Namanya Masih Rumah Sakit, Belum Rumah Sembuh

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Baru saja Herman Batin Mangku (HBM) menulis tentang pelanggaran fatal yang dilakukan seorang oknum dokter spesialis, yang tega “ngelokak” pasiennya. Tulisan ini mencoba melihat sisi lain dari peristiwa itu, dengan tujuan menjadi bahan pembelajaran: agar ada pembenahan, pengawasan, dan pemeliharaan sistem kesehatan di masa mendatang.

Di Indonesia, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) merupakan tumpuan utama masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang sangat bergantung pada layanan BPJS Kesehatan. RSUD sejatinya dirancang sebagai fasilitas publik yang berlandaskan asas keadilan dan pemerataan. Namun, dalam praktiknya, rumah sakit sering kali menjadi cerminan kompleksitas persoalan: antrean panjang pasien, keterbatasan alat, krisis tenaga medis, hingga pelayanan yang belum sepenuhnya manusiawi.

Keluhan “sudah sakit, malah makin stres di rumah sakit” bukan sekadar ungkapan emosi. Pasien kerap menghadapi proses administrasi yang melelahkan, komunikasi yang kurang ramah, serta ruang rawat inap yang penuh sesak. Tidak jarang, mereka datang dalam keadaan sakit, dan pulang dengan rasa lelah fisik maupun psikis yang bertambah.

Di sinilah filsafat kesehatan mengajukan pertanyaan mendasar: apakah rumah sakit hanya sekadar tempat mengobati penyakit, ataukah ruang hidup yang seharusnya menghadirkan penyembuhan holistik?

Pasien yang Menjadi “Angka”

Banyak pasien RSUD merasa kehilangan eksistensinya sebagai manusia utuh. Ruang tunggu IGD dipenuhi puluhan orang, bau obat dan desinfektan menusuk, tangisan bayi bercampur dengan panggilan petugas, serta suara pengeras nomor antrean yang menggelegar. Semua itu menciptakan tekanan mental tersendiri.

Pasien BPJS, misalnya, harus melewati meja verifikasi berlapis, antre panjang hanya untuk mendapat giliran diperiksa. Dalam sistem yang terburu-buru ini, manusia diperlakukan sebagai “angka”, bukan individu.

Prosedur medis yang terfragmentasi juga memperburuk keadaan: pasien dipindahkan dari ruang A ke B, lalu ke radiologi di gedung lain, kembali ke poliklinik, kemudian diarahkan ke farmasi. Dari sudut pandang administratif, hal ini dianggap wajar. Namun secara eksistensial, pasien merasa terasing dari dirinya sendiri. Mereka tidak memahami sepenuhnya apa yang terjadi, hanya mengikuti arus tanpa kendali.

Waktu yang Terlalu Singkat

Kurangnya waktu dari tenaga kesehatan memperberat pengalaman pasien. Seorang penderita penyakit kronis, misalnya, hanya mendapat 5–7 menit konsultasi dengan dokter umum. Ia merasa tidak benar-benar didengarkan, padahal suara pasien adalah bagian penting dari proses penyembuhan.

Etika yang Terkikis

Dalam layanan kesehatan publik seperti RSUD, etika kedokteran seharusnya menjadi fondasi utama. Namun, praktik di lapangan kerap melenceng. Kasus yang diungkap HBM hanyalah salah satu contoh.

Dari perspektif bioetika, ada tiga bentuk pelanggaran serius yang kerap terjadi:

1. Mengaburkan batas profesional. Relasi dokter–pasien seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan dan niat tulus menyembuhkan, bukan peluang komersial.

2. Memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Banyak pasien tidak tahu bahwa alat kesehatan tertentu bisa diperoleh lebih murah, bahkan ada yang tersedia melalui program bantuan pemerintah.

3. Menyuburkan ketimpangan. Pasien yang tidak mampu membeli merasa layanan yang diterimanya kurang optimal, lalu dihantui rasa bersalah atau inferior.

Praktik-praktik ini mencederai martabat profesi kedokteran dan memperkuat persepsi bahwa rumah sakit adalah “pasar terselubung”, bukan tempat penyembuhan.

Mengapa Bisa Terjadi?

Ada beberapa faktor struktural yang membuka celah praktik tidak etis di RSUD:

Pengawasan lemah. Manajemen rumah sakit kurang mengawasi interaksi pasien–dokter di luar ruang klinik, termasuk potensi transaksi informal.

Sistem insentif yang tidak transparan. Banyak dokter honorer atau kontrak mengeluhkan gaji rendah serta keterlambatan insentif. Situasi ini mendorong munculnya “jalan alternatif” untuk menambah penghasilan.

Regulasi lokal yang absen. Belum ada aturan jelas yang melarang praktik jual-beli pribadi di lingkungan RSUD, sehingga sulit memberi sanksi tegas.

Dalam perspektif filsafat struktural ala Michel Foucault, rumah sakit bukanlah institusi yang netral. Ia bisa menjadi alat kekuasaan dan kapitalisasi, di mana relasi dokter–pasien berubah menjadi bentuk dominasi.

Luka Kedua

Masuk rumah sakit seharusnya menjadi simbol harapan: untuk sembuh, pulih, dan hidup lebih baik. Namun, bagi sebagian pasien RSUD, pengalaman itu justru menghadirkan “luka kedua”.

Filsafat kesehatan memberi kita alat untuk membongkar ketidakadilan itu, baik dari dimensi etik, eksistensial, maupun struktural. Rumah sakit tidak boleh menjadi pasar yang menyaru sebagai institusi penyembuhan.

Ketika dokter menjual alat, ketika keputusan medis dipengaruhi kepentingan pribadi, ketika akses layanan dibatasi oleh dompet pasien, maka di situlah kepercayaan pada sistem kesehatan runtuh.

Terima kasih, HBM, yang telah berani menyuarakan ketidakadilan. Semoga suara ini terus menggema agar rumah sakit kembali menjadi tempat penyembuhan, bukan tempat yang membuat sakit makin sakit. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman