Debat Cawakot, Emak-Emak Adu Kecap, Kita Adu Kepo
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Senjamenjelang malam, lewat gaget, masuk kiriman berita khusus dari HBM mengenai perdebatan calon wali Kota Bandarlampung antara nomor urut satu Reihana versus nomor urut dua Eva Dwiana. Kebetulan, keduanya emak-emak.
Reihana didampingi calon wakilnya Aryodhia Febriansyah (Yodhi) dan Eva Dwiana didampingi Deddy Amarullah. Sebagai pendamping, Yodhi dan Deddy banyak menyimak dan menjaga sikapsikap santun sambil senyum-senyum tipis.
Wajar, bagi tim sukses dan tim hura-hura, visi dan misi calonnya bak motto produk kecap, selalu yang nomor satu. Jika dalam menyampaikan gagasan pakai intonasi keras dan narasi mengkritisi lawan, tim hore akan sehore-horenya.
Bagi masyarakat, dari debat adu gagasan, kita bisa mengintip isi kepala dan sedikit meraba hati calon pemimpin Kota ini. Masyarakat antusias membicarakannya. Berita debat calon yang dikirim HBM ke whatsapp grup Helo Indonesia agak sedikit “nyeleneh”.
Kepiawaian HBM dalam membungkus berita perlu diacungi jempol: kemasan menjadi menarik, menggelitik, dan kadang-kadang sedikit “nakal”.
Namun demikian ada yang sedikit terlewatkan dalam narasi beliau, yaitu keberanian salah satu pasangan yang ingin membangun tanpa hutang.
Tampaknya fenomena ini menarik dikupas, sebab hampir semua kepala daerah dalam membangun daerahnya bersumber dari “utangan”. Sehingga kepala daerah berikutnya harus menanggung paling tidak bunga yang harus dibayar; bahkan bisa jadi “induk” nya juga harus bayar.
Tidak aneh jika para kepala daerah tingkat dua paling kencang teriaknya saat menagih Dana Bagi Hasil (DBH) ke provinsi sebab mereka dikejar-kejar lembaga keuangan untuk segera membayar hutang atau paling tidak bunga.
Hal lain juga yang menarik, untuk Kota Bandarlampung, ternyata dua kandidat adalah emak-emak semua, bisa dibayangkan perhitungan mereka akan sen per sen sangat mereka cermati. Naluri emak-emak yang piawai mengelola keuangan, tentu saja menjadi heboh jika bicara perdebatan anggaran.
Keduanya “jago” dalam mengkalkulasi, terutama bidang “tambah dan kali”; sementara wilayah “bagi, dan kurang”; biasanya agak sedikit seret.
Persoalan lain adalah berapa banyak warga kota yang peduli akan perdebatan itu, apalagi bicara mutu; untuk saat ini warga hanya ingin cepat pemilihan dan cepat selesai.
Soal apakah mereka mau datang ke TPS atau tidak, ini menjadi persoalan tersendiri. Justru persoalan utama sebenarnya bukan pada calon, akan tetapi pada tingkat partisipasi masyarakat akan acara puncak, yaitu saat berlangsungnya pemilihan.
Terlepas dari semua hal di atas, ternyata jika emak-emak yang sedang mencalonkan diri sebagai kepala daerah mereka akan mengeluarkan sifat aslinya, yaitu selalu irit kalau untuk mengeluarkan cuan.
Jika anggaran yang diajukan oleh tim pemenangan tidak menyentuh langsung pada tingkat elabilitas mereka, maka pengajuan dana itu akan langsung ditangguhkan, kata lain dari di tolak.
Hal ini bisa dilihat dari salah satu indikatornya jumlah baleho atau banner. Pemasangan alat peraga tersebut selalu diperhitungkan dengan cermat, tidak sembarang semua tempat.
Kemudian kendali akan semua pengadaan dan pendistribusian, selalu ada alur dan pertanggungjawaban yang jelas.
Menginat semua yang di atas, justru itu sebenarnya juga sekaligus kendala bagi para calon dari emak-emak; sebab hitung-hitungan pilkada itu tidak sama dan sebangun dengan hitung-hitungan dapur.
Keberuntungan dalam pilkada, selain faktor takdir, jejak perjalanan hidupnya kerap jadi perbincangan di bawah permukaan. Sering kali, saya mencuri dengar percakapan yang justru bikin semangat membahas sisi lain dari sang calon.
Istilah kaum milenial, yang bikin kepo malah bukan visi dan misinya, rumor, isu, malah yang bikin sedap ketika membicarakan sosok calon pemimpin. Sementara, sang calon terus melaju seolah jejak masa lalu itu telah terhapus waktu.
Meminjam “hukum tahu” Imam Al Ghozali: “diri kita tidak tahu, sementara orang lain tahu”. Masyarakat mengetahui adanya rumor rekam jejak dirinya pada masa lalu, sementara diri yang bersangkutan merasa orang lain tidak akan tahu masa lalunya itu.
Kecacatan personal bisa menjadi blunder manakala ketersebarannya secara senyap person by person, sebab terbentuknya opini akibat persepsi dapat membahayakan siapapun kita pada posisi apapun kita.
Memang tidak ada manusia tanpa kekeliruan di muka bumi ini, namun menjadi berbeda persepsi manakala si pelaku dosa itu tukang timbang di pasar, dengan tukang omong di podium.
Oleh sebab itu upaya memperbaiki diri pada setiap kesempatan adalah sesuatu hal yang dianjurkan oleh ajaran agama kepada kita sebagai pemeluknya.
Semoga para calon nanti yang keluar sebagai pemenang bisa menjaga amanah dan marwahnya. Selamat berjuang demi perjuangan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman