Kulit Boleh Ganti, Namun Racun Tetap Berbisa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang doktor muda dari seberang sana mengirim pesan lewat piranti sosial, yang isinya menunjuk beberapa petinggi; pada masa lalu memiliki persoalan dengan negeri saat menjadi pejabat. Untuk beberapa waktu hilang ditelan bumi, namun kini muncul dengan tampilan baru. Di sisi lain ada “narapidana” ujaran kebencian yang dilayangkan kepada orang nomor dua di negeri ini beberapa waktu lalu, dan keputusannya sudah memiliki kekuatan hukum. Namun entah mengapa eksekusi tidak pernah dilakukan, yang bersangkutan hilang ditelan bumi begitu terbuka kedoknya; berbeda dengan para pencuri ayam, kambing, getah karet; sekalipun belum memiliki kekuatan hukum tetap, mereka sudah masuk buih duluan. Tampaknya sekarang ada adagium bagai ular cuma ganti kulit, namun racun tetap berbisa.

Ungkapan ini sebenarnya bukan hanya pernyataan bernuansa peringatan, tapi juga sebuah jendela menuju refleksi filsafat kontemporer yang dalam dan berlapis. Ia memuat kritik tajam terhadap segala bentuk perubahan yang sifatnya kosmetik; perubahan yang hanya terjadi di permukaan, namun esensi dan potensi bahayanya tetap utuh. Di balik metafora sederhana tentang seekor ular, tersembunyi kebenaran sosial, politik, psikologis, bahkan eksistensial yang sangat relevan dengan dunia modern. Dunia di mana kulit bisa diganti kapan saja, tetapi racun tetap aktif dalam diam.

Pada kehidupan saat ini, perubahan tampilan adalah mata uang sosial yang sangat berharga. Individu, institusi, bahkan negara, berlomba-lomba mengganti ‘kulit’ mereka agar terlihat segar, adaptif, dan progresif. Gaya berpakaian, cara bicara, slogan, merek, desain visual, jargon digital; semua bisa diganti dalam hitungan hari. Namun, jarang yang bertanya: apakah perubahan tersebut juga menyentuh niat, struktur, atau nilai-nilai terdalam yang membentuk entitas itu? Atau jangan-jangan, yang terjadi hanyalah kamuflase? Kulit berubah, namun isi tetap busuk. Racun yang dahulu mengancam tetap aktif, hanya saja sekarang dibungkus lebih rapi, lebih modern, dan lebih sulit dikenali.

Filsafat kontemporer banyak berbicara soal relasi antara penampilan dan esensi. Dunia modern telah menciptakan kondisi di mana representasi bisa menggantikan kenyataan. Penampilan luar tidak lagi menjadi jendela menuju yang dalam, tetapi justru menjadi penghalang yang menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Dalam konteks ini, kulit baru menjadi alat yang sangat efektif untuk membentuk ilusi perubahan. Di sinilah letak bahayanya. Karena dengan kulit yang mengilap dan dirancang secara estetis, racun bisa bergerak lebih leluasa tanpa menimbulkan kecurigaan. Bahkan, racun itu bisa dipasarkan sebagai obat, karena tampilannya kini dibungkus oleh kata-kata yang menenangkan dan visual yang menipu.

Ular dalam ungkapan tersebut bukan hanya mewakili individu yang berpura-pura berubah. Ia juga bisa menjadi simbol dari sistem, institusi, atau kekuasaan yang telah mahir mengubah wajahnya agar tetap relevan dan tidak diganggu. Di ranah kehidupan nyata, sering kali kita melihat pemimpin yang berbicara tentang reformasi, regenerasi, dan transformasi. Namun setelah naik ke tampuk kekuasaan, mereka mengulangi pola dominasi lama, dengan teknik yang lebih halus. Retorika demokrasi digunakan untuk menutupi praktik oligarki. Bahasa perubahan digunakan untuk membungkus pelanggengan struktur lama. Ular telah mengganti kulit, dan masyarakat pun terkecoh. Padahal, racunnya bukan hanya tetap berbisa, melainkan semakin tersembunyi dan lebih sulit diberantas.

Bahkan dalam kehidupan personal, kita melihat pola serupa. Individu berlomba-lomba memperbaiki penampilan, membentuk identitas digital yang rapi, dan berbicara tentang pertumbuhan diri. Kata-kata seperti “healing”, “self-love”, dan “transformasi diri” menjadi bagian dari bahasa sehari-hari. Namun dalam banyak kasus, ini hanya lapisan baru di atas luka lama yang tidak pernah benar-benar dihadapi. Orang mengganti kulitnya, tetapi masih memelihara pola pikir destruktif, cara mencintai yang posesif, atau cara marah yang menekan. Racun dalam diri tidak dinetralkan, hanya disembunyikan agar tidak terlihat oleh publik. Padahal, racun yang disangkal jauh lebih mematikan daripada racun yang diakui.

Esensi dari perubahan yang sejati bukanlah pergantian bentuk, melainkan pergeseran nilai dan pembaruan kesadaran. Filsafat kontemporer berulang kali menekankan pentingnya kesadaran reflektif yaitu kesadaran yang mampu melihat ke dalam, mengakui keretakan, dan bersedia membongkar hal-hal yang telah lama dianggap mapan. Dalam hal ini, kulit baru yang tanpa kesadaran mendalam hanya akan menjadi selubung penipuan. Transformasi sejati menuntut keberanian untuk menyentuh racun, memahami asal-usulnya, dan perlahan-lahan menetralkannya. Bukan dengan menyembunyikannya di balik retorika positif, melainkan dengan proses jujur dan sering kali menyakitkan.

Filsafat kontemporer juga menunjukkan bahwa racun tidak selalu muncul dalam bentuk negatif yang vulgar. Terkadang, racun justru memakai wajah yang manis, kata-kata yang memikat, atau strategi yang menyentuh emosi. Dalam konteks ini, racun bukan sekadar ancaman biologis atau sosial, tapi juga ideologis. Sebuah ide bisa menjadi racun ketika ia menipu, mengontrol, dan meniadakan keberagaman. Dan ketika ide itu dikemas dalam format yang indah, dalam narasi kemajuan, atau dalam janji utopis, ia menjadi racun yang sangat sulit ditolak. Kulit baru membuat racun tampak seperti hadiah. Dan inilah yang membuatnya begitu berbahaya.

Dari seluruh perenungan ini, muncul kesimpulan penting: bahwa kita perlu membangun kepekaan untuk membedakan antara perubahan yang sejati dan yang semu. Kita perlu belajar mengenali kapan seseorang atau sesuatu telah berubah karena kesadaran, dan kapan mereka hanya mengganti kulit agar terlihat baik. Kita perlu belajar melihat ke dalam, tidak hanya terpaku pada permukaan. Dan yang lebih penting, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita pun telah menjadi ular yang mengganti kulit namun tetap memelihara racun?

Transformasi sejati bukanlah kosmetik. Ia adalah proses lambat, reflektif, dan menyakitkan yang dimulai dari pengakuan atas racun yang kita miliki; baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari sistem. Ia bukan tentang tampak lebih baik, tapi tentang menjadi lebih jujur. Ia bukan tentang citra, tapi tentang keberanian menantang kenyamanan lama. Kulit baru tidak cukup, jika racun tetap disimpan.

Maka, dalam dunia yang penuh pencitraan, mungkin peringatan terdalam untuk kita adalah:” jangan hanya jadi ular yang ganti kulit. Jadilah makhluk yang berani membuang racunnya”. Bukan untuk tampil lebih indah, tapi untuk hidup lebih jujur dan menyembuhkan dunia yang sudah terlalu lama dibungkus oleh transformasi yang menipu. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman