Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sudah beberapa hari ini, saya marhing atau meriang. Atas rekomendasi dokter, badan harus istirahat, termasuk istirahat berfikir. Namun apadaya, untuk yang terakhir tadi sulit sekali dilakukan. Apalagi begitu membaca berita Helo Indonesia secara konsisten mengikuti terpuruknya nasib petani singkong.
Terakhir, ribuan petani singkong dari tujuh kabupaten terpaksa demo besar-besaran di Lapangan Korpri depan Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Lampung. Sementara nu jauh di sana pemilik pabrik “sewot” dengan tidak mau membeli singkong. Ratusan truk antre entah sampai kapan.
Kondisi ini seperti halnya buah simalakama “dimakan mati bapak, dibuang mati emak”.
Sebenarnya, persoalan singkong memiliki riwayat yang panjang hingga tidak jarang memilukan. Kilas balik, Gubernur Pudjono Pranyoto (1988-1997) sudah mengingatkan kala itu agar petani tak gegabah diversifikasi pertanian dengan mengorbankan kebun lada dan kopi saat tidak baik-baik saja.
Bahkan, Ketua Bappeda Siti Nurbaya saat itu — terakhir menteri Kehutanan RI — sudah menyusun sejumlah kebijakkan tentang tata ruang, termasuk pola tanam pohon umbi-umbian yang nama latinnya Manihot esculenta.
Tetap saja, para petani tergoda harga singkong kala itu. Mereka kemudian eksodus menganti kebunnya dengan tanaman bahan baku tepung tapioka yang berjangka pendek dan lebih menguntungkan secara finansial.
Gubernur Oemarsono (1998—2003) dengan Ketua Bappeda Haris Hasyim (Mantan Wakil Rektor Bidang Akademik Unila) melangkah lebih maju dengan Program Desa Ku Maju Sakai Sambayan yang disingkat DMSS. Ada yang kemudian memplesetnya upaya membantu petani itu jadi dang mengan saean saean..
Program ini menggandeng para pemikir peguruan tinggi, Unila khususnya, untuk mencari jalan keluar dari persoalan petani singkong yang kerap harus menghadapi remuknya harga jual.
Lewat Program Industri Tapioka Rakyat atau disingkat ITARA, Pemprov Lampung membantu petani lewat koperasi mesin mini penggiling singkong agar menjadi tepung karya Ir. Sarnadi. M.S (maaf kalau salah menuliskan nama).
Tak sampai di mekanisasi, Pemprov Lampung juga menurunkan para pakar, yakni Irwan Efendi sebagai komandan Tim Sosial Ekonomi Pertanian; Armen Yasir soal hukumnya, Ambyah yang memikirkan pemasarannya, Mohammad Kamal dan Hassanudin urusan penelitian dan pengembangan, dan masih banyak lagi.
Mereka kemudian menjadi guru besar, ada yang saat ini sudah lensiun dan juga sudah ada yang wafat.
Begitu kepala daerah beralih ke Syachruddin ZP (2004—2008 dan 2009—2014) urusan singkong meredup. Sebagai jenderal purnawirawan, putra Gubernur ke-2 Lampung Zainal Abidin Pagaralam ini lebih fokus mengatasi persoalan-persoalan penyerobotan tanah yang marak pada waktu itu.
Namun persoalan petani agak sedikit terpinggirkan dan akhirnya hilang ditelan waktu. Sementara gubernur-gubernur selanjutnya walau janji politiknya selalu demi kesejahteraan rakyat nyatanya lebih repot mengurus infrastruktur. Walau akhirnya, ada yang tak tuntas juga.
Sebagai contoh bisa dibayangkan jalan provinsi yang ada pada sabuk wilayah seperti Banjit, Kasui, Bahuga dan masih banyak lagi; sampai hari ini kita tidak bisa membedakan antara jalan dengan kubangan.
Oleh sebab itu, kita harus berani jujur mengatakan jika gubernur hanya dijabat oleh selevel “penjabat” jangan harap untuk dapat menuntaskan persoalan yang memang sudah menahun.
Sebagai orang yang mengamati perjalanan singkong dari gubernur ke gubernur, saya mencoba menarik benang merah yang dapat membela rakyat kecil dari “bulanan-bulanan” para kaum kapitalis.
Mudah-mudahan, empat solusi ini dapat mengubah singkong jadi semanis madu bukan hanya untuk pengusaha dan pejabat saja, tetapi juga rakyat Lampung yang harus menanam dan merawat tanamannya berbulan-bulan di bawah terik dan hujan.
PERTAMA
Gubernur terpilih segera membentuk tim penyelaras untuk masalah petani singkong yang isinya para praktisi, akademisi, dan pengusaha guna melakukan inventarisasi persoalan bersama dan merancang keputusan bersama.
KEDUA
Gubernur terpilih melakukan kerjasama teknis dengan perguruan tinggi yang memiliki sumberdaya keahlian bidang persingkongan guna menyusun skema hulu sampai hilir persoalan singkong. Bukan hanya teori atau di atas kertas, tetapi aksi nyata terukur dan dapat dievaluasi kapanpun. Leading sektornya adalah Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan.
KETIGA
Gubernur terpilih harus tegas bernegosiasi dengan kementerian agar impor tapioca pembicaraan berkaitan dengan jumlah kuota nasional, harus melihatkan Lampung sebagai produsen tapioka terbesar.
KEEMPAT
Gubernur terpilih bersama DPRD membentuk satgas indipenden yang terdiri dari unsur masyarakat, LSM, Jurnalis dan pihak terkait untuk mengawasi semua regulasi yang ada dan dilaporkan secara terbuka jika ada penyimpangan.
Tentu semua itu bukan obat mujarab segala macam penyakit, akan tetapi paling tidak kita harus berani memulai berbenah diiri guna membela rakyat kecil, tak hanya terus-menerus bikin buncit pengusaha.
Terima kasih, istirahat pay, semoga tidur siang nanti bermimpi pemimpin Lampung yang akan datang, Rahmad Mirzani Djausal (2025-2030) sukses mengatasi penyakit kronis persingkongan agar rakyat sejahtera dan Lampung Maju.. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Abu Nawas Dengan Si Tidak Tahu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada artikel yang lalu ada seorang guru besar mengomentari bahwa dirinya pernah diajari untuk menjawab “tidak tahu” oleh promotornya saat mengambil gelar akademik tertinggi di salah satu perguruan tinggi terkenal kelas dunia, tentu saja dengan moment kapan harus menjawab “tahu” dan kapan harus menjawab “tidak tahu”. Komentar dari Sang Profesor tadi menggelitik semakin semangat untuk membaca naskah-naskah tentang Abu Nawas, baik secara digital maupun konvensional. Ternyata perburuan itu berhasil. Lengkap naskahnya sebagai berikut, tentu saja setelah diedit di sana-sini.
Suatu hari, Abu Nawas bertemu dengan seorang pria yang terkenal karena kebiasaannya selalu menjawab, “Saya tidak tahu,” untuk segala pertanyaan. Orang ini berpikir bahwa dengan selalu menjawab seperti itu, ia terlihat rendah hati dan bijaksana. Namun, sikapnya sering membuat orang lain kesal. Abu Nawas, penasaran dengan sikap pria itu, memutuskan untuk mengajarinya suatu pelajaran yang lucu, tapi bermakna. Ia mendatangi pria tersebut dan memulai percakapan.
Abu Nawas: “Wahai sahabatku, apakah benar kau selalu menjawab ‘tidak tahu’ untuk semua pertanyaan?”. Pria itu menjawab: “Ya, benar.”
Abu Nawas melanjutkan pembicaraannya: “Oh, jadi kau tahu bahwa kau selalu menjawab ‘tidak tahu’?”. Jawab Pria tadi: “Tentu saja.”.
Abu Nawas mulai mengeluarkan jurusnya: “Tunggu sebentar, kau tahu kau selalu menjawab ‘tidak tahu,’ tapi kau tetap menjawabnya? Apakah kau benar-benar tahu atau tidak tahu?”
Pria itu bingung mendengar logika Abu Nawas. Ia mencoba menjawab, tetapi terjebak dalam kebingungannya sendiri. Melihat pria itu diam dan tampak kebingungan, Abu Nawas tersenyum dan melanjutkan, “Sahabatku, mengetahui kapan kita tahu dan kapan kita tidak tahu adalah tanda kebijaksanaan. Jika kau terus-menerus menjawab ‘tidak tahu,’ bagaimana kau belajar untuk tahu? Sebaliknya jika kamu menjawab selalu tahu sekalipun kamu tidak tahu, itu menunjukkan kebodohanmu sendiri.”
Pria itu akhirnya menyadari bahwa kebiasaannya hanya membuatnya terlihat bodoh, bukan rendah hati atau bijaksana. Ia berterima kasih kepada Abu Nawas atas pelajaran yang diberikan dan mulai mengubah cara berpikirnya, yaitu dia akan bersikap kapan menjawab tidak tahu dan kapan harus menjawab tahu. Karena kedua-duanya jawaban tadi benar dan baik jika kita pandai menempatkannya, dan itulah disebut dengan bijaksana.
Hikmah Cerita Kisah Abu Nawas pada bab ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan bukan hanya tentang rendah hati, tetapi juga tentang keberanian untuk belajar dan menerima pengetahuan. Menjawab “tidak tahu” itu baik jika kita sungguh-sungguh tidak tahu, tetapi jangan sampai itu menjadi penghalang untuk berpikir atau mencari tahu.
Filosofi jawaban “tahu” dan “tidak tahu” berkaitan dengan kesadaran atas batas pengetahuan seseorang dan kebijaksanaan dalam merespons. Filosofi ini sering dijadikan pedoman untuk menghindari sikap arogan dan mengembangkan kerendahan hati serta keterbukaan terhadap pembelajaran.
Hasil penelusuran referensi digital ditemukan pemahaman lebih dalam
hakikat jawaban “tahu” adalah : Pertama, kesadaran akan pengetahuan. Mengakui bahwa kita mengetahui sesuatu bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga memahami sejauh mana pengetahuan kita relevan dan bermanfaat.
Kedua, tanggung jawab dalam pengetahuan. Ketika menjawab “tahu,” kita harus memastikan bahwa informasi tersebut benar, dapat dipercaya, dan tidak menyesatkan.
Ketiga, keberanian memberi jawaban. Menjawab “tahu” membutuhkan kepercayaan diri, terutama jika konteksnya menantang atau rumit.
Hakikat jawaban “tidak tahu” adalah : Pertama, kerendahan hati. Mengakui bahwa kita tidak tahu adalah tanda kebijaksanaan, bukan kelemahan. Ini menunjukkan kejujuran atas keterbatasan kita.
Kedua, pintu untuk belajar. Dengan mengatakan “tidak tahu,” kita membuka ruang untuk mencari tahu dan memperdalam pemahaman kita.
Ketiga, menghindari kesalahan. Daripada memberikan jawaban yang salah, lebih baik mengakui ketidaktahuan untuk menghindari konsekuensi negatif.
Dalam tradisi filsafat, seperti yang diajarkan oleh Socrates, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu” adalah dasar dari kebijaksanaan. Kesadaran akan keterbatasan pengetahuan mendorong kita untuk terus belajar dan mencari kebenaran. Ini juga relevan dalam konsep Sandi Tomo Kawedar yang pernah diuraikan oleh penulis pada tahun lalu, dimana kearifan lokal mengajarkan pentingnya kebijaksanaan dalam berbicara dan bertindak. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
60 Dokter Baru Disumpah dalam Prosesi Sumpah Dokter Periode 71 Universitas Malahayati, Siap Mengabdi untuk Indonesia
Yudisium Profesi Dokter Periode ke-71 Universitas Malahayati, Langkah Awal Para Dokter Baru Menuju Dunia Profesional
Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Rektor 1 Universitas Malahayati, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, serta jajaran pengurus Fakultas Kedokteran, seperti Kepala Program Studi Profesi Dokter, Muhamad Ibnu Sina, dr., M.Ked (Neu)., Sp.N., Sekretaris Prodi, serta para dosen Prodi Profesi dan Pendidikan Dokter.
