Pakai Pisau Filsafat Membedah Kepemimpinan Apa Kata Ayah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Era Generasi Alfa saat ini, kepemimpinan sudah banyak diemban oleh generasi milenial. Rerata usia mereka saat ini ada pada 30 sampai dengan 40 tahun. Mereka diwarisi oleh budaya tertentu, yang salah satu diantaranya secara nasional maupun daerah adalah: Apa kata Ayah, Bapak, atau Papa.

Oleh sebab itu, tidak jarang kita melihat campur tangan keluarga pada sistem yang dibangun oleh generasi yang melibatkan peran orangtua. Tentu saja, hal itu laku sejarah yang tidak dapat dihindari. Yang dapat dilakukan, meminimalisir atau menyeimbangkan agar tetap bisa berjalan sebagaimana alurnya.

Berdasarkan kajian literatur, baik digital maupun konvensional ditemukan informasi bahwa setiap pemimpin, tanpa terkecuali, memikul beban yang tidak selalu tampak oleh mata. Beban yang tak sekadar tanggung jawab struktural atau tugas administratif, melainkan sesuatu yang lebih halus, mendalam, dan eksistensial, yaitu bayang-bayang.

Dalam filsafat manusia, bayang-bayang dapat dimaknai sebagai manifestasi dari harapan, ketakutan, nilai yang diwariskan, atau trauma psikologis yang belum selesai, termasuk bayang-bayang yang berasal dari keluarga.

Dalam filsafat eksistensial, terutama dalam pemikiran Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, manusia tidak hanya hidup di dunia, tetapi juga membangun makna melalui kesadarannya.

“Bayang-bayang” dalam konteks ini adalah representasi dari apa yang belum selesai dalam kehidupan manusia: kegagalan yang ditakuti, harapan yang belum tercapai, dan tanggung jawab yang belum dipenuhi.

Sartre menyebut manusia sebagai proyek yang belum selesai. Dia hidup dalam ketegangan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang membayang. Bagi seorang pemimpin, bayang-bayang ini muncul dalam bentuk tekanan untuk sukses, rasa bersalah terhadap keputusan yang salah, atau ekspektasi untuk menjadi “penyelamat”.

Heidegger memperkenalkan konsep inauthenticity, yaitu kehidupan yang tidak otentik ketika manusia menjalani hidup hanya berdasarkan “mereka” (das Man), yakni ekspektasi masyarakat. Oleh sebab itu, pemimpin yang terlalu dikendalikan oleh bayang-bayang ekspektasi eksternal sering kehilangan suara batinnya sendiri.

Salah satu bentuk bayang-bayang paling kuat yang memengaruhi kepemimpinan adalah warisan dari sang ayah atau keluarga. Dalam banyak kasus, terutama di lingkungan politik atau bisnis keluarga, pemimpin generasi kedua hidup di bawah bayangan besar orangtuanya.

Carl Jung menyebut sosok ayah sebagai archetype dari otoritas dan tatanan. Ayah adalah simbol dari struktur, kekuasaan, dan batas. Seorang anak yang kemudian menjadi pemimpin seringkali tidak hanya mewarisi harta atau posisi, tetapi juga beban ekspektasi, untuk mempertahankan, memperbesar, atau menyempurnakan apa yang telah dibangun ayahnya.

Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, oleh karena itu ia harus memilih sendiri jalan hidupnya. Tetapi dalam realitas kepemimpinan keluarga, kebebasan itu sering terjerat oleh “perasaan harus melanjutkan” demi menghormati keluarga. Hal inilah yang menciptakan konflik eksistensial.

Solusinya bukan menolak warisan itu secara membabi buta, tetapi, seperti yang dijelaskan Paul Ricoeur, yaitu dengan menafsirkan ulang. Pemimpin perlu berdialog secara kritis terhadap bayangan tersebut: memelihara nilai-nilai luhur, tetapi juga berani melepas warisan yang sudah tak relevan dengan zaman.

Filsafat moral dari Immanuel Kant menyatakan bahwa manusia harus bertindak atas dasar prinsip yang bisa dijadikan hukum universal. Namun dalam praktik kepemimpinan, muncul dilema antara etika dan pragmatisme.

Bayang-bayang target ekonomi, tekanan politik, dan kepentingan kelompok bisa menggoda pemimpin untuk mengorbankan prinsip. Utilitarianisme modern, yang menekankan “kebaikan terbesar bagi jumlah terbesar”, kadang jadi pembenaran untuk mengabaikan hak individu demi kepentingan kolektif.

Dalam tekanan ini, pemimpin yang tidak sadar akan bayang-bayang moral bisa mengambil langkah yang pada akhirnya mengikis integritas dirinya. Filsafat manusia menekankan pentingnya refleksi moral dalam setiap pengambilan keputusan. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu berdiri tegak bahkan ketika pilihan etis lebih berat daripada pilihan pragmatis.

Filsafat manusia juga menuntun kita pada refleksi: pemimpin yang baik bukan yang paling mirip dengan pendahulunya, melainkan yang paling otentik terhadap dirinya sendiri. Ia bisa menghormati ayahnya, tanpa harus menjadi salinannya.
Bayang-bayang yang membayangi seorang pemimpin bisa menjadi beban yang menindih, atau bisa menjadi cermin reflektif yang membimbing.

Dari sang ayah, sejarah, teknologi, hingga harapan public, itu semuanya adalah bagian dari eksistensi manusia yang tak bisa dihindari. Namun dengan kesadaran filsafatik, seorang pemimpin mampu berdiri tegak, menatap bayangan-bayang itu, menafsirkannya, dan melangkah ke depan dengan keberanian dan integritas.

Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan tentang menjadi “seperti orang lain”, melainkan menjadi manusia seutuhnya, yang sadar akan keterbatasan, tapi memilih bertindak secara bijak dan bertanggung jawab. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman