Arinal-Sutono, Keberuntungan atau Kebuntungan Democracy?

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu, HBM menulis di medea ini bagaimana sepak terjang para peminat kursi “Lampung Satu” bersilat untuk meraih jabatan idaman. Semua jurus dikeluarkan, bahkan rekomendasi dari pusat diabaikan demi cita idaman.

Analisis HBM kelihatan sangat hati-hati dalam menulis, karena beliau ingin membuat jarak obyektif terhadap peristiwa; walaupun hal itu tidak mudah, karena HBM pada masa lalu pernah ikut di salah satu gerbong itu.

Dengan gaya bahasa yang ligat beliau tampilkan analisis berbobot jurnalis yang sangat bagus.
Tulisan ini mencoba melihat sisi lain yang terlewat oleh HBM, karena luput dari perhatiannya, atau mungkin sengaja menghindar agar tidak terperosok pada kawasan subyektif.

Itu semua sah-sah saja karena uraian HBM bukan reportase peristiwa tetapi analisis peristiwa. Sisi yang terlewat itu adalah, mestinya semua kita berterimakasih kepada petahana, dan beliau untuk peristiwa ini patut disebut penyelamat demokrasi.

Atas keberanian petahana “melawan” kesewenangan pusat, tentu dengan segala macam konsekwensinya, itu berarti membuat “lawan kotak kosong” tinggal mitos.

Penulis yakin, dan mungkin juga HBM, jika petahana menang, sikap pusat akan berubah total, dan dengan dalih berlindung pada dinamika politik, dengan tidak malu-malu akan mengatakan petahana adalah penyelamat organisasi.

Berbeda jika kalah, maka organisasi akan menghukumnya dengan mungkin tidak setimpal. Hakul yakin dalil yang paling aman untuk dipakai oleh pusat adalah “melanggar kode etik”.

Keadaan seperti ini meminjam istilah Palembang ….”idak galak berejo tapi nak melok menang bae” yang terjemahan bebasnya tidak mau ikut berusaha tetapi mau ikut menangnya saja.

Apakah ini yang menyebabkan organisasi banteng moncong putih membelakangkan diri dalam pencalonan, termasuk Kota Bandarlampung, agar mitos kotak kosong tidak terbukti.

Semua tergantung pisau mana yang kita pakai menganalisis, dan tentu para pakar politik-lah yang patut membedahnya.

Hanya perbedaannya jika provinsi petahana bermain tipis-tipis, sehingga tidak terlalu “gas pool” dalam bekerja, karena tampaknya beliau sadar diri, namun juga harus menjaga harga diri.

Sementara untuk kota tampaknya petahana menampilkan kekuatan penuh untuk berhadapan dengan pemain baru yang tampak masih malu-malu.

Oleh karena itu bisa dikatakan jika pada level proviinsi yang maju ke gelanggang adalah para petarung sejati, sementara untuk kota ada pada level “mari bertarung”.

Lalu bagaimana dengan perilaku para pemilih. Untuk saat ini, masyarakat kebanyakan baru ada pada tataran “tunggu dan lihat”.

Mereka baru menikmati “Tonil Politik” yang ada di daerah maupun pusat melalui media sosial yang ada dengan segala macam “kembang”nya.

Sementara aparat keamanan sekarang harus lebih hati-hati dalam berperilaku di lapangan, karena kemarin mereka sempat melakukan kesalahan fatal dengan melakukan penyiksaan di lapangan.

Bahkan korbannya-pun tidak “kaleng-kaleng”, diantaranya adalah anak seorang mantan Jenderal Angkatan Darat yang terkenal pada masanya. Sampai tulisan ini dibuat kalimat “maaf” belum pernah keluar dari lembaga resmi pemerintah.

Kekhawatiran yang muncul justru semua tontonan tadi membuat “Cognitive Map” para pemilih terisi oleh memori negatif tentang pelaksanaan pemilukada.

Jika ini tidak diantisipasi dengan baik oleh penyelenggara pemilu, justru dapat menyebablan rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam menggunakan hak suaranya. Maka jika keadaan itu yang terjadi betapa mahalnya harga demokrasi yang harus kita bayar.

Terakhir untuk melengkapi analisis HBM adalah, jika para pejabat penyelenggara negara tidak mampu menjaga lisannya, bahkan komentarnya justru melukai hati rakyat, maka jangan harap simpati rakyat akan tumbuh. Justru sebaliknya akan membuat rakyat makin merasa jauh.

Melalui tulisan ini dipesankan…pemilihan apapun akan sia-sia manakala tidak ada yang datang memilih…oleh sebab itu cobalah berlaku manis kepada para pemilih, karena nasib yang dipilih itu ditetapkan Tuhan melalui tangan-tangan pemilih. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Karam Sebelum Berlayar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari ini menyimak isi beberapa media cetak maupun online, bahkan media yang kita baca inipun juga mewartakan bagaimana banyak calon yang semula diunggulkan kemudian tidak diusung oleh partainya. Bahkan secara nasional ada upaya untuk meninggalkan sendirian satu partai, agar semua kadernya tidak bisa tampil. Namun Tuhan berkehendak lain, ternyata aturan berubah akibat permohonan peninjauan aturan kepada lembaga yang berwenang oleh sekelompok “gurem” akan suatu aturan.

Tidak terkecuali ditempat kita berpijak ini; justru korban berjatuhan termasuk pimpinan organisasi politik berlambang pohon tertua itu-pun tidak mendapat dukungan dari pusat; padahal beliau memiliki rekam jejak pengalaman memimpin daerah ini. Adalagi pimpinan organisasi politik yang dibela-belain lompat pagar untuk dapat mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di daerah ini, ternyata kandas karena rekomendasi justru tidak untuk pak ketua. Ada lagi pimpinan teras yang semangat sekali bersosialisasi karena merasa mendapat mandat, ternyata ditengah jalan beliau dibuat “layu sebelum berkembang”. Harus terima kenyataan rekomendasi dicabut dan diberikan pada orang lain. beliau diamputasi tanpa ampun sehingga sulit untuk mendongakkan kepala.

Tampaknya negeri ini sedang dikembangkan politik “karam sebelum berlayar” atau “kalah sebelum perang”. Atas nama dinamika politik perubahan haluan, perubahan rekomendasi, perubahan dukungan; seolah-olah menjadi semacam kebiasaan baru untuk saat ini. Calon lebih sibuk mencari perahu dan mesin dorong dibandingkan mencari suara rakyat. alasan ini bisa diterima karena terlena sedikit saja, maka rekomendasi bisa terbang entah kemana.

Di sisi lain, ada pimpinan partai yang memasang palang pagar tinggi bagi orang luar yang akan “kulonuwun” , yaitu dengan satu kata “harus nurut pada pimpinan”. Model begini sah-sah saja dalam rangka memproteksi diri, terutama memproteksi anggota agar tetap “tegak lurus” kepada pimpinan. Namun bagi mereka yang memiliki “jati diri”, tentu tidak akan menggadaikan harkat martabat diri hanya demi jabatan. Karena pola seperti itu akan membangun situasi “memiliki kekuasaan, tetapi tidak kuasa”. Mereka-mereka yang berpola pragmatis-lah yang bersiap untuk menjadi “penderek” dan menggadaikan diri kepada pimpinan seperti ini.

Jangan samakan jabatan dengan pesugihan, walaupun akhir-akhir ini justru sikap itu yang berkembang. Sehingga yang terjadi “harga diri biar tergadai, asal kursi dapat dipakai”, akibat sikap seperti ini jika nanti menduduki jabatan, hidungnya bisa ditarik oleh sak pemilik partai, dan tentu cara seperti itu akan tidak sehat dalam rangka menumbuhkembangkan demokrasi yang berdaulat.
Peristiwa pembelajaran politik sekarang sedang berseliweran di muka kita, semua menarik untuk kita jadikan pembelajaran. Akan tetapi ada yang terlewatkan, semua mereka para calon tampak sekali bagaimana libido berkuasanya begitu menggebu-gebu, sampai-sampai ada diantara mereka yang lupa bahwa dirinya akan dipilih oleh rakyat. Tidak cukup, bahkan tidak jaminan dikukuhkan oleh ketua partai itu akan menang. Bisa jadi justru akibat pengukuhannyalah yang membuat dirinya tidak menang.

Ada juga diantara mereka menjadi “pelompat kijang” yang handal; mereka pertontonkan bagaimana memburu dukungan dengan lompatan-lompatan yang terkadang diluar nalar. Tetapi atas nama politik dan kekuasaan, seolah-olah apapun itu menjadi sah-sah saja; oleh karenanya lompatan demi lompatan begitu dinikmati, terlepas bagaimana hasilnya yang bersangkutan tetap lakukan itu semu demi memenuhi libido ingin menjadi penguasa.

Menit-menit terakhir masih saja kita jumpai bagaimana partai besar ragu mendayung perahu, atas nama kehati-hatian semua dilakukan. Padahal secara filosofis ragu-ragu dengan hati-hati itu perbedaannya sangat tipis sekali, bahkan tidak jarang tertukar keduanya. Kita tidak mengetahui apa yang ada dibalik itu, hanya Tuhan dan mereka saja yang memahami. Bahkan di menit terakhir ada juga bakal calon yang diledakan agar supaya gagal maju, dengan cara dibenturkan kepada pelanggaran kode etik partai. Entah juga kode etiknya seperti apa, hanya kita yang menonton terpaksa harus menahan tawa. Padahal jika tidak tertawa memang menggelikan, jika tertawa takut dikira mengejek; paling aman kita tinggal buang muka.

Mereka tidak sadar bahwa “sandiwara” yang mereka semua pertontonkan kepada publik bisa sangat membahayakan, sebab jika tumbuh sikap apatisme, maka bisa jadi banyak orang enggan datang ke tempat pemungutan suara; dan ini menunjukkan tingkat partisipasi rendah. Itu berarti juga pendidikan politik yang dilakukan partai selama ini dapat disebut gagal. Semoga hal itu tidak terjadi, namun jika keadaan itu yang muncul, maka malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Rektor Universitas Malahayati Temui Warga dan Mahasiswa KKL PPM di Pekon Wonosobo Tanggamus

Tanggamus (malahayati.ac.id ): Rektor Universitas Malahayati, Dr. Achmad Farich, dr, MM, menyampaikan rasa terima kasih kepada masyarakat dan perangkat Pekon Wonosobo, Kabupaten Tanggamus, atas Berbagai dan dukungan yang diberikan kepada para mahasiswa KKL PPM.

Hal itu disampaikan Dr. Achmad Farich saat berkunjung ke Pekon Wonosobo menggabungkan langsung pelaksanaan program Kuliah Kerja Lapangan Pembelajaran Pengabdian pada Masyarakat (KKL PPM) yang tengah berlangsung, Kamis, 29 Agustus 2024.

Dalam sambutannya, Dr. Achmad Farich menekankan pentingnya peran pelajar dalam mendukung program pemerintah, khususnya dalam upaya percepatan penurunan angka stunting.

“Terima kasih kepada seluruh masyarakat dan perangkat desa yang telah menerima dengan baik siswa kami. Mereka adalah generasi muda yang kelak akan menjadi harapan bangsa dalam menyongsong Indonesia Emas 2045,” ujarnya.

Lebih lanjut, Rektor juga mengingatkan betapa pentingnya peran masyarakat dalam menjamin kualitas generasi penerus.

“Kami berharap masyarakat, terutama ibu-ibu, dapat saling mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan sejak masa pra-kehamilan hingga melahirkan, agar dapat melahirkan generasi yang berkualitas,” tambahnya.

Rektor juga mengapresiasi kerjasama yang telah terjalin dengan Pemerintah Kabupaten Tanggamus, yang menurutnya telah menunjukkan hasil positif dalam upaya penurunan angka stunting.

“Alhamdulillah, berdasarkan laporan terbaru, penurunan angka stunting di Tanggamus berlangsung cukup cepat dan menggembirakan. Kami optimis target nasional dapat tercapai,” ungkapnya.

