Ketika Ajal Tak Memilih Usia (Perenungan Eksistensial di Tengah Takziah)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang mendapat berita duka salah seorang keluarga besar lembaga ini berpulang. Seorang dosen pejabat teras nengajak membersamainya untuk bertakziah di rumah duka. Rombongan kecil itu berangkat dan sesampainya di tempat mendapat informasi usia almarhum saat dijemput pulang; tiba-tiba hadir kesadaran yang menohok: ajal tidak mengenal usia. Di hadapan kematian, angka hanyalah angka. Yang muda bisa pergi lebih dulu, yang tua bisa tetap tinggal. Ajal tak tunduk pada kalkulasi manusia.
Filsafat kontemporer mengajak kita untuk berhenti sejenak dari kebisingan hidup dan menatap langsung ke dalam diri. Di tengah dunia yang terus mendesak manusia untuk bergerak maju, menumpuk capaian, dan merayakan masa depan, takziah adalah momen yang memaksa kita berhenti. Ia bukan sekadar ritual belasungkawa, tetapi titik hening dalam aliran hidup y ang hiruk pikuk. Dan di titik hening inilah filsafat bekerja. Bukan sebagai wacana, melainkan sebagai cermin eksistensial yang memantulkan kerapuhan, keterbatasan, dan absurditas hidup manusia.
Pendapat bahwa ajal tidak mempertimbangkan usia, dalam filsafat kontemporer, menyentuh inti dari keberadaan manusia. Manusia tidak pernah lahir dengan kontrak masa hidup. Tidak ada jaminan bahwa masa muda berarti “masih lama” dan usia senja berarti “sudah dekat.” Kesadaran akan keterbatasan ini bukan untuk menumbuhkan ketakutan, tetapi untuk mendorong kejujuran dan keberanian eksistensial. Hidup menjadi berarti bukan karena panjangnya usia, tetapi karena bagaimana ia dijalani dalam kehadiran penuh. Dalam lanskap ini, ukuran hidup bukanlah waktu, melainkan intensitas dan keautentikan.
Zaman ini mendorong manusia untuk hidup dalam tumpukan target dan narasi yang dibentuk oleh industri dan budaya massa. Usia muda diasosiasikan dengan potensi, produktivitas, dan energi untuk mengejar. Sedangkan usia tua sering dipinggirkan sebagai fase “menunggu ajal.” Tetapi kematian membatalkan semua peta ini. Ia tidak tunduk pada logika pembangunan diri atau investasi masa depan. Kematian hadir sebagai koreksi radikal terhadap segala bentuk penundaan eksistensial. Penundaan untuk menjadi diri sendiri, penundaan untuk mencintai, memaafkan, mencipta, atau sekadar hadir secara jujur dalam hidup ini.
Filsafat kontemporer, dalam geliatnya yang berangkat dari kehampaan dan absurditas dunia modern, menyodorkan satu pernyataan yang tajam: hidup adalah proyek yang tidak pernah selesai. Dan justru karena tidak selesai itulah hidup harus dijalani dengan kesadaran penuh bahwa setiap saat bisa menjadi yang terakhir. Maka hidup bukanlah soal menunggu momen besar, tetapi bagaimana menanamkan makna dalam momen-momen kecil yang sering diabaikan. Duduk bersama keluarga, memandang langit senja, menulis dengan sepenuh hati, atau bahkan sekadar mendengar dengan sepenuh jiwa; semua ini menjadi tindakan filosofis yang bernilai karena dijalani dalam kesadaran akan kefanaan.
Kematian orang muda kerap menjadi tamparan keras karena ia mencabut keyakinan diam-diam yang kita pelihara: bahwa waktu akan cukup. Tetapi tidak pernah ada jaminan waktu akan cukup. Dalam ruang batin yang telah diterangi oleh kesadaran filsafat, kita mulai memahami bahwa rasa duka dalam takziah bukan hanya karena kepergian orang yang dicintai, tetapi juga karena kita melihat kemungkinan giliran diri sendiri dalam kematiannya. Yang kita tangisi bukan hanya dia, tetapi juga ilusi kita sendiri yang tiba-tiba runtuh. Di hadapan jenazah, yang kita lihat sebenarnya adalah wajah waktu yang sesungguhnya: tidak bisa ditebak, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa diminta apalagi diundurkan.
Momen ini seharusnya menjadi ruang perlawanan terhadap struktur hidup modern yang menumpulkan sensitivitas eksistensial. Kita hidup dalam masyarakat yang membangun mekanisme untuk menjauhkan manusia dari kematian: rumah sakit, rumah duka, peti mati yang rapih, bahkan kata-kata eufemistik seperti “berpulang” atau “tidur panjang.” Kematian disterilkan dari kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam filsafat kontemporer, justru dengan mengintegrasikan kesadaran akan kematian ke dalam hiduplah manusia bisa membebaskan diri dari alienasi. Sebab kematian bukan musuh, tetapi guru yang paling jujur.
Menghadiri takziah adalah momen pengungkapan, bukan penutupan. Ia membuka lapisan terdalam dari diri manusia; lapisan yang sering dikubur oleh rutinitas dan distraksi digital. Kita dihadapkan pada kemungkinan kehilangan, dan pada akhirnya, pada kehilangan diri sendiri. Ketika seseorang yang kita kenal, apalagi yang muda, meninggal dunia, kita tidak hanya kehilangan sosok, tetapi juga bagian dari narasi hidup kita yang ikut berakhir. Ini adalah bentuk kematian simbolik yang mengguncang. Di titik ini, filsafat tidak menawarkan kata-kata manis, tetapi kejujuran pahit: bahwa hidup adalah perjuangan terus-menerus untuk menghadirkan makna, bukan menundanya.
Namun, dari kejujuran pahit inilah muncul potensi pembebasan. Kesadaran bahwa kita bisa meninggal kapan saja memampukan kita untuk mencintai lebih dalam, mengampuni lebih cepat, dan hadir lebih penuh. Ia menelanjangi semua alasan untuk marah yang terlalu lama, ambisi yang menyesakkan, dan kecemasan yang tak produktif. Apa artinya semua itu jika besok kita tiada? Filsafat kontemporer mengajarkan untuk hidup seakan-akan setiap hari adalah yang terakhir, bukan dalam sikap fatalistik, tetapi dalam keterjagaan eksistensial. Dengan demikian, hidup menjadi tindakan penciptaan yang terus menerus: mencipta makna, relasi, harapan, dan kedalaman.
Akhirnya, ketika kaki melangkah meninggalkan rumah duka, pertanyaan besar itu datang: “sudahkah aku benar-benar hidup? Sudahkah aku memilih hidupku sendiri, bukan yang dipaksakan oleh harapan orang lain? Sudahkah aku memaafkan, mencinta, memberi, mencipta, dan melepaskan? Ataukah aku menunggu, menunggu waktu yang tidak pernah menjanjikan apapun?”. Di sinilah filsafat menjadi panggilan sunyi yang paling jujur untuk mengajak kita kembali pada yang esensial, pada hidup yang dijalani dengan kesadaran bahwa setiap hari adalah anugerah, bukan hak. Takziah adalah undangan untuk berhenti sejenak, menyadari bahwa hidup ini bukan panggung pertunjukan yang bisa diulang, tapi satu-satunya kesempatan untuk menjadi manusia yang utuh. Maka, siapa pun yang berani menatap kematian dengan jujur, akan menemukan kehidupan yang lebih layak untuk dijalani. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman