KORUPSI SEBAGAI GEJALA KRISIS RASIONALITAS
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
–
“Desember Kelabu” nama sebuah lagu popular pada jamannya, dan untuk segenerasi dengan lagu itu, masih enak telinga mendengarnya. Namun kali ini bukan masalah lagu, akan tetapi masalah dua kepala daerah yang “belagu” di Provinsi ini, karena tersandung masalah hukum dengan tuduhan “korupsi”. Hanya beda lembaga penangannya; yang satu Kejaksaan Tinggi, yang terakhir justru Komisi Pemberantasan Korupsi. Secara substansial keduanya sama, yaitu sama-sama menggunakan kewenangannya untuk menyidik perkara korupsi. Tulisan ini tidak untuk mencampuri wilayah hukum dari keduanya, akan tetapi mencoba melihat dari sisi Filsafat Kontemporer guna menemukenali persoalan tadi secara substansial.
Peristiwa kedua daerah di atas dapat dibaca bukan sekadar sebagai penyimpangan hukum semata, akan tetapi sebagai gejala dari krisis lebih dalam pada struktur rasionalitas publik. Dengan mengambil inspirasi dari pemikiran filsafat kontemporer; mulai dari teori sistem, fenomenologi kekuasaan, hingga kritik budaya, peristiwa ini mengungkap keretakan yang tidak lagi dapat dijelaskan hanya oleh faktor teknis tata kelola, tetapi oleh cara masyarakat, institusi, dan aktor politik memahami serta memproduksi makna kekuasaan itu sendiri.
Dalam perspektif teori sistem, korupsi pada tingkat pemerintahan daerah mencerminkan kegagalan diferensiasi fungsional antara ranah politik, ekonomi, dan hukum. Ketika ketiga ranah ini tidak lagi beroperasi dengan kode masing-masing, seperti politik dengan legitimasi, ekonomi dengan efisiensi, hukum dengan legalitas: maka batas yang seharusnya menjaga ketertiban sosial menjadi kabur. Pada dua kabupaten yang mengalami peristiwa serupa, tampak bagaimana kepentingan ekonomi merembes masuk ke dalam sistem politik daerah tanpa resistensi normatif yang berarti. Politik tidak lagi dilihat sebagai arena pelayanan publik, tetapi sebagai mekanisme akumulasi sumber daya. Dengan demikian, tertangkapnya kepala daerah bukan hanya kecelakaan moral, tetapi konsekuensi logis dari sistem yang kehilangan kemampuan membedakan dirinya dari tekanan eksternal.
Dari sudut pandang filsafat kekuasaan, khususnya pemikiran tentang relasi kuasa dan disiplin, peristiwa ini menunjukkan bahwa praktik korupsi tidak semata-mata hasil pilihan individual. Ia tumbuh dari medan kekuasaan yang memproduksi subjek-subjek politik dengan cara tertentu. Kepala daerah, birokrat, dan bahkan warga terbentuk melalui jaringan wacana yang menjadikan korupsi sesuatu yang dapat dinegosiasikan, dinetralkan, atau bahkan dianggap wajar. Ketika perangkat institusional tidak memproduksi mekanisme disiplin yang konsisten, seperti melalui transparansi, kontrol publik, dan etika birokrasi; maka tubuh politik lokal terstruktur sedemikian rupa sehingga praktik koruptif dapat berlangsung sebagai rutinitas. Dalam konteks ini, peristiwa Lampung menunjukkan bagaimana kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga memproduksi pola perilaku yang kemudian dianggap normal dalam pemerintahan daerah.
Dari perspektif kritisisme budaya, kasus ini memperlihatkan krisis nilai yang lebih luas: reduksi makna jabatan publik menjadi sekadar komoditas. Dalam budaya politik yang ditandai logika konsumsi dan pertukaran simbolik, jabatan menjadi objek investasi; modal ekonomi ditukar dengan modal politik, lalu modal politik dipakai untuk mengakumulasi kembali modal ekonomi. Siklus timbal balik ini, yang mirip dengan logika kapitalisme lanjut, mendorong pejabat publik untuk melihat kekuasaan bukan sebagai tanggung jawab, tetapi sebagai instrumen reproduksi diri. Dengan demikian, keruntuhan etika publik bukan terjadi secara tiba-tiba, tetapi sebagai efek dari sistem tanda yang memosisikan kekuasaan sebagai kapital simbolik yang harus dimaksimalkan secara sempurna.
Melalui lensa fenomenologi sosial, peristiwa ini dapat dipahami sebagai terganggunya “dunia kehidupan” masyarakat. Dunia kehidupan adalah ruang nilai, norma, dan makna yang menjadi prasyarat komunikasi rasional. Ketika praktik korupsi menggerogoti institusi lokal, dialog sosial yang seharusnya berbasis kepercayaan menjadi runtuh. Masyarakat kehilangan rasa aman normatif, dan hubungan antara warga serta pemerintah menjadi hubungan transaksional semata. Ruang publik tidak lagi menjadi tempat pertukaran argumen, tetapi tempat pertukaran kepentingan. Dua kasus berturut di wilayah yang berdekatan memperlihatkan bagaimana dunia kehidupan ini terdistorsi secara kolektif, bukan hanya individual.
Filsafat politik kontemporer juga melihat korupsi sebagai bentuk “kegagalan imajinasi politik”. Di banyak daerah, imajinasi tentang apa itu pemerintahan; sering kali masih terkungkung oleh bayangan kekuasaan tradisional: kekuasaan sebagai dominasi, bukan sebagai pelayanan; kekuasaan sebagai fasilitas, bukan sebagai amanah. Tanpa imajinasi yang lebih progresif tentang tata kelola bersih, demokrasi lokal mudah jatuh pada repetisi pola lama yang disfungsional. Peristiwa di dua daerah di Lampung ini; menjadi cermin bahwa otonomi daerah membutuhkan bukan hanya struktur administratif, tetapi juga imajinasi moral dan sosial untuk membayangkan bentuk pemerintahan yang lebih emansipatoris.
Jika ditinjau dari etika kontemporer yang menekankan tanggung jawab sebagai relasi, korupsi tidak hanya melanggar aturan formal, tetapi memutus jaringan tanggung jawab timbal balik antara pemerintah, warga, dan masa depan bersama. Korupsi mengorbankan generasi berikutnya, merampas potensi pembangunan, dan menyandera ruang publik untuk kepentingan sesaat. Dua peristiwa yang terjadi beruntun menunjukkan bahwa relasi tanggung jawab ini terpecah di tingkat fundamental.
Dengan demikian, korupsi pada dua kabupaten di Lampung harus dipahami sebagai gejala krisis rasionalitas publik: melemahnya sistem, terdistorsinya dunia kehidupan, kaburnya batas antara ranah sosial, serta runtuhnya imajinasi politik yang memungkinkan kekuasaan dimaknai secara etis. Penindakan hukum penting, tetapi tidak menyembuhkan luka epistemik dan kultural yang lebih dalam. Perlu upaya membangun kembali rasionalitas publik melalui pendidikan etika, konsolidasi ruang dialog, perbaikan struktur kontrol, dan rekonstruksi makna jabatan publik. Tanpa itu, korupsi tetap akan menjadi pola, bukan anomali, dalam dinamika politik daerah. Namun masih ada secercah cahaya harapan di sana, masih banyak orang-orang baik dan bersih di sana; hanya persoalannya bagaimana mekanisme diciptakan agar orang-orang baik dan bersih itu bukan hanya pajangan di “Etalase sosial”; akan tetapi dapat membumi memimpin negeri. Salam Waras (SJ)
Editor : Fadly KR


