Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sepenggal dialog imajiner gaya “wong Plembang” saya pakai untuk membuka tulisan ini. Tidak ada interes tertentu menggunakan jalur etnik ini, hanya kebetulan saya lahir hingga remaja di tanah Sriwijaya sehingga sangat akrab dengan kultur maupun gaya bahasanya. Di luar itu, karena kisah ini lebih mengarah untuk lucu-lucuan saja, meskipun tetap memiliki makna. Yakni, dialog seseorang yang baru mendapat jabatan dengan tim suksesnya.
Dialognya begini:
Pejabat : “Apo lagilah kiro-kiro program yang pacak segera dilaksanake..dan populer..biar wong senang galo?”. (apa lagi kira kira program yang bisa segera dilaksanakan dan popular biar orang senang semua).
Tim Sukses: “Gratis ke bae wong tu makan apo bae di toko kito, asal jangan bawak balik”. (gratiskan saja semua orang untuk makan di toko (rumah makan) kita, asal jangan di bawa pulang).
Akhirnya toko gratisan itu dibuka. Dia berpikir, seberapa banyak rakyatnya untuk makan gratis, dia masih mampu meladeni. Dia juga berasumsi, seberapa kuat seorang makan pasti tak lebih dari dua piring. Pikir dia, lebih dari itu, pasti muntah. Program makan gratis itu berjalan. Rumah makan itu seketika penuh sesak, bahkan berjubel. Pejabat itu senang dan bangga karena program ini berhasil menyedot perhatian, bahkan diliput wartawan.
Namun, di hari kedua Sang Pejabat bingung. Hari itu tidak seperti hari sebelumnya yang ketika jam menunjuk pukul 13.00 WIB warga sudah selesai. Hari itu, antrean sampai mengular di jalan. Dia baru sadar kalau rakyatnya lebih licik. Mereka membawa sanak saudara dari kampung antri makan apa saja di toko pejabat tadi. Dia “tedodok” karena asal ucap saja dalam memerintah, tanpa perencanaan matang dan kalkulasi menyeluruh. Dalam Bahasa Palembang pejabat seperti ini masuk kategori “biar tekor asak kesohor” terjemahan bebasnya biar rugi asal terkenal.
Soal “tedodok” berdasarkan penelusuran digital ditemukan ringkasan informasi sebagai berikut: Dalam dinamika sosial dan politik masyarakat Sumatera Selatan, terdapat istilah lokal yang sangat kaya makna: “tedodok”. Dalam pengertian harfiah, kata ini merujuk pada seseorang yang duduk bersila atau diam di tempat tanpa banyak bergerak. Namun, dalam konteks kultural dan kiasan, tedodok memiliki makna yang jauh lebih dalam, yaitu keadaan seseorang, terutama pemimpin, yang tidak lagi mampu berbuat banyak karena kegagalannya sendiri. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan sosok yang kehilangan arah, kehilangan daya.
Di tengah hiruk-pikuk demokrasi, pemimpin sering datang membawa sederet janji dan retorika. Mereka memikat hati rakyat dengan visi-misi yang seolah menjanjikan masa depan yang lebih baik dalam sekejab. Namun tidak jarang, begitu duduk di kursi kekuasaan, janji-janji itu justru menjadi beban berat yang menghantui mereka sendiri. Saat ekspektasi publik tidak terpenuhi, krisis kepercayaan pun terjadi. Pemimpin yang semula dielu-elukan bisa berubah menjadi sorotan dan bahan cibiran. Dan di titik paling lemah itulah mereka menjadi “tedodok”; terdiam, tidak berdaya, tidak mampu bertindak.
Masyarakat Sumatera Selatan memiliki tradisi bahasa yang sangat ekspresif. Kata-kata seperti: tedodok, nganggur, atau idak ngapo-ngapo, ado gawe; bukan hanya kosakata harian, tetapi mencerminkan realitas sosial yang sering terjadi. Tedodok, dalam konteks ini, menjadi metafora yang kuat untuk menjelaskan kegagalan kepemimpinan yang berjanji manis di awal, tetapi pahit dipelaksanaan.
Dalam ungkapan sehari-hari, masyarakat bisa berkata, “Sudah tedodok nian pemimpin tu, dak pacak ngapo-ngapo lagi.” Artinya: “Pemimpin itu sekarang benar-benar hanya bisa diam saja, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.” Ungkapan ini adalah bentuk kritik sosial, yang dalam konteks budaya Sumatera Selatan seringkali dilontarkan secara lugas, tetapi sarat makna.
Di sinilah terlihat bahwa masyarakat memiliki mekanisme tersendiri untuk menilai dan menyikapi fenomena kepemimpinan; bukan melalui kata-kata kasar atau demonstrasi besar, tetapi melalui sindiran yang halus yang menyakitkan. Dalam bahasa Jawa disebut hal ini disebut “nyelekit”.
Fenomena tedodok sering kali bermula dari janji-janji politik yang tidak realistis. Dalam masa kampanye, banyak pemimpin yang berlomba-lomba menunjukkan kepedulian, menawarkan program-program ambisius, bahkan menjanjikan perubahan besar dalam waktu singkat bahkan sekejab. Namun, ketika realitas birokrasi, keterbatasan anggaran, dan kompleksitas sosial mulai menghantam, janji-janji itu justru berubah menjadi beban yang sulit ditanggung.
Pemimpin yang terkurung dalam kebijakannya sendiri, tidak bisa bergerak, tidakak bisa bicara tanpa menciptakan ide-ide baru. Inilah yang oleh masyarakat Sumatera Selatan juga disebut sebagai kondisi “tedodok”.
Di era keterbukaan media sosial sekarang, kondisi seperti ini dengan mudah menjadi sangat cepat terlihat. Rakyat bisa langsung menyuarakan kekecewaannya, menyebarkan informasi, bahkan membuat pemimpin viral dalam waktu singkat bukan karena prestasi, tapi karena kesalahan dalam mengambil kebijakan strategis. Maka tak heran, banyak pemimpin yang akhirnya lebih memilih diam, tidak muncul ke publik, tidak memberikan pernyataan karena tahu, apapun yang diucapkan hanya akan memperburuk situasi.
Di sinilah keadaan “tedodok” menjadi semakin memprihatinkan karena bukan hanya menunjukkan kegagalan pribadi, tetapi kegagalan sistem kepemimpinan secara keseluruhan. Pemimpin yang tedodok bukan lagi aktor utama dalam narasi perubahan, tapi hanya menjadi pelaku pasif kehilangan kreatifitas dalam bertindak.
Tedodok adalah hasil akhir dari kepemimpinan yang gagal, dan itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia adalah proses akumulasi dari kelalaian, pengabaian, dan ketidakmampuan. Ia adalah harga yang harus dibayar ketika kekuasaan lebih digunakan untuk mempertahankan citra daripada memperjuangkan kesejahteraan. Akhirnya; berawal dari pemimpin yang dipuji saat kampanye, bisa berubah menjadi ditertawakan saat menjabat.
Salah satu kekuatan masyarakat Sumatera Selatan berdasarkan sumber literatur yang ada adalah; kemampuan menyampaikan kritik dalam bentuk yang khas tajam namun tidak vulgar, lugas, tetapi tetap beradab, bahkan cenderung berseloroh. Ungkapan seperti “tedodok” adalah contoh bagaimana bahasa lokal menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Ia menyindir, tapi tidak menghina. Ia mempermalukan, tapi tidak menjatuhkan secara kasar. Semoga semua ini menjadi pembelajaran bagi kita semua. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Prestasi di Kejuaraan Provinsi Puisi & Orasi HMPSPP 2025
Kejuaraan ini menjadi ajang unjuk bakat dan intelektualitas mahasiswa se-Lampung dalam bidang seni dan retorika. M. Reza Fahlevi tampil memukau baik dalam orasi yang berisi gagasan kritis terhadap isu sosial, maupun dalam pembacaan puisi yang menggugah emosi penonton dan dewan juri.
Dalam pernyataannya, Reza mengaku sangat bersyukur atas prestasi yang ia raih.“Lomba ini bukan sekadar kompetisi, tapi ruang untuk menyuarakan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan semangat perubahan melalui kata-kata”.
“Saya juga berterima kasih kepada Universitas Malahayati, dosen, teman-teman, dan keluarga yang selalu mendukung saya. Semoga ini menjadi motivasi bagi mahasiswa lain untuk terus berkarya dan berani bersuara,” ujar Reza.
Ke depan, Reza bertekad untuk terus mengasah kemampuannya dan mengikuti lebih banyak ajang serupa untuk membawa nama baik universitas di kancah yang lebih luas.
Keberhasilan Reza tidak hanya menunjukkan kapasitas akademik mahasiswa Universitas Malahayati dalam memahami isu hukum dan sosial, tetapi juga menggambarkan kepiawaiannya dalam menyampaikan gagasan secara ekspresif dan puitis. (gil)
Editor: Gilang Agusman
“Tedodok”
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sepenggal dialog imajiner gaya “wong Plembang” saya pakai untuk membuka tulisan ini. Tidak ada interes tertentu menggunakan jalur etnik ini, hanya kebetulan saya lahir hingga remaja di tanah Sriwijaya sehingga sangat akrab dengan kultur maupun gaya bahasanya. Di luar itu, karena kisah ini lebih mengarah untuk lucu-lucuan saja, meskipun tetap memiliki makna. Yakni, dialog seseorang yang baru mendapat jabatan dengan tim suksesnya.
Dialognya begini:
Pejabat : “Apo lagilah kiro-kiro program yang pacak segera dilaksanake..dan populer..biar wong senang galo?”. (apa lagi kira kira program yang bisa segera dilaksanakan dan popular biar orang senang semua).
Tim Sukses: “Gratis ke bae wong tu makan apo bae di toko kito, asal jangan bawak balik”. (gratiskan saja semua orang untuk makan di toko (rumah makan) kita, asal jangan di bawa pulang).
Akhirnya toko gratisan itu dibuka. Dia berpikir, seberapa banyak rakyatnya untuk makan gratis, dia masih mampu meladeni. Dia juga berasumsi, seberapa kuat seorang makan pasti tak lebih dari dua piring. Pikir dia, lebih dari itu, pasti muntah. Program makan gratis itu berjalan. Rumah makan itu seketika penuh sesak, bahkan berjubel. Pejabat itu senang dan bangga karena program ini berhasil menyedot perhatian, bahkan diliput wartawan.
Namun, di hari kedua Sang Pejabat bingung. Hari itu tidak seperti hari sebelumnya yang ketika jam menunjuk pukul 13.00 WIB warga sudah selesai. Hari itu, antrean sampai mengular di jalan. Dia baru sadar kalau rakyatnya lebih licik. Mereka membawa sanak saudara dari kampung antri makan apa saja di toko pejabat tadi. Dia “tedodok” karena asal ucap saja dalam memerintah, tanpa perencanaan matang dan kalkulasi menyeluruh. Dalam Bahasa Palembang pejabat seperti ini masuk kategori “biar tekor asak kesohor” terjemahan bebasnya biar rugi asal terkenal.
Soal “tedodok” berdasarkan penelusuran digital ditemukan ringkasan informasi sebagai berikut: Dalam dinamika sosial dan politik masyarakat Sumatera Selatan, terdapat istilah lokal yang sangat kaya makna: “tedodok”. Dalam pengertian harfiah, kata ini merujuk pada seseorang yang duduk bersila atau diam di tempat tanpa banyak bergerak. Namun, dalam konteks kultural dan kiasan, tedodok memiliki makna yang jauh lebih dalam, yaitu keadaan seseorang, terutama pemimpin, yang tidak lagi mampu berbuat banyak karena kegagalannya sendiri. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan sosok yang kehilangan arah, kehilangan daya.
Di tengah hiruk-pikuk demokrasi, pemimpin sering datang membawa sederet janji dan retorika. Mereka memikat hati rakyat dengan visi-misi yang seolah menjanjikan masa depan yang lebih baik dalam sekejab. Namun tidak jarang, begitu duduk di kursi kekuasaan, janji-janji itu justru menjadi beban berat yang menghantui mereka sendiri. Saat ekspektasi publik tidak terpenuhi, krisis kepercayaan pun terjadi. Pemimpin yang semula dielu-elukan bisa berubah menjadi sorotan dan bahan cibiran. Dan di titik paling lemah itulah mereka menjadi “tedodok”; terdiam, tidak berdaya, tidak mampu bertindak.
Masyarakat Sumatera Selatan memiliki tradisi bahasa yang sangat ekspresif. Kata-kata seperti: tedodok, nganggur, atau idak ngapo-ngapo, ado gawe; bukan hanya kosakata harian, tetapi mencerminkan realitas sosial yang sering terjadi. Tedodok, dalam konteks ini, menjadi metafora yang kuat untuk menjelaskan kegagalan kepemimpinan yang berjanji manis di awal, tetapi pahit dipelaksanaan.
Dalam ungkapan sehari-hari, masyarakat bisa berkata, “Sudah tedodok nian pemimpin tu, dak pacak ngapo-ngapo lagi.” Artinya: “Pemimpin itu sekarang benar-benar hanya bisa diam saja, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.” Ungkapan ini adalah bentuk kritik sosial, yang dalam konteks budaya Sumatera Selatan seringkali dilontarkan secara lugas, tetapi sarat makna.
Di sinilah terlihat bahwa masyarakat memiliki mekanisme tersendiri untuk menilai dan menyikapi fenomena kepemimpinan; bukan melalui kata-kata kasar atau demonstrasi besar, tetapi melalui sindiran yang halus yang menyakitkan. Dalam bahasa Jawa disebut hal ini disebut “nyelekit”.
Fenomena tedodok sering kali bermula dari janji-janji politik yang tidak realistis. Dalam masa kampanye, banyak pemimpin yang berlomba-lomba menunjukkan kepedulian, menawarkan program-program ambisius, bahkan menjanjikan perubahan besar dalam waktu singkat bahkan sekejab. Namun, ketika realitas birokrasi, keterbatasan anggaran, dan kompleksitas sosial mulai menghantam, janji-janji itu justru berubah menjadi beban yang sulit ditanggung.
Pemimpin yang terkurung dalam kebijakannya sendiri, tidak bisa bergerak, tidakak bisa bicara tanpa menciptakan ide-ide baru. Inilah yang oleh masyarakat Sumatera Selatan juga disebut sebagai kondisi “tedodok”.
Di era keterbukaan media sosial sekarang, kondisi seperti ini dengan mudah menjadi sangat cepat terlihat. Rakyat bisa langsung menyuarakan kekecewaannya, menyebarkan informasi, bahkan membuat pemimpin viral dalam waktu singkat bukan karena prestasi, tapi karena kesalahan dalam mengambil kebijakan strategis. Maka tak heran, banyak pemimpin yang akhirnya lebih memilih diam, tidak muncul ke publik, tidak memberikan pernyataan karena tahu, apapun yang diucapkan hanya akan memperburuk situasi.
Di sinilah keadaan “tedodok” menjadi semakin memprihatinkan karena bukan hanya menunjukkan kegagalan pribadi, tetapi kegagalan sistem kepemimpinan secara keseluruhan. Pemimpin yang tedodok bukan lagi aktor utama dalam narasi perubahan, tapi hanya menjadi pelaku pasif kehilangan kreatifitas dalam bertindak.
Tedodok adalah hasil akhir dari kepemimpinan yang gagal, dan itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia adalah proses akumulasi dari kelalaian, pengabaian, dan ketidakmampuan. Ia adalah harga yang harus dibayar ketika kekuasaan lebih digunakan untuk mempertahankan citra daripada memperjuangkan kesejahteraan. Akhirnya; berawal dari pemimpin yang dipuji saat kampanye, bisa berubah menjadi ditertawakan saat menjabat.
Salah satu kekuatan masyarakat Sumatera Selatan berdasarkan sumber literatur yang ada adalah; kemampuan menyampaikan kritik dalam bentuk yang khas tajam namun tidak vulgar, lugas, tetapi tetap beradab, bahkan cenderung berseloroh. Ungkapan seperti “tedodok” adalah contoh bagaimana bahasa lokal menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Ia menyindir, tapi tidak menghina. Ia mempermalukan, tapi tidak menjatuhkan secara kasar. Semoga semua ini menjadi pembelajaran bagi kita semua. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Ikut atau Bawa
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Salah seorang pemuka agama terkenal berceramah di muka jamaahnya, dan beliau berkata bahwa saat kita meninggal salah satu yang ikut adalah amal kita. Beliau membedakan antara ikut dan membawa: “Saat kita meninggal, amal akan ikut kita, baik yang baik maupun yang buruk. Jika bisa membawa, tentu kita akan pilih yang baik saja.” Kalimat ini terdengar seperti nasihat, tetapi jika direnungkan lebih dalam, ia adalah cermin bagi siapa pun yang hidup dan sadar bahwa setiap hari adalah ladang amal.
Berdasarkan penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa; amal, dalam makna yang luas, adalah segala bentuk perbuatan yang tampak maupun tersembunyi, yang ringan maupun berat, yang disengaja maupun tidak disengaja. Setiap tindakan manusia menyisakan jejak, dan jejak itu tidak lenyap ketika kita meninggal. Ia justru “mengikuti” kita, menjadi semacam identitas abadi yang dibawa menuju akhirat atau jika ingin lebih universal, menjadi warisan moral yang tercatat dalam sejarah keberadaan kita.
Kita sering berpikir bahwa kita adalah makhluk bebas yang bisa memilih apa saja dalam hidup. Namun kematian membatasi kebebasan itu. Saat tubuh kita ditinggalkan jiwa, tidak ada lagi ruang untuk memilih, yang bisa kita lakukan hanyalah menerima bahwa amal perbuatan kitalah yang menyertai perjalanan itu, baik amal baik maupun amal buruk. Itulah mengapa bagian kedua dari ungkapan itu begitu menggelitik nurani: “Jika bisa membawa, tentu kita akan pilih yang baik saja.” Benar sekali. Siapa yang ingin membawa dosa? Siapa yang ingin dikenang karena keburukannya? Tapi kita tidak bisa “membawa”; kita hanya bisa “diikuti”. Dan semua yang mengikuti itu adalah hasil dari pilihan-pilihan kita sendiri selama hidup di dunia ini. Oleh karena itu Tuhan sudah mengingatkan kepada kita semua bahwa satu permintaan orang kubur jika dibolehkan hidup sebentar saja di dunia, yaitu ingin berbuat baik; karena hanya perbuatan baiklah yang memudahkan kita segalanya di sana.
Maka dari itu, esensi dari ungkapan ini adalah kesadaran: sadar bahwa hari ini adalah kesempatan untuk menanam amal baik, sadar bahwa setiap tindakan adalah pilihan antara membawa kebaikan atau menambah beban, dan sadar bahwa kematian bukan akhir, melainkan awal dari pertanggungjawaban. Dalam dunia yang penuh godaan dan hiruk-pikuk, mudah sekali lupa bahwa hidup adalah tentang menyiapkan “bekal” yang tak terlihat. Tidak ada yang salah dengan mencari kebahagiaan duniawi, tetapi jika kita lupa bahwa hidup ini juga soal apa yang kita tinggalkan—baik dalam arti amal maupun pengaruh—maka kita sedang berjalan menuju akhir dengan tangan kosong.
Jadi, selama masih ada waktu, mari isi hidup ini dengan perbuatan yang akan “mengikuti” kita dengan bangga. Sebab kelak, saat kita tidak bisa memilih lagi, semoga yang mengikuti adalah kebaikan yang kita tanam dengan tulus. baik saja yang akan kita bawa. Oleh sebab itu tidak salah penjelasan pemuka agama ini lebih lanjut bahwa jika amal baik atau buruk itu akan ikut karena di sana ada pertanggungjawaban, sementara jika membawa berarti kita akan memilih yang baik-baik saja.
Manusia hidup dalam rentang waktu yang terbatas, tetapi setiap perbuatannya meninggalkan jejak yang tidak akan lenyap begitu saja. Dalam berbagai tradisi spiritual, termasuk ajaran agama-agama besar di dunia, terdapat keyakinan bahwa amal perbuatan seseorang—baik yang baik maupun yang buruk—akan menyertainya setelah kematian.
Ketika seseorang meninggal dunia, segala bentuk amal ini tidak serta merta hilang. Sebaliknya, ia “mengikuti” si pelaku, seolah menjadi bagian dari dirinya. Dalam tradisi Islam, konsep ini dikenal dengan istilah hisab—yakni perhitungan amal yang akan dilakukan di akhirat kelak. Makna penting dari ini adalah: amal tidak bisa dipisahkan dari diri kita. Ia bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, disembunyikan, atau dibuang. Ia melekat dan akan muncul kembali pada saat yang paling menentukan.
Kita tidak bisa memilih bagian mana dari sejarah hidup kita yang ingin kita tampilkan. Seperti rekaman yang jujur, hidup menyimpan semuanya dan tanpa edit, tanpa sensor. Maka pernyataan peringatan yang menyatakan: sekaranglah saatnya memilih, bukan nanti. Karena nanti sudah terlalu terlambat. Inilah yang membuat filosofi ini begitu kuat: ia menegaskan pentingnya kesadaran penuh dalam menjalani hidup, sebab setiap tindakan memiliki konsekuensi.
Ungkapan ini juga mengandung filosofi tentang kesadaran moral, yaitu dorongan untuk terus-menerus menilai dan mengevaluasi tindakan kita agar terus berada pada nilai kebaikan. Bukan karena ingin dipuji, tapi karena sadar bahwa kebaikan adalah satu-satunya “bekal” yang akan setia menemani kita setelah tubuh ini tiada.
Kita hidup di dunia yang penuh distraksi. Nilai dan standar seringkali ditentukan oleh hal-hal eksternal: status sosial, kekayaan, atau popularitas. Namun pada akhirnya, yang akan mengikuti kita bukanlah itu semua, melainkan amal dan perbuatan kita. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Call for Paper and Poster! ICESH 2025
This year, we’ll be exploring the theme: “Sustainable Development Goals: The Intersection of Economic Policies and Environmental Law.”
The deadline is
📍PAYMENT (PAPER & POSTER): JUNE, 30 2025
📍ABSTRACT DEADLINE: JULY, 01 2025
📍FULL PAPER & POSTER DEADLINE : JULY, 10 2025
📍REGISTRATION DEADLINE: JULY 01, 2025
🔗LINK Guidelines – Paper
https://acesse.one/B9z1v
🔗 LINK Guidelines – Poster
https://l1nk.dev/WXnOd
Don’t miss your chance to share your research!
Visit our website:
https://icesh2nd.malahayati.ac.id/
Contact us at:
+62812-6305-6906
For more informationn (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kebahagian Ribuan Wali Murid, PR Besar Gubernur Mirza
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sehari sebelum Hari Raya Kurban atau Idul Adha 2025 M, Kamis (5/6/2025), Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal “menyembelih” persoalan panjang yang selalu memunculkan perdebatan setiap semester sekolah.
Jelang hari kemenangan Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, Gubernur Mirza memberikan hadiah kepada ribuan orangtua wali murid bebas bayar SPP yang dibalut dana komite dan daftar masuk SMAN, SMKN, SLBN seluruh Lampung.
Kabar tersebut langsung menyebarluas lewat hampir semua laman media sosial, termasuk Helo Indonesia yang sigap menebar kabar prorakyat. Sambutan gembira membahana terutama mereka yang selama ini sudah memperjuangkan hal ini sejak sepuluh tahun lalu.
Antusiasme para pemerhati tidak ketinggalan juga, ada yang merasionalkan, ada pula yang mengingatkan. Hal seperti itu adalah wajar; apalagi ditambah dengan analisis dan deskripsi tajam tentang bagaimana sebenarnya kondisi pendidikan di Lampung.
Tulisan ini mencoba memberikan pandangan dari berbagai segi, dengan harapan bukan menjadikan persoalan menjadi rumit, atau juga terlalu menyederhanakan; namun mencoba melengkapi apa yang belum ada pada penulis terdahulu.
Berdasarkan hasil studi dokumentasi ditemukan data bahwa pada tahun 2020 Dinas Pendidikan Provinsi Lampung telah mengeluarkan Standar Nasional Pendidikan untuk pembiayaan di Provinsi sebagai berikut:
1. SMA Tipe A Rp7.250.000/tahun/siswa. BOS Rp1.500.000 kekurangan Rp5.750.000.
3. SMA Tipe B Rp5.280.000/tahun/siswa. BOS Rp. 1.500.000 kekurangan Rp3.780.000.
4. SMA Tipe C Rp3.000.000/tahun/siswa. BOS Rp1.500.000 kekurangan Rp1.500.000.
Sedangkan kelompok SMK memiliki besaran berbeda berdasarkan kelompok peminatan. Dengan rincian sebagai berikut:
1. Kelompok Bisnis Manajemen, Pariwisata, Industri Kreatif diperlukan dana persiswa pertahun sebesar Rp. 4.960.000. Bantuan BOS 1.600.000,- berarti kekurangan Rp. 3.360.000.
2. Kelompok Teknik Rekayasa diperlukan dana persiswa pertahun sebesar Rp. 5.200.000,-. Bantuan BOS Rp. 1.600.000,- berarti kekurangannya sebesar Rp. 3.600.000.
3. Kelompok Kesehatan dan Pekerjaan Sosial Rp. 5.800.000 per siswa per tahun. Bantuan BOS Rp. 1.600.000 berarti kekurangannya Rp4.200.000.
Sementara jumlah SMA negeri di Provinsi ini ada 241 sekolah, sedangkan SMK negeri ada 112 sekolah. Hasil dari wawancara via media sosial semua SMA negeri tidak memungut biaya pendaftaran, demikian juga dengan sekolah kejuruan.
Untuk sekolah kejuruan ada kepala sekolah yang mengatakan mendapatkan pendaftar saja sudah sangat membahagiakan mereka.
Sementara untuk uang komite besarannya sangat variatif. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan pada umumnya rapat komite baru dilaksanakan pada enam bulan setelah tahun ajaran baru.
Besaran penetapan uang kepala sekolah tidak ikut campur; karena itu wilayah orangtua siswa, terutama mereka yang ada di kelas sepuluh.
Pada umumnya yang menjadi pembahasan krusial adalah pengadaan seragam sekolah, termasuk baju olah raga. Pada posisi ini biasanya ada main mata antara tukang jahit, komite dan kepala sekolah.
Walaupun demikian bagi orangtua tetap diberi kebebasan memilih membeli sendiri di luar tanpa harus ikut pada komite.
Justru yang membuat kepala sekolah sedikit puyeng kepalanya jika harus berhadapan dengan “oknum” yang mengatasnamakan apapun namanya hanya karena ingin meminta sedikit salam amplop.
Oleh sebab itu jika menjelang penerimaan siswa baru, hari lebaran; banyak kepala sekolah yang memilih tidak masuk ke sekolah dengan alasan pergi ke kantor dinas.
Masih banyak sebenarnya yang patut diungkap; namun karena keterbatasan tempat maka hal itu saja yang krusial.
Oleh karena itu jika Gubernur ingin membebaskan partisipasi masyarakat pada bidang pendidikan melalui komite. Maka hal di atas dapat dijadikan referensi berapa anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah daerah.
