Pemberdayaan yang Memberdayai

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pemberdayaan dan memperdayai adalah dua konsep yang bertolak belakang dan memiliki implikasi yang sangat berbeda. Merujuk dari beberapa sumber keduanya dapat dibedakan sebagai berikut: Pemberdayaan mengacu pada proses memberikan kekuatan, otoritas, atau kemampuan kepada individu atau kelompok agar dapat mengambil kontrol atas hidup mereka sendiri, meningkatkan kemandirian, dan mengambil keputusan yang memengaruhi mereka secara positif. Ini melibatkan memberikan sumber daya, keterampilan, pengetahuan, atau dukungan yang diperlukan agar individu atau kelompok dapat mencapai potensi mereka sepenuhnya. Pemberdayaan biasanya berfokus pada upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian.

Memperdayai adalah tindakan memanipulasi, menipu, atau menggunakan kekuatan atau otoritas untuk mengelabui atau menyesatkan individu atau kelompok agar melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Ini melibatkan penggunaan tipu muslihat, kebohongan, atau praktik-praktik yang tidak etis untuk mendapatkan keuntungan atau mengendalikan orang lain. Memperdayai bertentangan dengan konsep pemberdayaan karena melibatkan pengurangan kekuatan atau kendali dari individu atau kelompok yang terkena dampak.

Perbedaan mendasar antara pemberdayaan dan memperdayai terletak pada niat dan hasil dari tindakan tersebut. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan kemandirian individu atau kelompok, sedangkan memperdayai bertujuan untuk mengambil keuntungan dari atau mengendalikan orang lain guna kepentingan diri atau kelompoknya.

Perbedaan hitam-putih di atas tidak menimbulkan masalah, karena semuanya terang benderang, disebabkan ada pada tataran konsep; namun pada tataran praksis tidak sesederhana itu. Sebab banyak kita jumpai memperdaya dibungkus dengan pemberdaya; akibatnya menciptakan ketergantungan yang masif dan jangka panjang. Sebab, memperdaya yang dibungkus pemberdaya itu adalah upaya merusak sistem secara sistimatis yang ada dalam masyarakat, karena hubungan yang terbangun dibuat ketergantungan baik struktural maupun fungsional.

Sebagai ilustrasi; jika bantuan yang diberikan akibat dari mengerjakan sesuatu guna kepentingan bersama; ini adalah bentuk pemberdayaan  dalam arti minimalis. Namun jika bantuan diberikan secara cuma-cuma dan mengakibatkan ketergantungan akan bantuan itu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, berarti hal itu adalah perdayaan. Karena apa yang dilakukan tidak lebih dari “candu” yang membuat ketagihan. Bantuan yang diberikan sengaja dibuat untuk timbul sikap berharap, dan harap inilah menjadi candu untuk selalu meminta karena dibuat tak berdaya. Orang yang terkena tadi disebut terkena tipu daya; akibatnya muncul sikap ketergantungan dan berharap akan pemberian.

Dari sisi teori kedudukan masing-masing konsep tadi jelas; namun saat diaplikasikan kedalam kondisi nyata dalam masyarakat menjadi sangat berbeda. Sebab jika pemberdayaan dalam konsep diimplementasikan, tidak menutup kemungkinan terjadi penyimpangan; salah satu diantaranya adalah berbentuk proyek fiktif. Bisa terjadi proyeknya yang fiktif, bisa juga jumlah yang mengerjakan yang fiktif; lebih parah lagi semuanya fiktif.

Jika pilihan kedua yang dipilih, dan selama ini pilihan jatuh kemari, yang terjadi adalah sifat ketergantungan dan sikap hidup malas. Lebih parah lagi jika perdayaan ini diisi dengan muatan syahwat politik; maka terjadilah hubungan simbiose mutualistic nyaris sempurna. Mereka yang diberi selalu haus akan pemberian, sipemberi akan mengatur ritme bantuan sesuai kepentingan. Penelikungan kekuasaan “memberi” inilah yang menyempurnakan perubahan menjadi tipu daya.

Hasil penelusuran sejarah ditemukan bukti-bukti bahwa cara penelikungan ini dilakukan menjadi sempurna jika dikaitkan dengan keadaan darurat; karena sifat kedaruratan itulah yang mempermudah jalan untuk melakukan apa saja; tentu berlindung pada jargon besar “penyelamatan” atau bisa juga dengan lebih halus lagi “tanggap darurat”. Oleh sebab itu tidak heran jika setelah kondisi darurat berlalu, akan ditemukan penyimpangan besar yang berujung pada pemanfaatan situasi untuk kepentingan pribadi.

Ternyata orang bijak pernah berpesan …”bisa jadi bencana bagi orang lain…justru menjadi keberkahan bagi yang lainnya..”.  Di sana tampaknya keagungan keilahian dalam mengatur harmoni alam ini, dan semua itu diatur dengan skenaro kodrat yang tidak satu mahluk-pun di dunia ini mengetahui akan semua itu. Sama halnya kita semua seolah yakin bahwa besok matahari akan terbit, namun tidak ada diantara kita yang mengetahui hakekatnya mengapa matahari harus terbit, karena itu semua adalah wilayah transidental, hanya Sang Maha Pencipta yang Maha Mengetahui.

Salam waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Azzahra Nur Ariyanti Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih 2nd Runner Up Putri Hijabfluencer

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Azzahra Nur Ariyanti (23370022) Mahasiswa Prodi S1 Psikologi Universitas Malahayati yang berhasil mendapatkan “2nd Runner Up Putri Hijabfluencer” pada acara Beauty Pageant Putri Hijabfluencer Indonesia. Acara ini berlangsung di Hotel Horison Lampung, 11 Mei 2024.

Azzahra mengucapkan rasa syukur atas pencapaian ini, “Alhamdulilah puji syukur dengan pencapaian yang telah saya raih ini”. Azzahra meyakinkan bahwa pencapaian ini menjadikan motivasi untuk dirinya agar lebih berkreatif dan mengembangkan potensi diri lagi.

Lebih lanjut, ia bercerita proses ini melalui seleksi yang cukup ketat dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. “Suatu kebanggaan bagi saya bisa mendapatkan 2nd runner up dalam ajang bergengsi ini,” lanjutnya.

Dalam harapan dan motivasinya, Azzahra berharap dengan prestasi ini dapat memotivasi teman-teman mahasiswa agak mengikuti jejaknya. “Semoga dengan prestasi ini mendapatkan dampak positif untuk teman-teman dan Universitas Malahayati tercinta,” ujarnya.

Tak lupa, Azzahra ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Universitas Malahayati, Prodi Psikologi, keluarga dan teman-teman yang sudah support dirinya sampai sejaih ini. “Langkah besar ini telah dilalui, dan semua ini berkat support yang yang telah diberikan oleh semuanya,” ucapnya.

Azzahra pun berpesan agar kita selalu percaya diri bahwa kita bisa dan akan selalu ada hasil yang diinginkan. “Kembangkan minat dan bakat yang kita miliki agar kita bisa menjadi mahasiswa berprestasi,” tandasnya.

Editor : Gilang Agusman

Nur Indah Afwa Dianti Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih Juara Favorit Ajang Kejuaraan Poster Tingkat Nasional 2024

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Nur Indah Afwa Dianti (23370082) Mahasiswa Prodi S1 Psikologi Universitas Malahayati yang berhasil mendapatkan “Juara Favorit Poster” pada Kejuaraan Poster Tingkat Nasional. Acara ini diselenggarakan oleh Angkasa Seni Indonesia, 11-16 Januari 2024.

Nur Indah menyampaikan terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi dalam pencapaiannya hingga saat ini. “Saya ingin berterima kasih kepada orang-orang di sekitar saya yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam setiap langkah perjalanan kompetisi ini. Prestasi ini adalah hasil kerja keras bersama,” ucapnya.

Mahasiswa yang memiliki minat dalam desain ini menjelaskan bahwa keikutsertaannya dalam lomba desain poster didasarkan pada kecintaannya terhadap karya seni dan keterampilan desain. Nur Indah telah mengembangkan bakatnya sejak SMP dan kini berhasil menguasai desain, seperti poster publik, ilustrasi, dan infografis.

Dalam harapan dan motivasinya ke depan, Nur berkomitmen untuk terus menciptakan ide dan karya baru. “Saya ingin terus mengembangkan minat dan bakat yang ada dalam diri saya, serta berharap dapat meraih prestasi yang lain di masa depan,” ujarnya.

Prestasi Nur Indah menjadi kebanggaan bagi Universitas Malahayati, dan harapannya dapat menginspirasi mahasiswa lain untuk terus mengejar passion dan berprestasi dalam berbagai bidang. “Semoga prestasi ini dapat menjadi motivasi bagi teman-teman mahasiswa semua,” sambungnya.

Nur Indah menambahkan agar kita sebagai mahasiswa terus berkarya dan selalu memberikan yang terbaik dibidang kita masing-masing.

Editor : Gilang Agusman

 

60 Dosen Universitas Malahayati Ikuti Workshop Peningkatan Kapasitas Penulisan Artikel Ilmiah Internasional

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 60 dosen Universitas Malahayati Bandar Lampung mengikuti Workshop Peningkatan Kapasitas Dosen dalam Penulisan Artikel Ilmiah pada Jurnal Internasional Bereputasi. Acara ini berlangsung di lantai 5 gedung rektorat, Selasa (21/5/2024).

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Malahayati Bandar Lampung dan menghadirkan narasumber Prof. Amirul Mukminin, S.Pd., M.Sc.Ed., Ph.D dari Universitas Jambi, seorang pakar di bidang penulisan artikel ilmiah internasional.

Workshop dibuka oleh Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr. M.M. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya bimbingan dari narasumber untuk membantu dosen-dosen Universitas Malahayati dalam menyusun artikel ilmiah yang layak diterbitkan di jurnal internasional bereputasi.

“Saya sangat senang narasumber berkenan hadir memberikan wawasannya kepada para dosen Universitas Malahayati. Semoga para dosen lebih terbantu dalam menyusun jurnal, khususnya untuk melancarkan jenjang akademik hingga mencapai guru besar,” ujar Dr. Achmad Farich.

Rektor juga mengajak para dosen, khususnya yang muda, untuk lebih bersemangat dalam meningkatkan jenjang akademiknya. “Saat ini sudah banyak dosen-dosen muda yang usianya masih di kisaran 40 tahun sudah menjadi guru besar. Ini adalah kesempatan yang sangat luas bagi dosen Universitas Malahayati untuk mencapainya,” tambahnya.

Kepala LPPM Universitas Malahayati Bandar Lampung, Erna Listyaningsih, SE, M.Si., Ph.D., menyampaikan bahwa banyak dosen yang mengalami hambatan dalam proses peningkatan jenjang akademik, terutama terkait dengan publikasi di jurnal internasional bereputasi. “Dengan adanya workshop ini, diharapkan dosen Unmal dapat meningkatkan luaran publikasi di jurnal internasional bereputasi,” ujarnya.

Prof. Amirul Mukminin, S.Pd., M.Sc.Ed., Ph.D., yang merupakan dosen dan guru besar di Universitas Jambi, dikenal ahli di bidang Linguistik Terapan dan Studi Pendidikan. Beliau memiliki berbagai bidang penelitian, termasuk Perencanaan dan Kebijakan Bahasa, Revitalisasi Bahasa, Kebijakan Pendidikan, Administrasi Pendidikan, Manajemen Pendidikan, Penilaian dan Evaluasi Pendidikan, serta Pembinaan Bahasa. Gelar doktornya diperoleh dari Florida State University, USA. (*)

 

Editor: Asyihin

UKT = Uang Kuliah “Tinggi”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Berita tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sangat tinggi, akhir-akhir ini menyeruak ke permukaan, bahkan ada perguruan tinggi negeri yang mematok sampai harga seratus juta rupiah lebih. Di sisi lain, badan statistik nasional merilis data bahwa rata-rata tingkat pendidikan di negeri ini hanya kelas tujuh; berarti setara dengan pendidikan anak sekolah lanjutan pertama kelas satu. Jika dibuka kurikulumnya mereka baru sampai batasan pengenalan benda, proses sederhana, dan hal-hal remeh temeh lainnya.

Keadaan itu dikejutkan bak halilintar di tengah hari dengan pernyataan petinggi yang mengurusi bidang pendidikan dengan pernyataan…”jenjang pendidikan tinggi itu bersifat tersier”…. Artinya bukan skala prioritas untuk anak negeri ini, dengan alasan perioritas utama ada pada pendidikan dasar. Dengan logika sederhana maka tidak harus kuliah karena kuliah itu untuk mereka yang berduit.

Pejabat sekelas profesor itu mengucapkannya tanpa ada rasa empati atas anak negeri; bahkan terkesan memperlebar jurang antara orang kaya dengan mereka yang kurang beruntung. Label yang ditabalkan kepada pendidikan tinggi seolah-olah membenarkan apa yang diterapkan pemerintah kepada rakyatnya. Beliau lupa bahwa tugas profesor itu diantaranya adalah ikut mencerdaskan bangsa, bukan ikut membodohkan bangsa dengan mengkuti kemauan pemerintah yang juga kadang sesat.

Berbeda lagi dengan saat anak negeri ini melamar pekerjaan dimanapun berada, mereka selalu dihadapan dengan kalimat …..”berijazah minimal sarjana”…. Padahal untuk menjadi calon anggota parlemen tidak setinggi itu syaratnya, bahkan menjadi presiden cukup Sekolah Lanjutan Atas.

Menjadi lebih gila lagi jika kita bandingkan secara statistik, ternyata jumlah sarjana dari total penduduk di negeri ini dibandingkan negara-negara lain masih sangat minim. Data lain menunjukkan jumlah perguruan tinggi negeri jauh lebih sedikit dibandingkan perguruan tinggi swasta; ini berarti seharusnya pemerintah punya keleluasaan dana untuk membiayai perguruan tinggi negeri, dibandingkan dengan swasta. Namun ini justru terbalik; perguruan tinggi swasta yang dana operasionalnya sangat tergantung dari uang masuk sumbangan mahasiswa, dan jumlahnya sangat kecil itu; masih mampu bertahan dan berkualitas, bahkan masih ngopeni anak negeri yang secara ekonomi kurang beruntung.

Anehnya urusan standardisasi pemerintah sibuk menyetandarkan swasta menjadi negeri untuk urusan akademik, tetapi untuk urusan pendanaan mereka tidak pernah mau belajar kepada swasta bagaimana harus mengelola dengan baik. Buktinya rektor perguruan tinggi negeri yang ditangkap KPK jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan rektor perguruan tinggi swasta. Bahkan ada rektor perguruan tinggi negeri yang tega memeras calon mahasiswa untuk membayar sejumlah uang guna masuk kefakultas favoritnya. Sementara uangnya dibagi-bagikan kepada para pendereknya, dan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Atas pertimbangan yang sulit dipahami dengan menggunakan istilah uang kuliah tunggal yang mengharuskan masuk sebanyak-banyaknya, maka jumlah mahasiswa yang diterima menjadi tidak terbatas. Berlindung dengan beragam jalur, yang ujung-ujungnya harus bayar sekian. Ada mantan dekan dari perguruan tinggi negeri mengeluh karena harus mengajar mahasiswa program sarjana jumlahnya tiga kali lipat dari kapasitas normal. Beliau sangat prihatin akan mutu yang akan diperoleh, sementara perguruan tinggi swasta harus mau menanggung beban, sisa-sisa mahasiswa yang tidak lulus “obyokan” dari perguruan tinggi negeri. Adagium kalau di perguruan tinggi negeri susah mencari dosen, sementara kalau di perguruan tinggi swasta susah mencari mahasiswa; seolah menjadi sempurna jadinya.

Upaya seleksi sosial yang dibangun di negeri ini seolah-olah memang dijadikan semacam nilai yang bersifat kontradiktif. Satu sisi setiap lembaga pendidikan, terutama negeri, diberi dana bantuan dengan bermacam nama, tetapi tetap saja peserta didik harus bayar; itupun jumlahnya tidak lagi memperhatikan rasio dosen dengan mahasiswa, lebih kepada orientasi profit. Sementara perguruan tinggi swasta yang mengandalkan jumlah mahasiswa untuk pendanaan dibiarkan mencari upaya sendiri; namun untuk administrasi akademik yang terkadang tidak ada hubungannya dengan kelembagaannya diminta untuk diadakan, dengan ancaman jika tidak bisa memenuhi aturan itu dipersilahkan tutup.

Pada batas-batas tertentu untuk pengendalian mutu, hal tersebut baik-baik saja; namun jika pelayanan itu menyangkut semua aspek, termasuk aturan administrasi personal, rasanya kurang tepat; sebab yayasan mempunyai kebijakan sendiri dalam rangka mengamankan asset dan kepemilikian dan keberlanjutan.

Di negeri ini menjadi terkesan jika berurusan dengan uang, jika untuk kepentingan pemerintah harus sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, tiba giliran untuk warganya maka prinsipnya berubah menjadi …“ kalau bisa nanti kenapa harus sekarang”. Contohnya sampai tulisan ini dibuat ada sekolah negeri yang gurunya belum menerima uang sertifikasi; bahkan kenaikan gaji duabelas persenpun belum mereka nikmati. Jika ditanyakan ke pusat jawabannya itu wewenang daerah, jika ditanyakan ke daerah, jawabannya itu wilayah pusat. Namun begitu nanti ada pemilihan kepala daerah, maka hampir semua calon mendatangi guru dengan berbagai dalih.

