Menyiasati Politik Saat Ini, Berlumpur Tak Harus Berkubang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Tulisan ini diilhami oleh diskusi “tanpa bentuk” dengan Herman Batin Mangku (HBM) dalam melihat dan merasakan keadaan negeri yang sedang tidak baik-baik saja: terutama tentang perputaran roda perpolitikan. Tentu hanya melalui medsos kami berdua.

Kami bersepakat bahwa dunia perpolitikan negeri ini sedang menunjukkan wajahnya dari sisi lain. Biasanya dipertontonkan kekuasaan dan keglamoran; -walaupun tidak semua -, namun karena intensitas dan kwantitasnya; maka tampilannya menjadi “menyala”.

Akan tetapi kini, banyak “tendangan sudut” bereliweran; sehingga tidak jarang meminta korban. Ada yang selesai berjoged langsung di jarah, ada yang sedang ngomel berargumentasi menegakkan pembenaran, kena pusaran.

Tampaknya pemilik kedaulatan negeri ini menunjukkan kekuasaanya, walaupun tidak jarang sekaligus “keliarannya” sehingga timbul penjarahan. Tulisan ini mencoba “menghanyutkan diri” pada gelombang itu untuk menyelami, guna mengetahui kemudian memahami apa sebenarnya yang terjadi. karena keterbatasan pengetahuan, maka tulisan ini hanya melihat dari sudut pandang Filsafat kontemporer.

Politik adalah salah satu medan paling nyata dalam kehidupan manusia di mana moral, kekuasaan, kepentingan, dan nilai-nilai saling bersinggungan secara intens. Dalam dunia politik, tidak ada medan yang sepenuhnya bersih.
.
Lumpur menjadi metafora yang tepat untuk menggambarkan kenyataan bahwa dalam perjuangan membentuk, mempertahankan, atau merebut kekuasaan, seseorang hampir tidak bisa menghindari kotornya realitas: kompromi yang melelahkan, manuver taktis yang sering menabrak batas idealisme, dan pilihan-pilihan sulit yang berisiko menodai prinsip.

Akan tetapi, dalam situasi apa pun, keterlibatan dengan lumpur tidak secara otomatis harus menjelma menjadi kubangan. Berlumpur adalah kondisi; berkubang adalah keputusan. Di sinilah letak garis batas moral yang paling fundamental dalam praktik politik: seseorang boleh bersentuhan dengan kotoran, tetapi ia tidak boleh menjadikannya rumah.

Filsafat kontemporer, yang banyak mengangkat isu tentang ambiguitas, krisis makna, dekonstruksi nilai, dan tanggung jawab etis, memberi kita cara pandang yang lebih jujur dalam menilai realitas politik. Politik tidak pernah berjalan dalam ruang steril.Tidak ada keputusan yang benar-benar bersih dari kepentingan, tidak ada sistem yang sepenuhnya netral.

Namun, filsafat juga mengajarkan bahwa keterbatasan bukanlah justifikasi untuk menyerah pada kekotoran. Justru dalam kesadaran akan ambiguitas itulah, manusia politik dituntut untuk mempertahankan kompas moralnya.

Manusia sebagai subjek politik selalu berdiri dalam relasi kuasa: ia adalah makhluk sosial, tetapi juga makhluk strategis. Ia mampu mencintai, tetapi juga mampu memanipulasi. Ia memiliki kesadaran moral, tetapi juga memiliki dorongan egoistik..

Lumpurnya dunia politik adalah cermin dari kompleksitas manusia itu sendiri. Namun, filsafat kontemporer menunjukkan bahwa tindakan etis tidak harus muncul dari kepastian, tetapi bisa lahir dari keterbukaan terhadap kemungkinan.

Artinya, dalam kondisi yang serba tidak pasti sekalipun, manusia tetap memiliki pilihan. Dan pilihan untuk tidak berkubang adalah ekspresi paling dasar dari keberanian moral.

Berkubang berarti menyerah. Bukan hanya menyerah pada sistem, tetapi menyerah pada kehendak untuk menjadi manusia yang bermakna. Ketika seseorang berkubang, ia tidak lagi sekadar menjalani peran dalam sistem; ia telah menyatu dengan sistem yang korup itu, menjadikannya identitas, bahkan membelanya dengan penuh semangat.

Inilah yang disebut kehilangan jarak kritis: saat seseorang tidak lagi mampu membedakan dirinya dari sistem yang ia kritik dahulu. Ketika lumpur sudah dianggap air, dan busuk dianggap biasa, maka kehancuran etis sudah terjadi.

Orang yang berkubang tidak lagi merasa bersalah, karena rasa bersalah dianggap kelemahan. Ia tidak lagi merasa malu, karena malu dianggap hambatan. Ia tidak lagi merasa salah, karena sistem telah mengatur pembenaran untuk segalanya.

Sementara itu, berlumpur adalah kondisi yang disadari. Ia adalah bentuk partisipasi dalam realitas dengan tetap membawa kesadaran kritis. Orang yang berlumpur tahu bahwa langkahnya mungkin tidak selalu bersih, tetapi ia tetap menjaga agar lumpur itu tidak menyentuh inti dirinya.

Ia tetap menjaga ruang batin tempat nilai, penyesalan, empati, dan kejujuran bisa tumbuh. Ia melakukan kompromi, tetapi tidak menyerahkan prinsip. Ia memahami urgensi taktis, tetapi tidak menjadikan taktik sebagai satu-satunya nilai ukur.

Dalam filsafat kontemporer, kesadaran akan keterbatasan bukanlah titik akhir moralitas, tetapi titik tolak etika reflektif. Artinya, tindakan etis justru dimulai ketika seseorang tahu bahwa ia tidak bisa bersih, tapi tetap berusaha tidak kotor lebih dari yang perlu.

Namun demikian, tidak semua orang yang masuk ke dunia politik harus terjerumus. Berlumpur tidak harus berkubang, karena manusia memiliki kapasitas reflektif untuk menolak penyeragaman sistem. Ia bisa bersikap. Ia bisa memilih untuk tidak memanfaatkan kelemahan sistem demi keuntungan pribadi.

Ia bisa menolak untuk menjilat demi jabatan. Ia bisa memilih untuk mundur ketika prinsip-prinsip tidak bisa lagi dipertahankan. Semua ini membutuhkan keberanian eksistensial: keberanian untuk menjadi berbeda, untuk tidak ikut arus, untuk mengambil resiko kehilangan demi mempertahankan nilai.

Berlumpur juga bisa menjadi pengalaman transformasional. Seseorang yang menyadari bahwa politik itu penuh tantangan etis, bisa menjadi pribadi yang lebih bijak. Ia tidak naïf, tetapi juga tidak sinis. Ia tahu bahwa dunia tidak sempurna, tetapi ia tidak membiarkan ketidaksempurnaan itu menjadi alasan untuk apatis.

Dalam filsafat kontemporer, ini disebut sebagai harapan tragis: harapan yang tidak dibangun di atas ilusi, tetapi di atas kenyataan pahit. Harapan ini adalah bentuk perlawanan terhadap nihilisme, terhadap kekosongan moral yang tumbuh dalam sistem yang membusuk.

Kita juga tidak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa sistem sering kali mendorong orang untuk berkubang. Struktur kekuasaan, loyalitas buta, tekanan oligarki, media yang dikendalikan, serta budaya permisif membuat banyak orang terpaksa memilih diam atau ikut bermain.

Namun justru dalam tekanan itulah, ujian sesungguhnya muncul. Integritas bukan diuji ketika situasi mudah, tetapi justru ketika seluruh sistem mendorong seseorang untuk menyerah. Dalam tekanan itu, pilihan-pilihan kecil menjadi penting. Menolak suap, tidak berbohong dalam kampanye, tidak memperalat agama atau identitas, semua itu mungkin terlihat kecil, tapi itulah fondasi dari politik yang etis.

Berlumpur tidak harus berkubang, karena makna dari menjadi manusia politik adalah terus menjaga keseimbangan antara realitas dan nilai, antara pragmatisme dan idealisme, antara strategi dan nurani.

Politik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi soal tanggung jawab. Dan tanggung jawab ini bukan hanya kepada rakyat, tetapi kepada hati nurani sendiri. Dalam filsafat kontemporer, tanggung jawab semacam ini disebut tanggung jawab yang tak bisa didelegasikan. Tidak bisa digantikan oleh partai, sistem, atau konsultan. Ia hanya bisa dijalani oleh individu yang sadar akan posisinya dalam sejarah.

Maka dalam dunia yang penuh lumpur, kita tidak diminta untuk berjalan tanpa kotor. Itu mustahil. Yang dituntut adalah agar kita tidak menjadikan lumpur sebagai tempat tinggal. Kita boleh berstrategi, tetapi jangan mengorbankan etika. Kita boleh mengalah untuk sementara, tetapi jangan menyerah pada nilai. Kita boleh berdamai dengan kenyataan, tapi jangan melupakan cita-cita. Kita boleh berlumpur, tetapi tidak boleh berkubang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman