PERPADUAN YANG TIDAK PERNAH SELESAI

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Siang itu terik sekali, matahari seolah-olah berada persis di atas kepala. Namun semua itu tidak menyurutkan langkah seorang santri yang buru-buru ingin menjumpai gurunya guna menanyakan sesuatu hal, yang menurut dia perlu penjelasan spiritual, dialognya itu demikian

Santri: “Kiai, saya sering heran. Mengapa dalam setiap kebaikan selalu ada kemungkinan keburukan, dan dalam keburukan ada sedikit kebaikan?”

Kiai sambil memperbaiki sorbanya berkata: “Begitulah keseimbangan hidup, Nak. Tidak ada kebaikan yang benar-benar murni tanpa risiko, dan tidak ada keburukan yang sepenuhnya gelap tanpa pelajaran”.

Santri menukas:….” Apa contohnya, Kiai?”

Kiai menggeser duduk, dan berkata: “Ambil contoh orang yang membantu orang lain. Itu kebaikan. Tetapi bila ia mulai merasa paling mulia, timbullah kesombongan. Maka kebaikan yang tak dijaga bisa melahirkan keburukan”.

Santri menyergah: “Lalu keburukan yang mengandung kebaikan…itu seperti apa?”

Kiai menjawab: “Kesalahan yang menimpa seseorang kadang menjadi jalan berubah. Orang yang dulu lalai, setelah jatuh, bisa menjadi lebih bijak. Musibah dapat membangkitkan doa, rasa syukur, dan kepedulian”.

“Berarti kalau begitu tak ada yang benar-benar mutlak, ya Kiai?”…segah Santri.

Kiai:…“Betul. Yang mutlak hanyalah Allah. Kebaikan perlu dijaga niatnya, sementara keburukan perlu dipetik hikmahnya. Dengan begitu, manusia tidak sombong ketika berbuat baik, dan tidak putus asa ketika mengalami keburukan”.

Santri: “Saya jadi paham, Kiai. Jadi yang paling penting adalah cara kita menyikapi keduanya”.

Kiai: “Benar, Nak. Sikap itulah yang menentukan jalan hidup dan nilai seseorang di hadapan Allah”.

Dalam perspektif filsafat manusia, pesan ini mengajak kita memahami manusia bukan sebagai makhluk yang hitam-putih, melainkan sebagai pribadi yang kompleks, dinamis, dan penuh potensi yang saling bertentangan. Manusia bukanlah sosok yang dapat dipastikan sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk; ia selalu berada di antara dua kutub itu, bergerak, mengalami, berubah, dan menghadapi pergulatan batinnya sendiri.

Tidak ada satu pun yang steril dari kekurangan. Dalam pandangan filsafat manusia, keberadaan sisi gelap ini justru menjadi bagian penting dari keutuhan manusia. Seseorang dapat berbuat baik, tetapi ia tetap dihantui dorongan-dorongan egoistis, rasa marah, iri, atau kesalahan masa lalu yang membayang. Kebaikan yang kita lihat pada seseorang bukanlah jaminan bahwa ia sempurna, melainkan usaha yang terus-menerus untuk mengatasi kecenderungan negatif dalam dirinya. Justru di situlah letak nilai kemanusiaan: pada perjuangan untuk menjadi baik, bukan pada hasil yang tampak tanpa cacat.

Sebaliknya, ketika dikatakan bahwa pada orang yang tampak buruk pasti ada sisi baiknya, pernyataan ini mendorong kita untuk melihat manusia sebagai makhluk yang selalu memiliki peluang untuk berubah. Dalam filsafat manusia, potensi adalah salah satu konsep penting: manusia tidak pernah selesai, ia bukan produk akhir, tetapi proses yang terus bergerak menuju perbaikan atau kemunduran. Seseorang yang tampak keras, kasar, atau penuh kekurangan mungkin menyimpan sisi empati, keberanian, atau kesetiaan yang tidak terlihat pada pandangan pertama. Sering kali, keburukan yang tampak hanyalah cangkang dari rasa sakit, trauma, atau keterbatasan yang belum tersentuh oleh kasih dan kesempatan untuk tumbuh. Dengan menyadari hal ini, kita diajak untuk tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang tampaknya buruk pun bisa memiliki kebaikan yang tersembunyi atau sedang berjuang untuk muncul ke permukaan.

Nasihat tersebut kemudian menekankan agar ketika kita bertemu dengan orang baik, jangan mencari-cari keburukannya. Secara filosofis, ini merupakan peringatan terhadap kecenderungan manusia yang sering terjebak pada prasangka dan kecurigaan. Ada dorongan dalam diri manusia untuk menemukan celah dalam kebaikan orang lain, seakan-akan kita tidak rela melihat kebaikan yang utuh. Sikap ini bisa muncul dari rasa iri, ketidakpercayaan, atau ketidakmampuan menerima bahwa ada orang yang mampu berbuat lebih baik dari kita. Dengan menahan diri untuk tidak mengorek keburukan dari mereka yang baik, kita sedang melatih kepekaan moral dan kerendahan hati. Kita belajar untuk menghargai kebaikan sebagai kebaikan itu sendiri, bukan sebagai ilusi yang harus dibongkar.

Kemudian, ketika bertemu dengan orang yang tampak buruk namun kita diajak untuk mencari sisi baiknya, ini adalah ajakan untuk melatih empati dan kebijaksanaan batin. Manusia sering mudah menempelkan label buruk kepada seseorang hanya dari satu tindakan atau dari kesan pertama. Padahal, label semacam itu bisa menghalangi kita untuk memahami motivasi atau pergulatan batin orang tersebut. Dalam perspektif filsafat manusia, memahami manusia berarti menyadari bahwa setiap tindakan selalu memiliki konteks dan alasan yang tidak selalu tampak di permukaan. Dengan berusaha mencari sisi baik pada orang yang tampak buruk, kita sedang membangun jembatan kemanusiaan: kemampuan untuk melihat potensi, bukan hanya kekurangan; memandang dengan pengertian, bukan dengan penghakiman.

Nasihat tersebut juga menegaskan pentingnya keseimbangan dalam memandang manusia. Keseimbangan ini bukan sekadar sikap adil, tetapi juga bentuk kearifan moral yang tumbuh dari kesadaran bahwa manusia adalah makhluk paradoxal: memuat baik dan buruk sekaligus. Ketika kita hanya melihat keburukan pada manusia, kita jatuh pada pesimisme dan kecenderungan menghakimi. Ketika kita hanya melihat kebaikan tanpa mengakui kekurangannya, kita jatuh pada ketidakrealistisan dan naivitas. Kearifan hidup terletak pada kemampuan untuk memandang keduanya secara proporsional, namun tetap mengarahkan hati kepada kebaikan.

Pada akhirnya, pesan dalam ungkapan tersebut mengajarkan bahwa cara kita memandang orang lain mencerminkan cara kita memahami diri sendiri. Dengan menyadari bahwa setiap manusia adalah perpaduan antara baik dan buruk, kita menjadi lebih bijak dalam memperlakukan sesama. Kita tidak cepat menghakimi, tidak mudah merendahkan, dan tidak tergesa-gesa menutup pintu kebaikan bagi siapa pun. Dalam kehidupan sosial, sikap seperti ini menumbuhkan suasana saling menghargai dan memberi ruang bagi pertumbuhan pribadi. Kebaikan yang kita lihat pada orang lain menguatkan kita, dan kebaikan yang kita cari dalam diri mereka yang tampak buruk memperkaya hati kita. Dengan demikian, pesan sederhana itu menjadi dasar bagi pandangan filosofis yang mendalam tentang kemanusiaan: bahwa manusia, dalam segala kontradiksinya, selalu layak untuk dipahami, dihormati, dan diberi kesempatan untuk menjadi lebih baik. Salam Waras (SJ)

Editor : Fadly KR