Masih banyak lagi persoalan yang tidak mungkin diurai pada media ini, sebab membacanya akan membosankan, dan banyak lagi komentar “itu curhat saja” atau “kelompok tidak puas…jangan didengar…”; yang lebih menyakitkan lagi dijawab “ini kan era kami”. Semoga yang waras atau merasa waras dapat memahami, jika masih ada orang yang peduli berarti di sana masih ada rasa sayang kepada negeri.
Salam Waras (SJ)

Selamat Hari Kebangkitan Nasional, Bangkit Untuk Indonesia Emas!

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Hari ini, kita mengenang dan merayakan semangat perjuangan bangsa yang telah mengantarkan kita pada kemerdekaan dan kemajuan. Semoga semangat kebangkitan nasional senantiasa menginspirasi kita untuk terus berinovasi, bersatu, dan bekerja keras demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Mari kita jadikan momentum ini sebagai pengingat bahwa kebersamaan dan tekad kuat adalah kunci untuk menghadapi segala tantangan.

Dengan semangat kebangkitan nasional, mari kita terus berkontribusi dan berkolaborasi untuk kemajuan bangsa. Bersama, kita wujudkan cita-cita dan harapan untuk Indonesia yang lebih maju, adil, dan sejahtera.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. “Bangkit Untuk Indonesia Emas”.

Editor : Gilang Agusman

Dewi Pilkadawati

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Cerita pewayangan tentang Baratayudha memang menarik dan tidak habis-habisnya digandrungi bagi mereka yang mengerti dan paham akan cerita karya Walmiki itu. Namun kreativitas penikmat cerita ini juga tinggi. Salah satu di antaranya adalah mempertanyakan setelah Lakon Pandawa Moksa, cerita berikutnya apa. Di sana mulai kreatifitas muncul, terutama para Dalang Wayang Kulit untuk membuat lakon gubahan sendiri atau dikenal dengan “Carangan”. Tulisan ini juga ingin menyajikan satu carangan cerita lanjutan dengan judul di atas, soal autentifikasi , orsinilitas, atau mungkin juga pengawuran; kita abaikan dulu, karena jika ditelaah hubungan antara Mahabarata dengan judul di atas tidak ada hubungan sama sekali, bahkan mungkin ngawur.

Syahdan pada suatu perdikan negeri sempalan bekas kerajaan besar Hastinapura masyarakatnya sedang dihadapkan pada tatacara pemilihan Kepala Perdikan. Kalau masa kerajaan besar dulu Kepala Perdikan selalu ditunjuk “Pusat” dengan berbagai teknik; ada yang ditunjuk langsung, ada yang melalui kolusi dengan para penggawa kerajaan, dan masih banyak lagi cara yang ditempuh. Sementara sekarang tidak ada orang pusat kerajaan yang peduli, karena merekapun sibuk korupsi masing-masing. Bahkan saking rakusnya “Celana Dalam Wanita” oleh-oleh dari pekerja migran yang pahlawan devisa-pun mereka korupsi. Konon makanan ringan Coklat yang harganya serepes juga mereka embat dengan cara menaikkan harga menjadi lima kepeng. Dan, ujung-ujungnya mereka badog sendiri.

Jika masa “kuno” orang akan menjadi kepala, termasuk kepala perdikan harus mencari “Wahyu” sebagai mandat langit guna pengesahan dan membangun kekuatan spiritual. Dengan cara bertapa di gua atau hutan untuk dapat wangsit, lakunya puasa menutup semua hawa nafsu. Kemudian wahyu berubah menjadi restu pusat sebagai pemegang kendali wilayah perdikan. Sementara sekarang semua berubah menjadi kuasa rakyat, sementara rakyatnya memerlukan “kayu bakar” agar dapur mereka ngebul. Berarti siapapun calon kepala perdikan harus punya kepeng untuk membeli bahan bakar dan dibagikan kepada kawulo alit. Terus pertanyaannya dari mana kepeng yang sebanyak itu didapat, karena itu diperlukan sumber kepeng atau paling tidak adalah dermawan yang mau mengucurkan sedikit kepengnya, walau tentu tidak ada Dermawan Syurga kalau urusan beginian.

Untung di Perdikan itu ada seorang wanita dermawanwati bernama Ibu Dewi Pilkadawati yang menjadi saudagar, sekaligus memiliki kebon gula yang sangat luas. Beliau dikenal seorang dermawanwati, dan sangat open (jawa: perhatian) dengan pendidikan katanya, dan juga pada orang terlantar. Tidak kalah pentingnya open dengan calon kepala perdikan; tentu dengan konsesi-konsesi tertentu, yang semua itu dibicarakan di bawah meja; tidak seorangpun yang mengetahui kecuali Tuhan.

Sekarang para calon kepala perdikan sedang pusing tujuh keliling karena banyak calon yang berminat, tentu persaingan makin ketat, entah apa penyebabnya. Para calon harus mempu meyakinkan para kawulo alit sebagai orang yang akan memilih, dan konon jumlahnya sekarang cukup besar. Para calon juga harus selalu pasang mata-mata untuk mematamatai calon lain berkaitan dengan strategi pemenangan. Berarti harus menyiapkan team sukses yang tangguh, dan itu semua tidak ada yang gratis. Terakhir harus mampu meyakinkan Ibu Dewi Pilkadawati bahwa dirinya banyak memiliki pendukung dan mampu memberikan konsesi kepada ibu agar pabriknya tetap ngebul asapnya, pajaknya bisa terjaga dan masih banyak lagi tentunya.

Menariknya, para kawula alit sekarang sudah pada cerdas; mereka adalah para pemain sandiwara yang gamben alias lihai. Semua bisa dilakonkan dengan nyaris sempurna; bila ada calon kepala perdikan mendatangi, mereka pasang aksi seolah pendukung beratnya, setelah dikasih kepeng mereka tidak segan berjanji siap membantu. Demikian seterusnya manakala ada calon lain yang datang, dengan sikap sempurna yang sama mereka lakukan, dan, bantuan kepeng datang lagi. Bahkan diantara mereka ada yang teriak “enak jaman sak iki to……ngapusi wae entuk duwit”…. Terjemahan bebasnya enak jaman sekarang…berbohong saja dapat uang.

Lalu bagaimana cara Ibu Dewi Pilkadawati mencari kepeng guna menyediakan maunya para calon kepala perdikan. Beliau cukup menaikkan setengah margin harga produknya yang merupakan kebutuhan utama sebagian besar para kawulo alit; maka selesailah urusan semuanya. Dengan kata lain beliau menterjemahkan hukum sosial “dari kita untuk kita” dengan sempurna. Beliau beramal tidak harus dengan bersusah payah menghitung nisabnya harta; tetapi dengan kecerdasan model emak-emak saat anak-anaknya meminta uang jajan saat mau berangkat sekolah; semua selesai nyaris sempurna.

Semoga Perdikan yang akan melakukan pemilihan kepala ini mendapatkan pimpinan sesuai tuntutan jamannya. Semoga Tuhan menunjukkan jalan terang dan menuntun mereka yang dikodratkan untuk menjadi pemimpin terbaik dengan tidak harus emosian apalagi temperamental. Tancep Kayon Gunungan Keluar tanda wayang sudah berakhir.

Salam Waras (SJ)

Nabilla Diana Alda Putri Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih Juara 3 Bidang Matematika Ajang Kompetisi Siswa Saintech Indonesia (KSSI) 2024

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Nabilla Diana Alda Putri (23370073) Mahasiswa Prodi S1 Psikologi Universitas Malahayati yang berhasil mendapatkan “Juara 3 Bidang Matematika” pada Kejuaraan Tingkat Nasional Kompetisi Siswa Saintech Indonesia (KSSI) 2024 Kategori Mahasiswa. Acara ini diselenggarakan oleh @saintech.id, 28 Januari 2024.

Nabilla ucapkan rasa syukur, rasa senang dan bangga atas pencapaian ini. “Keberhasilan ini menjadikan motivasi tersendiri untuk saya agar dapat terus belajar dan berprestasi,” ucapnya.

Ia mengungkapkan, menjadi juara 3 di ajang olimpiade matematika ini tidak hanya mengukuhkan kemampuan akademik saya. Tetapi juga memperkuat keyakinan saya bahwa dengan usaha yang sungguh-sungguh, apapun dapat dicapai.

Lebih lanjut, Nabila mengatakan akhirnya kemenangan ini menjadi titik awal bagi saya untuk terus belajar dan berkembang. Saya menyadari bahwa masih banyak yang harus saya pelajari dan kembangkan dalam bidang matematika.

Nabilla berkomitmen untuk tidak berhenti disini dan akan terus mengembangkan kemampuannya. “Saya harus terus belajar dan berusaha agar saya bisa meraih prestasi yang lebih tinggi dimasa depan,” tuntasnya.

Ricko Gunawan, M.Kes selaku Ka.Biro Kemahasiswaan Universitas Malahayati Bandarlampung, mengatakan “Teruslah kembangkan bakat yang dimiliki agar terus berprestasi”. Ricko berpesan, semoga dengan keberhasilan ini dapat memberikan memotivasi mahasiswa Univeraitas Malahayati agar menjadi anak muda bangsa yang berkualitas. (gil/humasmalahayatinews)

Kerukunan yang Membedakan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada masyarakat jawa dikenal adagium “rukun agawe santoso” adalah salah satu pepatah atau ajaran yang secara harfiah berarti: “agawe santoso” sama dengan membuat kuat. Sedangkan “Rukun” memiliki arti kesatuan atau persatuan yang damai. Jadi, “Rukun Agawe Santoso” dapat diartikan sebagai kesatuan atau persatuan untuk mencapai kedamaian atau kebahagiaan. Ini mencerminkan nilai-nilai harmoni, persatuan, dan kerukunan yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Pepatah ini mengajarkan pentingnya hidup dalam keselarasan dan kerukunan dengan sesama untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan bersama.

Oleh sebab itu dalam konteks filsafat manusia ada aliran yang berpendapat bahwa jodoh itu adalah “ketidaksamaan”. Contohnya kaki kiri itu jodohnya kaki kanan. Kalau kiri semua atau kanan semua, maka kaki itu tidak jodoh. Dengan kata lain aliran ini berpendapat “jodoh adalah ketidaksamaan”. Siang jodohnya malam, senang jodohnya susah; maka jika kita ingin memahami bagaimana hakekat dari hadirnya ketidaksamaan yang membuat harmoni, disanalah letak kuasa keilahian. Kesimpulan sementara yang dapat kita tarik ialah, jika “jodoh itu adalah ketidaksamaan”, maka pada ketidaksamaan itulah ada hamoni.

Bagaimana kenyataan itu terjadi dalam masyarakat, yang ada ternyata tidak seindah dalam teori di atas. Kita paling sulit memahami bahwa ketidaksamaan itu adalah sunatullah. Ini terbukti ada pemuka kaum yang dengan mudah mengeluarkan ucapan yang tidak sama dengan keyakinannya adalah kafir. Menjadi lebih miris lagi mengatakan bahwa yang benar itu hanya miliknya. Beliau lupa jika angka Sembilan dilihat dari lawan arah yang berbeda menjadi angka Enam. Jika kita simpulkan angkanya yang salah, tentu itu salah karena angkanya sama; jika kita katakan mata kita yang salah juga salah karena dengan mata yang samapun perbedaan angka tadi nyata jika kita melihatnya dari sisi yang berbeda.

Perbedaan perspektif seperti inilah yang sekarang sedang tumbuh subur; namun sayangnya tidak disertai tumbuhnya kesadaran akan adanya perbedaan, justru yang ada pemaksaan pendapat. Sebabnya tentu bermacam-macam, salah satu diantaranya adalah tingkat pendidikan yang tidak equivalent dengan kematangan berfikir, serta kesiapan untuk menerima karunia keilahian dalam memahami hakekat dari suatu sebab.

Manakala kita mampu memahami hakekat dari suatu peristiwa yang tergelar di muka bumi ini dengan jernih; maka kita tidak akan dengan mudah serta merta menyimpulkan bahwa perbedaan itu adalah dosa. Karena perbedaan itu memang diciptakan untuk memberi garis batas diantara sesuatu dengan sesuatu lainnya. Dengan garis batas tadi akan tampak secara tegas garis pisah sekaligus garis pilah dan pilih. Tinggal penetapan keputusan akan jatuhnya pilihan, itu tergantung kepada individu pemilihnya. Tidak salah jika pilihan itu bersifat personal; sebab di sana ada kebebasan untuk setiap individu menetapkan pilihan dan atau posisinya. Bahkan memilih untuk tidak memilih juga merupakan suatu pilihan, dan itu tidak salah.

Oleh sebab itu dalam ajaran jawa dikenal kata sareh, yang maknanya adalah berkaitan dengan sifat atau keadaan seseorang yang tenang, sabar, atau tidak terburu-buru. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mampu mengendalikan emosinya, tidak mudah marah, dan menghadapi situasi dengan kepala dingin.