Kunjungan rektor didampingi Wakil Rektor 1 Dr. Muhammad, S. Kom., M.M., Wakil Rektor III, Dr. Eng Rina Febrina, ST., M.T., Wakil Rektor 4 Bidang Kerjasama Suharman, Drs., M.Pd., M.Kes., Wakil Dekan Fakultas Teknik Ahmad Sidik, ST., MT., Ketua LPPM, Prof. Erna Listyaningsih, SE, M.Si., Ph.D., Wakil Ketua LPMI Prima Dian Furqoni, S.Kep., Ns.,M.Kes., Kepala Humas Emil Tanhar, S. Kom, serta Tim Malahayatinews Gilang Agusman, ST dan Esti Ambarwati, SE. (*)

Redaktur : Asyihin

Rektor Universitas Malahayati Pantau Kegiatan Mahasiswa KKL PPM di Kabupaten Tanggamus

TANGGAMUS (malahayati.ac.id) : Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr., MM., didampingi tim dosen, melakukan kunjungan ke sejumlah pekon di Kabupaten Tanggamus, Kamis, 29 Agustus 2024.

Kunjungan ini bertujuan untuk memantau langsung kegiatan Mahasiswa Kuliah Kerja Lapangan Pembelajaran Pengabdian Masyarakat (KKL PPM) yang berlangsung sejak 5 Agustus 2024.

Selain itu, kunjungan juga untuk memastikan kelancaran kerjasama dalam implementasi program “Best Practice Kampung Keluarga Berkualitas” guna menurunkan angka stunting, bekerja sama dengan BKKBN Lampung.

Dalam kunjungannya, Dr. Achmad Farich menyampaikan bahwa program penanganan stunting ini telah menjadi fokus utama Universitas Malahayati sejak tahun 2023, bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Tanggamus dan BKKBN.

“Kami bersama-sama dengan pemerintah Kabupaten Tanggamus dan didukung BKKBN melaksanakan program pencegahan stunting. Kegiatan ini dilaksanakan di 40 pekon di beberapa kecamatan Kabupaten Tanggamus,” ujar Dr. Achmad Farich.

Menurutnya, kegiatan ini menjadi prioritas utama karena cita-cita bangsa menuju Indonesia Emas 2045 tidak dapat tercapai tanpa perbaikan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu, kami dari perguruan tinggi merasa terpanggil untuk ikut serta dalam upaya ini.

“Respon pemerintah Kabupaten Tanggamus sangat luar biasa. Dalam kunjungan kami tiga minggu lalu, informasi dari pemerintah daerah menunjukkan penurunan stunting yang cukup signifikan,” kata Dr. Achmad Farich.

Program KKL PPM yang melibatkan mahasiswa Universitas Malahayati ini akan terus berlanjut hingga tahun 2025 dengan fokus utama pada pencegahan dan penanganan stunting di Kabupaten Tanggamus.

Kepala Dinas P3AP2KB Kabupaten Tanggamus, AAH Derajat, SE., SH., juga turut menyampaikan apresiasi atas kerjasama ini. Ia mengungkapkan bahwa hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan penurunan prevalensi stunting di Kabupaten Tanggamus sebesar 14,90%, turun 0,3% dari tahun sebelumnya.

Menurutnya, kerjasama yang melibatkan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, sangat penting dalam mencapai target penurunan stunting nasional yang ditetapkan sebesar 14% pada tahun 2024.

Sementara itu, perwakilan BKKBN Lampung, Karnadinata, menekankan pentingnya kolaborasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat desa dalam mengatasi masalah stunting.

“Kolaborasi ini menggabungkan idealitas program dengan kenyataan lapangan, sehingga manfaatnya benar-benar bisa dirasakan masyarakat,” kata Karnadinata.

Kegiatan tersebut juga dirangkai dengan penyerahan secara simbolis dukungan bahan pangan bergizi bagi keluarga berisiko stunting (KRS) dari BKKBN sebanyak 200 paket, serta 100 paket alat permainan edukatif dari Baznas Tanggamus. (*)

Redaktur : Asyihin

Baek Budi

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang itu mendapat kiriman komentar dari sahabat lama dalam menyikapi situasi negara yang sedang tidak baik-baik saja, karena beliau ada di Palembang, maka tidak pelak lagi komennya dalam bahasa Palembang. Tulisan komen itu sebagai berikut “….kito tebudi samo wong yang pecaknyo baik budi….padahal tukang budike… akhirnyo kito tebudi…”. Terjemahan bebasnya “…kita tertipu dari orang yang sepertinya baik budi ..ternyata tukang menipu…akhirnya kita tertipu”. Terjemahan ini tidak tepat benar jika dibaca dengan bahasa rasa, karena rasa bahasa yang terkandung di dalam kalimat itu sering tidak jumbuh dengan terjemahannya.

Hasil penelusuran digital ditemukan konsep: Dalam bahasa Palembang, “baek budi” memiliki arti “baik hati” atau “berbudi baik.” Ungkapan ini menggambarkan seseorang yang memiliki sifat baik, penuh kebaikan, dan memiliki perilaku yang baik terhadap orang lain. Jadi, ketika seseorang mengatakan “baek budi” dalam bahasa Palembang, itu mengacu pada orang yang berperilaku dengan sopan, santun, dan penuh kebaikan hati. Sementara “tebudi” adalah asal katanya ter-budi dari ter-tipu; terjadi pemepetan (pemadatan..?) menjadi tebudi.

Ternyata teman tadi mengingatkan kita semua, semula kita terpesona bahkan terpana, dengan sikap seorang pemimpin yang sepertinya sangat memihak pada demokrasi, mementingkan negara di atas segala-galanya, merakyat dan sifat-sifat luhur lainnya. Ternyata dipenghujung sana baru terlihat aslinya, bahwa semua itu untuk menutupi kehendak tidak terpuji yang ada di dalam hatinya berupa syahwat ingin membangun dinasti.

Namun nanti dulu, ternyata ada komentar masuk dari seorang saudara juga dari Palembang yang berkata sebaliknya. Beliau mengatakan dengan bahasa khas plembang-nya “amen aku jujur bae, aku paham dengan sikap kawan mimpin cak itu, sebab wong tuo mano yang idak pengen anaknyo dan keluargonyo sukses. Kito bejuang pagi sore siang malam itu untuk anak bini…” terjemahan bebasnya kira kira “…saya paham dengan sikap pemimpin seperti itu, sebab orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya dan keluarganya sukses. Kita berjuang siang malam pagi sore itu ya untuk anak istri,”. Ternyata satu peristiwa, atas nama demokrasi, kita juga harus memahami ada pendapat yang berbeda.

Kedewasaan untuk melihat perbedaan ini ternyata juga tidak mudah, karena banyak diantara kita sangat ingin segala sesuatu itu harus sama, bahkan sama dan sebangun. Untuk melihat perbedaan cara pandang kemudian melakukan kompromi atas perbedaan itu juga merupakan sikap kedewasaan yang demokratis.

Oleh karena itulah, sangat diperlukan aturan yang mengatur dan aturan itu ditaati oleh semua, termasuk yang membuat aturan. Sehingga pihak pertama tidak merasa ditipu, juga pihak yang lain boleh sayang anak tetapi tidak dengan memaksakan kehendak, sehingga melanggar aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama. Jika anaknya memang memenuhi syarat, ya silahkan. Namun, bukan aturannya yang dipaksa untuk memenuhi keinginan anak atau hasrat orang tua yang sayang anak jika anaknya ternyata tidak layak atau tidak memenuhi syarat.

Oleh karena itu dalam konteks inilah sering orang menyebut sebagai kepatutan; kepatutan sendiri adalah, suatu konsep yang menggambarkan kesesuaian atau kelayakan sesuatu berdasarkan norma-norma, aturan, atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kepatutan sering kali merujuk pada tindakan, keputusan, atau sikap yang dianggap tepat, pantas, dan tidak melanggar batas-batas etika atau kesusilaan.

Lebih tajam lagi jika dirumuskan dengan sudut pandang filsafat politik; dari penelusuran digital ditemukan bahwa hakikat kepatutan dalam berpolitik merujuk pada prinsip-prinsip etis dan moral yang harus diikuti oleh para pelaku politik dalam menjalankan aktivitas politik mereka. Kepatutan ini melibatkan tindakan yang adil, bertanggung jawab, transparan, dan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Secara lebih rinci, hakikat kepatutan dalam berpolitik mencakup hal-hal berikut: Pertama, Kejujuran dan Transparansi: Para politisi diharapkan bertindak jujur dalam menyampaikan informasi dan transparan dalam pengambilan keputusan serta penggunaan kekuasaan.

Kedua, Keadilan: Politik yang patut adalah politik yang memperjuangkan keadilan bagi semua warga, tanpa diskriminasi atau favoritisme.

Ketiga, Akuntabilitas: Para pemimpin politik harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka, baik kepada konstituen maupun hukum yang berlaku.

Keempat, Kepentingan Umum: Kepatutan menuntut bahwa kebijakan dan tindakan politik harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas daripada keuntungan pribadi, kelompok, atau partai.

Kelima, Etika dan Kesantunan: Tindakan politisi harus selalu mencerminkan sikap yang etis, santun, dan menghormati norma-norma sosial dan hukum.

Keenam, Menghindari Penyalahgunaan Kekuasaan: Politisi yang bertindak dengan patut tidak akan menggunakan posisinya untuk memperoleh keuntungan pribadi yang tidak sah atau menindas orang lain.

Dengan mengikuti prinsip-prinsip kepatutan ini, politik dapat berjalan secara etis, efektif, dan berkelanjutan dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Inilah sebenarnya yang menyulut “rasa bernegara” yang dimiliki warga negara manakala melihat penyimpangan yang sudah diluar batas kewajaran, dengan ukuran etika kepatutan.

Sayangnya prinsip-prinsip di atas hanya ada pada ruang kelas kuliah, namun pada tataran praksis ternyata tidak seindah teorinya; sehingga muncul istilah “Baek budi, budi baek, tebudi” dan kata kiasan miring lainnya. Memang menjumbuhkan antara teori dan praktik diperlukan kepiawaian tersendiri, bahkan kelapangan hati, kedewasaan diri dan kebijaksanaan dalam bersikap. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Dies Natalis ke-31: Universitas Malahayati Luncurkan Buku Tiga Dekade, Kukuhkan Guru Besar, dan Wisuda 330 Sarjana

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandar Lampung merayakan tiga momen penting dalam Dies Natalis ke-31, yaitu Pengukuhan Guru Besar, Wisuda ke-37, dan peluncuran buku Tiga Dekade di Graha Bintang, Selasa, 27 Agustus 2024.

Kegiatan dengan tema “Tiga Dekade Universitas Malahayati Membangun Negeri” ini menjadi refleksi perjalanan panjang Universitas Malahayati dalam kontribusinya terhadap pembangunan bangsa melalui pendidikan tinggi selama 31 tahun.

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Achmad Farich, dr., MM., menyampaikan rasa syukur atas perkembangan signifikan yang telah dicapai Universitas Malahayati selama 31 tahun terakhir.

“Dalam tiga dekade ini, Universitas Malahayati telah mencetak lebih dari 17 ribu lulusan yang telah berkontribusi di berbagai bidang, terutama sektor kesehatan, teknik, dan ekonomi. Mereka adalah dokter muda, tenaga kesehatan, insinyur, dan profesional yang telah mengukir sejarahnya sendiri,” ungkap Rektor.

Keberhasilan ini, lanjut Rektor, tidak lepas dari dedikasi dan komitmen seluruh civitas akademika Universitas Malahayati serta dukungan spiritual dari 8.000 anak yatim binaan Yayasan Alih Teknologi yang tersebar di seluruh Indonesia. “Doa dan dukungan mereka telah menjadi fondasi keberhasilan universitas ini,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, Universitas Malahayati mengukuhkan Prof. Erna Listyaningsih, SE, M.Si., Ph.D., sebagai Guru Besar Bidang Manajemen. Pengukuhan ini merupakan pengakuan atas dedikasi dan kontribusi Prof. Erna dalam dunia akademik, khususnya di Universitas Malahayati.

Acara juga diisi dengan prosesi Wisuda ke-37 yang diikuti oleh ratusan wisudawan dan wisudawati. Rektor menyampaikan selamat kepada seluruh lulusan yang telah menyelesaikan perjalanan akademik mereka dan berpesan agar terus mengembangkan diri serta berkontribusi dalam pembangunan negeri.

“Bekal ilmu yang kalian peroleh di Universitas Malahayati adalah awal dari perjalanan panjang di dunia kerja. Teruslah menggali ilmu dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia usaha, industri, dan dunia kerja (DUDIKA),” ujar Rektor.

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Prof. Anwar Sanusi, Ph.D., yang turut hadir, menyampaikan apresiasi kepada seluruh lulusan dan menegaskan bahwa perjalanan mereka yang penuh perjuangan, pengorbanan, dan dedikasi telah membawa mereka hingga ke titik ini. “Kalian semua adalah orang-orang terpilih. Di tangan kalianlah masa depan Indonesia berada,” ujar Prof. Anwar.

Dia juga menekankan pentingnya terus belajar dan mengembangkan jejaring, mengingat dinamika pasar kerja yang terus berubah. Prof. Anwar Sanusi juga memberikan selamat kepada Prof. Erna Listyaningsih, Ph.D., yang dikukuhkan sebagai Guru Besar. Menurutnya, gelar ini merupakan pengakuan atas dedikasi dan kerja keras dalam mengembangkan ilmu pengetahuan serta merupakan inspirasi bagi generasi akademisi berikutnya.

“Indonesia membutuhkan figur Guru Besar yang tidak hanya ahli dalam bidangnya, tetapi juga memiliki keteladanan publik yang mampu mempercepat pembangunan nasional,” kata Prof. Anwar.

Acara dirangkai dengan penayangan video dokumenter perjalanan Universitas Malahayati selama 30 tahun yang dilanjutkan peluncuran buku berjudul “Universitas Malahayati, Jejak Tiga Dekade Berkarya untuk Pendidikan: Mengantarkan Universitas Malahayati ke Catatan Sejarah”.

Acara dihadiri Sekjen Kemenaker RI, Prof. Anwar Sanusi, Ph.D., Staf Ahli Gubernur Bidang Kemasyarakatan dan SDM, Drs. Intizam, Kepala Biro Umum Universitas Lampung Ida Ropaida, S.E., M.M., serta Direktur Universitas Terbuka Bandar Lampung, Dra. Sri Ismulyati, M.Si.

Turut hadir Kepala Bagian Umum LLDIKTI Wilayah II, Fansyuri Dwi Putra, S.E., M.Si., Kasi Pers Korem 043/Gatam Lampung, Letkol Arh Sujaedi Faisal, dan Karo SDM Polda Lampung, serta perwakilan dari berbagai institusi pendidikan dan kesehatan seperti Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, BKKBN Provinsi Lampung, Universitas Mitra Lampung, Universitas Muhammadiyah Lampung, Universitas Teknokrat Indonesia, Universitas Muhammadiyah Pringsewu, IBI Darmajaya, Universitas Aisyah Pringsewu, Universitas Bandar Lampung, RSPBA, RS Airan Raya, dan Prof. Dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp. KK. (*)

 

Editor: Asyihin

 

Perilaku “Micek-Mbudeg”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari menjelang senja ada teman nun jauh di sana mengajak diskusi situasi kekinian negeri ini melalui piranti media sosial. Beliau menyoroti bagaimana para elite negeri ini yang tidak mau mendengar aspirasi warga atau rakyat, yang nota bene sudah memilih mereka bahkan menggaji mereka. Ditambah lagi tindakan represif yang ditampilkan “anak-anak kemarin sore” yang berbaju seragam karena “membeli” kepada para pengunjuk rasa. Sisi lain perilaku pengujuk rasa dari zaman Malari (tahun 1970-an) sampai kini masih begitu-begitu saja. Kalau tidak membakar nan bekas, merobohkan pagar, mengangkat tiang bendera, rasanya tidak gagah. Kesimpulan sementara diskusi daring itu ada pada kebanyakan kita terutama pejabat yang berwenang termasuk anggota terhormat dari lembaga yang dipilih rakyat adalah “micek lan mbudeg” (pura-pura buta dan tuli).

Mata  picek kuping budeg” adalah sebuah metafora Jawa yang menggambarkan seseorang yang tidak peduli atau tidak mau mendengar dan melihat kenyataan di sekitarnya. Mata  picek secara harfiah berarti “mata buta”. Itu untuk menggambarkan  seseorang yang tidak bisa atau tidak mau melihat. Kuping budeg berarti “telinga tuli”, yang menunjukkan seseorang yang tidak bisa atau tidak mau mendengar.

Dalam konteks ini, istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan orang atau sekelompok orang yang acuh tak acuh atau sengaja mengabaikan fakta, peringatan, atau pendapat dari orang lain. Filosofi dari ungkapan “moto picek kuping budeg” dalam budaya Jawa menggambarkan sikap seseorang yang memilih untuk menutup mata dan telinga terhadap realitas atau nasihat/ pendapat orang yang ada di sekitarnya. Secara mendalam, ungkapan ini mengandung makna terkait dengan etika dan perilaku sosial, serta pengajaran moral.

Beberapa poin filosofis yang dapat diambil dari ungkapan ini: Pertama, Penghindaran Tanggung Jawab: Ungkapan ini mencerminkan sikap seseorang yang berusaha menghindari tanggung jawab atau kenyataan dengan berpura-pura tidak tahu. Dalam kehidupan sosial, sikap ini dianggap tidak bertanggung jawab dan merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Kedua, Penolakan Kebenaran: “Mata picek kuping budeg” juga bisa diartikan sebagai penolakan untuk menerima kebenaran atau kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan pribadi. Ini mengingatkan akan pentingnya keterbukaan pikiran dan hati dalam menghadapi berbagai kenyataan hidup.

Ketiga, Kebijaksanaan dalam Mendengar dan Melihat: Dalam tradisi Jawa, kebijaksanaan sering kali dilambangkan dengan kemampuan untuk mendengar dan melihat dengan baik. Ungkapan ini mengajarkan bahwa untuk menjadi bijaksana, seseorang harus mau membuka mata dan telinga, mendengarkan orang lain, serta menerima pandangan dan nasihat dari berbagai sudut.

Keempat, Kritik Sosial: Istilah ini juga sering digunakan sebagai kritik sosial terhadap mereka yang berkuasa atau memiliki pengaruh tetapi memilih untuk menutup mata dan telinga terhadap penderitaan atau masalah masyarakat. Ini menjadi pengingat agar para pemimpin tetap peka terhadap suara-suara di sekitarnya.

Secara keseluruhan, filosofi dari “moto picek kuping budeg” menekankan pentingnya kesadaran, keterbukaan, dan tanggung jawab dalam interaksi sosial serta dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Juga filosofis ini mengandung maksud sebagai pengingat bagi setiap individu atau kelompok untuk tetap membuka mata dan telinga terhadap dunia di sekitarnya. Ini mengajarkan bahwa kehidupan yang bijaksana adalah kehidupan yang penuh dengan kesadaran, kepekaan, dan perhatian terhadap orang lain serta lingkungan.

Pada kehidupan sehari-hari saja kita tidak boleh berperilaku seperti itu, apalagi dalam mengelola negara yang sangat pluralis seperti ini, tentu kemampuan menangkap aspirasi dan pendapat dari elemen bangsa harus menjadi skala prioritas. Apalagi berkaitan dengan nasib bangsa dan negara, tentu kepekaan “rasa dan karsa” sebagai individu yang diberi amanah untuk berada pada “selangkah di depan, seranting di atas” amat diperlukan.

Atas dasar parameter di atas, tinggal kita melakukan evaluasi sekaligus penilaian sedang bagaimana negeri ini sekarang. Jadi jangan salahkan generasi “Z” dan generasi “Alpha” saat ini menyalurkan ketidaksukaan akan kondisi yang selalu memaksakan kehendak hanya untuk kepentingan sepihak. Mereka sangat menguasai teknologi, bahkan mereka adalah generasi yang sangat diuntungkan oleh teknologi. Oleh karena itu, reaksi mereka dapat menggemparkan seantero negeri hanya cukup dengan bermodal ujung jari. Salam waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Teknik Universitas Malahayati Gelar Yudisium ke-36

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Teknik Universitas Malahayati Bandar Lampung menggelar Yudisium ke-36, di Gedung Malahayati Career Center (MCC), Jumat, 23 Agustus 2024. Sebanyak 11 lulusan dari berbagai program studi di Fakultas Teknik telah resmi dinyatakan lulus dalam acara yang dihadiri para dosen dan undangan lainnya.

Plt. Wakil Rektor I, Dr. Eng Rina Febrina, ST., M.T., dalam sambutannya mengucapkan selamat kepada para lulusan. “Kalian hari ini telah dinyatakan lulus dan meraih gelar Sarjana Teknik, namun ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan kalian. Jaga nama baik almamater Universitas, dan implementasikan visi misi program studi yang selama ini sudah kalian pelajari,” pesannya.

Ia juga menambahkan bahwa pendidikan berbasis Keluaran (Outcome Based) yang diterapkan di Universitas Malahayati telah membawa banyak perubahan dalam kurikulum yang mendukung pengembangan akademik dan keahlian para mahasiswa.

Dr. Eng Rina mengingatkan para lulusan untuk terus membangun dan menjalin komunikasi dengan para alumni. “Jika nanti kalian sudah menjadi orang hebat dan sukses, jangan melupakan junior-seniornya. Beri juga peluang kepada mereka yang memiliki semangat tinggi,” ucapnya.

Dekan Fakultas Teknik, Dr. Weka Indra Dharmawan, ST., MT., menyampaikan bahwa kelulusan para mahasiswa adalah sebuah pencapaian besar, namun ia menekankan bahwa tantangan sebenarnya justru dimulai setelah mereka lulus.

“Alhamdulillah, dengan lulusnya kuliah ini, satu beban di pundak kalian telah berakhir. Namun, belajar yang sebenarnya itu adalah di lapangan, sementara di kampus hanya teori pendukung,” katanya.

Ia juga menekankan pentingnya para lulusan untuk dapat mengimplementasikan visi dan misi masing-masing program studi, karena hal tersebut akan menjadi indikator kesuksesan mereka di masa depan.

Jihan Shabrina, perwakilan lulusan dari Program Studi Teknik Lingkungan, dalam sambutannya mengucapkan terima kasih kepada para dosen yang telah dengan sabar dan tulus membimbing mereka selama menempuh pendidikan.

“Ini adalah momentum berharga dimana setiap langkah dan perjuangan semasa kuliah telah sampai ke pintu gerbang keberhasilan. Setelah ini, kita tidak hanya wajib untuk menjadi sukses tetapi juga harus membuat perbedaan dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara,” ujarnya. (*)

 

Editor: Asyihin

 

 

Mesin Pintar yang tidak Pintar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Minggu lalu redaktur dan penulis dari rekan media dibuat bingung sebab tulisan yang diunggah ternyata tidak mucul penuh, yang hadir di laman pembaca hanya judul, sementara isinya tidak tampak sama sekali. Tentu saja hal ini membuat seribu tanya bagi kami yang bergerak di media online.

Satu persatu kami telusuri, dari langkah awal sampai dengan akhir, serta uji coba dengan berita lain, ternyata semua baik-baik saja. Hipotesis kami ajukan bagaimana jika judul tulisan ditambah dengan diksi lain tanpa mengubah makna, walaupun sebenarnya itu sudah ada penjelasan pada alineia kedua batang tubuh tulisan. Betul saja setelah diberi penambahan diksi yang tidak mengubah makna, baru tulisan bisa ditampilkan penuh oleh mesin pintar.

Peristiwa ini membuat kami semua tertawa terbahak-bahak; ternyata mesin pintar itu tetap buatan manusia dan memiliki keterbatasan. Manakala aspek rasa dan budaya dilambangkan dengan diksi, maka mesin tidak mampu melakukan diteksi, akhirnya mesin memfonis kategori yang tidak bisa tampil.

Hal serupa dialami oleh teman sejawat saat menghadiri undangan pernikahan dirumah seorang sahabat. Beliau mencoba menggunakan media pintar menditeksi jalan dan tempat. Ternyata beliau disesatkan ketempat yang jauh memutar. Padahal lokasi yang dituju itu ditepi jalan utama kota ini, setelah dicek semua benar, dan beliau menyimpulkan mesin ini justru menjadi mesin penyesat.

Seiring dengan itu ada peristiwa pengabulan permohonan kepada lembaga tertinggi dinegeri ini yang mengadili peraturan perundangan. Ternyata keputusannya “dianggap” tidak sejalan dengan keinginan dari penguasa negeri ini. Saat tulisan ini dibuat, ada upaya dari para penguasa negeri untuk membuat “mesin sosial” tandingan. Tentu saja mesin sosial ini tampak menjadi “mesin bodoh”, karena untuk mereka berlaku “penidakan” sementara untuk orang lain “pengharusan”.

Hal ini membuat para cerdik pandai negeri ini merasa terpanggil untuk menyelamatkan negeri dari “keserakahan kekuasaan” dari segelintir orang. Mereka bahu-membahu melakukan penggalangan agar supaya semua kita menyadari bahwa sedang berlangsung “perampokan sosial” demi melangengkan kekuasan .

Ternyata mesin pintar yang tidak pintar sedang meraung dinegeri ini, mengejar tenggat waktu yang tinggal hitungan minggu, mereka mengeluarkan tenaga sekuat-kuatnya, dan dilakukan dengan cara apa saja; agar kemamuan mereka dapat terwujud, mengatur negeri seolah milik sendiri. Mereka lupa bahwa di sana ada Tuhan yang mengawasi dan siap menghakimi kita mahluknya. Mesin pintar bisa mereka akali untuk mengikuti kemauannya, namun mereka lupa ada kodrat disetiap tangan mahlukNYA.

Sistem algoritma ini memungkinkan mesin pintar untuk bekerja di berbagai bidang, mulai dari analisis data, pengambilan keputusan otomatis, hingga pemrosesan informasi kompleks dalam waktu nyata. Pemilihan algoritma tergantung pada jenis tugas yang harus diselesaikan dan karakteristik data yang digunakan. Termasuk mengutakatik hasil pemilihan apapun, karena dengan cara ini seolah-olah kecurangan menjadi kebenaran. Namun jangan lupa mesin, tetap mesin yang tidak punya rasa; oleh karena itu jangan kaget kalau yang dihasilkannya menjadi mati rasa. Akibatnya semua mau diakali termasuk undang-undangpun akan dikerjain, dianggap semua orang sudah buta rasa.

Peristiwa di atas seyogyanya menyadarkan kita bahwa sepintar apapun kita, bahkan mesin pintarpun dapat kita buat; namun itu tidak berarti apa-apa. Ilmu pengetahuan ditugaskan salah satunya adalah “mencari kesalahan dari tumpukkan kebenaran, dan mencari kebenaran dari tumpukan kesalahan”; karena tidak ada kebenaran dan kesalahan sempurna di muka bumi ini. Manusia hanya menjalankan kodrat dari apa yang telah ditetapkan sebelum dirinya lahir didunia ini. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Dukungan itu Bernama Gombal

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Tulisan ini terinspirasi oleh penarikan dukungan dari dua kelompok “agak besar” terhadap satu calon pimpinan daerah “bekas” ibu kota negara; karena alasan yang “katanya” sulit diungkapkan. Dengan waktu hampir bersamaan, karena sesuatu “hil yang mustahal” mereka bersamaan menarik dukungan. Terlepas apa pun alasannya, tulisan ini tidak punya kepentingan apapun atas peristiwa itu. Hanya sebagai “penonton drama sosial” di negeri ini, menjadi tertawa sendiri melihat “penggombalan” yang dilakukan oleh kedua organisasi besar tadi.

Sebelum lebih jauh membahas apakah itu “gombal” dimaksud, maka dilakukan terlebih dahulu penelusuran maknanya. Dalam bahasa Jawa, kata “gombal” memiliki beberapa makna tergantung pada konteksnya. Secara harfiah, “gombal” bisa berarti kain perca atau kain bekas yang sudah tidak terpakai. Namun, dalam konteks sehari-hari, kata “gombal” juga sering digunakan secara kiasan untuk menggambarkan ucapan yang tidak tulus atau berlebihan, mirip dengan rayuan yang tidak serius atau basa-basi yang hanya untuk menyenangkan hati seseorang. Misalnya, jika seseorang dianggap terlalu banyak berbicara manis tetapi tidak benar-benar serius, mereka mungkin disebut “tukang gombal.”

Filsafat “gombal” adalah konsep yang sering kali digunakan secara kiasan untuk menggambarkan pandangan atau pemikiran yang terdengar mendalam atau filosofis, tetapi sebenarnya dangkal, tidak tulus, atau hanya berisi kata-kata indah tanpa makna yang nyata. Istilah ini menggabungkan gagasan filsafat, yang secara tradisional melibatkan pemikiran kritis dan mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental kehidupan, dengan kata “gombal,” yang berarti sesuatu yang kosong, basa-basi, atau tidak serius.

Konsep filsafat gombal dapat mencakup beberapa hal berikut: Pertama, Retorika yang Keren, tapi Dangkal: Orang yang berfilsafat gombal mungkin menggunakan bahasa yang indah, retorika yang rumit, atau kutipan dari filsuf terkenal untuk memberikan kesan mendalam, tetapi tanpa landasan logis yang kuat atau tanpa maksud yang sungguh-sungguh.

Kedua, Rayuan Filosofis: Dalam konteks sosial, filsafat gombal bisa berarti menggunakan argumen filosofis atau pemikiran yang tampaknya serius sebagai cara untuk merayu atau memikat orang lain, tetapi tanpa maksud yang tulus atau komitmen yang mendalam.

Ketiga, Basa-Basi Intelektual: Filsafat gombal juga dapat merujuk pada percakapan atau diskusi intelektual yang hanya dilakukan untuk pamer atau untuk menunjukkan pengetahuan seseorang, tanpa niat untuk benar-benar mengeksplorasi atau memahami isu-isu yang dibahas.

Keempat, Kritik Sosial: Dalam beberapa kasus, konsep ini juga digunakan untuk mengkritik pemikiran atau gagasan yang dipandang tidak autentik, hanya mengikuti tren, atau hanya memanfaatkan istilah-istilah filosofis tanpa pemahaman yang mendalam.

Secara keseluruhan, filsafat gombal adalah semacam sindiran terhadap pemikiran atau ucapan yang terlihat pintar atau berbobot, tetapi sebenarnya tidak memiliki kedalaman atau keseriusan. Dan, inilah yang sangat membahayakan bagi mereka yang terkena gombalan, sehingga bagi mereka yang memiliki jiwa rapuh bisa-bisa mengalami “cidra psikhis”.

Akhir-akhir tampaknya negeri ini sedang dilanda sikap “saling gombal-i”; baik dari level atas, sampai paling bawah. Saling gombal ini diiringi dengan sikap “seolah-olah tidak tapi..Ya..” atau sebaliknya “seolah-olah ya padahal tidak”. Oleh sebab itu, bagi banyak orang ini disikapi sebagai kelompok tanpa pendirian; padahal sebenarnya mereka itu memang tidak berpendirian jika dirinya tidak ada didalamnya, atau tidak terpenuhi kepentingannya. Namun, jika ada, maka mereka akan berbuat apa saja sampai labidonya tersalurkan.

Politik gombal dapat memiliki berbagai akibat negatif bagi masyarakat dan sistem politik secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa dampak yang bisa timbul akibat politik gombal:

Pertama, Kehilangan Kepercayaan Masyarakat: Janji-janji yang tidak terpenuhi dan retorika yang tidak diikuti dengan tindakan nyata dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap politisi dan lembaga pemerintahan. Ini bisa menyebabkan apatisme politik di kalangan masyarakat bawah.

Kedua, Penurunan Partisipasi Politik: Masyarakat yang merasa dikecewakan oleh politik gombal cenderung menjadi kurang tertarik untuk terlibat dalam proses politik, seperti pemilu atau partisipasi dalam kegiatan politik lainnya. Banyak pihak memprediksi pada pemilukada yang akan datang sikap apatisme politik akan meningkat; ini bentuk kekecewaan terhadap penyelenggara negara.

Ketiga, Kebijakan yang Tidak Efektif: Politik gombal sering kali menghasilkan kebijakan yang bersifat populis dan tidak berdasarkan pada analisis yang mendalam. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak efektif dalam menyelesaikan masalah yang ada dan hanya menjadi upaya untuk mencari popularitas semata.

Keempat, Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan: Ketika politisi lebih fokus pada retorika daripada tindakan nyata, ini bisa menjadi celah untuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka mungkin mengalihkan perhatian dari tindakan-tindakan yang tidak etis dengan janji-janji besar yang tidak pernah terealisasi.

Kelima, Penurunan Kualitas Demokrasi: Jika politik gombal menjadi budaya yang meluas, kualitas demokrasi bisa menurun karena proses politik lebih banyak diwarnai oleh manipulasi dan pencitraan daripada substansi dan kebijakan yang baik.

Ternyata gombal-menggombal itu seolah-olah dilanggengkan dalam dunia perpolitikan saat ini, justru yang kasihan adalah rakyat yang semakin hari didorong untuk tidak memiliki pilihan. Memilih untuk tidak memilih seolah terkondisikan, sehingga penyelenggara negara tidak merasa bersalah. Sebab, rakyatlah yang memilih, sementara jatuhnya pemilihan di tangan rakyat dengan berada pada posisi tidak memilih adalah sesuatu yang memang dikondisikan jauh-jauh hari.

Soal gombal-menggombal ini ternyata juga menular kedaerah lain; sebagai contoh dikota ini beberapa waktu lalu seorang mantan kepala dinas dengan yakin betul mendapat rekomendasi dari salah satu partai untuk maju menjadi kepala daerah. Dengan gagah berani yang bersangkutan melaukan deklarasi; saat pelaksanaan molor sampai dua jam, dan ternyata hanya mendapat rekomendasi saja, itupun oleh sekretaris. Wal hasil hari ini yang bersangkutan-pun harus menerima kenyataan bahwa dirinya hanya “digombali”.

Ada lagi pimpinan partai politik besar yang sudah dibesarkan oleh dirinya, maksud hati ikut kontestasi pilkada dan berharap dapat dukungan dari ketua umum. Begitu hari “H” ternyata dukungan justru diberikan kepada rival politiknya, tentu dengan alasan yang dibuat “rasional”. Pupus sudah harapan dan entah apa yang ada di benak beliau, dibela-belain lompat partai, ternyata partainya sendiri menjadi “pembunuhnya”. Kasihan memang, tetapi “itulah politik bung” tidak ada teman abadi yang ada kepentingan abadi. Sementara salah satu metoda dari cara melanggengkannya dengan “pengkadalan”.

Tampaknya cerita belum tamat. Babak baru dimulai lagi dengan penetapan yang membangkitkan harapan baru untuk mereka yang ditinggalkan. Lembaga yang berwenang mengadili suatu aturan memutuskan lain. Keputusan itu justru membuyarkan skenario yang ada dan selama ini dipakai. Walaupun pada menit-menit terakhir namun tampaknya Tuhan berkehendakl lain, apakah itu mempercepat kesengsaraan atau menunjukkan jalan penyelesaian. Mari kita tunggu skenario langit dalam mengatur jagat raya dan isinya. Tuhan tidak akan menggombali makhluknya. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman