Rumah Terakhir

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada saat menghadiri sebuah tauziah ditempat keluarga yang ditimpa duka karena kematian kepala keluarga; seorang penceramah muda tampil menceritakan kisah seorang tukang rumah yang telah bekerja selama 60 tahun untuk majikannya. Pada hari ia hendak mengundurkan diri, bosnya meminta satu permintaan terakhir: membangun satu rumah lagi. Sang tukang, yang sudah letih dan ingin segera pensiun, menyelesaikan rumah itu dengan terburu-buru dan tanpa semangat, bahkan cenderung sembrono. Namun, tak disangka, rumah tersebut ternyata dihadiahkan oleh sang majikan kepadanya. Betapa kecewanya sang tukang mengetahui bahwa rumah yang ia bangun asal-asalan itu justru adalah rumah yang akan ia tempati sendiri.

Kisah ini tampak sederhana, tetapi menyimpan makna filosofis yang dalam. Ia menyentuh tema-tema seperti etika kerja, tanggung jawab, makna tindakan, dan refleksi diri dalam menjalani hidup. Dalam esai ini, kita akan mengkaji kisah tersebut dari sudut pandang filsafat, terutama melalui pemikiran etika Aristotelian, filsafat eksistensialisme.

Aristoteles dalam karyanya Nicomachean Ethics mengajarkan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan akhir hidup manusia. Kebahagiaan itu bukan hasil dari kesenangan sesaat atau kekayaan material, melainkan dari hidup yang dijalani dengan keutamaan (virtue). Salah satu keutamaan yang ia tekankan adalah arête, atau keunggulan dalam menjalankan fungsi kita sebagai manusia.

Sang tukang rumah adalah pengrajin, dan tugasnya adalah membangun rumah. Keunggulan baginya adalah membangun dengan baik, penuh dedikasi, dan keahlian. Namun ketika ia membangun rumah dengan sembarangan karena sudah merasa waktunya berhenti, ia melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang pekerja yang beretika. Ia melanggar prinsip areté. Bila ia tetap menjaga kualitas pekerjaannya sampai akhir, ia akan memenuhi keutamaan dirinya. Tetapi ketika ia menyerah pada rasa jenuh dan menurunkan standar, ia tidak hanya mengecewakan bosnya, tetapi dia juga mengkhianati dirinya sendiri. Kisah ini mengajarkan bahwa tindakan kita, sekecil apapun, seharusnya mencerminkan integritas. Karena pada akhirnya, kita sering kali harus tinggal di “rumah” yang kita bangun sendiri.

Sementara dalam pandangan eksistensialisme, terutama menurut Jean-Paul Sartre, manusia adalah makhluk bebas yang harus menciptakan esensi hidupnya melalui tindakan. Sartre terkenal dengan pernyataannya bahwa “eksistensi mendahului esensi.” Artinya, kita tidak ditentukan oleh status atau jabatan, melainkan oleh pilihan dan perbuatan kita sendiri. Sang tukang rumah, dalam kisah ini, membuat sebuah pilihan: ia memilih untuk tidak bekerja sebaik biasanya karena merasa masa pengabdiannya sudah cukup. Ia menggunakan kebebasan eksistensialnya, tetapi ia lupa bahwa setiap pilihan membawa konsekuensi. Konsekuensi itu datang dalam bentuk penyesalan; karena dia menyadari bahwa tindakannya adalah cerminan dirinya.

Filsafat Eksistensialis juga berbicara tentang autentisitas. Hidup yang otentik adalah hidup yang dijalani dengan kesadaran penuh bahwa setiap tindakan membentuk siapa kita. Tukang rumah yang membangun rumah asal-asalan berarti sedang “membangun” dirinya sendiri dengan cara asal-asalan pula. Dan ketika ia akhirnya harus menempati rumah itu, ia harus menerima versi dirinya yang terbentuk dari pilihan tersebut.

Kisah ini juga mengajak kita untuk memaknai pekerjaan bukan sekadar rutinitas mencari nafkah, melainkan sebagai laku spiritual. Dalam ajaran filsafat Islam, pekerjaan adalah bentuk ibadah. Setiap paku yang dipukul, setiap semen yang diaduk, setiap kata yang diucap; bila dilakukan dengan niat yang benar dan hati yang ikhlas, maka dia akan menjadi amal ibadah.

Pekerjaan yang dilakukan dengan setengah hati tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga mengosongkan nilai spiritual dalam hidup kita sendiri. Sang tukang rumah telah bekerja selama 60 tahun, dan mungkin ia sudah mengumpulkan banyak pahala dari pekerjaan itu. Namun pada akhirnya, satu perbuatan buruk di akhir masa kerja mampu menghapus rasa puas terhadap seluruh pengabdiannya. Dalam hal ini, ada pesan penting: konsistensi moral dan spiritual itu penting sepanjang hidup. Tidak cukup untuk “pernah baik”; kita harus “selalu berusaha menjadi baik”, karena kita tidak tahu kapan dan di mana akhir dari perjalanan hidup kita.

Rumah dalam kisah ini bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga simbol dari kehidupan yang kita bangun sendiri. Tindakan kita, kebiasaan kita, pilihan kita, dan semuanya menjadi “batu bata” yang menyusun keberadaan kita. Ketika kita hidup dengan asal-asalan, maka kita pun membangun diri yang rapuh dan tidak tahan uji. Ketika sang tukang harus tinggal di rumah itu, ia harus tinggal dalam “hasil dirinya sendiri.” Betapa mirip dengan kenyataan hidup: kita harus tinggal dalam batin kita sendiri, menghadapi konsekuensi dari kehidupan yang telah kita bangun.

Kalau kita renungkan ada pelajaran etis yang kuat dalam kisah ini. Cerita ini mengajarkan bahwa setiap tindakan terakhir adalah potensi warisan kita. Banyak orang mengendurkan kualitas diri di akhir, karena merasa sudah cukup. Padahal, tindakan terakhir sering kali yang paling dikenang. Bukan hanya dalam pekerjaan, tetapi dalam kehidupan secara umum: kita tidak tahu kapan akhir kita tiba. Mungkin hari ini adalah kesempatan terakhir kita untuk memperbaiki hubungan, untuk berbuat baik, atau untuk menunjukkan cinta dan perhatian. Dalam konteks ini, cerita sang tukang menjadi simbol penting: bahwa kita harus menyelesaikan setiap “tugas kehidupan” kita dengan kualitas terbaik. Karena siapa tahu, bahwa itu akan menjadi “hadiah” atau “warisan” yang harus kita tanggung sendiri.

Kisah tukang rumah ini juga bukan sekadar dongeng moral, melainkan cermin filosofis yang menyentuh inti kehidupan manusia. Ia mengajarkan bahwa hidup adalah proses membangun “rumah” kita sendiri melalui tindakan sehari-hari. Etika kerja, tanggung jawab, kebebasan memilih, dan kesadaran spiritual semua berpadu dalam kisah ini. Dengan memahami dan merenungkan kisah ini, kita diingatkan untuk tidak hidup secara sembarangan. Karena kita tidak pernah tahu, kapan “rumah” terakhir itu akan diberikan kepada kita. Dan pada akhirnya, kita akan tinggal dalam rumah yang kita bangun sendiri. Baik atau buruk sangati tergantung kita saat menyelesaikannya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman