Bermain Cantik di Area Kocok Bekap
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Istilah ini sangat popular pada wilayah yang berbudaya Palembang, dalam pengertian mereka sehari-hari menggunakan tutur “baso plembang”. Namun istilah ini tidak akan ditemukan dalam kamus resmi; karena bahasa ini sering disebut dalam bahasa tempatan dengan istilah “bahasa pasar”.
Akan tetapi penuturnya ternyata bukan hanya orang di pasar; akan tetapi lebih banyak ditempat-tempat resmi, bahkan gedung megah. Adapun makna bebasnya adalah “hasilnya sudah diatur lebih dahulu”, jadi apapun yang akan dilakukan sebenarnya hanya untuk memenuhi prosedure saja.
Penggunaan istilah kocok bekap (ada juga yang menyebut kocok bekem), adalah perilaku nepotisme dalam arti yang sesungguhnya. Dan, ini anehnya menjadi semacam kebiasaan untuk mendistribusikan “keberuntungan” kepada yang sudah ikut berjuang.
Jadi tidak aneh jika ada pemimpin baru akan membagikan kue keberuntungan tadi kepada para pendukungnya yang selama ini sudah berdarah-darah membantu. Adapun bentuknya bisa bermacam-macam; ada dalam bentuk jabatan strategis, ada juga dalam bentuk mengerjakan proyek yang bernilai besar, dan masih banyak lagi.
Hukum sosial berimbal jasa ini sudah lama terjadi di muka bumi ini. Hanya persoalannya, ada yang sangat mencolok cara melakukannya, ada yang dengan cara “bermain cantik”; sehingga tidak terditeksi sebagai nepotism.
Hal ini tergantung kepada kecerdasan emosional dari pelaku sosialnya.
Pertanyaannya: Apakah hal itu tidak termasuk pelanggaran? Tentu jawabannya, tidak sesederhana itu, dan tidak semudah itu. Sebab pelanggaran itu terjadi jika ada peraturan yang mengatur atau undang-undang yang telah ditetapkan.
Jika tidak ada unsur keduanya, semua akan kembali kepada etika kepatutan. Dan, tentu jika sudah bicara pada wilayah ini menjadi sangat subyektif sekali.
Bisa disimbolkan seperti ini; semula pintu dibuka lebar-lebar agar semua tampak terbuka, transparan, dan lebih “cerdas lagi” agar tampak demokratis. Namun setelah masuk “bubu” (semacam alat penangkap ikan); ternyata sebenarnya sudah ada ikan yang memang dipilih dari jauh sebelum pencalonan.
Hanya mereka-mereka yang memiliki indra ke tujuh, bahkan delapan; yang mampu membaca semua itu. Setelah penetapan finalisasi, baru muncul yang bersangkutan sebagai “calon tunggal dalam kebersamaan”. Sehingga semua tampak baik-baik saja, semua sesuai aturan, semua sesuai peraturan, semua sesuai tahapan; sedangkan kata akhir ada pada tangan yang akan menggunakan.
Model-model bermain cerdas seperti ini tampaknya sudah menggejala di tengah masyarakat kita, baik di pemerintahan, perguruan tinggi, atau dunia kerja lainnya. Permainan bulus berakal bulus memang tidak ada yang dilanggar, tetapi yang sudah masuk tidak bisa keluar.
Oleh karena itu bagi mereka yang memiliki kecerdasan emosional baik, maka dengan sangat hati-hati membaca peta sebelum melangkah. Ranjau-ranjau sosial siap mengamputasi karier seseorang dengan tampak cantik walau sebenarnya itu adalah pil pahit.
Untuk yang satu ini memang tidak cukup syarat formal, seperti pendidikan, pangkat dan golongan, pengalaman jabatan saja. Akan tetapi jauh dari itu ialah harus memiliki indra ketujuh seperti disebut di atas.
Latihan-latihan, bimbingan teknis dan sejenisnya; itu hanya memperpanjang pengalaman kerja; justru yang penting ialah “pernah berjasa apa” kepada “siapa”, dan “dalam bentuk apa”.
Semua itu adalah referensi seseorang untuk meraih kedudukan dalam struktur formal termasuk pemerintahan.
Apakah semua itu bukan nepotisme?Jawabannya tidak semudah pertanyaannya, karena sudah menjadi hukum sosial “kita akan menyukai yang memang mereka juga menyukai kita”.
Hukum sebab-akibat sebagai kausalistas filsafat adalah hukum imanen yang berlaku umum untuk semua peristiwa yang menyertainya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman