ENAK DI MULUT, SAKIT DI PERUT

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Akhir pekan ini betul-betul kami suami istri dibuat super sibuk karena harus menghadiri banyak undangan pernikahan dari sejumlah kerabat. Sampai-sampai kami kesulitan menyusun skala prioritas; oleh sebab itu kami berdua suami istri bagai merpati yang harus bergerak cepat dari satu hajatan ke hajatan lainnya. Akibatnya kami berdua tidak sempat menikmati hidangan, karena juga harus menyesuaikan dengan jadwal sholat yang tidak ada kata “tunda”. Konsekwensinya kami harus makan di luar; tentu saja bukan nasi dengan lauk pauk, tetapi pilihan lain dengan menu lain. Karena sudah sangat lapar kami mampir ke tempat makan sederhana di suatu kawasan.

Saat pulang sampai di rumah, ternyata perut kami berdua bereaksi, dan dari sini kami menemukan istilah seperti judul di atas. Sekaligus seolah menjadikan pengingat bahwa kenyataan hidup saat ini seperti itu adanya. Ungkapan “enak di mulut, tidak enak di perut” menggambarkan paradoks kehidupan kontemporer yang kian terasa menekan: sesuatu tampak menyenangkan di permukaan, tetapi membawa konsekuensi getir di belakang. Ini bukan sekadar soal makanan, melainkan metafora tentang bagaimana manusia modern berhadapan dengan godaan instan, kenikmatan sesaat, dan realitas yang jauh lebih kompleks daripada yang tampak. Dalam kerangka filsafat kontemporer, ungkapan ini dapat menjadi pintu masuk untuk menelaah kondisi manusia yang hidup dalam pusaran kecepatan, ketidakpastian, dan ilusi kemudahan.

Dunia hari ini beroperasi dengan logika kecepatan. Segala hal dirancang agar bisa dinikmati segera: informasi hadir dalam potongan singkat, perhatian manusia dibentuk oleh rangsangan cepat, dan kebiasaan menginginkan hasil instan menjadi pola hidup yang diterima tanpa banyak dipertanyakan. Dalam konteks ini, “enak di mulut” menjadi simbol dari godaan instan yang menghampiri manusia setiap hari, yaitu sebuah kenyamanan jangka pendek yang sering kali dijadikan tolok ukur kebahagiaan. Namun konsekuensinya, “tidak enak di perut,” hadir sebagai metafora tentang efek jangka panjang yang tak pernah benar-benar dihitung. Di sinilah ironi kehidupan modern: manusia begitu cepat mengejar kesenangan yang langsung terasa, tetapi lambat memahami dampak mendalamnya terhadap eksistensi mereka.

Dalam pandangan filosofis, kondisi ini menunjukkan keterputusan antara pengalaman langsung dan refleksi diri. Manusia lebih sering menanggapi rangsangan ketimbang merenungkan makna. Akibatnya, nilai-nilai yang lahir bukan lagi hasil perenungan mendalam, melainkan produk situasi yang bergerak begitu cepat sehingga kebenaran terasa cair. Ini menciptakan bentuk kehidupan yang rentan, karena manusia menjadi mudah terhanyut oleh apa pun yang tampak manis, tanpa memiliki waktu dan ruang untuk bertanya: apa konsekuensinya bagi dirinya.

Realitas kontemporer juga ditandai oleh produksi citra yang masif. Dunia digital mengajarkan manusia untuk lebih menghargai tampilan dibanding substansi. “Enak di mulut” di sini bukan hanya godaan instan, tetapi juga citra manis yang diciptakan oleh dunia yang semakin mengutamakan presentasi. Manusia hidup di antara lapisan-lapisan representasi dari: gambar, kata-kata, narasi; yang tidak jarang sering kali tidak mencerminkan kenyataan. Apa yang dianggap manis hanyalah simulasi, bukan pengalaman otentik. Ketika akhirnya “tidak enak di perut” muncul, manusia terkejut karena merasa telah ditipu oleh sesuatu yang ia sendiri pilih untuk percayai.

Di sisi lain, ungkapan ini juga dapat dibaca sebagai kritik terhadap struktur sosial yang menciptakan kondisi paradoksal bagi individu. Sistem ekonomi dan budaya yang menekankan konsumsi membuat banyak hal tampak mudah dan menyenangkan pada awalnya. Namun sistem yang sama sering kali menyembunyikan beban, kerentanan, atau biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat secara luas. Hal yang “enak di mulut” bagi sebagian orang bisa berarti “tidak enak di perut” bagi banyak orang lainnya. Ketimpangan muncul ketika kenikmatan individu dibangun di atas penderitaan sistemik yang tak terlihat. Dalam perspektif ini, ungkapan tersebut menjadi cermin kritik terhadap mekanisme produksi keinginan yang tidak pernah benar-benar netral.

Filsafat kontemporer juga menempatkan pengalaman tubuh sebagai aspek penting dari pemahaman makna hidup. “Mulut” dan “perut” bukan sekadar bagian tubuh, melainkan simbol dari dua mode pengalaman: sensasi dan konsekuensi. Mulut mewakili titik kontak pertama dengan dunia; apa yang terdengar, apa yang terlihat, apa yang terasa menyenangkan. Perut adalah tempat di mana sesuatu dicerna, diolah, dan memberi dampak nyata. Ketika sesuatu hanya dinikmati di mulut tetapi menyakitkan di perut, itu berarti terdapat ketidakharmonisan antara pengalaman permukaan dan realitas mendalam yang harus diolah tubuh. Manusia kontemporer hidup dalam kondisi ketidakharmonisan serupa: apa yang terjadi di permukaan hidup terasa menyenangkan, tetapi apa yang dialami di kedalaman sering kali penuh kecemasan, kelelahan, atau kehampaan.

Akhirnya, ungkapan ini mengajak kita untuk melihat kembali hidup dengan kesadaran yang lebih jujur. Ia mengingatkan bahwa tidak semua yang manis itu baik, dan tidak semua yang pahit itu buruk. Dalam dunia yang dipenuhi ilusi kenyamanan, manusia perlu memupuk keberanian untuk menghadapi kenyataan yang tidak selalu menyenangkan. Kebebasan sejati muncul dari kemampuan untuk tidak terpikat oleh kenikmatan sesaat dan kesiapan untuk menerima konsekuensi dari pilihan. Dengan demikian, kehidupan tidak lagi menjadi sekadar pencarian rasa yang manis, tetapi juga perjalanan memahami apa yang benar-benar menguatkan jiwa, meski rasanya mungkin tidak sedap pada awalnya. Ungkapan itu, pada akhirnya, bukan hanya kritik terhadap paradoks kehidupan modern, tetapi juga undangan untuk kembali pada kedalaman diri yang sering terlupakan oleh gemerlap manis di permukaan dunia. Salam Waras (SJ)

Editor : Fadly KR