berarti tidak mudah terjebak dalam kesombongan atau euforia berlebihan. Misalnya, ketika seseorang mendapatkan pencapaian, tetapi tetap merasa bahwa itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang wajar, maka ia tidak akan cepat terlena.
3. Mengurangi Ekspektasi, Meningkatkan Kebahagiaan
Sering kali, ekspektasi yang terlalu tinggi bisa menyebabkan kekecewaan. Dengan filosofi “biasa aja kali,” seseorang belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaannya pada harapan yang muluk-muluk, sehingga lebih mudah merasa puas dan bersyukur.
4. Menghadapi Hidup dengan Lebih Tenang
Filosofi ini juga mencerminkan sikap zen atau ketenangan batin. Tidak semua hal harus direspons dengan intensitas yang tinggi. Ada kalanya kita hanya perlu mengamati, menerima, dan melanjutkan hidup tanpa terbawa arus emosi yang tidak perlu.
Secara maknawi filosofi “biasa aja kali” bukan berarti apatis atau tidak peduli, tetapi lebih kepada mindset yang tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan. Ini adalah cara untuk menjaga keseimbangan dalam hidup, tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi sesuatu, tetapi tetap sadar dan bijak dalam bertindak.
Oleh karena itu generasi pengguna istilah ini lebih tahan akan “gempuran” dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Mereka akan dengan cepat melakukan penyesuaian diri dengan keadaan yang ada. Hal ini makin kokoh lagi karena penguasaan akan teknologi digital; rerata mereka sangat menguasai penggunaan piranti ini. Informasi berada digegaman tangannya, oleh sebab itu mereka cepat mengambil sikap manakala ada sesuatu yang datang sebagai stimulan.
Resain dari pekerjaan, hijrah ke luar negeri, atau bekerja paruh waktu, dan berkeinginan mengejar pendapatan yang besar, melakukan perjalanan wisata; hak-hal itu adalah pilihan gaya hidup yang sangat dekat dengan mereka. Oleh sebab itu jika ada sesuatu yang menstimulan, mereka merasa tidak nyaman; lalu memilih menghindar atau pergi ke negeri orang; hal ini merupakan style budaya yang mereka miliki. Tinggal sekarang mampukah negeri ini menemukenali kemudian memanfaatkan keunggulan mereka sehingga tetap bermanfaat bagi negaranya; jangan terlalu tergesa-gesa menjastifikasi mereka sebagai orang yang tipis nasionalismenya. Karena “kenyinyiran” seperti itu adalah bentuk ketidaktanggungjawaban kepada generasi penerus. Negeri ini dibangun tidak cukup dengan orasi, dijogeti, di hardik dan ditakut-takuti; akan tetapi harus ada kerja nyata, dan bukti nyata. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Prodi Anafarma Universitas Malahayati Berbagi Kebahagiaan di Bulan Ramadhan, Dari Anafarma untuk Sesama
1. Pembagian Takjil Gratis Untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini, mahasiswa Program Studi Anafarma mengadakan pembagian takjil gratis kepada masyarakat di beberapa titik strategis di Jalan Pramuka. Kegiatan ini bertujuan agar warga yang sedang menjalankan ibadah puasa dapat berbuka dengan mudah, sekaligus menyebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat.
3. Kajian Islami dan Buka Puasa Bersama Untuk lebih mempererat tali silaturahmi, Prodi Anafarma juga mengadakan kajian Islami dengan tema yang relevan dengan kesehatan dan ibadah di bulan Ramadhan. Dalam acara ini, mahasiswa, dosen, dan keluarga Panti Asuhan Bussaina dapat saling berbagi ilmu dan pengalaman, dilanjutkan dengan buka puasa bersama sebagai wujud kebersamaan.
4. Edukasi Kesehatan dan Pengabdian Masyarakat Selain kegiatan sosial, Prodi Anafarma juga mengedepankan edukasi kesehatan kepada masyarakat mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Di tengah pandemi yang belum sepenuhnya berakhir, menjaga kesehatan tubuh, terutama selama berpuasa, menjadi sangat penting. Para mahasiswa Anafarma memberikan informasi yang berguna tentang bagaimana menjaga kesehatan tubuh, baik fisik maupun mental, selama bulan Ramadhan.
Dengan terlaksananya kegiatan “Dari Anafarma untuk Sesama: Berbagi Kebahagiaan di Bulan Ramadhan”, diharapkan dapat menebarkan kebaikan dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ladang amal bagi mahasiswa dan dosen, tetapi juga mempererat hubungan antara universitas dan masyarakat luas dalam suasana penuh berkah Ramadhan.
Semoga semangat berbagi dan kepedulian ini dapat terus berlanjut, serta memberikan dampak positif bagi sesama, terutama bagi mereka yang membutuhkan. Karena di bulan yang penuh berkah ini, setiap kebaikan yang kita lakukan akan mendapatkan ganjaran yang berlipat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Katalog Buku Python untuk Otomotif
Judul buku : Python untuk Otomotif
Pengarang:
Fauzi Ibrahim, S.T., M.T.
Tyan Tasa, S.Kom., M.Kom.
Agus Apriyanto, S.T., M.T.
Adam Wisnu Murti, S.T., M.T.
ISBN: Proses
sinopsis:
Buku ini hadir sebagai upaya untuk
menjembatani kesenjangan antara dunia pemrograman
Python dan industri otomotif yang semakin
berkembang pesat. Dengan kemajuan teknologi
seperti kendaraan listrik, kendaraan otonom, dan
Internet of Things (IoT), Python menjadi salah satu alat
yang sangat penting untuk mendukung inovasi di
bidang otomotif
Ramadhan Penuh Berkah, DKM Mushola Universitas Malahayati Semangat Berbagi dan Berkontribusi
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ، وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَلِ
Artinya: “Barang siapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung” (HR. Al-Bukhari No. 1410).
Kegiatan ini menjadi bentuk kepedulian sosial dan kebersamaan antar penghuni apartemen serta asrama Universitas Malahayati dalam menyemarakkan bulan penuh berkah ini.
Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan rasa kepedulian sosial, mempererat ukhuwah Islamiyah, membiasakan diri untuk berbagi rezeki di bulan ini serta memakmurkan mushola dengan mendatangkan banyak jamaah.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS. At – Taubah ayat 18 :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)
Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan atau kesulitan mendapatkan makanan berbuka puasa tepat waktu, dengan adanya kegiatan Sedekah Ramadhan Berkah 1446 H, diharapkan semakin banyak individu yang merasakan manfaat dari semangat berbagi ini. Semoga kegiatan ini menjadi ladang amal bagi semua pihak yang terlibat dan membawa keberkahan bagi seluruh civitas akademika Universitas Malahayati Bandar Lampung. Aamiin.
“Diam” itu Jawaban
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada suatu kesempatan diskusi dalam perkuliahan filsafat ilmu; ada seorang mahasiswa pascasarjana berkomentar bahwa menurut dirinya puasa yang paling berat itu adalah puasa diam, dalam pengertian diam yang luas dan mendalam. Karena perkuliahan ini bukan kuliah agama, maka pembahasannya berlingkup filsafat, lebih spesifik ke filsafat ilmu. Diskusi berjalan dan jika dirangkum beberapa materinya yang berasal dari berbagai sumber adalah sebagai berikut: Pernyataan “Diam adalah jawaban” dapat dimaknai dalam beberapa cara tergantung dari sudut pandang filosofis yang digunakan.
1. Diam sebagai Pengakuan atas Keterbatasan Akal. Dalam filsafat, ada banyak hal yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Ludwig Wittgenstein dalam “Tractatus Logico-Philosophicus” menyatakan: “Apa yang tidak bisa dibicarakan, harus didiamkan.”
Artinya, ada batas-batas dalam bahasa dan logika manusia. Ketika akal tidak mampu menjelaskan suatu kebenaran yang lebih dalam (misalnya, hakikat Tuhan, makna kehidupan, atau pengalaman mistik), maka diam menjadi satu-satunya jawaban yang masuk akal.
2. Diam sebagai Bentuk Kebijaksanaan. Banyak filsuf dan pemikir menganggap bahwa diam adalah tanda kebijaksanaan, karena kata-kata sering kali tidak cukup untuk menggambarkan realitas. Diam memungkinkan seseorang untuk merenung lebih dalam sebelum berbicara. Terkadang, jawaban terbaik bukanlah berbicara, tetapi mengamati, mendengarkan, dan memahami. Oleh sebab itu dalam filsafat Timur ditemukan frasa sebagai berikut : “Orang yang tahu tidak berbicara, orang yang berbicara tidak tahu.” Artinya, semakin seseorang memahami suatu kebenaran yang mendalam, semakin ia sadar bahwa kata-kata tidak cukup untuk menggambarkannya. Kedalaman hakekat itu sering kali tidak terwakili oleh kata atau kalimat.
3. Diam dalam Mistisisme dan Spiritualitas. Dalam tradisi mistik, diam adalah sarana untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Dalam tasawuf, diam disebut sebagai “shamt”, yaitu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Djalaluddin Rumi pernah berpesan bahwa: “Diam adalah bahasa Tuhan, selain itu hanyalah terjemahan yang buruk.” Artinya, dalam keheningan, seseorang bisa lebih dekat dengan kebenaran Illahi daripada melalui perdebatan kata-kata.
4. Diam sebagai Perlawanan dan Sikap Eksistensial. Dalam filsafat eksistensialisme, diam bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap absurditas kehidupan. Jean-Paul Sartre dan Albert Camus menunjukkan bahwa dunia ini tidak selalu memberikan jawaban yang jelas, sehingga diam bisa menjadi ekspresi kesadaran akan absurditas itu.
Dalam konteks politik dan sosial, diam bisa menjadi bentuk kritik dan perlawanan, seperti yang ditunjukkan oleh Mahatma Gandhi dengan “Satyagraha” (perlawanan tanpa kekerasan). Dan, tampaknya apa yang dilakukan beliau, sekarang banyak dilakukan orang di negeri ini. Namun penyebab dari ke-diam-an itu disebabkan kefrustrasian yang berkepanjangan.
Bisa dibayangkan setelah parade korupsi yang tidak ada pemberatan hukuman bagi pelakunya, akan tetapi yang dilakukan justru pengesahan undang-undang yang memuat ketentuan negara melalui aparatnya bisa menyita kendaraan jika dua tahun tidak bayar pajak. Tidak pernah terpikirkan apa sebab tidak bisa bayar pajak; bisa jadi itu indikasi anjloknya ekonomi, atau sistem yang rumit.
Tampaknya diam juga dapat menunjukkan sikap kewarasan yang tinggi, karena sekarang banyak dijumpai justru mereka yang banyak bicara menunjukkan sikap sebaliknya. Akan tetapi bisa jadi parade diam itu juga mengindikasikan kefrustrasian yang mendalam. Oleh sebab itu ledakan yang diakibatkan dari diam berkepanjangan bisa membuat goncangan sosial yang membahayakan. Sayangnya teori ini banyak tidak dipahami oleh para pemimpin masa kini, atau bisa jadi tidak perlu memahami karena memang kondisi diam dikondisikan sedemikian rupa sehingga menjadi tercapai apa yang mereka inginkan.
“Diam” sebagai bentuk pertahanan diri yang paling akhir dan paling berat. Oleh sebab itu diam tidak bisa dilakukan dengan cara yang instan, akan tetapi harus melalui latihan yang cukup lama. Oleh karena itu banyak diantara kita yang gagal manakala ada pada posisi harus diam. Walaupun tidak selamanya diam itu emas, tetapi paling tidak dapat memposisikan kita untuk mengambil jarak, sehingga kita menemukan kebeningan dalam berkeputusan untuk bertindak. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Prodi Farmasi Universitas Malahayati Gelar Workshop Pengelolaan Referensi dan Analisis Data Statistik
Workshop ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dalam mengelola referensi ilmiah serta memperdalam keterampilan analisis data statistik. Seiring dengan perkembangan teknologi, mahasiswa memang memiliki akses terhadap berbagai buku tutorial dan software analisis data. Namun, tanpa pemahaman yang tepat, banyak dari mereka masih mengalami kesulitan dalam mengelola data penelitian secara sistematis dan valid. Oleh karena itu, pelatihan ini dirancang secara spesifik agar mahasiswa lebih mudah dalam menyusun referensi dan mengolah data penelitian mereka.
Dalam penelitian ilmiah, pengelolaan referensi yang baik menjadi fondasi utama. Referensi tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi, tetapi juga memberikan landasan akademik yang kuat bagi sebuah karya ilmiah. Workshop ini membahas secara mendalam tentang manajemen referensi, termasuk klasifikasi publikasi, penggunaan search tools, serta teknik pencarian literatur yang efektif. Dengan meningkatnya kemampuan manajemen referensi, mahasiswa diharapkan dapat menyusun skripsi yang lebih sistematis dan berbobot, serta selalu mengikuti perkembangan terkini dalam bidang farmasi.
Selain itu, analisis data statistik juga menjadi bagian penting dalam penelitian ilmiah. Banyak mahasiswa yang masih mengalami kesulitan dalam menggunakan software pengolah data dan menginterpretasikan hasil penelitian mereka. Oleh karena itu, dalam workshop ini, peserta mendapatkan pelatihan khusus dalam penggunaan software statistik, teknik analisis data, serta cara menyajikan hasil penelitian dalam bentuk narasi, tabel, grafik, dan visualisasi lainnya. Dengan pelatihan ini, mahasiswa diharapkan dapat menyajikan data penelitian mereka secara lebih akurat dan profesional.
Ketua panitia kegiatan, apt. Gusti Ayu Rai Saputri, M.Si., juga menambahkan bahwa pelatihan ini diadakan sebagai bentuk komitmen Prodi Farmasi dalam mendukung mahasiswa menyelesaikan penelitian mereka dengan lebih efektif. “Kami ingin memastikan bahwa mahasiswa memiliki pemahaman yang kuat dalam menggunakan alat bantu penelitian, sehingga mereka dapat lebih percaya diri dalam menyusun skripsi mereka,” ungkapnya.
Dengan suksesnya workshop ini, diharapkan mahasiswa Prodi Farmasi Universitas Malahayati semakin siap dalam menghadapi tantangan penelitian akademik. Pelatihan ini bukan hanya sekadar pembekalan teknis, tetapi juga menjadi langkah strategis dalam meningkatkan mutu penelitian dan kualitas lulusan di bidang farmasi. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Perkuat Pendidikan Kebidanan, Siapkan Program Magister Kebidanan
Pendirian program studi ini sedang dalam tahap persiapan dengan target dibuka pada tahun 2026. Untuk itu, Universitas Malahayati telah membentuk Tim Pembentukan Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan, yang bekerja keras melakukan serangkaian pembahasan akademik dan presentasi.
Tim tersebut melaksanakan presentasi di ruang rapat Gedung Rektorat, yang dihadiri langsung oleh Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, serta para Wakil Rektor, yaitu Wakil Rektor I, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, Wakil Rektor III, Dr. Eng Rina Febrina, ST., MT, dan Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes. Acara ini menjadi langkah awal yang krusial untuk memastikan kelancaran proses pembukaan program studi tersebut. Selasa (18/3/2025).
Sebagai bentuk dukungan terhadap keberlanjutan program ini, Universitas Malahayati akan terus melakukan sosialisasi serta menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Dengan begitu, diharapkan dapat memastikan kelancaran pendirian program ini dan memberikan akses pendidikan tinggi yang berkualitas bagi para bidan di seluruh Indonesia.
Program Magister Kebidanan Universitas Malahayati ini juga membuka peluang bagi seluruh calon mahasiswa dan tenaga kesehatan yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang magister. Program ini memberikan kesempatan untuk mengembangkan diri lebih jauh dalam dunia kebidanan, serta memberikan kontribusi yang lebih luas dalam sektor kesehatan ibu dan anak di Indonesia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Keduwung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang beberapa hari lalu ruang kerja di kantor, penulis kedatangan tamu seorang mahasiswa pascasarjana. Beliau adalah seorang tenaga kesehatan di salah satu pusat kesehatan masyarakat di kota ini. Di samping masalah akademik, yang bersangkutan mengeluarkan unek-unek berkaitan dengan anggaran kesehatan yang kena “efisiensi”.
“Prof, jujur saya keduwung memilih dalam pemilihan umum kemarin, saya kiro kencana ternyata wingka,” katanya.
Penulis agak terperanjat mendengar bahasa yang digunakan, terutama kata keduwung. Sudah lama sekali tidak mendengar diksi itu, karena itu sangat njawani sekali. Jika kita terjemahkan secara bebas maka kalimat “sanepo” (kiasan) tadi yang bersangkutan sangat kecewa karena salah memilih di kira emas permata, ternyata hanya wingko yaitu nama makanan khas Semarang yang berasal kota Babat.
Setelah tamu pamit, mulailah penulis melakukan perburuan definisi operasional kata keduwung tadi dimulai. Ternyata dari referensi digital ditemukan makna sebagai berikut: Kata “Keduwung” berasal dari bahasa Jawa dan memiliki arti “sesal” atau “penyesalan yang mendalam”.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain: Bahasa Indonesia: penyesalan; Bahasa Inggris: regret, remorse; Bahasa Sunda: kukumaha deui (ungkapan pasrah setelah penyesalan) atau kasalahan. Bahasa Madura: nyelesel. Bahasa Bali: seseleng, Bahasa Lampung Menggala: beboh atei. dan akan panjang lagi jika kita telusuri lebih jauh.
Dalam pandangan budaya Jawa, keduwung bukan sekadar perasaan negatif, tetapi juga proses pembelajaran hidup yang mengarah pada kebijaksanaan dan perbaikan diri. Berdasarkan penelusuran sejumlah literature digital juga, ditemukan informasi sebagai berikut: Filosofi keduwung dalam Budaya Jawa: Pertama, sebagai bentuk kesadaran diri. Keduwung bukan sekadar rasa sesal, tetapi juga bentuk kesadaran batin terhadap kesalahan yang telah diperbuat. Dalam ajaran Jawa, seseorang yang mengalami keduwung diharapkan bisa belajar dari kesalahan dan tidak mengulanginya lagi.
Kedua, bagian dari hukum karma. Dalam kepercayaan Jawa yang dipengaruhi oleh kepercayaan lokal, keduwung sering dikaitkan dengan hukum sebab-akibat. Apa yang kita tanam akan kita tuai. Keduwung muncul ketika seseorang menyadari bahwa apa yang ia lakukan di masa lalu membawa akibat buruk pada saat ini dan yang akan datang.
Ketiga, mengajarkan laku prihatin. Keduwung menjadi pelajaran batin yang mendorong seseorang untuk melakukan laku prihatin (menjalani hidup dengan kesederhanaan dan introspeksi diri).
Keempat, sebagai pengingat akan keutamaan berpikir sebelum bertindak. Ungkapan Jawa seperti “mikir sakdurunge tumindak” (berpikir sebelum bertindak) menegaskan bahwa seseorang harus berhati-hati agar tidak mengalami keduwung. Oleh karena itu, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa.
Kelima, mengarah pada keikhlasan dan penerimaan. Dalam tahap akhir, keduwung yang diterima dengan ikhlas akan mengarah pada sikap legowo (penerimaan) dan kemampuan untuk melanjutkan hidup dengan lebih bijak. Konsep ini selaras dengan filosofi sangkan paraning dumadi yang mengajarkan bahwa segala sesuatu memiliki sebab dan tujuan dalam kehidupan.
Tampaknya saat ini banyak di antara kita ada pada fase keduwung ini dalam mesikapi keadaan negeri yang tidak baik-baik saja. Hanya saja dalam mempersonifikasikan sikap keduwung ini berbeda-beda karena hal ini sangat personal. Ada yang mengambil sikap mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain, ada yang dengan keahliannya melakukan “perlawanan” dalam bentuk yang paling halus sampai yang vulger. Namun, ada juga yang bersikap berserah diri menjalani nasib, bahkan menuju ke arah apatis.
Pilihan pilihan seperti ini tidak bisa kita atur atau pertentangkan. Juga tidak bisa kita salahkan atau kita benarkan. Sebab, wilayah pilihan yang bersifat personal ini ada pada tataran ontologis. Jadi sangat salah jika ada pejabat atau siapapun kita menyalahkan pilihan itu dengan alasan pembenaran tertentu. Sebagai contoh, dalil tidak nasionalis menjadi dasar pikiran. Hal seperti itu adalah kekeliruan berpikir yang fatal dan sekaligus menunjukkan ketidakpahaman kita akan hakikat, sehingga tersesat dalam bersilogisme.
“Kekeduwungannya” banyak pihak itu juga merupakan indikasi ketidak mampuan selama ini membaca data yang berupa perilaku. Sehingga, “permainan peran” selama ini nyaris sempurna, sehingga yang benar tampak salah; sementara yang salah tampak benar. Setelah “kewarasan” kembali menyadarkan akan apa yang sebenarnya terjadi, maka muncullah sikap keduwung tadi dengan sempurna. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Hari Jadi Provinsi Lampung ke-61, Lampung Tabik Pun!
Lampung Tabik Pun, semoga provinsi kita semakin maju, sejahtera, dan memberikan kontribusi yang luar biasa bagi Indonesia. Mari kita bersama-sama menjaga keberagaman, mempererat tali persaudaraan, dan mewujudkan Lampung yang lebih baik untuk generasi mendatang. (gil)
Editor: Gilang Agusman