KETIKA KEKURANGAN TIDAK MEMBUNGKAM KEBAIKAN
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
–
Senja itu sinar matahari tidak begitu panas lagi, bahkan cenderung meredup karena terhadang arak-arakan awan hitam yang ingin mencari teman bergumpal untuk turun sebagai hujan. Di satu ruang kampus Pascsarjana tampak ruang Profesor senior kedatangan mahasiswa yang ingin mengajak berdiskusi tentang topik penelitiannya; Profesor membuka pembicaraan; “Wajahmu tampak lelah, tetapi matamu justru menyala,” kata Profesor itu sambil menggeser liptopnya agar tidak mengganggu pemandangannya.
Mahasiswa pascasarjana itu menjawab sambil tersenyum tipis. “Mungkin karena kurang tidur, Prof. Saya bekerja malam, lalu pagi membaca.” Profesor menatapnya sejenak. “Mengapa kau memaksakan diri? Banyak yang berhenti ketika hidup terasa terlalu berat.”
“Saya tidak merasa memaksakan diri Prof,” jawab mahasiswa itu pelan. “Belajar justru membuat hidup terasa masuk akal.” Profesor mengangguk, lalu bertanya lagi, “Aku dengar kau masih menyisihkan uang untuk bersedekah. Bukankah hidupmu sendiri pas-pasan?”, Mahasiswa itu terdiam sejenak, kemudian menukas. “ahhh…professor tahu saja gerakan mahasiswanya; alasan saya Prof, karena saya tahu rasanya kekurangan, Prof. Saya tidak ingin menutup mata tentang hal itu.”
Profesor tersenyum samar. “Kau tahu, dunia akademik sering mengajarkan berpikir kritis, tetapi lupa mengajarkan kepedulian.”. “Saya pikir,” tukas mahasiswa itu, “kepedulian membuat pengetahuan tidak kosong.” Profesor berdiri, berjalan menuju ruang pembuat kopinya sambil berkata. “Mungkin itulah pelajaran paling penting yang jarang tertulis di silabus.”
Mahasiswa itu menunduk hormat. “Jika suatu hari saya berhasil, saya ingin tetap mengingat hari-hari ini.” Profesor berbalik. “Jangan hanya mengingatnya,” katanya pelan. “Jadikan ia dasar cara berpikirmu tentang manusia.”
Dialog itu pun terhenti, meninggalkan ruang sunyi yang penuh makna, seolah menjadi pintu masuk bagi sebuah perenungan yang lebih dalam. Ternyata di sudut-sudut kampus pascasarjana, ada sosok yang jarang disorot oleh statistik pembangunan atau narasi sukses akademik. Ia hidup paspasan secara ekonomi, menghitung biaya hidup dari bulan ke bulan, menimbang antara membeli buku atau menunda kebutuhan lain. Namun, di balik keterbatasan material itu, ia menyimpan dua hal yang tampak bertentangan dengan logika ekonomi modern: semangat belajar yang menyala dan kemauan untuk tetap berbagi melalui sedekah. Fenomena ini, jika dibaca dari kacamata filsafat kontemporer, membuka ruang refleksi tentang makna manusia, etika, dan harapan di tengah dunia yang sering mengukur nilai hidup dari kepemilikan.
Filsafat kontemporer melihat manusia bukan semata makhluk rasional yang selalu bertindak berdasarkan kepentingan utilitarian. Manusia adalah makhluk relasional, yang identitasnya dibentuk oleh keterhubungan dengan sesama. Mahasiswa pascasarjana yang hidup paspasan tetapi tetap bersedekah menunjukkan bahwa tindakan etis tidak selalu lahir dari kelimpahan, melainkan dari kesadaran akan penderitaan bersama. Dalam konteks ini, sedekah bukanlah sisa dari kelebihan, melainkan keputusan sadar untuk tidak menutup diri dari wajah orang lain yang membutuhkan. Ia memilih untuk tidak menjadikan kekurangan sebagai alasan untuk menarik diri dari tanggung jawab moral.
Semangat belajar yang tinggi di tengah keterbatasan ekonomi juga menantang pandangan kontemporer tentang pendidikan sebagai investasi semata. Dalam logika pasar, pendidikan sering direduksi menjadi alat mobilitas sosial dan peningkatan pendapatan. Namun bagi mahasiswa ini, belajar adalah bentuk perlawanan halus terhadap nasib yang membatasi. Ia belajar bukan hanya untuk “menjadi”, tetapi untuk “bertahan” dan “bermakna”. Pengetahuan menjadi ruang kebebasan, tempat ia bisa melampaui kondisi materialnya tanpa harus menyangkal kenyataan hidup yang keras. Di sini, belajar adalah tindakan eksistensial: cara menegaskan bahwa hidupnya lebih dari sekadar angka saldo.
Tindakan berbagi dalam kondisi paspasan juga mengandung kritik implisit terhadap etika individualisme yang dominan dalam masyarakat kontemporer, bahkan di perguruan tinggi. Ketika keberhasilan sering didefinisikan sebagai kemampuan mengamankan diri sendiri, mahasiswa ini justru memilih keterbukaan terhadap yang lain. Sedekahnya mungkin kecil secara nominal, tetapi besar secara simbolik. Ia menegaskan bahwa nilai moral tidak ditentukan oleh skala, melainkan oleh niat dan situasi. Memberi dari kekurangan memiliki bobot etis yang berbeda dari memberi dari kelimpahan, karena di sana ada risiko, pengorbanan, dan kejujuran terhadap kondisi diri.
Dari sudut pandang filsafat kehidupan sehari-hari, sikap ini menunjukkan etika yang berakar pada empati konkret, bukan pada aturan abstrak. Mahasiswa tersebut tidak menunggu stabil secara ekonomi untuk bertindak baik. Ia tidak menunda moralitas sampai keadaan ideal tercapai. Justru dalam ketidakidealan itulah etika diuji. Pilihannya untuk tetap berbagi menunjukkan bahwa moralitas tidak bersifat kondisional. Kebaikan tidak menunggu kemapanan; ia hadir sebagai keputusan di sini dan sekarang, dalam situasi yang serba terbatas.
Lebih jauh, fenomena ini mengungkap dimensi harapan yang khas dalam pemikiran kontemporer. Harapan bukan sekadar optimisme kosong, melainkan daya hidup yang memungkinkan seseorang bertindak melampaui determinasi struktural. Mahasiswa pascasarjana ini berharap bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk dunia yang lebih manusiawi. Dengan belajar sungguh-sungguh, ia berharap pada masa depan yang lebih adil. Dengan bersedekah, ia merawat harapan orang lain agar tidak sepenuhnya runtuh. Harapan, dalam pengertian ini, bersifat praksis: ia diwujudkan melalui tindakan kecil yang konsisten.
Dalam dunia yang sering sinis terhadap idealisme, sosok ini tampak seperti anomali. Namun justru anomali inilah yang mengingatkan bahwa kemanusiaan tidak sepenuhnya tunduk pada logika efisiensi dan keuntungan. Ia menunjukkan bahwa di tengah tekanan struktural, manusia masih memiliki ruang kebebasan untuk memilih sikap. Kebebasan itu mungkin sempit, tetapi cukup untuk menentukan apakah hidup akan dijalani dengan kepedulian atau dengan penutupan diri.
Akhirnya, mahasiswa pascasarjana yang hidup paspasan, bersemangat belajar, dan tetap bersedekah adalah cermin bagi masyarakat kontemporer. Ia memperlihatkan bahwa etika tidak selalu lahir dari kemapanan, dan bahwa pengetahuan serta kebaikan dapat tumbuh di tanah yang gersang. Dalam dirinya, kekurangan tidak menjelma menjadi kepahitan, melainkan menjadi sumber kepekaan. Ia mengajarkan bahwa memberi bukan soal seberapa banyak yang dimiliki, tetapi seberapa dalam seseorang mengakui keberadaan orang lain sebagai sesama manusia. Salam Waras (SJ)
Editor : Fadly KR


