Sunyi di Tengah Jaringan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang mahasiswa pasca datang ke ruangan kerja, tampak raut mukanya sedang muram. Mahasiswa yang berlatarbelakang petugas kesehatan ini, merasa mendapatkan tekanan kehidupan yang begitu berat; satu sisi harus bekerja menafkahi keluarga, sisi lain harus bekerja secara professional sesuai prosedur dan aturan kepegawaian, di sisi yang berbeda harus menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan kehidupan yang bagai benang kusut. Mahasiswa ini merasa hidup sendirian di tengah hirukpikuknya keterhubungan antarorang saat ini. Setelah sedikit reda karena diajak bersama minum kopi; maka yang bersangkutan memulai menguraikan kesulitannya dalam menyelesaikan tugas akhir. Setelah semua selesai dan berakhir; yang bersangkutan undur diri. Sepulangnya mahasiswa tadi, berjalanlah proses kontemplasi pikiran, memahami bagaimana keterasingan manusia sekarang ditengah ramainya keterhubungan. Tulisan ini mencoba menarasikannya dari kacamata Filsafat Manusia.

Di tengah dunia yang mengagung-agungkan konektivitas, manusia sebenarnya justru semakin sering merasa sendiri. Ini adalah paradoks zaman “now”: semakin banyak hubungan yang dijalin, semakin sedikit makna yang terasa. Dalam ruang digital yang nyaris tak mengenal batas, suara manusia terdengar keras, tapi jarang didengar. Dalam jaringan yang selalu aktif, kehadiran menjadi semu, dan perjumpaan menjadi ilusi. Hubungan yang seharusnya mengikat justru menciptakan jarak. Keterhubungan yang dijanjikan oleh teknologi tidak selalu menghadirkan kebersamaan yang sesungguhnya, melainkan memperlihatkan betapa kosongnya relasi yang kehilangan keintiman.

Fenomena ini bukanlah persoalan teknis. Ini adalah soal manusia, yaitu soal keberadaan, soal rasa, soal makna. Dalam kehidupan yang semakin cepat dan tak pernah berhenti bergerak, manusia dituntut untuk selalu aktif, responsif, dan produktif. Tapi di balik kecepatan itu, ada kesunyian yang tidak bisa dielakkan. Suatu jenis keheningan yang bukan berarti tanpa suara, tetapi tanpa pemaknaan. Keterputusan itu muncul bukan karena manusia tidak bisa saling menyapa, tetapi karena tidak lagi sempat saling mendengarkan. Dunia telah menjadi panggung, dan manusia sibuk menjadi aktor yang tampil, bukan jiwa yang hadir.

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berelasi. Ia tidak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan wajah orang lain untuk mengenali wajahnya sendiri. Namun dalam realitas hari ini, wajah-wajah itu sering kali tidak dilihat dengan kehadiran penuh. Interaksi berlangsung dalam potongan-potongan pendek, emoji menggantikan ekspresi, dan notifikasi menggantikan perjumpaan. Semua ada, tapi tidak benar-benar hadir. Dan dalam keterhubungan yang tak pernah utuh itu, manusia kehilangan dirinya secara perlahan.

Dalam konteks ini, keterputusan menjadi bentuk baru dari penderitaan eksistensial. Bukan karena fisik yang terpisah, melainkan karena hati yang menjauh. Ketika pertemanan menjadi angka, ketika cinta dikurasi dalam profil, ketika pengakuan dihitung dari klik dan suka, maka makna kemanusiaan direduksi menjadi sekadar fungsi. Eksistensi manusia diukur dari keterlihatan, bukan dari kedalaman. Dan ketika tak terlihat, manusia merasa tidak ada. Dalam dunia yang seharusnya mempertemukan, manusia malah tenggelam dalam rasa terasing.

Keterasingan ini bukan mejadi hal yang asing bagi pengalaman manusia. Namun di era keterhubungan tanpa henti, keterasingan itu menjadi lebih tajam karena dibungkus oleh ilusi kehadiran. Seseorang bisa berbicara dengan ratusan orang dalam sehari, tetapi tetap merasa tak ada satu pun yang sungguh mengerti. Ia bisa mengunggah cerita hidupnya, tetapi tetap merasa tidak didengar. Dalam kondisi ini, rasa tidak berarti merayap masuk, menggerogoti batin secara perlahan namun pasti. Manusia yang merasa tidak terlihat bukan hanya merasa sendiri, tetapi mulai mempertanyakan esensi keberadaannya sendiri.

Di tengah kondisi ini, manusia berada di persimpangan. Ia bisa terus melaju mengikuti arus dunia yang cepat dan kosong, atau ia bisa berhenti sejenak, menarik napas dalam, dan bertanya: “Ke mana aku berjalan? Untuk apa semuanya ini?” Kesadaran adalah langkah pertama. Dan kesadaran itu sering kali lahir dari kegelisahan. Kegelisahan akan rasa hampa di tengah keramaian. Kegelisahan akan hubungan yang tidak menghidupkan. Kegelisahan yang, meski menyakitkan, justru menunjukkan bahwa jiwa masih hidup dan menolak untuk dikebiri oleh dunia yang sibuk tetapi hampa.

Pada saat ini, kita harus meredefinisi arti keterhubungan. Bukan lagi sebagai sekadar relasi teknis, tetapi sebagai perjumpaan batin. Kita perlu belajar hadir kembali, mendengarkan kembali, dan mengalami kembali. Perlu membangun ruang-ruang sunyi di mana percakapan yang tulus bisa terjadi. Perlu menciptakan waktu untuk benar-benar melihat satu sama lain, tanpa tergesa, tanpa perlu ditampilkan. Karena hanya dalam keheningan yang jujur, kita bisa kembali merasakan bahwa kita bukan data, bukan fungsi, bukan alat, tetapi pribadi yang membutuhkan pertemuan sejati.

Era keterhubungan seharusnya menjadi berkah. Tetapi jika tidak disadari, ia berubah menjadi jebakan. Maka dibutuhkan kesadaran kolektif untuk merawat kembali nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bisa didigitalkan, seperti: empati, kasih sayang, kebersamaan, dan pengertian. Manusia bukanlah mesin yang diukur dari output-nya. Ia adalah makhluk yang merasakan, yang membutuhkan jeda, yang menangis dan tertawa, yang rapuh dan kuat sekaligus. Kehidupan tidak seharusnya dipersempit menjadi grafik pertumbuhan atau angka keterlibatan. Kehidupan adalah ruang di mana manusia bisa menjadi dirinya, dengan segala keberlimpahan dan kekurangannya.

Barangkali tugas kita hari ini bukan menambah koneksi, tetapi memperdalam perjumpaan. Bukan membangun jaringan, tetapi membangun pengertian. Bukan memperluas jangkauan, tetapi memperkuat kehadiran. Dan untuk itu, manusia harus kembali kepada dirinya, bukan untuk bersembunyi, tetapi untuk memulihkan. Keterputusan yang dialami manusia hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah tanda bahwa kita rindu sesuatu yang lebih dari sekadar notifikasi. Kita rindu sesuatu yang sungguh hidup, sungguh hangat, dan sungguh manusiawi. Pertanyaan terakhir yang memerlukan perenungan dalam adalah “masih layakkah kita disebut manusia ?”. jawabannya ada di dalam hati sanubari kita yang paling dalam. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman