Kehilangan yang Hilang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu mendapat caption dari seorang Guru Besar Senior yang sekaligus teman lama berorganisasi jaman mahasiswa di tahun 70-an; dan sama-sama merasakan tekanan masifnya Orde Baru pada zamannya kepada kami mahasiswa. Beliau merasakan hal yang sama dengan penulis, walaupun diungkapkan dengan bahasa “sandi”; yaitu ada sesuatu yang hilang dari yang pernah kami perjuangkan dulu. Kehilangan itu bukan berupa benda, bukan pula ide, bukan pula harapan; jauh dari itu semua, yaitu sesuatu yang kita cita-citakan bersama, dan pernah terwujud, justru sekarang hilang berganti rupa.

Makna filosofis dari “kehilangan yang hilang” bisa diuraikan melalui berbagai perspektif. Salah satu pendekatan adalah dengan mengaitkannya dengan pengalaman eksistensial manusia, dimana “kehilangan” seringkali dihubungkan dengan kesadaran bahwa sesuatu yang pernah kita miliki, alami, atau harapkan kini tak lagi ada.
Oleh karena itu dalam konteks ini, kehilangan yang hilang bisa bermakna lebih dalam—tidak hanya mengacu pada hilangnya sesuatu yang nyata, tetapi juga pada kehilangan perasaan atau ingatan akan hal itu. Artinya, ada saat di mana kita tidak hanya kehilangan sesuatu, tetapi kita juga kehilangan rasa atas kehilangan itu sendiri. Ini bisa berhubungan dengan pemikiran bahwa hal-hal yang dulu sangat penting pada akhirnya memudar, baik dari kehidupan nyata maupun dari kesadaran kita.

Secara filosofis, ini bisa diartikan sebagai suatu bentuk transendensi atau pembebasan. Seiring waktu, manusia mungkin mengalami perubahan dalam cara mereka memandang kehilangan, sehingga mereka tidak lagi terbebani oleh hal yang telah hilang. Kehilangan yang hilang ini bisa menjadi simbol dari bagaimana waktu, pengalaman, dan refleksi mengubah makna dari apa yang dulunya dianggap penting atau menyakitkan.

“Kehilangan yang hilang” bisa menjadi konsep yang menarik jika dilihat dari berbagai perspektif. Dalam bahasa yang sederhana, kehilangan adalah sesuatu yang pernah dimiliki, tetapi tidak ada lagi, baik itu benda, orang, atau perasaan. Namun, bagaimana dengan kehilangan dari sudut pandang yang lebih abstrak, emosional, atau bahkan spiritual? Berikut adalah beberapa perspektif tentang kehilangan:

Pertama, Perspektif Emosional. Kehilangan sering kali membawa kesedihan, rasa hampa, atau ketidakpastian. Namun, ketika “kehilangan yang hilang” dibicarakan, itu bisa mengacu pada perasaan atau hal yang seharusnya hilang tetapi tidak dirasakan lagi karena sudah tertutup oleh pengalaman lain. Misalnya, ketika seseorang pernah merasa sangat sedih karena kehilangan, tetapi perasaan itu hilang seiring berjalannya waktu atau karena penyembuhan emosional.

Kedua, Perspektif Filsafat Eksistensial. Dalam konteks ini, “kehilangan yang hilang” dapat berbicara tentang ketidakhadiran makna atau tujuan dalam hidup. Kehilangan sesuatu yang mendasar (misalnya, jati diri atau makna hidup) bisa membuat seseorang merasa terjebak, tetapi terkadang, rasa kehilangan itu sendiri bisa hilang seiring berjalannya waktu. Kehilangan itu mungkin tersamarkan oleh kebiasaan hidup atau adaptasi.

Ketiga, Perspektif Waktu. Kehilangan sering kali dipahami dalam konteks waktu: sesuatu yang hilang di masa lalu. Namun, dari perspektif lain, kehilangan bisa menjadi sesuatu yang “hilang” di masa depan atau yang belum terjadi. Misalnya, seseorang bisa merasakan “kehilangan potensi” atau “kesempatan yang hilang” yang belum sempat terjadi karena pilihan atau keadaan hidup yang membatasi.

Keempat, Perspektif Relasi. Dalam hubungan interpersonal, kehilangan bisa terjadi baik secara fisik maupun emosional. “Kehilangan yang hilang” bisa berarti seseorang yang hilang dari hidup kita, tetapi kita juga “kehilangan” rasa kehilangan itu sendiri ketika kita beradaptasi, melanjutkan hidup, atau menemukan hubungan baru.

Kelima, Perspektif Spiritual. Dalam konteks spiritual, kehilangan bisa dilihat sebagai bagian dari perjalanan menuju kedewasaan atau pencerahan. Kehilangan mungkin dianggap bukan sebagai sesuatu yang harus ditangisi, tetapi sebagai peluang untuk menemukan sesuatu yang lebih dalam. Ketika seseorang kehilangan sesuatu, mereka mungkin sebenarnya sedang menemukan sisi lain dari diri mereka yang sebelumnya tersembunyi.

Manakala kita jumpai mereka yang kehilangan perspektif tentang masa depannya, karena berbagai faktor penyebab tentunya; maka yang bersangkutan akan terjebak dalam rtinitas semu. Apa yang dikerjakan hanya melihat hari ini, paling jauh besok; tetapi tidak untuk masa depan, terutama lembaganya. Gedung tampak penuh terisi oleh kerja rutinitas; tetapi semua bagai robot , karena tidak memiliki maruwah. Mereka hanya melakukan “datang, kerja, pulang, akhir bulan gajian”. Jika kondisi seperti ini terjadi dilembaga yang seharusnya memikirkan negeri ini kedepan agar lebih baik; maka sudah dapat diduga hasilnya bagai pepesan kosong belaka. Inilah yang tampaknya merisaukan sahabat lama dalam melihat lembaganya dari jauh yang dulu digawanginya. Setiap waktu ada orangnya, setiap orang ada waktunya; adalah kata bijak untuk berdamai dengan diri sendiri ditengah kerisauan akan apa yang dulu pernah diperjuangkan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman