Bayang-Bayang di Balik Mahkota
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada 10 November 2025, di media ini Syarief Makhya, seorang Guru Besar Universitas negeri terkenal di negeri ini, mengemukakan pendapatnya dengan lugas, tegas dan mendasar tentang diberikannya gelar pahlawan nasional kepada seorang tokoh negeri ini.
Uraian beliau sangat mendasar dari segi moral kepemerintahan, sesuai bidang keahliannya. Tergerak pikir untuk menambahi tulisan itu, tetapi dari sudut Filsafat Kontemporer; tentu bukan bertujuan untuk memposisikan diri setuju atau tidak; namun ingin menyuguhkan pikiran lain sebagai pelengkap; itupun dengan bahasa kiasan agar menjadi lebih enak dipahami dengan rasa sejati.
Pada kisah pewayangan model Jawa selalu ada sosok yang lahir dari ambisi dan kekuasaan, yang langkahnya menorehkan jejak ganda; antara kemakmuran dan kehancuran. Ia bukan sekadar manusia, tetapi simbol dari paradoks peradaban: tangan yang menanam padi adalah tangan yang sama menumpahkan darah. Ia diingat dengan dua wajah; satu bercahaya, satu berjelaga; dan di sanalah filsafat kontemporer menemukan ruangnya untuk merenung tentang makna kepahlawanan, kekuasaan, dan moralitas.
Sebagai contoh dalam pewayangan, sang penguasa yang memimpin Hastina pernah diyakini sebagai titisan dewa. Ia memerintah dengan wibawa dan ketegasan, menata negeri dari puing menjadi taman. Di bawah kepemimpinannya, rakyat mengenal tertib, ladang berbuah, jalan-jalan terbuka, dan langit negeri tampak teduh. Namun di balik kedamaian yang tampak, tersimpan kisah tentang darah yang jatuh di antara bayang-bayang malam, tentang mereka yang hilang suara karena dianggap mengganggu harmoni.
Jika dibaca dengan kacamata filsafat kontemporer, kisah ini menyingkap pertanyaan mendasar tentang etika kekuasaan. Michel Foucault, misalnya, pernah menulis bahwa kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui kekerasan, tetapi juga melalui produksi kebenaran. Sang penguasa Hastina, dalam konteks ini, bukan sekadar raja, melainkan arsitek dari narasi besar yang menjadikan dirinya pusat dari makna “ketertiban”. Dalam tangannya, kata “damai” bisa berarti “diam”, dan “setia” tetapi bisa juga berarti “tak boleh bertanya”.
Namun manusia, betapapun besar kuasanya, tidak dapat menghapus jejak paradoks eksistensialnya. Kierkegaard mungkin akan menyebutnya sebagai “keputusasaan dalam keagungan”, manakala seseorang menjadi begitu besar hingga kehilangan dirinya sendiri. Ia mencintai negerinya dengan cara yang keras, menegakkan kesatuan dengan memotong keragaman, dan menanam rasa aman dengan menutup pintu kebebasan. Maka lahirlah ironi: negeri yang makmur tapi takut, rakyat yang tunduk tapi tak sepenuhnya percaya.
Ketika masa berlalu dan sejarah mulai mengendap, muncul perdebatan tentang layakkah sang penguasa ini disebut pahlawan. Filsafat kontemporer tidak mencari jawaban hitam-putih; ia mengajak kita melihat pahlawan bukan sebagai patung, tetapi sebagai proses pemaknaan. Jean-Paul Sartre mengatakan manusia adalah makhluk yang selalu dalam “proyek menjadi”, oleh karena itu ia tidak pernah selesai. Maka, mungkin kepahlawanan pun bukan status yang abadi, melainkan tafsir yang terus berubah bersama kesadaran zaman.
Pada bayangan pewayangan, sang penguasa Hastina dapat dipandang seperti Duryudana atau bahkan Karna sekalipun sebagai tokoh yang berjuang dengan niat luhur, namun terperangkap dalam struktur kekuasaan dan dendam sejarah. Mereka tidak sepenuhnya jahat, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Mereka berada dalam ruang abu-abu di mana moralitas dan kebutuhan politik saling membelit. Ketika rakyat lapar, mereka memberi makan; ketika rakyat berteriak, mereka membungkam. Dalam dialektika Hegelian, inilah antitesis dari kepahlawanan klasik: ketika tindakan yang menyelamatkan pada saat yang sama juga melukai.
Bagi filsafat etika, terutama dalam pandangan Hannah Arendt, persoalannya bukan hanya tentang siapa yang membunuh atau siapa yang menyelamatkan, melainkan bagaimana manusia mampu bertanggung jawab atas akibat dari tindakannya. Arendt mengingatkan bahwa kejahatan terbesar sering kali lahir bukan dari kebencian, melainkan dari ketaatan yang buta. Dalam kisah Hastina, banyak yang mengabdi karena cinta kepada tanah air, namun cinta itu menjelma menjadi alat untuk meniadakan yang berbeda.
Ketika masa penobatan tiba dan suara-suara mulai memuji, muncul kegelisahan di antara para bijak. Apakah kemakmuran yang lahir dari luka dapat disebut sebagai kebajikan? Apakah sejarah yang dibangun di atas penghapusan dapat dijadikan dasar bagi penghormatan? Filsafat tidak menolak penghargaan, tetapi mengingatkan bahwa setiap gelar adalah cermin: ia memantulkan bukan hanya sosok yang diberi, tetapi juga kesadaran moral mereka yang memberi.
Di dalam mitologi Jawa, setiap raja besar akhirnya harus berjalan menuju pertapaan, meninggalkan mahkota dan senjata. Ia harus menatap kembali dirinya tanpa gelar, tanpa pengawal, tanpa legitimasi. Di sanalah ia diuji: apakah yang tersisa hanyalah dosa kekuasaan, atau ada seberkas cahaya kebajikan yang benar-benar lahir dari niat tulus. Barangkali di titik itulah kita dapat memahami makna “pahlawan” bukan sebagai simbol kesempurnaan, melainkan sebagai medan pergulatan antara niat baik dan akibat buruk.
Maka, ketika zaman modern mengangkat kembali kisah sang penguasa Hastina dan menempatkannya di altar kehormatan, yang sejatinya diuji bukan hanya sosoknya, melainkan juga ingatan kolektif kita. Apakah kita telah dewasa dalam menilai sejarah? Ataukah kita masih takut menatap sisi gelap dari masa lalu karena cahayanya terlalu menyilaukan?
Pada akhirnya, mitologi mengajarkan bahwa setiap bayang selalu mengikuti cahaya. Tidak ada pahlawan tanpa dosa, dan tidak ada tiran tanpa alasan. Yang tersisa hanyalah kesadaran untuk terus bertanya: ketika darah dan bunga sama-sama tumbuh dari tanah yang sama, manakah yang lebih layak kita rawat—keindahannya atau lukanya? Jawabanya ada pada wilayah “Roso Sejati” yang kita punya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman


