Ihlas itu Butuh Waktu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Siang menjelang sore aktivitas komplek perumahan tetap sunyi sepi; karena komplek ini dihuni orang-orang muda produktif; yang tinggalkan rumah untuk bekerja di pagi buta, dan pulang ke rumah sudah menjelang larut malam, bahkan ada yang dini hari. Mereka pejuang keluarga yang luarbiasa tangguhnya; berbeda dengan generasi tua seperti penulis, yang hanya menunggu waktu untuk “pulang”. Hidup pada kondisi seperti ini diperlukan keihlasan, agar mampu menerima tinggal ditempat ramai tetapi sunyi.
Ihlas. Kata yang singkat, sederhana, tapi berat. Diucapkan dengan mudah, dipraktikkan sangat susah. Banyak orang mendambakan keikhlasan, sedikit yang benar-benar bisa memilikinya. Bahkan, dalam niat baik sekalipun, terkadang kita menemukan bahwa ego, pencitraan, atau hasrat akan pengakuan diam-diam ikut campur. Lalu muncullah pertanyaan yang filosofis: Apakah ihlas itu benar-benar mungkin? Dan kalau mungkin, mengapa rasanya sulit sekali mencapainya?
Secara etimologis, kata “ihlás” berasal dari bahasa Arab akhlasa, yang berarti memurnikan. Dalam konteks spiritual dan agama, ihlas berarti melakukan sesuatu semata-mata karena Allah, tanpa mengharapkan imbalan atau pujian dari makhluk. Namun filsafat tidak hanya berhenti pada definisi normatif. Filsafat bertanya lebih jauh: apa yang membuat manusia bisa atau tidak bisa ikhlas. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi sebagai berikut:
Pandangan Filsafat eksistensial, terutama yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, menggatakan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Ia hidup dalam dunia niat dan tujuan. Artinya, manusia selalu bertindak dengan alasan, dan dalam setiap alasan itu ada ego yang bermain. Sartre bahkan menekankan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas”, artinya bebas memilih makna dan tujuan dari tindakannya, tapi sekaligus dibebani oleh konsekuensi pilihan tersebut. Sebagai contoh, ketika seseorang melakukan kebaikan, sangat mungkin ada banyak lapisan motivasi di baliknya: ingin dihargai, ingin merasa penting, ingin dicintai, bahkan ingin dianggap sebagai orang yang ikhlas. Inilah paradoksnya ihlas: saat kita menyadari bahwa kita ingin ikhlas, pada saat itu pula keikhlasan itu tercemar oleh kesadaran diri kita sendiri.
Berbeda lagi dalam pemikiran filsafat Timur, terutama dalam sufisme; keikhlasan identik dengan lenyapnya ego. Seorang sufi besar seperti Al-Ghazali membedakan antara amal yang dilakukan karena dunia (riya) dan amal karena Tuhan (ihlás). Tetapi di tingkat ini, seseorang bisa saja tertipu oleh egonya sendiri, sebab melakukan amal yang secara lahir tampak murni, tetapi batinnya dipenuhi harapan akan surga atau pahala. Maka dari itu, para sufi berkata, “Seandainya keikhlasan bisa diukur, maka ia tidak akan disebut keikhlasan.”
Kita cenderung memandang ihlas sebagai sebuah titik akhir dari tujuan yang harus dicapai. Tetapi sebenarnya pendekatan ini justru menjebak. Filsafat eksistensial mengajarkan bahwa manusia bukan “sesuatu yang jadi”, melainkan “menjadi”. Dalam istilah Heidegger, manusia adalah Dasein, eksistensi yang selalu dalam proses menafsirkan dan menentukan dirinya sendiri. Artinya, ihlas bukanlah sesuatu yang “kita punya” atau “tidak punya”, melainkan sesuatu yang kita pelajari seiring waktu, melalui pengalaman, refleksi, dan kecewa.
Lawrence Kohlberg, seorang psikolog moral yang juga dikaji dalam filsafat pendidikan, mengembangkan teori tahap-tahap perkembangan moral manusia. Pada tahap awal, anak-anak berbuat baik karena takut dihukum atau ingin imbalan. Seiring usia dan pengalaman, mereka mulai berbuat baik karena merasa itu benar secara moral. Pada tahap tertinggi, orang bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etika universal, terlepas dari keuntungan pribadi. Oleh sebab itu dalam konteks ini, ihlas muncul di tahap akhir, saat seseorang melakukan sesuatu bukan karena ingin terlihat baik, tapi karena ia sungguh percaya bahwa itu adalah hal yang baik. Tapi untuk sampai ke sana, orang perlu waktu bertahun-tahun pergumulan, kegagalan, introspeksi, dan pertumbuhan batin yang panjang dan bias jadi melelahkan.
Seorang filsuf eksistensial mungkin akan berkata: “Tidak ada tindakan yang sepenuhnya ihlas, karena kesadaran manusia selalu bermain di dalamnya.” Ini bukan untuk menihilkan makna keikhlasan, tapi justru untuk menyadarkan bahwa keikhlasan adalah spektrum, bukan absolut. Dalam kerangka ini, tidak ada yang benar-benar “gagal” menjadi ikhlas. Yang ada adalah proses menuju kejernihan niat. Oleh sebab itu orang bijak mengatakan keikhlasan adalah kemampuan jiwa yang berkembang seiring kematangan spiritual. Dan, ihlas bukan berarti menjadi suci. Ia justru muncul ketika kita menerima kenyataan bahwa kita adalah makhluk yang tidak sempurna, yang sedang belajar, yang sedang mencoba. Dalam bahasa Rumi: “Mata air keikhlasan mengalir dari luka-luka yang kamu terima dengan sabar.”
Keikhlasan bukanlah tujuan yang ditandai dengan bendera finish, tapi perjalanan seumur hidup. Ia tidak lahir dari niat untuk terlihat ikhlas, tapi dari kelelahan ego yang akhirnya berserah. Ia adalah hasil dari proses batin yang panjang, kadang menyakitkan, tapi pada akhirnya memurnikan. Ternyata dalam kesunyianpun kita bisa menemukan nikmat manakala kita ihkas menerimanya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
