Ditengah Kebenaran Masih Ada Setitik Kesalahan, Ditengah Kesalahan Masih Ada Setitik Kebenaran
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sore itu, sambil menunggu dijemput oleh istri, berada di lantai satu gedung megah ini; sempat berbincang ringan dengan salah seorang karyawan. Pria muda ini berbadan tegap, sekalipun tampak sangar, namun tetap ramah jika di sapa. Beliau menemani penulis dan sempat sedikit mengungkapkan isi hati yang intinya bahwa mengapa sekarang ini dimedia sosial banyak sekali orang mencari kesalahan orang lain. Bahkan ada diantara mereka yang melihat orang lain dari sisi jeleknya. Dan, kebenaran itu hanya milik orang orang tertentu, terutama yang sedang berkuasa. Karena terpanggil untuk meluruskan pemikiran tadi, maka terpaksa memberikan sedikit tauziah emperan agar yang bersangkutan memahami apa itu kebenaran secara ringan dan popular. Setelah sampai di rumah, mulai mencari jejak digital dan referensi konvensional apa itu kebenaran, dan termasuk karakteristiknya secara filosofis.
Dalam kehidupan manusia, pencarian akan kebenaran adalah salah satu perjalanan intelektual dan spiritual yang paling mendalam. Namun, seringkali dalam proses pencarian itu, kita menemukan paradoks: kebenaran yang diyakini bisa mengandung kesalahan, dan kesalahan yang ditolak bisa menyimpan setitik kebenaran. Ungkapan ini bukan hanya permainan kata, tetapi cerminan dari realitas epistemologis manusia dan sekaligus keterbatasan akal, kedangkalan pemahaman, dan kerumitan hakikat kebenaran itu sendiri.
Dari sudut pandang filsafat Islam, terutama dalam tradisi pemikiran para filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, hingga Mulla Sadra, konsep kebenaran dan kesalahan tidaklah bersifat hitam-putih. Mereka mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk pencari makna yang senantiasa bergerak dalam spektrum antara dzan (dugaan) dan yaqin (kepastian). Dalam perjalanan ini, kebenaran tidak selalu murni, dan kesalahan tidak selalu total. Tulisan ini mencoba mengurai makna di balik pernyataan tersebut melalui pendekatan filsafat Islam, dengan menelusuri akar epistemologis, ontologis, dan etis dari cara pandang Islam terhadap kebenaran dan kesalahan.
Dalam epistemologi Islam, kebenaran (al-haqq) adalah sesuatu yang sesuai dengan kenyataan dan bersumber dari Tuhan sebagai sumber segala kebenaran. Kesalahan (al-bāṭil), sebaliknya, adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas atau menyimpang dari kebenaran yang hakiki. Namun, filsafat Islam tidak menilai keduanya sebagai dua kutub yang saling terputus. Ibnu Sina, misalnya, membedakan antara pengetahuan tingkat pertama dan tingkat kedua. Pengetahuan pertama adalah hasil dari pengalaman langsung atau intuisi, sedangkan pengetahuan kedua berasal dari proses rasionalisasi dan abstraksi. Di sinilah kesalahan bisa muncul, bahkan dalam upaya yang tulus untuk menemukan kebenaran. Dalam proses penalaran manusia, bias, kekeliruan logika, atau keterbatasan informasi bisa menyusup, menyebabkan adanya kesalahan dalam kebenaran.
Namun yang menarik, filsafat Islam juga memberi ruang bagi “kebenaran parsial” yang mungkin tersembunyi dalam kesalahan. Sebagai contoh, Al-Ghazali dalam bukunya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof) mengkritik beberapa pandangan filsafat Yunani yang diadopsi oleh para filsuf Muslim, namun ia tetap mengakui ada kebenaran dalam argumen mereka yang bisa digunakan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Al-Ghazali tidak menolak seluruh isi filsafat Yunani, tetapi memilahnya dengan prinsip “menyaring yang benar dari yang salah”. Dalam konteks ini, pernyataan “Di tengah kebenaran masih ada kesalahan, di tengah kesalahan ada setitik kebenaran” adalah refleksi dari epistemologi Islam yang dinamis, tidak dogmatis, dan terbuka terhadap proses klarifikasi berkelanjutan.
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah; yakni kondisi bawaan yang cenderung kepada kebenaran dan keadilan. Namun, fitrah ini dapat ternoda oleh hawa nafsu, kepentingan duniawi, atau lingkungan sosial. Al-Farabi, dalam pemikirannya tentang masyarakat utama (al-madīnah al-fāḍilah), menyatakan bahwa manusia akan cenderung pada kesalahan bila hidup dalam struktur sosial yang rusak. Kebenaran yang ia miliki pun akan tercampur oleh berbagai bentuk penyimpangan. Namun demikian, fitrah tetap membawa kemampuan untuk mengenali setitik cahaya kebenaran, bahkan di tengah gelapnya kesalahan. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, setiap individu tidak dinilai berdasarkan hasil akhir pencariannya semata, tetapi juga niat dan usaha intelektualnya. Dalam filsafat Islam, ini menjadi dasar etika pencarian pengetahuan: bahkan jika seseorang tersesat dalam kesalahan, namun bila niat dan usahanya jujur, maka ada nilai dalam pencarian itu.
Dalam pandangan ontologis filsafat Islam, hanya Tuhan yang memiliki kebenaran mutlak. Segala sesuatu selain-Nya adalah terbatas dan relatif. Oleh karena itu, kesalahan adalah konsekuensi wajar dari keberadaan manusia sebagai makhluk terbatas. Mulla Sadra, filsuf besar dari tradisi hikmah muta’aliyah (filsafat transenden), memandang realitas sebagai sesuatu yang bergerak secara bertahap menuju kesempurnaan, dan konsep ini dikenal sebagai harakah jawhariyah (gerak substansial). Dalam pandangan ini, kesalahan bukanlah penghalang mutlak, tetapi fase yang dilalui dalam perjalanan eksistensial menuju kebenaran hakiki. Setiap kesalahan mengandung pelajaran dan kemungkinan untuk bertumbuh. Bahkan, tanpa mengalami kesalahan, kesadaran manusia atas kebenaran tidak akan matang. Dengan demikian, dalam konteks ontologis, kesalahan memiliki fungsi teleologis: bukan hanya sebagai kekurangan, tetapi sebagai bagian dari “proses menjadi”. Oleh karena itu, menemukan setitik kebenaran dalam kesalahan adalah upaya membaca hikmah dari keberadaan.
Sementara itu para sufi seperti Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, dan Imam Al-Hallaj mengajarkan bahwa kebenaran Tuhan tersembunyi dalam segala sesuatu, termasuk dalam apa yang tampak sebagai kesalahan atau dosa. Konsep ini bisa kita temukan dalam puisi-puisi Rumi yang penuh paradoks: “Kadang-kadang, jalan menuju Tuhan melewati kesalahan yang paling dalam.”
Bagi kaum sufi, yang penting bukan hanya tindakan luar (zahir), tetapi juga gerak batin (batin). Seseorang yang terlihat benar di luar bisa saja keliru di dalam, dan seseorang yang tampak salah dari luar bisa jadi menyimpan niat suci yang mendekatkannya kepada Tuhan. Dalam terminologi sufi, ini disebut sebagai sirrun fi al-sirr atau rahasia di balik rahasia.
Ibnu Arabi mengembangkan konsep Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) yang menyatakan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah manifestasi dari Tuhan. Maka, dalam setiap kesalahan manusia, masih ada cahaya ilahi yang tersembunyi. Cahaya ini, meski redup, bisa menjadi petunjuk bagi mereka yang mencari-Nya dengan ikhlas.
Pernyataan bahwa “di tengah kebenaran masih ada kesalahan” juga mengajarkan kepada kita pentingnya kerendahan hati intelektual. Tidak ada pemikiran, ideologi, atau individu yang sepenuhnya benar, sebagaimana tidak ada manusia yang sepenuhnya salah. Dalam kerangka ini, filsafat Islam mendorong lahirnya etika diskusi dan toleransi terhadap perbedaan pendapat. Imam Syafi’i, salah satu ulama besar dalam Islam, pernah mengatakan, “Pendapatku benar, namun bisa jadi salah. Pendapat orang lain salah, namun bisa jadi benar.” Sikap ini merupakan fondasi penting dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam: tidak mudah menjustifikasi orang lain sebagai sesat atau salah hanya karena berbeda pendapat.
Dalam konteks ini, filsafat Islam mengajarkan etika epistemologis; bahwa manusia tidak boleh arogan dalam pengetahuan, dan harus selalu membuka diri terhadap kemungkinan bahwa sebagian dari yang ia yakini bisa saja keliru, dan sebagian dari yang ia tolak bisa saja benar. Inilah akar dari prinsip tasamuh (toleransi) yang dibangun di atas kesadaran epistemologis dan spiritual.
Filsafat Islam tidak menempatkan kebenaran dan kesalahan dalam dikotomi kaku, melainkan dalam suatu spektrum dinamis yang berlandaskan pada usaha, niat, dan keterbukaan terhadap koreksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang statis, tetapi proses pencarian yang penuh ujian, godaan, dan potensi kekeliruan. Namun justru di situlah nilai kemanusiaan kita diuji dan dimuliakan. Kebenaran dan kesalahan adalah bentuk peneguhan mahluk bahwa dia adalah ciptaanNYA. Karena yang sempurna itu hanya milik Sang Maha Pencipta. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
