Sampah Peradaban

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang ulama masa kini yang pernah dimasukan penjara oleh rezim masa lalu, yang kemudian mendapatkan amnesti pemerintahan masa kini, dalam satu captionnya berkomentar tentang bagaimana Tuhan menentukan takdir mahluk ciptaanNYA dalam sekejab. Tidak ada yang dapat mengubah jika Tuhan sudah berkehendak, dan kejatuhan yang paling dalam di dunia ini adalah dijadikannya mahluk tadi menjadi sampah peradaban.

Istilah “sampah peradaban” terdengar tajam dan provokatif. Ia tidak hanya menyiratkan kecaman, tetapi juga sebuah penghukuman moral: bahwa ada individu atau kelompok yang tidak hanya gagal dalam tanggung jawab sosial-politik, tetapi juga telah jatuh ke titik nadir nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks pernyataan “mereka yang melukai hati rakyat dan kemudian dihukum Tuhan dengan dicabut kenikmatannya,” kita berhadapan dengan sebuah narasi yang tidak hanya bersifat politis, tetapi juga spiritual dan eksistensial.

Peradaban adalah akumulasi nilai, norma, pengetahuan, dan sistem yang membentuk cara manusia hidup bersama. Ketika seseorang disebut “sampah peradaban,” itu berarti ia tidak hanya menyalahi norma hukum, tetapi juga menggugat nilai dasar kemanusiaan. Istilah ini menjadi cermin sosial dari penghukuman kolektif: masyarakat menolak, mengecam, bahkan membuang tokoh-tokoh tertentu karena dianggap telah merusak tatanan bersama.

Tulisan ini bertujuan untuk menelaah istilah ini dari sudut pandang filsafat kontemporer, dengan meninjau bagaimana konsep kekuasaan, moralitas, legitimasi sosial, serta peran emosi kolektif dapat membantu kita memahami fenomena ini. Tulisan ini juga ingin memperlihatkan bahwa penghukuman moral semacam ini adalah bagian dari dinamika masyarakat modern, di mana publik tidak hanya menjadi pengikut, tetapi juga hakim etis terhadap mereka yang pernah mereka angkat menjadi pemimpin.

Michel Foucault adalah salah satu filsuf kontemporer yang paling tajam dalam mengurai hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Bagi Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dimiliki oleh penguasa, tetapi sesuatu yang menyebar dalam seluruh jaringan masyarakat, melalui bahasa, institusi, dan norma-norma sosial. Kekuasaan tidak bekerja hanya melalui represi, tetapi juga melalui produksi kebenaran: siapa yang dianggap benar, baik, atau sah. Dalam konteks ini, mereka yang melukai hati rakyat sebenarnya telah menyalahgunakan wacana kekuasaan. Ketika pemimpin menggunakan posisi mereka untuk memanipulasi kebenaran, mengabaikan penderitaan rakyat, atau mempraktikkan kekuasaan tanpa tanggung jawab, mereka kehilangan legitimasi. Mereka menjadi “sampah peradaban” karena tidak lagi sesuai dengan wacana nilai yang diidealkan masyarakat: kejujuran, pengabdian, dan keadilan.

Habermas, di sisi lain, memberikan pandangan yang lebih normatif melalui konsep diskursus dan ruang publik. Ia menekankan bahwa legitimasi kekuasaan harus lahir dari komunikasi rasional yang bebas dari distorsi, dalam ruang publik yang demokratis. Ketika pemimpin tidak lagi mendengar rakyat, menghindari dialog, dan menutup ruang kritik, mereka bukan hanya gagal sebagai politisi, tetapi juga sebagai manusia rasional dalam dimensi peradaban.

Maka, dari dua pemikir di atas, kita melihat bahwa pelanggaran terhadap rakyat bukan hanya pelanggaran praktis, tetapi juga pelanggaran epistemik dan etis. Ketika kekuasaan kehilangan basis moralnya, masyarakat akan melontarkan perlawanan dalam bentuk simbolik; termasuk seperti memberi cap “sampah peradaban.”

Istilah “sampah peradaban” mengandung simbolisasi ekstrem. Ia bukan sekadar kritik, tetapi penolakan total terhadap eksistensi moral seseorang. Foucault pernah menyebut bahwa masyarakat modern membentuk “regime of truth”, yaitu seperangkat nilai dan pengetahuan yang diterima sebagai kebenaran. Dalam konteks ini, individu yang tidak sesuai lagi dengan rezim tersebut akan didekonstruksi, dideligitimasi, bahkan dipinggirkan secara sosial. Kita bisa melihat contoh ini dalam fenomena tokoh-tokoh politik yang jatuh karena skandal korupsi, kekerasan, atau pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat. Ketika mereka menikmati kekuasaan, mereka mungkin merasa tak tersentuh. Namun ketika kejahatan mereka terbongkar, mereka menjadi objek penghinaan publik. Media sosial, sebagai ruang diskursus modern, mempercepat proses ini. Mereka tidak hanya dihukum hukum, tetapi juga dihukum oleh memori kolektif sebagai “sampah”; tidak layak dikenang, apalagi dihormati. Oleh sebab itu perlu dicatat bahwa pembuangan simbolik ini juga merupakan cara masyarakat membersihkan dirinya sendiri, mempertahankan nilai-nilai ideal dalam demokrasi. Dalam pengertian ini, istilah tersebut meskipun keras, mengandung fungsi sosial: memisahkan yang baik dari yang busuk, yang luhur dari yang rusak. Pernyataan bahwa Tuhan “mencabut kenikmatan” dari mereka yang melukai rakyat mencerminkan pandangan teologis dalam bingkai keadilan imanen.

Martha Nussbaum memberikan pendekatan yang penting dalam memahami peran emosi dalam politik. Ia berargumen bahwa emosi seperti kemarahan, belas kasihan, dan rasa malu bukanlah musuh rasionalitas, tetapi bagian dari penilaian moral yang sah. Ketika rakyat merasa “dilukai hatinya,” itu adalah ekspresi dari rasa keadilan yang dilanggar.

Nussbaum menyebutkan bahwa emosi kolektif bisa menjadi dasar untuk hukum dan kebijakan publik. Dalam konteks ini, kemarahan rakyat terhadap pemimpin yang korup, represif, atau culas adalah bentuk tuntutan moral yang berakar pada rasa hormat terhadap nilai kehidupan bersama. Ketika emosi ini terakumulasi dan diartikulasikan melalui media, unjuk rasa, satire, atau sindiran publik, mereka membentuk tekanan sosial yang kuat. “Sampah peradaban” adalah istilah yang lahir dari kegelisahan moral semacam itu. Ini bukan hanya penghinaan personal, tetapi ekspresi kolektif bahwa individu tersebut tidak lagi pantas menjadi bagian dari tubuh sosial.

Istilah “sampah peradaban” mencerminkan penolakan moral yang sangat kuat dari masyarakat terhadap individu yang telah mengkhianati nilai-nilai bersama. Dalam kacamata filsafat kontemporer, kita dapat memahami istilah ini sebagai puncak dari krisis legitimasi, di mana kekuasaan yang korup telah kehilangan dasar moralnya, dan rakyat merespons dengan kecaman simbolik.

Akhirnya, meskipun istilah ini keras, ia adalah bagian dari mekanisme pertahanan sosial untuk menjaga nilai-nilai luhur peradaban. Namun penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak menjadi alat balas dendam atau dehumanisasi, tetapi tetap menjadi panggilan moral untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Semoga negeri ini cepat pulih dari “luka sosial”nya; sehingga anak negeri bisa kembali berdiri tegak menjadi tuan di negerinya sendiri. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman