Begal

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kata begal sudah sangat familiar di telinga kita. Bahkan sudah menjadi semacam konsumsi sehari-hari. Namun untuk mempersempit pisau analisis dalam bekerja, maka perlu ada pembatasan istilah. Pada tulisan ini begal dimaknai sebagai segerombolan orang yang bekerja sama dalam melaksanakan maksud mereka, mengganggu orang-orang di jalanan, merampas harta benda dan tidak segan-segan membunuh. Di tempat lain, makna begal adalah suatu bentuk atau cara kejahatan dalam perampasan, perampokan atau pencurian yang dapat membahayakan nyawa si korban.

Ternyata dalam pesta demokrasi yang baru saja usai kita menemukan istilah “begal” dalam tanda petik untuk menghilangkan atau merampas suara calon lain guna diimbuhkan k esuara si pembegal atau orang suruhan untuk membegal, sehingga jumlah perolehan suara pembegal menjadi naik. Atau, pembegalan dilakukan untuk mengurangi suara yang dimiliki calon lain agar mengecil jumlahnya atau dimusnahkan. Lebih serunya, korban begal seperti ini tidak tahu harus lapor ke mana, karena laporan tidak dapat mengubah keadaan kecuali ada keajaiban. Korban pembegalan ini melanda siapa saja dengan tidak melihat pemilik. Bahkan sekelas anggota Dewan pun kena begal suaranya.

Ditemukan peristiwa lapangan yang juga dahsyat. Begal membegal ini memisahkan antara kemenakan dan paman. Paman sebagai kepala desa harus menyukseskan pencalonan istri dari yang dipertuan di atasnya. Sementara selama ini yang bersangkutan memperjuangkan kemenakannya yang akan maju sebagai anggota terhormat. Di tengah jalan, sang paman dibegal oleh atasannya dengan ancaman jika tidak mau membantu maka akan dibuka semua boroknya. Dengan amat terpaksa sang paman harus membegal kemenakannya sendiri, demi keselamatan diri dan keluarganya.

Begal membegal ini sekarang sudah masuk ke elemen kehidupan yang lebih luas. Bukan hanya di meja perhitungan suara dari suatu proses pemilihan, tetapi bisa terjadi di pasar pada timbangan dan atau ukuran; di ruang terhormat suatu sidang perhelatan hukum dan atau lain sebagainya. Semua memiliki peluang untuk membegal. Bahkan yang lebih seru lagi saling begal di antara begal, hal itu bisa terjadi. Sebab, begal pertama membegal hasilnya setor ke pemesan, setelah terkumpul akan di setor ke pengepul atasnya, dalam perjalanan hasil tadi dibegal oleh begal lain. Betapa serunya negeri begal seperti ini. Karena justru kehidupan begal ini memberi nafkah kepada banyak orang, terlepas akan ukuran moral apalagi agama yang tentunya sangat mengharamkan cara-cara ini. Namun, kenyataan lapangan sering berbanding terbalik dengan dunia ideal.

Tampaknya ada hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa pesta demokrasi yang baru lalu. Pertama, pembegalan selama ini dimaknai suatu tindakan kriminal berubah menjadi tindakan pecundang untuk memenangkan pertandingan.

Kedua, penguatan pendapat untuk tidak terlalu hirau dengan proses, tetapi yang penting hasil. Ketiga, efek domino yang dibayangkan oleh para intelektual dan kaum terdidik semua kandas di hadapan rakyat jelata yang memerlukan kebutuhan pokoknya terpenuhi untuk hari ini, sementara untuk hari esok itu urusan nanti.

Tampaknya kita harus menonoton sandiwara kehidupan yang mempertontonkan bagaimana kuatnya bantuan langsung atau bantuan sosial (bansos) dan sedikit cuan sebagai tali asih yang meminta untuk berterimakasih. Apakah itu semua hasil korupsi, penggelembungan anggaran, pengalihan bidang identitas anggaran — atau apapun namanya dalam istilah administrasi negara– bagi kebanyakan orang itu tidak penting. Apa yang dirisaukan orang yang paham, justru menurut persepsi orang kebanyakan itu adalah hambatan. Berarti kalau sudah ranah ini disentuh, maka sebenarnya sudah terjadi pembegalan persepsi secara terencana.

Apakah ini suatu pembuktian dari suatu celetukan masa awal reformasi yang memplesetkan menjadi kata repotnasi? Tentu jawabannya terserah pada kita semua. Manakala kita masih berkutat pada kebutuhan pemenuhan akan nasi, maka tesis itu menjadi benar adanya.

Untuk menegakkan demokrasi ternyata tidak terelakan salah satu caranya adalah dengan membegal anak negeri. Tentu penyataan itu sangat sarkastis. Namun, tinggal ada dua pilihan mengubah konsep demokrasinya sesuai kehendak kita sebagai pengguna dengan segala macam dalil dan alasan, atau mencerdaskan anak negeri disemua lini agar paham akan asas demokrasi. Pilihan yang terakhir ini memerlukan waktu yang sangat lama. Juga harus memperperhitungan ongkos sosial yang harus dibayar. (SJ)

Pekan Sunyi

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat masuk kampus dikejutkan dengan sepinya suasana, yang biasa hiruk pikuk kendaraan mahasiswa, dosen, dan karyawan lalu lalang. Saat ditanyakan kepada petugas dijawab bahwa hari ini kan minggu tenang.

Peristiwa itu mengingatkan diawal tahun 70-an saat menjadi mahasiswa dengan istilah “pekan sunyi”; semua mahasiswa sibuk dengan bacaan dan hafalan hasil perkuliahan dan bacaan literatur wajib. Dosen-pun tampak sibuk menyiapkan bahan ujian berupa kertas sit yang akan diputar sebagai bahan ujian mahasiswa, cara ini dikenal stensil pada jamannya. Jika diukur dengan parameter sekarang betapa menyedihkan nasib dosen pada waktu itu, tetapi dengan semangat yang tinggi dengan tidak mengenal lelah menanamkan nilai-nilai etika akademik yang tinggi kepada kami mahasiswanya.

Maka jika ada dihari gini tidak mempercayai koreksi norma etika yang dilakukan oleh ilmuwan apalagi itu guru Blbesar, patut dipertanyakan apakah yang bersangkutan masih mengenal kiblat.

Pada masa pekan sunyi inilah aktivitas otak diperas dengan asupan gizi dari beasiswa Supersemar pada zamannya; begadang bersama teman satu angkatan; sesuai masanya penerang listrik masih sangat jarang, maka lampu Petromax jadi andalan. Karena hawa panas dari lampu genjot ini, maka semua kami tidak pakai baju, yang ada hanya kaus oblong, itu pun bersimbah peluh. Ditingkahi singkong bakar dari hasil “ndodos” kebun milik orang, dan minum kopi satu cangkir bersama,menghisap rokok satu batang ramai-ramai; semua tetap asyik pada waktunya.

Semua yang di atas itu “dulu”; sementara sekarang makna pekan sunyi yang berubah menjadi minggu tenang untuk beberapa event, sedang terjadi. Minggu tenang atau pekan sunyi saat ini sedang berlangsung dan diisi kegiatan adu strategi dalam menjala suara. Ada yang menggunakan serangan fajar, ketok pintu sampai menjumpai dari pintu ke pintu, dan masih banyak lagi cara dilakukan; bahkan pada waktu kampanye akbar terang-terangan bagi-bagi cuan di depan mata, yang penting tidak ketahuan pengawas, atau pura-pura tidak tahu, entahlah, biar waktu yang membuktikan.

Namun ada yang lebih dahsyat dari itu; ialah mereka yang berprofesi sebagai “tukang goreng”. Mereka ini semula adalah kaki-kaki yang dipasang oleh para calon, tetapi menjadi senjata makan tuan, apapun profesi yang diincar; mereka sedang memasang perangkap sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, termasuk yang memasangnya sebagai kaki-pun mereka masukkan perangkap. Bisa dibayangkan salah satu diantara mereka bisa memegang tiga orang calon tingkat kabupaten, dua orang provinsi satu orang pusat; dan hasil yang diperoleh bisa untuk tabungan satu tahun. Beliau-beliau ini melakukan dengan cara yang paling halus sampai yang paling kasar guna mendapatkan cuan.

Seiring kemajuan teknologi tukang goreng inipun memanfaatkan kelebihan teknologi; oleh karena itu makin canggih cara mereka menjebak mangsa untuk dijadikan uang. Tidak salah jika ada istilah dalam bahasa Palembang yang mengatakan bahwa “…wong bodoh makananyo wong pintar, wong pintar makananyo wong calak, wong calak makananyo Taun…” yang terjemahan bebasnya kira-kira orang bodoh makanan orang pandai, orang pandai makanan orang curang, orang curang makanan setan (Taun merupakan sebangsa setan).

Betapa benar peringatan orang bijak yang mengatakan bahwa setiap ada peristiwa disana ada pecundang. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan bijak semua peristiwa di dunia ini. Terkadang kita tidak sadar mengejar elang yang terbang sementara punai ditangan dilepaskan. Menggapai yang tidak pasti sementara rahmat dan karunia yang ada diabaikan.

Minggu tenang menjelang usai, tinggal bagaimana nasib negeri ini; sebagai orang yang beriman mari kita serahkan kepada Sang Pemilik Hidup untuk menentukan nasib pada pemenang. Kita semua harus ihklas dan ridho manakala apa yang kita harap tidak terjadi, percayalah bahwa yang terbaik itu belum tentu yang kita sukai. (SJ)

Selamat yang Menyelamatkan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir pekan lalu, ketka penulis sedang bersiap mematut diri mau menghadiri undangan shib yang menikahkan putranya, mendadak gawai berdering. Ternyata orang nomor satu di lembaga penulis berada sudah ada di seberang sana. Beliau mengatakan bahwa ada yang mencari. Ternyata sohib lama sudah ada di sana sebagai panitia resepsi pernikahan. Tentu saja membuat persiapan keberangkatan harus disegerakan, karena harus mengantar cucu terlebih dahulu pulang ke rumahnya, sebelum menghadiri acara.

Begitu tiba di tempat acara hampir semua panitia ternyata yunior-yunior dahulu yang ikut berjuang di lembaga terdahulu. Tentu sebagai lazimnya orang timur, kami bersalam-salaman dengan mengucapkan kata sapa yang tidak pernah tinggal adalah kata “Selamat”. Saya bergegas menimpali saya mencari Pak Selamat; ternyata beliau ada di kumpulan itu dengan berucap “selamat”. Benar-benar ucapan selamat yang melekat sebagai nama, membuat keberkahan tersendiri pada beliau yang sudah mencapai guru besar. Sangat berbeda di luar sana, ucapan selamat disalahgunakan untuk ucapan kesuksesan jika dapat membuat celaka atau kerugian lawan.

Bisa dibayangkan seorang membusungkan dada karena bisa menjatuhkan lawannya, yang itu adalah saudaranya sendiri, paling tidak saudara seiman, hanya karena beda keinginan. Kemudian yang bersangkutan mendapatkan ucapan selamat karena sudah menjadi “hero” bagi kelompoknya. Lebih edan lagi ucapan selamat yang hakikatnya agung untuk hal-hal yang baik, ternyata ditabalkan kepada mereka yang telah sukses melakukan politik pecah belah. Yang lebih menyedihkan yang di pecah dan di belah seolah ihklas untuk diadu domba-kan dengan teman sehabatatnya.

Ternyata ucapan selamat pada saat ini berkecenderungan menjadi tidak netral lagi, karena harus dipahami dipakai oleh siapa, untuk kepentingan apa, gunanya untuk apa. Drama kehidupan seperti ini sekarang sedang mendapatkan panggung, sehingga tidak jarang banyak diantara kita menjadi demam panggung. Sampai-sampai merudakpaksa-pun mendapatkan ucapan selamat, walaupun tidak selamanya disertai sukacita.

Demikian halnya dengan kondisi saat ini, ketika pembenaran terhadap sesuatu yang tidak benar bisa terjadi. Itu pun diberi ucapan selamat atas keberhasilan membenarkan sesuatu yang nyata-nyata tidak benar. Dalih yang paling aman adalah dengan melambungkannya ke ranah normatif, sehingga tidak dapat dijangkau dengan kebenaran teknis; sekalipun pembenaran substantif dikorbankan.

Kebutuhan akan kebenaran yang menyelamatkan adalah kebutuhan transidental; namun manakala berhadapan dengan keinginan, semua akan berubah menjadi sementara karena wilayah ini membuat kita hanyut akan rasa haus yang tidak berkesudahan akan dunia. Oleh karena itu tidaklah berlebihan manakala orang-orang bijak mengingatkan kepada kita untuk mencari keselamatan itu bukan hanya untuk hari ini, atau hanya untuk esok saja; akan tetapi harus keduanya kita raih, yaitu untuk hari ini, disini; dan untuk hari esok, di sana.

Demikian juga halnya dengan kita memilih sesuatu, apapun yang kita pilih harus dipahamkan betul apa, siapa, untuk apa sesuatu itu kita pilih. Karena bisa jadi yang kita pilih itu bukan wilayah kebutuhan, tetapi ada pada wilayah keinginan. Lebih parah lagi jika keinginan itu hanya karena membantu memuaskan keinginan pihak lain. Namun, ada juga yang kerjaannya hanya mencari selamat, dalam arti menyelamatkan diri sendiri dari persoalan apa pun, termasuk persoalan bangsanya.

Tipe seperti ini banyak sekarang ada di sekitar kita. Ciri atau karakter penyandang mencari selamat sendiri ini adalah: tidak mau mengambil risiko dan selalu mengambil posisi aman untuk dirinya. Bila perlu yang bersangkutan menampilkan muka seribu, dalam arti berhadapan dengan siapa pun dia akan menampilkan muka yang diminta. Jangan ditanya soal kepribadian, karena yang bersangkutan memang memiliki pribadi jamak. Jika berhadapan dengan pilihan, maka yang dipilih adalah yang mendapatkan keuntungan bagi dirinya saat ini. Soal nanti itu persoalan lain.

Mari kita simak labolatorium sosial sedang bekerja d isekitar kita. Terserah kita masing-masing menyikapinya. Hanya satu pesan selamatkan negeri ini dari kehancuran dengan cara apapun. Karena, itu pesan pendiri bangsa ini di kala lal yang jika diamnya kita membuat selamatnya negeri ini, maka itu juga pilihan terbaik. Jika doa adalah pilihan, maka lakukanlah dengan ikhlas.

Salam waras. (SJ)

86 Lulusan Universitas Malahayati Bandar Lampung Ambil Sumpah Dokter, Awal Perjalanan Profesi

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 86 Lulusan Universitas Malahayati Bandar Lampung Mengambil Sumpah Dokter di Graha Bintang, Rabu (7/2/2024).

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Achmad Farich, dr., M.M., dalam sambutannya memberikan arahan kepada para lulusan tentang persiapan ke depan.

Beliau menekankan pentingnya mempelajari aturan dan undang-undang kesehatan serta meningkatkan kompetensi selama masa internship.

“Gunakan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan kompetensi diri, dan jangan lupakan doa dan dukungan orang tua yang telah membantu kalian sampai pada tahap ini,” tambahnya.

Rektor juga mengucapkan terima kasih kepada para orang tua serta seluruh jajaran fakultas kedokteran Universitas Malahayati atas dukungan dan kerja kerasnya dalam menunjang kesuksesan para lulusan.

“Kembangkan tujuan dan visi setelah menjadi dokter, serta teruslah mengembangkan kemampuan dan kompetensi,” pesan Rektor kepada para lulusan.

Selain itu, perwakilan IDI Provinsi Lampung, Dr. dr. Aila Karyus, M.Kes.,Sp.KKLP, menyampaikan pesan penting kepada para lulusan. “Hari ini adalah awal dari perjalanan kalian sebagai dokter. Jagalah marwah profesi dengan baik dan profesional,” ujarnya.

Dr. Aila juga mengingatkan para lulusan untuk siap mental menghadapi tugas-tugas sebagai dokter, serta memanfaatkan waktu selama internship untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.

Sedangkan, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, dr. Toni Prasetia, Sp.PD.,FINASIM, menekankan pentingnya proses dalam meraih kesuksesan.

“Tidak ada keberhasilan tanpa proses, apalagi untuk menjadi sukses. Menjadi orang yang terdepan memerlukan perjuangan dan daya juang yang tinggi,” ungkapnya.

Dr. Toni juga mengingatkan para lulusan tentang pentingnya terus belajar dan meningkatkan kompetensi sebagai seorang dokter.

Editor: Asyihin

Guru Besar Menyapa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Minggu-minggu terakhir ini, dimulai dari Balairung Universitas Gajah Mada, suara keprihatinan akan negeri ini didengungkan oleh para intelektual, umumnya para guru besar. Sekalipun mungkin jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah guru besar yang ada, namun tidak lama kemudian gelombang itu menarik gerbong banyak kampus di negeri ini. Pada saat tulisan ini dibuat tidak kurang dari 51 perguruan tinggi negeri swasta yang menyuarakan hal yang sama, yaitu keprihatinan akan nasib demokrasi di negeri ini.

Sudah menjadi kelumrahan bahwa setiap ada aksi pasti disusul reaksi. Pun, dengan keadaan ini. Reaksi pertama, mereka yang mendukung, baik secara diam-diam atau terbuka melalui media sosial.

Melalui kelompok besar ini pemikiran-pemikiran kritis disalurkan, baik melalui tulisan, poster atau tindakan nyata lainnya. Kelompok kedua, kelompok ikut menang, tidak lebih sebagai pemandu sorak. Ikut ramai dan heboh, biasanya dari kelompok ini kemudian muncul pahlawan-pahlawan kesiangan. Kelompok ketiga, kelompok penentang. Pada umumnya kelompok ini mencari dalih untuk mematahkan logika yang diusung kelompok pertama. Mereka yang berada pada kelompok ini pada umumnya yang ada pada tataran pernah menikmati atau diuntungkan dari pihak yang diingatkan.

Pertanyaannya, apakah keprihatinan itu merupakan gerakan demonstratif seperti yang dipersepsikan oleh mereka yang menjadi sasaran? Jika batasan demonstratif termasuk unjuk ungkap pendapat, maka jawabannya “Ya”. Namun jika dimaknai gerakan turun ke jalan ingin berlaku anarkhi untuk menumbangkan pemerintahan yang sah, pendapat itu tidak tepat. Sebab, gerakan ujuk keprihatinan, semata-mata adalah gerakan moral. Hal ini terjadi karena “roso handarbeni” (rasa peduli) terhadap negeri ini besar. Jika ada salah urus, maka kelompok intelektual merasa terpanggil untuk meluruskan pemikiran, tentu dengan beragam cara yang dipilih, salah satu diantaranya adalah mengemukakan pendapat atau unjuk pendapat.

Guru besar yang rata-rata sudah berusia diatas 60 tahun itu, tentu memiliki jam terbang baik pengalaman bidang keilmuan, dan atau pengalaman kemaysrakatan yang banyak. Mereka tentu tidak gegabah dalam mengemukakan pendapat, apalagi itu berkaitan dengan moral. Sebab, dalam tatanan keilmuan, moral adalah kaidah yang memayungi ilmu. Sementara guru besar adalah bernaung di bawah payung moral itu dan melandasi pemikiran dan perilakunya atas dasar ilmunya. Sebab, jika menilai pemikiran moral yang diusung dengan ukuran perilaku biasa dengan motivasi keduniawian, tentu saja hal itu salah dalam mengambil ukuran. Akibatnya, komentar atau pernyataan tanggapan atau sanggahan menjadi tidak mengena, karena berbeda parameter. Lebih parah lagi jika tanggapan yang diajukan keluar dari konteks, bahkan lebih bermuatan emosi.

Sementara itu ada juga kelompok guru besar yang tidak sependapat karena beda sudut pandang. Hal itu sah-sah saja. Sebab, guru besar itu memang sudah terbiasa untuk berbeda pendapat dalam memandang sesuatu. Ini tentu segaris dengan Filsafat Ilmu yang mereka anut. Perbedaan sudut pandang di dunia ilmu adalah biasa. Yang tidak biasa adalah memaksakan paham atau pandangannya kepada pihak lain yang tidak sepaham atau beda sudut pandang.

Walaupun diwarnai perbedaan, sapaan kaum intelektual sangat jarang berujung revolusi sosial, tetapi yang pasti revolusi pemikiran dan moral etik yang berujung pada terbangunnya peradaban. Atau paling tidak berkesadaran. Perbedaan sudut pandang justru akan terbangun mozaik yang indah, tanpa harus merasa lebih dari yang lain. karena harmoni itu terbentuk justru dari perbedaan sudut pandang.

Yakinlah para guru besar itu bukan sedang mencari popularitas, karena mereka sudah populer di bidangnya. Mereka juga tidak mencari kursi kekuasaan karena rata-rata mereka sudah “tuwuk” alias kenyang. Justru kekuasaan akademik yang melekat pada kegurubesarannya selalu dituntut untuk menjaga etika akademiknya.

Salam waras! (SJ)

86 Dokter Muda Lulus Universitas Malahayati Bandar Lampung, Siap Sumpah Dokter

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 86 lulusan dokter muda Universitas Malahayati Bandar Lampung siap menghadapi babak baru dalam karier mereka setelah mengikuti kegiatan yudisium di Graha Bintang, Selasa (6/2/2024).

Dalam acara tersebut, Plt. Wakil Rektor 1, Dr. Eng Rina Febrina, ST.,M.T, yang mewakili Rektor Universitas Malahayati, mengungkapkan apresiasi yang mendalam terhadap pencapaian para lulusan.

Dalam sambutannya, Dr. Eng Rina Febrina, ST.,M.T mengapresiasi pencapaian para lulusan, karena memang tidak mudah untuk mencapai hingga sampai sejauh ini dan besok kalian akan di sumpah,” ujar Plt. Wakil Rektor 1.

Dia juga menekankan pentingnya melaksanakan tugas dengan dedikasi tinggi, bahkan jika ditempatkan di lingkungan kerja yang tidak sebesar rumah sakit tertentu.

“Ke depannya, di mana pun kalian ditugaskan atau ditempatkan, lakukanlah yang terbaik, meski tidak ditempatkan di rumah sakit yang besar,” tambahnya.

Sedangkan, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung menekankan pentingnya mempersiapkan diri pada acara sumpah dokter yang akan diadakan besok.

“Persiapkan diri kalian dengan baik untuk acara sumpah dokter,” pesannya.

Selain itu, Rektor Iki Jakarta, Dr. dr. Dollar, Sp. KKLP, SH., MH., MM., FIHFAA, FRSPH, memberikan pembekalan kepada seluruh lulusan dokter.

Dia menyoroti perubahan terbaru dalam undang-undang kesehatan yang memengaruhi praktik kedokteran.

“Pada undang-undang kesehatan terbaru, para dokter tidak hanya dapat mengurus rekomendasi dari satu organisasi kedokteran seperti IDI, tapi juga bisa mendapatkannya dari PDSI,” jelas Dr. dr. Dollar.

Lebih lanjut, Dr. dr. Dollar menyampaikan bahwa undang-undang terbaru memberikan kemudahan dalam membuka tempat praktek bagi para dokter.

“Untuk membuka tempat praktik dengan undang-undang yang baru saat ini tidak perlu lagi mendapat izin atau rekomendasi izin praktek dari organisasi profesi seperti IDI atau PDSI, cukup memiliki STR dan diajukan maka akan keluar Surat Izin Praktik (SIP),” ungkapnya.

Para lulusan juga diingatkan untuk selalu memperhatikan komunikasi sebagai soft skill yang sangat penting dalam karir kedokteran.

“Jangan takut tugas di daerah, modalnya adalah mulut kita, kalo komunikasinya baik pasti aman,” tegasnya.

Editor: Asyihin

Berita Gembira, PKM 2024 Telah Dibuka ! Cek disini

BANDARLMPUNG (malahayati.ac.id): Kabar baik untuk teman-teman mahasiswa. Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Tahun 2024 telah dibuka, teman-teman mahasiswa yang ingin penelitiannya didanai oleh Kementerian Pendidikan, ayo ikut mengajukan proposal PKM tahun 2024. Berikut beberapa Panduan yang dapat teman-teman mahasiswa download agar proposal kalian bisa didanai. (gil/humasmalahayatinews)

1.-Panduan-Umum-PKM-2024

2.-Panduan-PKM-RE-2024

3.-Panduan-PKM-RSH-2024

4.-Panduan-PKM-PM-2024

5.-Panduan-PKM-PI-2024

6.-Panduan-PKM-KC-2024

7.-Panduan-PKM-KI-2024

8.-Panduan-PKM-K-2024

9.-Panduan-PKM-VGK-2024

10.-Panduan-PKM-AI-2024

11.-Panduan-PKM-GFT-2024

Racun Kuasa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kisah ini menceritakan intrik politik di Negeri Astina setela meninggalnya Prabu Pandu Dewanata. Mayoritas rakyatAstina, menghendaki para satria Pandawa untuk melanjutkan pemerintahan Astina. Maka, Adipati Drestarata sebagai caretaker pemerintahan, memerintahkan Patih Sengkuni untuk merayakan pergantian pemerintahan di padang Bale Sigolo-golo. Namun, Duryudana, satria Kurawa anak Adipati Drestarata, tidak legawa memberikan kekuasaan ke para satria Pandawa. Ia pun berkoalisi dengan Patih Sengkuni menyusun siasat jahat untuk menggagalkan dan merebut tahta dari Pandawa. Satu-satunya cara, Bima dan saudara–saudaranya harus dibunuh.

Maka, Patih Sengkuni menyuruh kontraktor ahli bahan peledak yang bernama Purucona untuk mendesain tempat perhelatan akbar tersebut dengan bahan–bahan yang gampang meledak dan mudah terbakar. Ketika malam penobatan tiba, di tengah eforia dan pesta pora, kebakaran hebat melanda. Esok paginya bala Kurawa menemukan lima sosok mayat pria dan satu wanita. Mereka menyimpulkan mayat–mayat itu adalah lima bersaudara Pandawa, termasuk Raden Puntadewa yang disiapkan menjadi raja, dan Ibunda meraka Dewi Kunti.

Dengan kematian Pandawa, Kurawa mengklaim sebagai penerus sah kepemimpinan Astina. Mereka lalu melantik Duryudana sebagai raja menggantikan Puntadewa. Padahal Pandawa dan Kunti selamat dari amuk api, berkat campur tangan Batara Antaboga. Dewa penguasa dasar bumi ini menggagalkan konspirasi jahat Kurawa dengan menciptakan terowongan menuju perut bumi. Lima mayat yang hangus dilalap api tidak lain adalah para sudra, pengemis dan gelandangan, yang menumpang berteduh di padepokan Pandawa di Bale Sigolo-golo pada malam menjelang kejadian. Kebaikan hati Kunti menolong mereka telah berbuah keselamatan bagi Pandawa dan masa depan politik mereka.

Apa yang ingin disampaikan oleh pembawa cerita dalam episode di atas: ternyata intrik politik keji itu selalu ada dalam perebutan tahta atau kekuasaan. Dan, kebenaran pesan dapat kita telusuri dalam sejarah negeri ini. Tidak ada satu pun kerajaan yang terbebas dari intrik perebutan kekuasaan. Yang membedakan hanyalah cara atau metodenya.

Banyak kita jumpai justru keberimbangan kekuasaan menjadi persoalan sentral, sehingga pemaksaan akan terjadinya keseimbangan seolah menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. Atau sebaliknya untuk menunjukkan akan besarnya kekuasaan, maka dapat berbuat apa saja, sekalipun akan menjadikan ketidakseimbangan terjadi. Namun,  secara garis besar perebutan kekuasaan itu ada beberapa pola; pola pertama, dengan pola berdarah-darah. Pola ini bisa dibilang pola tradisional. Sebab, cara pemberontakan adalah cara yang ditempuh oleh para leluhur kita dahulu. Namun demikian, pola ini sekarang tetap dipakai, walaupun itu sebagai langkah terakhir. Cara ini juga dikenal dengan istilah “pengalihan kekuasaan secara paksa”. Pola ini muncul karena ada pihak yang tidak terima dengan sistem yang ada seperti garis turun, dan sebagainya.

Pola kedua, dengan cara licik berlindung pada kekuasaan atau penguasa. Hukum yang berlaku adalah menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Cara kedua ini tampilan luarnya bagus, namun isinya tidak bisa kita simpulkan akan sama dengan luarnya.

Pola ketiga, dengan menyelenggarakan pemilihan umum. Tentu cara ini lebih modern dalam tampilannya, karena mengedepankan asas jujur, adil, dan bermartabat. Namun seiring perjalanan waktu, cara ketiga ini sering juga disusupi dengan pola-pola kedua, bahkan bisa berujung cara pertama:  manakala ada nafsu serakah ingin berkuasa sepanjang masa seperti yang pernah dipertontonkan oleh beberapa raja masa lampau. Apalagi jika pemikiran yang ada di kepala “Dinasti dibangun atas nama cinta kepada keturunan, trah yang agung harus terus dipertahankan”. Tentu saja akan berakibat memunculkan potensi perpecahan. Berarti ini kembali ke pola satu.

Pertanyaan yang tersisa adalah mengapa atas nama kekuasaan kita harus selalu “congkrah” (ribut, bertengkar) sesama keluarga. Ternyata kekuasaan itu ibarat racun: jika sedikit mungkin menjadi obat, namun jika overdosis maka menjadi petaka.

Apakah ini merupakan pembenaran tesis dari aman Romawi yang menyatakan bahwa segenggam kekuasan itu lebih berharga dari pada sejuta kebenaran?  Entahlah. Penulis menyerahkkan jawabannya kepada pembaca. Sebab, mabuk kekuasan dan mabuk betulan bedanya tipis-tipis saja. Bisa jadi peringatan orang-orang dulu yang mengatakan “kekuasaan bisa membuat mata terbuka hati tertutup, dan yang lebih celaka mata dan hati semua tertutup” itu benar adanya.

Salam waras. (SJ)

Implementasi Kerjasama, 269 Mahasiswa “Perawat KUAT” Universitas Malahayati Laksanakan Praktek Klinik Keperawatan di 15 Fasilitias Pelayanan Kesehatan

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 269 Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Malahayati Bandarlampung saat ini sedang melaksanakan kegiatan Praktek Klinik Keperawatan. Pelaksanaan kegiatan ini ada di 15 Fasilitas Pelayanan Kesehatan yaitu di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, RSUD Jiwa Provinsi Lampung, RS Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung, dan 12 Puskemas Rawat Inap yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung.

Kegiatan Praktek Klinik Keperawatan di 15 Fasilitas Pelayanan Kesehatan merupakan tindaklanjut kerjasama pimpinan Perguruan Tinggi Universitas Malahayati dengan Pimpinan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, RSUD Jiwa Provinsi Lampung, RS Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung, dan Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung  dalam bidang tridharma perguruan tinggi, khususnya bidang pengajaran pada Semester Ganjil Tahun Akademik 2023/2024.

Koordinator Praktek Klinik Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Rika Yulendasari, Ns., M.Kep saat dijumpai mengatakan bahwa, “Pengalaman belajar klinik dalam keperawatan merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran”.

Rika mengutarakan bahwa peserta didik sebelum menjalani praktik klinik keperawatan terlebih dahulu telah memperoleh bekal pengetahuan atau teori di kelas dan pernah mensimulasikan keterampilan di laboratorium. Persiapan sebelum pembelajaran tahap klinik meliputi persiapan kompetensi yang harus dicapai sesuai standar KKNI, persiapan tempat praktik sesuai kompetensi yang akan dicapai, persiapan mahasiswa yang meliputi fisik dan psikologis, persiapan alat bagi mahasiswa dan bagi pembelajaran di klinis, persiapan pembimbing yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan rasio jumlah mahasiswa dibanding jumlah pembimbing”.

Dalam kesempatan yang berbeda Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan dan Program Profesi Ners Unmal Aryanti Wardiyah, Ns., M.Kep., Sp.Kep.Mat menjelaskan tentang kegiatan praktek klinik keperawatan yang sedang dilaksanakan di 15 Fasilitas Pelayanan Kesehatan merupakan implemetasi dari kerjasama yang telah disepakati oleh Pimpinan Perguruan Tinggi dan Pimpinan Fasyankes untuk mendukung terlaksananya tri dharma perguruan tinggi, khususnya bidang pengajaran. Kaprodi yang akrab di sapa Bu Ari menambahkan bahwa tujuan kegiatan Praktek Klinik Keperawatan adalah meningkatkan pemahaman peserta didik tentang ilmu pengetahuan dan masalah keperawatan, menumbuhkan dan membina sikap serta ketrampilan professional sebagai perawat., serta mengadakan adaptasi atau penyesuaian profesional di lingkungan di mana mereka kelak akan bekerja menjadi perawat-perawat yang KUAT (Kreatif, Unggul, Aktif, Terampil). (gil/humasmalahayatinews)

Marak Seruan Pemilu di Kalangan Guru Besar Indonesia, Ini Kata Rektor Achmad Farich

Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Dalam menanggapi maraknya seruan-seruan yang berasal dari sejumlah perguruan tinggi terkait kondisi demokrasi di Indonesia belakangan ini, perlu adanya kajian yang obyektif dan berbasis ilmiah.

Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr., M.M., menegaskan bahwa sebagai bagian dari negara demokratis, masyarakat Indonesia berhak untuk mengemukakan pendapatnya secara terbuka. Namun, dia menyoroti bahwa bagi intelektual di lingkungan perguruan tinggi, khususnya para guru besar yang menjadi pelopor seruan-seruan tersebut, pendapat yang disuarakan haruslah didasarkan pada landasan yang obyektif.

“Silakan menyuarakan pendapat, yang terpenting adalah tidak menyulut intimidasi terhadap pihak manapun. Setiap pandangan yang disajikan haruslah berdasarkan penelitian ilmiah dan bersifat obyektif,” ujar Farich, dikutip dari lamposdotco (4/2/2024)

Menyikapi seruan-seruan yang datang dari beberapa kampus seperti UGM, UI, Unpad, UII, dan lainnya, Farich menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menimbulkan potensi kontradiksi.

“Beberapa isinya saya setujui, sementara beberapa lainnya tidak sepenuhnya sejalan dengan pandangan saya. Terutama, saya sangat setuju dengan upaya untuk menjaga jalannya pemilu yang damai, jujur, adil, bebas, dan rahasia. Larangan terhadap intimidasi dan penggunaan fasilitas negara juga sangat saya dukung dan ini harus dipertahankan,” katanya.

Namun, Rektor Achmad Farich juga menyebut ada beberapa poin yang tidak sepenuhnya dia setujui, terutama jika seruan tersebut menyerang individu, termasuk presiden, yang menurutnya terlalu jauh dalam konteks pemilihan umum.

“Kita harus mengingat bahwa kita hidup dalam negara hukum, dimana aturan terkait pemilu sudah diatur baik dalam undang-undang dasar maupun dalam pelaksanaannya,” jelasnya.

Ketika ditanya apakah Universitas Malahayati juga akan melakukan gerakan serupa, Rektor Achmad Farich menjelaskan bahwa pihaknya selalu memberikan ruang bagi demokrasi di lingkungan akademis.

Dia menyatakan bahwa Universitas Malahayati secara rutin mengadakan debat dan diskusi internal sebagai upaya untuk membantu mahasiswa memahami politik.

“Kami akan terus mengadvokasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kami mendukung pemilu yang bersih, jujur, adil, bebas, rahasia, dan tanpa menggunakan fasilitas negara,” tambahnya.

Terakhir, ia mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu provokatif. Dia mengajak masyarakat untuk lebih cerdas dalam menilai informasi, terutama menjelang pemilu yang semakin dekat.

“Kami juga mengajak tokoh masyarakat dan tokoh partai untuk menjaga ketenangan dan mencegah masyarakat dari terpancing. Dengan pengalaman dalam beberapa pemilu sebelumnya, kami berharap semuanya akan berjalan dengan aman, termasuk pemilu tahun ini,” tandasnya.

Editor: Asyihin