Bahasa yang Tak Berumah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Setiap sudut dimanapun kita berada saat ini, tidak asing lagi dengan bunyi media genggam yang entah apa isi narasinya. Ada kekhasan di sana yaitu baru sebentar sudah berpindah atas nama scroll, dan terus berpindah; sehingga apa pesan yang disampaikan, apa maksud dari ucapan sudah tidak lagi perlu didengar, jika itu tidak memenuhi selera telinga. Seolah dunia semakin gaduh oleh bunyi, paradoksnya adalah: kata-kata semakin banyak diucapkan, namun semakin sedikit yang benar-benar didengar. Dalam percakapan harian, dalam media sosial, dalam pidato politik, dalam diskusi publik; bahasa tampaknya hadir di mana-mana, namun jarang berdiam di tempat yang seharusnya: yaitu di hati manusia. Inilah ironi zaman kini, seolah bahasa sudah kehilangan rumah. Bahasa, yang seharusnya tidak hanya dipahami sebagai alat komunikasi, tetapi seharusnya sebagai rumah bagi keberadaan diri. Manakala bahasa tidak lagi menemukan rumahnya, maka manusia pun kehilangan arah pulang ke dirinya.

Martin Heidegger, filsuf Jerman yang mendalamkan pemikiran tentang keberadaan (Being), menulis kalimat yang terkenal: “Bahasa adalah rumah dari Being. Dalam rumah itulah manusia berdiam.” Pernyataan ini menyiratkan bahwa bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan pesan, melainkan wadah tempat eksistensi manusia menemukan bentuknya. Ketika kita berbicara, kita tidak hanya menyampaikan maksud. Kita membentuk dunia, menamai pengalaman, membangun hubungan, dan memberi struktur bagi kenyataan. Dalam arti ini, bahasa adalah rumah spiritual manusia. Ia menjadi tempat tinggal bagi pikiran dan perasaan. Maka, jika bahasa kehilangan makna atau tidak menemukan tempatnya dalam dialog manusia, sesungguhnya manusia kehilangan rumah eksistensialnya.

Namun demikian, sepertihalnya rumah yang bisa rusak karena kelalaian penghuninya, bahasa pun bisa rapuh karena disalahgunakan. Kita mengucapkan kata-kata kosong, membangun basa-basi tanpa makna, atau menyalahgunakan bahasa untuk manipulasi. Bahasa berubah menjadi alat untuk menyembunyikan, bukan menyatakan. Dari sinilah kehancuran dimulai. Kita simak dalam masyarakat kontemporer, terjadi inflasi kata. Kata-kata berserakan di mana-mana: di iklan, di kampanye politik, di media sosial. Namun, justru karena terlalu banyak diucapkan, bahasa kehilangan bobotnya. Kita menjadi terbiasa dengan eufemisme, hiperbola, dan kalimat-kalimat bombastis yang tidak mewakili kenyataan. Seperti uang yang dicetak tanpa nilai, bahasa yang tak memiliki akar akan kehilangan nilainya. Sebagai contoh kata “cinta.” Dalam budaya pop, kata ini diulang ribuan kali dalam lagu, puisi instan, atau percakapan ringan. Namun apakah kita benar-benar memahami atau menghidupi makna cinta. Kata itu menjadi seperti lukisan indah yang ditempel di dinding rumah kosong. Indah, tapi hampa.

Bahasa tak menemukan rumah bukan karena ia tidak digunakan, melainkan karena tidak dipahami. Ia mengembara tanpa makna, menyentuh telinga tapi tidak masuk ke hati. Dalam dunia digital yang serba cepat, kita lebih suka response daripada reflection. Bahasa berubah menjadi instrumen reaksi, bukan relasi.

Krisis bahasa mencerminkan krisis eksistensial manusia modern. Kita hidup dalam dunia yang terfragmentasi: identitas yang cair, relasi yang rapuh, dan orientasi hidup yang kabur. Dalam kondisi seperti ini, bahasa kehilangan jangkar. Kita berbicara, tetapi tidak benar-benar hadir. Kita mendengar, tapi tidak mendengarkan. Bahkan Jean-Paul Sartre menulis dalam konteks bahasa, ini tampak sebagai kejenuhan terhadap wacana kosong yang tidak membentuk realitas. Bahasa menjadi semacam ilusi yang menutupi kekosongan batin.

Kita menyapa karena norma, bukan karena peduli. Kita mengucapkan “terima kasih” atau “maaf” karena diajarkan, bukan karena merasa. Bahasa menjadi ritual sosial tanpa jiwa. Dalam kondisi seperti ini, bahasa tidak menemukan rumah karena rumah itu sendiri telah ditinggalkan penghuninya. Ironisnya, kadang-kadang bahasa tak menemukan rumah bahkan di rumahnya sendiri, yaitu di antara mereka yang menggunakannya. Kita merasa asing dalam keluarga, dalam pertemanan, bahkan dalam diri kita sendiri. Pernahkah Anda mencoba mengungkapkan perasaan terdalam hanya untuk disambut dengan tawa canggung atau diam yang tidak nyaman.

Bahasa emosional, seperti kesedihan, rasa kecewa, rasa syukur mendalam, sering kali tidak memiliki ruang dalam percakapan sehari-hari. Masyarakat kita mengagungkan efisiensi dan fungsionalitas, bukan kedalaman dan kerentanan. Akibatnya, kata-kata yang menyentuh eksistensi kita justru dianggap “berlebihan” atau “tidak penting”. Kita menjadi asing satu sama lain karena tidak bisa menemukan kosakata bersama untuk memahami pengalaman masing-masing. Setiap orang bicara, tapi tidak ada yang merasa didengar. Bahasa ada, tapi tidak berdiam. Inilah definisi paling nyata dari “bahasa yang tak menemukan rumah.”

Salah satu bahasa yang paling sering kehilangan rumah adalah bahasa cinta. Cinta dalam arti luas: kasih antar manusia, empati, perhatian, kelembutan. Bahasa cinta bukan hanya romantika, tetapi cara menyampaikan kebaikan secara otentik. Kenyataan sekarang dalam dunia yang serba transaksional seperti saat ini, bahasa cinta tersingkir oleh bahasa untung-rugi. Kita bertanya, “Apa manfaatnya” alih-alih “Apa artinya bagimu” Kita terbiasa bicara soal pencapaian, tapi gagap ketika diminta mengekspresikan kasih. Bahasa cinta menjadi barang langka bagai sebuah artefak yang kadang terasa janggal bila diucapkan di ruang publik. Padahal, justru bahasa cinta inilah yang paling dibutuhkan. Ia adalah rumah yang mampu menampung luka, kegelisahan, dan harapan manusia. Ia adalah bahasa yang menyembuhkan, bukan hanya menjelaskan. Sayangnya, banyak diantara kita lupa cara menggunakannya.

Dalam krisis bahasa verbal, kadang tubuh mengambil alih. Kita menangis saat tak bisa berkata-kata. Kita memeluk saat tak tahu harus berkata apa. Bahasa tubuh menjadi alternatif ketika kata-kata gagal. Namun saat ini bahasa tubuh pun sering disalahpahami, ditahan, atau diabaikan. Dalam budaya yang semakin digital dan virtual, tubuh sering dipinggirkan. Kita bicara melalui teks, emoji, dan rekaman suara. Keintiman digantikan oleh representasi. Kita lupa bahwa kehadiran fisik pun adalah bahasa, dan itu pun kini jarang menemukan tempat untuk tinggal. Ketika kata, suara, dan tubuh semuanya tidak bisa menyampaikan makna dengan utuh, manusia mengalami keterasingan yang menyeluruh. Inilah saat ketika bahasa benar-benar kehilangan rumahnya.

Filsafat memberi kita tugas untuk berpikir ulang, untuk merekonstruksi makna. Membangun kembali rumah bagi bahasa artinya: membangun kembali kejujuran, kedalaman, dan empati dalam berbicara. Kita perlu membiasakan diri dengan diam yang reflektif, bukan hanya jeda sebelum membalas. Diam yang mendengar sebelum menjawab. Diam yang menerima sebelum menilai.

Kecerdasan buatan bisa meniru bahasa, menulis puisi, bahkan meniru suara manusia. Akan tetapi, bisakah mesin memahami makna cinta? Bisakah ia merasakan luka yang tak bisa diucapkan? Bahasa manusia bukan hanya kombinasi kata, tapi juga kombinasi jiwa dan pengalaman. Oleh karena itu tantangan masa depan bukan hanya mempertahankan kemampuan berbicara, tetapi mempertahankan kemampuan merasa melalui kata-kata. Kita harus menjadikan bahasa sebagai alat untuk membangun, bukan merusak. Untuk merangkul, bukan memisahkan.

Rumah bahasa itu itu bisa kita bangun; bukan dari batu atau kayu, melainkan dari kejujuran, ketulusan, dan keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam dialog. Setiap kali kita memilih kata yang otentik, mendengarkan dengan sungguh, dan menyampaikan tanpa topeng, dan di situlah bahasa menemukan rumahnya. Salam Waras (gil)

Editor: Gilang Agusman