Cerita Yang Tidak Bisa Diceritakan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Santri itu duduk bersila di serambi pesantren, menatap halaman yang mulai lengang menjelang magrib. Ia memecah keheningan dengan suara pelan, seolah takut pertanyaannya akan mengusik ketenangan Kiainya. “Yai,” katanya, “kalau hidup ini disebut perjalanan, sebenarnya kita sedang berjalan ke mana?”

Kiai tersenyum tipis, menutup kitab yang sejak tadi dibacanya, sambil menghela nafas seraya berkata. “Pertanyaanmu sederhana, tapi jalannya panjang,” jawabnya. “Menurutmu sendiri, ke mana?”. Santri terdiam sejenak. “Saya merasa berjalan setiap hari. Belajar, menghafal, berbuat salah, lalu mencoba lagi. Tapi kadang saya tidak tahu apa arah semua itu. Rasanya seperti berjalan tanpa peta.”

Kiai mengangguk pelan. “Itu tanda kamu sadar sedang berjalan. Banyak orang melangkah tanpa pernah bertanya.” “Lalu,” lanjut santri, “apakah perjalanan ini punya akhir yang jelas?”. Kiai memandang langit yang mulai berubah warna. “Punya. Semua perjalanan manusia berakhir pada satu tempat yang sama.”

Santri menunduk. “Kematian?” …“Iya,” jawab kiai singkat tapi penuh makna. “Tapi jangan buru-buru menganggapnya sebagai penutup.”. Santri mengernyitkan keningnya dan berkata: “Bagaimana mungkin akhir bukan penutup?”

“Kematian adalah batas cerita,” kata kiai tenang, “bukan batas makna. Justru karena ada batas itulah setiap langkahmu sekarang menjadi berarti.”. Santri menarik napas dalam. “Kalau begitu, mengapa banyak bagian hidup terasa tidak bisa diceritakan, Yai?”. Kiai tersenyum lebih dalam seraya menukas. “Karena tidak semua perjalanan ditujukan untuk diceritakan. Ada yang hanya perlu dijalani. Diam-diam membentukmu, tanpa perlu kata.”

Santri terdiam. Di antara suara adzan yang mulai terdengar, ia merasa perjalanannya baru saja dimulai. Setiap perjalanan adalah cerita, tetapi tidak semua perjalanan bisa diceritakan. Dalam kehidupan manusia, gagasan ini menemukan bentuk paling mendalam ketika perjalanan dipahami sebagai gerak eksistensial menuju kematian. Sejak kelahiran, manusia tidak sekadar hadir di dunia, melainkan langsung ditempatkan dalam lintasan waktu yang bergerak satu arah. Hidup bukan keadaan statis, tetapi proses terus-menerus menuju suatu akhir yang pasti namun tak pernah sepenuhnya dipahami. Di sinilah perjalanan manusia memperoleh bobot filosofisnya: ia selalu bermakna, tetapi tidak pernah sepenuhnya dapat diungkapkan.

Dalam filsafat manusia, hidup dipahami sebagai proses menjadi. Manusia tidak pernah selesai; ia senantiasa berada “di antara”, bergerak dari apa yang telah terjadi menuju apa yang belum diketahui. Kesadaran akan kematian memberi arah pada proses ini. Tanpa batas akhir, perjalanan hidup akan kehilangan ketegangan dan urgensinya. Justru karena hidup terbatas, setiap pilihan menjadi signifikan. Setiap keputusan kecil ikut membentuk cerita tentang siapa seseorang sedang dan telah menjadi. Dengan demikian, setiap perjalanan manusia memang merupakan cerita, karena ia menyusun identitas melalui waktu.

Namun, perjalanan menuju kematian juga memperlihatkan keterbatasan manusia dalam membangun narasi tentang dirinya sendiri. Tidak semua pengalaman dapat diterjemahkan ke dalam bahasa. Ada kecemasan yang hadir tanpa bentuk, ada kesadaran akan kefanaan yang muncul sebagai rasa, bukan sebagai pikiran yang terumuskan. Ada pula penerimaan yang tumbuh perlahan, tanpa momen dramatis yang layak diceritakan. Di sinilah batas bahasa menjadi jelas. Cerita membutuhkan struktur, awal dan akhir, sebab dan akibat, sementara pengalaman batin sering kali bersifat kabur, tumpang tindih, dan tidak linear.

Perjalanan menuju kematian juga mengungkap hubungan manusia dengan waktu. Waktu tidak hanya dialami sebagai aliran peristiwa, tetapi sebagai keterbatasan. Setiap “sekarang” segera menjadi masa lalu, dan masa depan selalu berkurang. Kesadaran ini membuat manusia mampu mengambil jarak dari hidupnya sendiri, menilai kembali pilihan-pilihan yang telah diambil. Namun, penilaian ini tidak selalu menghasilkan cerita yang rapi. Banyak bagian hidup yang terasa gagal, terputus, atau tidak selaras dengan harapan awal. Bagian-bagian inilah yang sering tidak diceritakan, tetapi justru membentuk inti perjalanan batin seseorang.

Cerita tentang hidup cenderung disusun secara retrospektif. Manusia menoleh ke belakang dan mencoba merapikan pengalaman agar tampak masuk akal. Namun, perjalanan hidup yang sesungguhnya dijalani jarang serapi itu. Ia dipenuhi keraguan, pengulangan kesalahan, dan perubahan arah yang tidak direncanakan. Untuk dapat diceritakan, perjalanan harus disederhanakan. Akibatnya, banyak lapisan pengalaman hilang dalam proses penceritaan. Yang tersisa adalah versi hidup, bukan hidup itu sendiri.

Pada akhirnya, kematian adalah tujuan yang tidak dapat diceritakan dari dalam. Tidak ada subjek yang kembali untuk mengisahkan apa yang terjadi setelah akhir. Karena itu, seluruh makna perjalanan manusia terkonsentrasi pada kehidupan sebelum titik tersebut. Filsafat manusia memandang hal ini bukan sebagai kekurangan, melainkan sebagai panggilan untuk hidup secara sadar. Jika tidak semua perjalanan bisa diceritakan, maka tidak semua makna harus diungkapkan. Sebagian makna cukup dijalani, dirasakan, dan dihayati dalam keheningan.

Dengan demikian, perjalanan manusia menuju kematiannya adalah cerita yang terus berlangsung tanpa pernah sepenuhnya selesai. Ia ditulis melalui pilihan-pilihan kecil, melalui kesadaran akan batas, dan melalui diam yang tak terkatakan. Dalam keterbatasan waktu dan bahasa, manusia menemukan kedalaman keberadaannya. Perjalanan hidup memperoleh maknanya bukan karena dapat diceritakan secara utuh, melainkan karena ia sungguh-sungguh dijalani hingga akhir, dalam kesadaran bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, adalah bagian dari cerita yang tidak pernah sepenuhnya dapat diucapkan. Benar ungkapan lama yang mengatakan “manakala kita masih mampu menceritakan kematian maka sesungguhnya kita belum mati”. Salam Waras (SJ)

Editor : Fadly KR