Hari ini menandai awal perjalanan para dokter muda untuk terjun ke dunia profesional. Para peserta yudisium diharapkan untuk terus mengembangkan kompetensinya melalui berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, workshop, dan simposium, guna menjadi dokter yang semakin berkualitas.
Yudisium ini bukan hanya menjadi momen perayaan, tetapi juga pengingat akan tanggung jawab besar yang kini diemban oleh para lulusan. Dengan bekal ilmu yang telah diperoleh, mereka siap melangkah menuju dunia profesi dokter yang penuh tantangan dan harapan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Soal Singkong, Belajar dari Gubernur Lalu, 4 Pesan Buat Gubernur Nanti
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sudah beberapa hari ini, saya marhing atau meriang. Atas rekomendasi dokter, badan harus istirahat, termasuk istirahat berfikir. Namun apadaya, untuk yang terakhir tadi sulit sekali dilakukan. Apalagi begitu membaca berita Helo Indonesia secara konsisten mengikuti terpuruknya nasib petani singkong.
Terakhir, ribuan petani singkong dari tujuh kabupaten terpaksa demo besar-besaran di Lapangan Korpri depan Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Lampung. Sementara nu jauh di sana pemilik pabrik “sewot” dengan tidak mau membeli singkong. Ratusan truk antre entah sampai kapan.
Kondisi ini seperti halnya buah simalakama “dimakan mati bapak, dibuang mati emak”.
Sebenarnya, persoalan singkong memiliki riwayat yang panjang hingga tidak jarang memilukan. Kilas balik, Gubernur Pudjono Pranyoto (1988-1997) sudah mengingatkan kala itu agar petani tak gegabah diversifikasi pertanian dengan mengorbankan kebun lada dan kopi saat tidak baik-baik saja.
Bahkan, Ketua Bappeda Siti Nurbaya saat itu — terakhir menteri Kehutanan RI — sudah menyusun sejumlah kebijakkan tentang tata ruang, termasuk pola tanam pohon umbi-umbian yang nama latinnya Manihot esculenta.
Tetap saja, para petani tergoda harga singkong kala itu. Mereka kemudian eksodus menganti kebunnya dengan tanaman bahan baku tepung tapioka yang berjangka pendek dan lebih menguntungkan secara finansial.
Gubernur Oemarsono (1998—2003) dengan Ketua Bappeda Haris Hasyim (Mantan Wakil Rektor Bidang Akademik Unila) melangkah lebih maju dengan Program Desa Ku Maju Sakai Sambayan yang disingkat DMSS. Ada yang kemudian memplesetnya upaya membantu petani itu jadi dang mengan saean saean..
Program ini menggandeng para pemikir peguruan tinggi, Unila khususnya, untuk mencari jalan keluar dari persoalan petani singkong yang kerap harus menghadapi remuknya harga jual.
Lewat Program Industri Tapioka Rakyat atau disingkat ITARA, Pemprov Lampung membantu petani lewat koperasi mesin mini penggiling singkong agar menjadi tepung karya Ir. Sarnadi. M.S (maaf kalau salah menuliskan nama).
Tak sampai di mekanisasi, Pemprov Lampung juga menurunkan para pakar, yakni Irwan Efendi sebagai komandan Tim Sosial Ekonomi Pertanian; Armen Yasir soal hukumnya, Ambyah yang memikirkan pemasarannya, Mohammad Kamal dan Hassanudin urusan penelitian dan pengembangan, dan masih banyak lagi.
Mereka kemudian menjadi guru besar, ada yang saat ini sudah lensiun dan juga sudah ada yang wafat.
Begitu kepala daerah beralih ke Syachruddin ZP (2004—2008 dan 2009—2014) urusan singkong meredup. Sebagai jenderal purnawirawan, putra Gubernur ke-2 Lampung Zainal Abidin Pagaralam ini lebih fokus mengatasi persoalan-persoalan penyerobotan tanah yang marak pada waktu itu.
Namun persoalan petani agak sedikit terpinggirkan dan akhirnya hilang ditelan waktu. Sementara gubernur-gubernur selanjutnya walau janji politiknya selalu demi kesejahteraan rakyat nyatanya lebih repot mengurus infrastruktur. Walau akhirnya, ada yang tak tuntas juga.
Sebagai contoh bisa dibayangkan jalan provinsi yang ada pada sabuk wilayah seperti Banjit, Kasui, Bahuga dan masih banyak lagi; sampai hari ini kita tidak bisa membedakan antara jalan dengan kubangan.
Oleh sebab itu, kita harus berani jujur mengatakan jika gubernur hanya dijabat oleh selevel “penjabat” jangan harap untuk dapat menuntaskan persoalan yang memang sudah menahun.
Sebagai orang yang mengamati perjalanan singkong dari gubernur ke gubernur, saya mencoba menarik benang merah yang dapat membela rakyat kecil dari “bulanan-bulanan” para kaum kapitalis.
Mudah-mudahan, empat solusi ini dapat mengubah singkong jadi semanis madu bukan hanya untuk pengusaha dan pejabat saja, tetapi juga rakyat Lampung yang harus menanam dan merawat tanamannya berbulan-bulan di bawah terik dan hujan.
PERTAMA
Gubernur terpilih segera membentuk tim penyelaras untuk masalah petani singkong yang isinya para praktisi, akademisi, dan pengusaha guna melakukan inventarisasi persoalan bersama dan merancang keputusan bersama.
KEDUA
Gubernur terpilih melakukan kerjasama teknis dengan perguruan tinggi yang memiliki sumberdaya keahlian bidang persingkongan guna menyusun skema hulu sampai hilir persoalan singkong. Bukan hanya teori atau di atas kertas, tetapi aksi nyata terukur dan dapat dievaluasi kapanpun. Leading sektornya adalah Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan.
KETIGA
Gubernur terpilih harus tegas bernegosiasi dengan kementerian agar impor tapioca pembicaraan berkaitan dengan jumlah kuota nasional, harus melihatkan Lampung sebagai produsen tapioka terbesar.
KEEMPAT
Gubernur terpilih bersama DPRD membentuk satgas indipenden yang terdiri dari unsur masyarakat, LSM, Jurnalis dan pihak terkait untuk mengawasi semua regulasi yang ada dan dilaporkan secara terbuka jika ada penyimpangan.
Tentu semua itu bukan obat mujarab segala macam penyakit, akan tetapi paling tidak kita harus berani memulai berbenah diiri guna membela rakyat kecil, tak hanya terus-menerus bikin buncit pengusaha.
Terima kasih, istirahat pay, semoga tidur siang nanti bermimpi pemimpin Lampung yang akan datang, Rahmad Mirzani Djausal (2025-2030) sukses mengatasi penyakit kronis persingkongan agar rakyat sejahtera dan Lampung Maju.. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Harapan Warga Kota Bandarlampung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
TERILHAMI tulisan Herman Batin Mangku (HBM) beberapa waktu lalu di media ini, saya teringat masa lalu, nunjauh di tengah Pulau Sumatera. Pada era 1960-an, di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan, ada group Orkes Melayu (OM) “Bintang Harapan”.
Group ini memiliki peralatan terlengkap pada jamannya. Selain alat musik, ada dinamo pembangkit listrik, sehingga bisa berorkes ria hingga pelosok desa. Di era itu, group OM merebak seperti OM Kelana Ria, Sinar Kemala, Pancaran Muda, dan OM Purnama.
Mereka berperan penting dalam mempopulerkan musik melayu dengan nuansa India yang kemudian menjadi cikal bakal musik dangdut.
“Bintang Harapan” adalah sebuah frasa dalam bahasa Indonesia yang dapat diartikan sebagai “bintang yang memberi harapan.” Secara harfiah, bintang adalah benda langit yang bersinar, simbol cahaya atau petunjuk malam hari.
Dalam konteks figuratif, bintang sering melambangkan sesuatu yang gemilang, terkenal, atau memiliki potensi besar. Harapan: merujuk pada sesuatu yang diinginkan atau diimpikan, atau perasaan optimisme mengenai masa depan.
Secara keseluruhan, “Bintang Harapan” bisa diartikan sebagai simbol atau tanda yang membawa harapan, impian, atau masa depan yang lebih baik. Dalam konteks musik atau seni, ini bisa merujuk pada grup atau individu menjadi inspirasi bagi orang lain.
Sedangkan dalam makna yang lebih luas kata “harapan” menjadi semacam simbol cita-cita masa depan yang lebih baik.
Sama halnya dengan dilantiknya kepala daerah hasil Pemilu Kada yang lalu, termasuk Wali Kota Bandarlampung. Tentu, para pemilih berharap kepala daerah terpilih menunaikan janji kampanyenya.
Untuk petahana atau incumbent, kesempatan menyelesaikan sisa pekerjaan masa lalu yang belum tuntas.
Dari catatan saya, untuk Kota Bandarlampung, pekerjaan yang mendesak bagaimana membebaskan banjir yang masih menghantui warga kota saat hujan dari pusat kota sampai pinggiran kota.
BANJIR
Banjir adalah persoalan serius sejak wali kota terdahulu yang juga “teman tidur” Wali Kota Bandarlampung sekarang.
HUTAN KOTA
Persoalan hutan kota yang makin kemari makin tidak jelas penyelesaiannya. Hal ini bisa menjadi bom waktu bagi wali kota karena harus dengan tegas memberikan jalan keluar yang bijak kepada pengembang dan pelestarian lingkungan.
Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah mengapa wilayah itu menjadi wilayah pribadi, apakah pihak kota tidak bisa memberi kompensasi?
Belajar dari persoalan penimbunan tangkapan air di wilayah Rajabasa yang sampai hari ini menjadi persoalan dan tidak selesai, wali kota sebaiknya mengambil langkah tegas sekalipun pahit.
SAMPAH
Prioritas utama adalah selamatkan alam demi keberlangsungan kota, dan kesejahteraan warga. Persoalan belum selesai, datang persoalan baru, yaitu TPA.
Kalau mau bijak dan menerima masukan kajian wilayah ini sudah pernah dilakukan pada tahun 2013 oleh doktor Ahli Lingkungan Unila. Beliau melakukan penelitian untuk disertasi tentang jalan keluar dari persoalan limbah sampah di Bandarlampung.
Beliau sampai pensiun tetapi hasil kajiannya yang sudah dikirimkan ke Kota Bandarlampung entah kemana rimbanya.
Harusnya, wali kota tidak menutup mata dengan lembaga indipenden yang ada di daerahnya dalam menghadapi persoalan apapun.
Karena mereka bisa dengan jeli dan memberikan masukan yang berarti, tentu terlebih dahulu dilakukan kajian. Minta perguruan tinggi yang ada untuk duduk bersama dengan pihak kota guna menemukenali persoalan dan mencari jalan keluar.
Jangan hanya setelah anugerah honoriscausa semua selesai, justru itu pintu masuk untuk kerjasama lebih lanjut. Jangan sampai harapan masyarakat tinggal menjadi harapan; jangan pula diubah menjadi harapan hampa, apalagi harapan palsu.
Kepastian yang ada baru menunggu Bus Harapan Jaya untuk membawa kita menuju tujuan. Selamat berkarya untuk melayani warga agar kota ini lebih baik lagi. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Prodi S1 Kesmas UNMAL Gelar Pemetaan Wilayah Kerja Puskesmas dengan QGIS
Mahasiswa Prodi S1 Kesmas Unmal Galakkan Edukasi “Cegah Nyamuk DBD” di Desa Waylayap
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan sebagai langkah pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD), mahasiswa Prodi S1 Kesmas UNMAL peminatan K3 dan Kesehatan Lingkungan (K3&Kesling) melaksanakan kegiatan edukasi bertema “Cegah Nyamuk DBD dengan Kepedulian dan Kebersihan” di Desa Waylayap, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung Minggu (12/1/2025). Kegiatan ini merupakan bagian dari tugas akhir mata kuliah Penyakit Infeksi Berbasis Lingkungan yang diampu oleh Khoidar Amirus, SKM., M.Kes
Desa Waylayap dipilih sebagai lokasi edukasi karena tercatat pernah mengalami satu kasus DBD. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat memerlukan pengetahuan lebih dalam mengenai pencegahan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Selain itu, kegiatan ini menjadi kesempatan bagi mahasiswa untuk mengintegrasikan teori dengan praktik di lapangan sekaligus berkontribusi langsung dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat.
Kerja bakti bersama warga desa untuk membersihkan lingkungan mengawali rangkaian kegiatan pengmas ini. Mahasiswa dan warga saling bahu-membahu mengidentifikasi dan mengeliminasi potensi sarang nyamuk, seperti genangan air di wadah terbuka. Langkah ini bertujuan untuk memutus rantai perkembangan nyamuk DBD.
Selanjutnya, mahasiswa memberikan sosialisasi kepada warga tentang pentingnya penerapan metode 3M Plus (Menguras, Menutup, Mendaur ulang) serta langkah-langkah tambahan seperti penggunaan kelambu, pemberian abate, dan menjaga kebersihan lingkungan secara konsisten.
Kepala Desa Waylayap, M. Syaiful Akbar, memberikan apresiasi terhadap inisiatif mahasiswa UNMAL. Dalam sambutannya, beliau mengharapkan kegiatan yang memberikan wawasan kepada masyarakat tentang langkah pencegahan DBD dapat terus dilakukan dikemudian hari.
“Kegiatan seperti ini sangat bermanfaat. Kami sebagai pemerintah desa sangat mendukung langkah-langkah yang dilakukan, supaya kami paham apa yang harus dilakukan demi terwujudnya masyarakat desa yang sehat, baik secara individu maupun kelompok,” ujar nya.
Melalui kegiatan ini diharapkan agar warga lebih proaktif dalam mengelola lingkungan sekitar mereka untuk memutus rantai perkembangan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu, kebiasaan hidup bersih yang dipromosikan selama edukasi diharapkan menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari masyarakat. Dengan meningkatnya kesadaran ini, tidak hanya kesehatan individu yang terjaga, tetapi juga kesehatan komunitas secara keseluruhan dapat ditingkatkan.
Santri Pondok Pesantren Al Banin Dibekali Pengetahuan Pencegahan Scabies oleh Mahasiswa Prodi S1 Kesmas UNMAL.
Mahasiswa Prodi S1 Kesmas Unmal Galakkan Edukasi “Cegah Nyamuk DBD” di Desa Waylayap
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan sebagai langkah pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD), mahasiswa Prodi S1 Kesmas UNMAL peminatan K3 dan Kesehatan Lingkungan (K3&Kesling) melaksanakan kegiatan edukasi bertema “Cegah Nyamuk DBD dengan Kepedulian dan Kebersihan” di Desa Waylayap, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung pada Minggu (12/01/2025). Kegiatan ini merupakan bagian dari tugas akhir mata kuliah Penyakit Infeksi Berbasis Lingkungan yang diampu oleh Khoidar Amirus, SKM., M.Kes
Mahasiswa Prodi S1 Kesmas UNMAL Gelar Seminar “Cawa Santun Bicara Sanitasi untuk Negeri”.