Kupengan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Setiap daerah punya cara, setiap wilayah punya budaya; demikian halnya pada daerah tempat bertugas. Ada kebiasaan “baru” diwilayah kerja yaitu setiap ada teman yang ulang tahun, maka warga akan merayakan dengan makan bersama membentang “tikar” di ruang kantor untuk makan bersama. Tentu saja sudah bisa dipastikan setiap bulan ada saja yang berulang tahun, oleh sebab itu sudah bisa dipastikan setiap bulan acara seperti ini akan berlangsung. Makan bersama model ini dalam bahasa Jawa disebut “kupengan”. Berdasarkan penelusuran digital istilah kupengan merujuk pada salah satu bentuk bancaan sederhana yang dilakukan secara pribadi atau dalam lingkup kecil dan biasanya tanpa mengundang banyak orang.

Kupengan umumnya dilakukan untuk merayakan ulang tahun seseorang, terutama anak-anak. Tradisinya adalah seorang anak yang berulang tahun duduk di tengah dan dikelilingi makanan sederhana, seperti nasi, telur rebus, dan lauk-pauk lainnya. Biasanya juga ada doa singkat yang dipanjatkan sebagai ungkapan syukur dan harapan baik. Kupengan sedikit berbeda dengan Bancaan; adapaun perbedaannya ialah: terletak pada skala, suasana, dan cara pelaksanaannya:

Kupengan: Dilakukan secara sederhana dan biasanya hanya melibatkan keluarga inti atau beberapa orang saja. Juga biasanya diadakan tanpa tamu undangan, atau hanya mengundang sedikit orang terdekat. Tradisi ini biasanya dilakukan untuk memperingati ulang tahun anak atau momen pribadi. Makanan yang disajikan juga sederhana, seperti nasi dan telur rebus, tanpa tumpeng atau hidangan besar.

Sedangkan Bancaan: Merupakan acara yang lebih besar, sering kali melibatkan keluarga besar, tetangga, atau teman-teman dekat. Diadakan untuk berbagai keperluan, seperti syukuran, ulang tahun, khitanan, pernikahan, dan acara lainnya. Bancaan umumnya melibatkan lebih banyak hidangan, dan sering kali menampilkan tumpeng, jajanan pasar, atau makanan khas lainnya. Acara bancaan biasanya diawali dengan doa bersama, diikuti dengan makan bersama sebagai ungkapan syukur. Jadi, kupengan lebih kecil dan sederhana, sedangkan bancaan lebih besar dan meriah.

Berdasarkan penelusuran digital Filosofi yang terkandung dalam kupengan memiliki makna mendalam dan sederhana. Berikut beberapa nilai filosofis di balik tradisi ini: Pertama, Kesederhanaan dalam Bersyukur: Kupengan mengajarkan pentingnya rasa syukur meskipun dalam bentuk sederhana. Dengan hanya mengundang keluarga inti atau kerabat dekat, kupengan menunjukkan bahwa kebahagiaan dan rasa syukur tidak selalu memerlukan perayaan besar.

Kedua, Keintiman dan Kehangatan Keluarga: Kupengan mempererat hubungan antaranggota keluarga. Tradisi ini mendorong adanya kebersamaan dalam lingkungan kecil, mengutamakan kedekatan dan ikatan batin keluarga yang lebih erat.

Ketiga, Doa dan Harapan yang Mendalam: Acara ini biasanya dimulai dengan doa atau harapan baik. Dalam kupengan, doa menjadi inti acara, menunjukkan bahwa setiap perjalanan hidup, meski sederhana, patut disyukuri dan diberkahi.

Keempat, Pengajaran Nilai Hidup bagi sesama: Kupengan juga mengajarkan kepada kita bahwa makna ulang tahun atau momen tertentu bukan hanya sekadar pesta, tetapi juga momen refleksi dan syukur. Hal ini membantu anak-anak untuk memahami bahwa perayaan tidak selalu membutuhkan kemewahan.

Secara keseluruhan, kupengan mengandung filosofi untuk hidup sederhana, bersyukur atas nikmat yang ada, dan mengedepankan kedekatan kekeluargaan serta doa yang tulus. Karena tanpa itu semua tempat kerja menjadi neraka para anggotanya; oleh sebab itu suasana guyup rukun adalah oase bagi anggotanya; sekalipun mungkin jika diukur dari pendapatan finansial tidak seberapa.

Sayangnya budaya kupengan yang luhur itu akhir-akhir ini berubah makna, karena yang di kupeng bukan makanan yang dijadikan bancaan tetapi berubah menjadi hasil kejahatan bersama, seperti korupsi, uang pelican dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan jika atas nama hukum bisa guru sekolah dasar honorer dijadikan bancakan untuk kupengan bersama. Atau, seharusnya uang untuk kepentingan lembaga tetapi dijadikan kupengan oleh sekelompok orang untuk memperkaya diri sendiri. Lebih sadis lagi yang yang dijadikan ingkung (ayam bakar) dalam kupengan itu adalah musuh politik yang dicari-cari kesalahannya untuk dipermalukan bersama.

Tampaknya negeri ini sedang tidak baik-baik saja; oleh karenanya diperlukan ketegasan pemimpin, dan jangan pula justru pemimpin hanya “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Untuk menyenangkan atasan berbuat apa saja; bahkan politik belah bambu dipertontonkan, mengangkat yang atas, memijak yang bawah. Tentu saja mengorbankan orang kecil tampaknya lebih mudah, namun tolong dipahamkan doa orang teraniaya itu magbul adanya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman