Ketika Diam Itu Bersuara

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu membaca komentar seorang teman lama, yang kebetulan satu kampung halaman, dan beliau juga sudah purna bakti, dengan satu komentar yang sangat menohok, siang panglima perang untuk keluarganya, malam dihabiskan waktu untuk Tuhannya. Ternyata beliau penganut aliran “diam itu adalah bersuara”. Istilah ini menjadi sangat menarik jika kita pahami melalui filsafat manusia.

Diam sering dipahami sebagai tidak adanya suara. Ia dianggap sebagai kekosongan, sebagai ruang hampa dari aktivitas, komunikasi, dan ekspresi. Namun bagi manusia yang mau melihat lebih dalam, diam bukanlah kehampaan. Justru di dalam diam, ada kegaduhan yang tak terlihat; ada keramaian yang tak terdengar oleh telinga, tetapi menggema di relung jiwa. Diam bukan ketiadaan, melainkan bentuk keberadaan lain yang lebih dalam, lebih jujur, dan lebih padat makna. Inilah paradoks eksistensial manusia: bahwa yang terlihat hening di luar, bisa sangat riuh di dalam. Ramai dalam diam, bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan realitas eksistensial yang dialami oleh siapa saja yang menyentuh kedalaman dirinya.

Dalam diam, manusia dihadapkan pada dirinya sendiri. Tidak ada pelarian. Tidak ada distraksi. Ketika tubuh tak bergerak dan mulut tak berkata, tak ada lagi tempat untuk menyembunyikan kegelisahan, ketakutan, kerinduan, dan kekosongan batin. Diam menjadi cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya; tanpa topeng sosial, tanpa rekayasa pencitraan. Maka, diam bukan sekadar keadaan fisik, melainkan kondisi batin yang memaksa manusia untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Dan dalam dialog itulah, ramai yang sesungguhnya muncul. Sebuah keramaian yang bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam kesadaran yang terbangun.

Manusia adalah makhluk paradoksal. Ia merindukan keheningan, tetapi takut pada kesepian. Ia mencari ketenangan, tetapi terganggu oleh suara hatinya sendiri. Dalam diam, manusia justru menemukan bahwa dirinya tidak pernah benar-benar sendirian. Ada ingatan yang datang silih berganti, ada bayangan masa lalu yang muncul tanpa diundang, ada kecemasan masa depan yang belum terjadi tapi sudah mengganggu. Pikiran manusia bekerja tanpa henti, dan dalam diam, kerja itu menjadi lebih kentara. Inilah yang membuat diam terasa “ramai”. Ia memaksa manusia untuk mendengarkan suara yang selama ini tertutup oleh hiruk-pikuk luar.

Namun keramaian dalam diam tidak selalu negatif. Ia bisa menjadi ladang refleksi, tempat lahirnya kesadaran baru. Dalam keheningan itulah manusia bisa melihat realitas dengan lebih jernih, tanpa gangguan, tanpa kebisingan distraksi. Ketika dunia luar diam, dunia dalam bisa berbicara lebih jelas. Manusia mulai melihat makna dari setiap pengalaman, memahami alasan di balik luka, menangkap pesan dari setiap kehilangan. Diam menjadi medium untuk menyusun kembali kepingan-kepingan hidup yang berserakan. Ia bukan ruang hampa, tetapi ruang pemulihan. Bukan tempat melarikan diri, tetapi tempat untuk kembali pulang kepada diri yang otentik.

Keramaian dalam diam juga terlihat dalam relasi manusia dengan yang ilahi. Doa yang paling tulus seringkali bukan yang panjang dan lantang, melainkan yang lirih, bahkan hanya berupa desahan batin. Dalam diam, manusia menemukan Tuhan bukan sebagai konsep, tetapi sebagai kehadiran. Sebuah kehadiran yang tidak perlu dijelaskan, hanya perlu dialami. Ketika semua kata habis, ketika logika tidak lagi mampu menjawab, ketika perasaan tak terungkapkan, manusia masuk ke dalam ruang diam. Dan justru di situ, ia merasakan pelukan spiritual yang tidak bisa dirumuskan dalam bahasa apa pun. Diam menjadi tempat perjumpaan yang suci.

Keramaian dalam diam juga mencerminkan kompleksitas eksistensi manusia. Kita bisa terlihat tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam. Kita bisa tersenyum, tetapi hancur di dalam hati. Kita bisa diam seribu bahasa, tetapi sebenarnya sedang berteriak dalam batin. Realitas manusia tidak pernah sesederhana apa yang tampak. Ada banyak ruang tak terlihat dalam diri manusia ada ruang luka, ruang harapan, ruang rindu, ruang doa. Semua ruang ini hidup dan aktif, bahkan ketika manusia tampak diam. Dan justru dalam keheningan itulah, semua ruang ini bersuara, bercerita, menari dalam irama yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang terbuka.

Dalam kehidupan sosial, ramai dalam diam juga hadir dalam bentuk solidaritas sunyi. Sebuah genggaman tangan dalam duka, sebuah kehadiran di sisi ranjang rumah sakit tanpa kata-kata, sebuah pelukan dalam keheningan: semua itu lebih keras dari ribuan ucapan. Manusia memahami bahwa tidak semua komunikasi harus melalui kata. Diam juga bisa menjadi bahasa cinta, bahasa kepedulian, bahasa penerimaan. Bahkan dalam konflik, diam bisa menjadi bentuk kebijaksanaan; memilih tidak menjawab, bukan karena kalah, tetapi karena sadar bahwa tidak semua pertarungan layak dilanjutkan.

Pada akhirnya, ramai dalam diam adalah bentuk keberadaan manusia yang paling dalam. Ia menunjukkan bahwa manusia bukan sekadar tubuh, bukan sekadar makhluk sosial, tetapi juga makhluk batin. Ada dunia dalam diri manusia yang tidak bisa dijamah oleh suara luar. Dunia itu bisa sangat gaduh, bisa juga sangat damai. Namun dalam kedua keadaan itu, diam adalah pintu masuknya. Hanya dalam diam, manusia bisa mengenal dirinya sendiri. Dan hanya dengan mengenal dirinya, ia bisa mengenal yang lain, dan juga mengenal Tuhannya.

Ramai dalam diam bukanlah kontradiksi. Ia adalah kenyataan dari jiwa manusia yang kompleks. Ia menunjukkan bahwa makna tidak selalu muncul dalam suara, bahwa kebenaran tidak selalu hadir dalam debat, bahwa kehadiran tidak selalu memerlukan kata. Ia mengajarkan bahwa dalam keheningan ada kehidupan. Dalam sunyi ada suara. Dan dalam diam, ada keramaian yang tidak bisa diukur, tetapi bisa dirasakan oleh hati yang mendengar, oleh jiwa yang terjaga. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman