JEJAK SUNYI DALAM DIRI

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Di serambi pesantren yang masih diselimuti kabut pagi, seorang santri muda duduk termenung. Suara lantunan zikir dari masjid belum mampu menenangkan hatinya. Ia menunduk ketika langkah-langkah pelan sang kiai mendekat. “Kenapa engkau duduk sendirian, Nak?”…. tanya sang kiai dengan suara lembut.

Santri itu menarik napas pelan. “Saya… hanya merasa lelah, Kiai.”

“Lelah pelajaran?” … tanya sang kiai sambil tersenyum tipis. “Bukan, Kiai. Lelah hati.” Ia menatap tanah. “Saya sudah berusaha baik, berjuang menjaga hubungan dengan semua orang, tapi rasanya tidak dihargai. Saya tidak marah, tapi… seakan se suatu dalam diri saya berubah.”

Sang kiai duduk di sampingnya, membiarkan keheningan sebentar. “Tahukah engkau, Nak,” ucapnya perlahan, “kadang hati manusia bukan pecah karena benturan keras, tetapi karena terus diketuk tanpa pernah disambut.”

Santri itu mengangguk pelan, matanya mulai berkaca. “Saya tidak ingin ribut, Kiai. Saya hanya ingin diam. Tapi diam ini terasa seperti menjauh selamanya.” Sang kiai menepuk bahu anak muda ini, seraya berkata. “Diam bukan selalu tanda pergi. Kadang itu cara hati melindungi dirinya. Yang penting, jangan biarkan diam membuatmu kehilangan dirimu sendiri.”

Santri itu menatap sang kiai, merasa sedikit lega. “Terima kasih, Kiai. Mungkin saya hanya butuh memahami ulang hati saya.” Kiai menjawab; “Benar, Nak,…dan,.. memahami hati sendiri adalah pelajaran yang paling panjang.”

Selanjutnya Kiai memberikan wejangan kepada Santrinya sebagai berikut; Perubahan sikap yang diam namun tegas seperti itu bukan sekadar gejala emosional, melainkan refleksi terdalam dari kemampuan manusia untuk merasakan nilai, harga diri, dan makna dalam relasi. Kekecewaan bukan hanya tentang apa yang dilakukan orang lain, tetapi tentang apa yang dirasakan seseorang terhadap dirinya sendiri ketika ia terus memberi tanpa dihargai. Manusia memiliki dorongan untuk diakui, didengar, dan diterima, bukan sebagai bentuk kesombongan, tetapi sebagai kebutuhan eksistensial yang melekat dalam keberadaannya. Ketika kebutuhan itu berulang kali diabaikan, jiwa mulai lelah, dan kelelaha n itu tidak selalu meledak dalam bentuk amarah; sering kali ia bernapas dalam keheningan.

Diam seseorang bukan berarti kelemahan, sebagaimana perubahan sikap bukan berarti kebencian. Dalam diam, manusia sering kali menemukan kesadaran baru mengenai batas-batas yang perlu ia jaga untuk merawat dirinya sendiri. Mereka yang memilih diam setelah kekecewaan sejatinya sedang mengubah arah energi batin: dari memaksa sesuatu yang tak dibalas menjadi kembali pada dirinya sendiri, pada martabat dan rasa cukup yang semestinya dijaga. Diam itu adalah keputusan yang lahir dari kedewasaan emosional, sebuah pengakuan bahwa tidak semua hubungan atau situasi layak diperjuangkan terus-menerus.

Selain itu, perubahan sikap merupakan cara manusia menjaga keutuhan batinnya tanpa harus melukai orang lain. Ia memilih jalan sunyi, bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai perlindungan. Dalam filsafat manusia, tindakan semacam itu menunjukkan kesadaran moral yang matang: kemampuan untuk memilih respons yang tidak merusak, meski ia sendiri terluka. Ini adalah ironi yang hanya dipahami oleh mereka yang pernah mencintai dengan sungguh-sungguh, berjuang tanpa pamrih, dan akhirnya menemukan bahwa perjuangan pun memiliki batas.

Kelelahan hati yang muncul dari perjuangan yang tidak dihargai adalah panggilan bagi seseorang untuk kembali menata ulang dirinya. Ia mulai bertanya: “Bagaimana aku harus mencintai diriku sendiri tanpa kehilangan kebaikan yang selama ini kujaga?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menandai fase penting dalam perjalanan batin manusia; fase ketika ia mulai membedakan antara memberi dan mengorbankan diri, antara kesetiaan dan ketidakmampuan melepaskan. Pada akhirnya, perubahan sikap itu menjadi bentuk afirmasi: bahwa dirinya juga layak diperlakukan dengan penuh hormat.

Dalam sunyi pesantren itu, sang santri yang duduk menyendiri bukanlah sosok yang sedang memusuhi siapa pun. Ia hanya tengah memulihkan dirinya, menata ulang harapannya, dan memahami kembali makna hubungan yang sehat. Perubahannya adalah tanda bahwa ia akhirnya memilih jalan yang lebih damai: jalan yang tidak mempertentangkan siapa pun, tetapi menguatkan dirinya sebagai manusia yang tetap ingin berjalan dengan hati yang utuh. Diamnya bukan akhir dari segalanya, tetapi awal dari kedewasaan baru yang lahir dari kekecewaan yang pernah ia rasakan begitu dalam.

Pada akhirnya, kebijaksanaan tumbuh bukan dari kemenangan atau kepergian, melainkan dari kemampuan seseorang mengenali batas hatinya, menghormati dirinya sendiri, dan tetap berjalan dengan tenang meskipun dunia di sekitarnya tak selalu memahami kedalaman langkah yang ia pilih, dengan demikian ia menemukan kekuatan sunyi yang meneguhkan dirinya. Salam Waras (SJ)

Editor : Fadly KR