NANTI (sebagai jerat waktu)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
–
Di serambi pesantren yang mulai lengang setelah Isya, seorang kiai tua duduk bersila dengan tasbih di tangannya. Seorang santri muda mendekat, wajahnya tampak ragu, seolah membawa pertanyaan yang belum menemukan bentuknya, seraya berkata: … “Yai,” kata santri itu pelan, “kenapa rasanya berat sekali memulai ibadah, padahal saya tahu itu kewajiban?”
Kiai tersenyum tipis. Ia tidak langsung menjawab. Tasbihnya terus bergerak, seakan memberi waktu pada pertanyaan itu untuk bernapas. “Beratnya di mana?” tanyanya balik. “Di hati,” jawab sang santri. “Setiap kali hendak beribadah, selalu ada suara yang berkata, nanti saja. Setelah ini. Setelah itu.”
Kiai berhenti menggerakkan tasbih. Pandangannya menembus halaman pesantren yang gelap. “Suara itu tidak pernah memerintahkanmu untuk meninggalkan ibadah,” katanya perlahan. “Ia hanya memintamu menunda.” Santri mengernyitkan keningnya sambil berkata. “Bukankah menunda itu masih lebih baik daripada meninggalkan?”
“Kelihatannya begitu,” jawab kiai. “Tapi penundaan adalah jalan paling halus untuk melupakan. Manusia sering takut pada larangan, tetapi mudah terbuai oleh janji waktu.”
Santri terdiam. “Jadi suara itu…?”
“Kau boleh menyebutnya apa saja,” potong kiai lembut. “Yang jelas, ia tahu manusia paling lemah ketika merasa masih punya waktu.”
Santri menunduk tersipu. “Lalu bagaimana cara melawannya, Yai?”
Kiai tersenyum lagi, kali ini lebih dalam. “Dengan hadir sepenuhnya sekarang. Ibadah tidak menunggu kesiapan sempurna. Justru ia yang membentuk kesiapan itu.”
Angin malam berembus pelan. Santri itu menarik napas panjang, seolah baru menyadari bahwa kata “nanti” selama ini telah mencuri begitu banyak “sekarang” dari hidupnya.
Pengalaman manusia mengingatkan, godaan jarang hadir sebagai ajakan terang-terangan untuk berbuat salah. Ia justru muncul dalam bentuk yang paling akrab, paling rasional, dan paling mudah diterima oleh kesadaran sehari-hari. Salah satu bentuknya adalah penundaan. Kata nanti terdengar ringan, bahkan penuh harapan, seolah ia menjanjikan kesempatan kedua yang lebih baik. Namun dalam kehidupan batin manusia, kata ini bekerja sebagai mekanisme penangguhan makna. Ia membuat manusia merasa aman tanpa harus benar-benar berubah, merasa baik tanpa harus bertindak sekarang.
Filsafat manusia kontemporer melihat manusia sebagai makhluk yang hidup dalam ketegangan antara kesadaran dan tindakan. Manusia mengetahui apa yang baik, memahami apa yang seharusnya dilakukan, tetapi sering gagal menjembatani pengetahuan itu dengan perbuatan. Di celah inilah “nanti” beroperasi. Ia menjadi ruang transisi yang tak pernah selesai, tempat niat disimpan tanpa pernah diwujudkan. Penundaan bukan sekadar kelemahan moral, melainkan struktur kesadaran yang menunda perjumpaan dengan tanggung jawab eksistensial.
Dalam konteks ibadah, penundaan memiliki dampak yang lebih dalam. Ibadah menuntut kehadiran total, pengakuan akan keterbatasan, dan kesiapan untuk berhadapan dengan diri sendiri. Bagi banyak manusia, tuntutan ini terasa berat. Maka “nanti” menjadi tameng halus untuk menghindari perjumpaan itu. Setan, dalam pengertian filosofis, dapat dipahami sebagai kecenderungan batin yang mendorong manusia menjauh dari kesadaran penuh. Ia tidak memaksa, tidak melarang, tetapi membujuk dengan kelonggaran waktu.
Penundaan juga berkaitan erat dengan cara manusia memahami waktu. Manusia modern cenderung memandang waktu sebagai sesuatu yang dapat dikelola dan dikendalikan. Ia membuat rencana, target, dan proyeksi masa depan seolah waktu selalu tersedia. Dalam cara pandang ini, ibadah ditempatkan sebagai aktivitas yang bisa disisipkan kapan saja. “Nanti” menjadi ekspresi kepercayaan berlebihan terhadap masa depan, seakan manusia berada di luar jangkauan kefanaan.
Filsafat manusia menegaskan bahwa keberadaan manusia tidak pernah netral. Setiap pilihan adalah sikap terhadap hidup itu sendiri. Menunda ibadah bukan berarti tidak memilih, melainkan memilih untuk tidak hadir. Pilihan ini sering tidak disadari karena dibungkus oleh alasan-alasan yang tampak wajar: lelah, sibuk, belum siap secara batin. Padahal, alasan-alasan tersebut adalah bentuk rasionalisasi yang melindungi manusia dari tuntutan perubahan diri.
Lebih jauh, penundaan menciptakan keterbelahan dalam diri manusia. Ada diri yang sadar akan nilai dan makna, dan ada diri yang menolak konsekuensi dari kesadaran itu. Keterbelahan ini melahirkan kegelisahan yang sering ditutupi dengan aktivitas lain. Ibadah, yang seharusnya menjadi ruang penyatuan diri, justru dihindari karena berpotensi membuka konflik batin yang selama ini disembunyikan. Dengan berkata “nanti”, manusia menunda rekonsiliasi dengan dirinya sendiri.
Budaya kontemporer memperkuat kecenderungan ini. Nilai manusia sering diukur dari produktivitas, efisiensi, dan pencapaian yang tampak. Dalam logika seperti ini, ibadah yang tidak menghasilkan keuntungan langsung dianggap kurang mendesak. “Nanti” menjadi justifikasi sosial untuk menomorduakan yang transenden. Setan tidak perlu menciptakan permusuhan terhadap agama; cukup dengan menanamkan keyakinan bahwa ibadah bisa ditunda tanpa kehilangan apa pun yang penting. Di sini jebakan “nanti” menuai hasil yang tak terhingga.
Filsafat manusia juga mengingatkan bahwa makna tidak pernah hadir dalam rencana, melainkan dalam keterlibatan konkret. Tidak ada makna yang bisa disimpan untuk masa depan tanpa tindakan di masa kini. Ibadah yang hanya diniatkan tetapi tidak dilakukan adalah makna yang dibekukan. Ia hidup dalam pikiran, tetapi mati dalam pengalaman. Setiap penundaan adalah kehilangan kesempatan untuk membentuk diri, karena diri dibentuk oleh apa yang dilakukan berulang kali, bukan oleh apa yang diinginkan.
Kesadaran akan kefanaan menjadi titik krusial dalam memahami bahaya penundaan. Kematian membongkar ilusi “nanti”. Ia mengingatkan bahwa waktu bukan milik manusia, dan masa depan tidak pernah dijamin. Dalam kesadaran ini, ibadah tidak lagi dipahami sebagai kewajiban tambahan, melainkan sebagai respons paling jujur terhadap kondisi manusia yang rapuh dan terbatas. Penundaan, dalam terang kefanaan, tampak sebagai bentuk pengingkaran terhadap kenyataan paling dasar dari keberadaan.
Melawan godaan “nanti” berarti mengambil kembali otoritas atas hidup yang sedang dijalani, bukan hidup yang dibayangkan. Perlawanan ini bukan soal kesempurnaan, tetapi soal keberanian untuk hadir sekarang, dengan segala keterbatasan dan ketidaksiapan. Ibadah yang dilakukan saat ini, meski tidak ideal, adalah tindakan eksistensial yang memutus rantai penundaan.
Pada akhirnya, “nanti” adalah ujian kebebasan manusia. Ia menawarkan kenyamanan semu dengan harga kehilangan makna. Ketika manusia terus menunda, ia tidak hanya menunda ibadah, tetapi menunda dirinya sendiri. Dalam keberanian untuk berkata “sekarang”, manusia memulihkan hubungan dengan waktu, dengan makna, dan dengan yang transenden. Di sanalah ibadah kembali menemukan daya transformasinya, dan manusia bergerak menuju keutuhan eksistensial yang selama ini tertunda. Salam Waras (SJ)
Editor : Fadly KR