Sayangnya sekarang orang yang masuk kategori sareh itu sudah menjadi barang langka, yang ada sekarang adalah orang yang “grusa-grusu” atau makna bebasnya berarti tergesa-gesa atau terburu-buru. Istilah ini menggambarkan perilaku atau tindakan yang dilakukan dengan cepat dan tanpa perencanaan yang matang, sering kali karena terburu-buru atau panik. Kata ini bisa digunakan dalam berbagai konteks untuk menggambarkan seseorang yang melakukan sesuatu dengan terburu-buru dan kurang hati-hati, sehingga berpotensi menghasilkan hasil yang kurang baik atau bahkan menimbulkan masalah.

Semoga dengan datangnya hari jumat penuh barokah ini dapat mengingatkan kita semua bahwa hidup itu akan indah jika ada perbedaan, karena dengan perbedaan kita akan mencapai kesepakatan, dan kebulatan akan kesepakatan itulah yang disebut harmoni. Suatu areal jika tumbuh satu jenis tumbuhan bunga saja, maka itu layak disebut kebun bunga; namun jika ditumbuhi oleh beragam bunga warna-warni yang menjadikan indah, maka itu layak disebut taman bunga. Tinggal bagaimana kita akan menghiasi hidup ini, apakah cukup sebagai kebun, atau kita menginginkan taman. Kedua pilihan itu tentu saja memiliki konsekwensi-konsekwensi yang satu dengan lainnya berbeda dalam menyikapi.

Salam Waras (SJ)

Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Gelar Yudisium, 52 Mahasiswa Resmi Bergelar Sarjana Kedokteran

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandarlampung menggelar Yudisium Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran di ruang 1.13 Universitas Malahayati. Sebanyak 52 mahasiswa lulus menyandang Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Yudisium periode ini. Kamis, (16/5/2024).

Acara ini juga dihadiri oleh, Sekretaris Fakultas Kedokteran, Sekretaris Prodi Pendidikan Dokter, Sekretaris Pendidikan Profesi Dokter, serta Ka. Biro Administrasi Akademik, Tarmizi SE.,M.Ak.

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, menyampaikan proses magang akan berbeda saat pendidikan, kita akan langsung melihat seperti apa penanganan pasien, yang selama ini hanya kita pelajari di buku.

“Kalo ada apa-apa jangan bertindak sendiri, harus selalu tanya apa saja yang harus kalian lakukan, jadi ada instruksi dari dokter yang bertanggungjawab,” pesan Dr. toni.

Dr. Toni mengingatkan untuk selalu jaga etika sebagai seorang dokter, etika itu nomor satu karena itu yang menjadi penilaian penting, bukan masalah pinter gaknya tapi yang utama etika dulu. “Semakin banyak kalian melihat semakin terampil kalian menjadi dokter,” ucapnya.

Dirinya menekankan bahwa era digital saat ini memainkan peran penting dalam proses magang, dan mengingatkan para calon dokter untuk tidak merekam kegiatan pelayanan dan pengobatan pada pasien.

Dekan juga mengimbau para calon dokter untuk menghindari pembuatan konten-konten untuk media sosial yang berhubungan dengan pelayanan medis.

Dalam kesempatan tersebut, Dr. Toni Prasetia juga menekankan pentingnya menjaga hubungan baik antara calon dokter dengan perawat dan petugas medis lainnya. Ia menyampaikan bahwa solidaritas dan kekompakan di antara mereka merupakan hal yang paling penting.

“Dua tahun lagi, kita akan bertemu dengan suasana yang sama, namun dengan tema yang berbeda, yakni saat sumpah dokter. Saya berharap kita semua berhasil ke depan dan dapat mengabulkan harapan orang tua agar kita sukses menjadi dokter kelak,” tambah Dr. Toni Prasetia.

Selanjutnya, Wakil Rektor 4 Drs Suharman, M.Pd., M.Kes mengucapkan selamat kepada 52 peserta yudisium sarjana kedokteran yang telah mendapatkan gelar S.Ked. Ia menekankan pentingnya menjaga sikap, sopan santun, dan etika selama menjalani co-ass karena hal tersebut akan menjadi penilaian di masa depan. Wakil Rektor juga mengingatkan para calon dokter untuk selalu menjaga nama baik almamater mereka, yaitu Universitas Malahayati.

Para peserta yudisium juga diingatkan untuk tetap rendah hati meskipun telah meraih gelar S.Ked setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran. Wakil Rektor 4 mengingatkan bahwa ini hanya tahap awal dalam perjalanan mereka, dan masih ada tahap pendidikan profesi dokter yang akan dihadapi. (gil/humasmalahayatinews)