Perlu diingat angka-angka di atas adalah untuk kondisi lima tahun yang lalu. Sebagai catatan BOS-DA selama ini bukan berbentuk pemberian dana ke sekolah, akan tetapi berupa bangunan fisik untuk sarana-prasarana pendidikan; yang pembangunannya diusulkan kepala sekolah bersama komite.
Tidak kalah pentingnya harus dicari formulasi penyertaan dana CSR dari coorporit yang ada di wilayah tempatan dimana sekolah berada, untuk dapat ikut berperan aktif sebagai bentuk lain dari Komite Sekolah.
Sebagai contoh: ada perusahaan A dan B; yang dihimbau untuk menyumbangkan sesuatu untuk sekolah yang ada di wilayahnya.
Bentuk partisipasi bukan hanya pembangunan gedung dengan nama perusahaan penyandang dana; bisa juga perusahaan tadi dijadikan tempat praktek kerja lapangan bagi siswa-siswa kejuruan yang ada di wilayah itu.
Pola dualsistem serupa ini pernah digagas pada masa (alm) Enggus Subarman pada waktu beliau menjadi kepala Kantor Wilayan Pendidikan pada masanya.
Pola ini bisa dipakai tentu dengan perbaikan sistem terlebih dahulu, salah satu diantaranya adanya dasar hukum yang mendasarinya seperti Keputusan Gubernur atau apapun namanya.
Sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah tidak lagi dibebani pekerjaan untuk mencari terobosan guna menutupi kekurangan anggaran. Mereka diminta fokus untuk penyelenggaraan proses pembelajaran.
Sehingga rasa aman dan terlindungi dari perilalu oknum yang tidak bertanggungjawab yang dapat mengganggu proses pembelajaran di sekolah.
Selanjutnya jika pada masa periode kepemimpinan kepala sekolah menunjukkan kepenurunan mutu; maka yang bersangkutan tidak bisa meneruskan menjabat sebagai kepala sekolah.
Semoga Hadiah Lebaran Idhul Adha dari Gubernur ini membawa manfaat bagi dunia pendidikan di Lampung; dan selamat tinggal pada mereka yang selama ini menjadikan dunia pendidikan sebagai lahan subur untuk melakukan hal-hal yang kurang terpuji. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Salurkan 525 Paket Daging Qurban
Paket-paket qurban tersebut disalurkan kepada 319 penerima dari Kota Bandar Lampung dan 124 penerima dari Kabupaten Pringsewu, sebagai bentuk nyata dari nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas yang terus dijaga oleh civitas akademika Universitas Malahayati.
Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban yang terdiri dari 4 ekor sapi ini dilakukan di lingkungan kampus Universitas Malahayati dengan melibatkan panitia internal yang bekerja secara gotong royong dan penuh tanggung jawab.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Kegiatan Qurban, Sutikno, S.Pd.I., M.Pd.I., menegaskan bahwa kegiatan ini tidak sekadar rutinitas tahunan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan karakter bagi seluruh warga kampus, khususnya mahasiswa. “Kami ingin menanamkan nilai-nilai pengorbanan, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Semangat Iduladha ini menjadi energi positif untuk terus bergerak dalam pengabdian kepada masyarakat,” ungkap Sutikno.
Ustad Sutikno menambahkan bahwa Qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi juga menyembelih ego, memperkuat kepedulian sosial, dan mendekatkan kita kepada nilai-nilai kemanusiaan. Ini adalah bentuk rasa syukur dan keikhlasan berbagi.
Kegiatan qurban tahun ini juga melibatkan para muqorib (pequrban) dari berbagai latar belakang, yang menunjukkan kepedulian luar biasa dalam mendukung keberlangsungan kegiatan sosial kampus:
• Rusli Bintang bin Bintang Amin
• Rosnati Syech binti Nyak Syech
• Ruslan Junaidi bin Rusli Bintang
• Omar Arrazi bin Ruslan Junaidi
• Ruzein Akyar bin Ruslan Junaidi
• Razeta binti Ruslan Junaidi
• Fauzana binti Fauzi
• Muhammad Kadafi bin Rusli Bintang
• Disa Soraya binti (nama tidak lengkap)
• Ratu Kayla binti M. Kadafi
• Kiral Altahir bin M. Kadafi
• Muhammad Ramadhana bin Rusli Bintang
• Maidayani binti Rusli Bintang
• Zivana Ejaz Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Bintang Amin bin Abdulah
• Halimah binti Abdulah
• Eli Zuana binti Rusli Bintang
• R. Agung Efriyo Hadi bin R. Bintoro
• Eflina Balqis Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Rania Najwa Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Raina Kalila Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Eka Rosdiana binti Andid Daud
• Arshiyla Khadija binti Muhammad Rizki
• Muhammad Rizki bin Rusli Bintang
Kegiatan ini juga menjadi contoh nyata bagaimana institusi pendidikan tinggi dapat berperan aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan demi membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Membuka Diri, Menutup Hati
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Senja itu warna merah jingga diufuk sana sangat mempesona, sambil menuruni anak tangga menuju kendaraan, beriringan dengan dosen yang sudah tidak muda lagi namun juga belum masuk usia senja; beliau menukas sambil tetap berjalan; “Profesor saya pernah mendapat pesan dari teman kuliah dahulu jika saat sekarang ini waktunya kita untuk membuka diri, namun harus menutup hati, mohon ijin bertanya apa sebenarnya makna frasa itu”. Akhirnya perjalanan menuju kendaraan terhenti guna menjelaskan kepada yang bersangkutan- walaupun sambil berdiri- maknawi dari frasa itu dari konsep filsafat. Singkatnya penjelasan itu jika dideskripsikan adalah demikian:
Berdasarkan literatur yang ada, baik konvensional maupun digital- makna dari frasa itu sangat dalam jika dikaji dan dikaitkan dengan masa kini. Di tengah derasnya arus modernitas, media sosial, dan keterhubungan digital, manusia semakin terbiasa membuka diri kepada dunia luar. Kita berbagi cerita, pengalaman, bahkan luka, kepada publik. Namun, di balik semua keterbukaan itu, tak sedikit pula orang yang memilih untuk tetap menutup hati — menjaga ruang terdalam dari diri mereka dari sentuhan emosi yang dalam, terutama yang berkaitan dengan cinta, kepercayaan, dan keintiman spiritual. Ungkapan “membuka diri, menutup hati” kini menjadi refleksi populer yang menggambarkan fenomena ini. Tetapi bagaimana jika kita memandangnya dari sudut filsafat Islam? Apa maknanya dalam konteks hikmah, akhlak, dan spiritualitas Islam? Mari kita telusuri lebih dalam.
Pertama; Membuka Diri sebagai Wujud Akal dan Hikmah. Dalam filsafat Islam, manusia dikenal sebagai hayawan natiq — makhluk rasional. Pembukaan diri dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kesediaan untuk berpikir, belajar, dan terhubung secara sosial dan intelektual. Filsuf besar seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menekankan pentingnya pembentukan al-‘aql al-fa‘al (akal aktual), yang dicapai melalui pembelajaran dan interaksi. Dalam pandangan mereka, manusia harus terbuka terhadap ilmu pengetahuan, pengalaman sosial, dan dialog antarbudaya. Membuka diri bukan sekadar menjadi ramah atau komunikatif, tetapi berani menerima perbedaan dan memperkaya diri dengan pemahaman baru. Ini adalah bentuk keterbukaan yang sejati, yang mencerminkan tugas manusia sebagai khalifah di bumi.
Kedua; Menutup Hati: Antara Perlindungan dan Penyucian. Jika membuka diri adalah kebutuhan sosial dan intelektual, maka menutup hati dalam filsafat Islam punya makna yang lebih kompleks dan dalam. Dalam bahasa kitab suci dan tradisi tasawuf, hati (qalb) adalah pusat kesadaran spiritual manusia. Ia bukan sekadar tempat perasaan, melainkan juga tempat ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan), dan ikhlas (ketulusan niat).
Namun, dalam tradisi sufi, menutup hati bisa juga menjadi bentuk penjagaan dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Para sufi seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan Imam Al-Ghazali menekankan bahwa hati harus dijaga dari kesibukan duniawi, dari keterikatan pada makhluk, agar bisa terbuka secara utuh kepada Allah. Oleh sebab itu, menutup hati dari dunia adalah bentuk ikhtiar spiritual untuk menjaga kemurnian cinta hanya kepada Sang Pencipta.
Ketiga; Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat. Filsafat Islam selalu mendorong keseimbangan antara aspek lahir dan batin, antara dunia dan akhirat. Dalam hal ini, frase “membuka diri, menutup hati” dapat dimaknai sebagai upaya untuk bersikap sosial dan terbuka, sambil tetap menjaga kedalaman batin agar tidak tercemari oleh dunia yang fana. Filsuf seperti Ibnu Miskawayh dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq menjelaskan pentingnya menjaga akhlak dalam pergaulan sosial, sambil terus membersihkan hati dari hasad, riya’, dan cinta dunia.
Dalam pandangan ini, “membuka diri” berarti menjalani hidup dengan tanggung jawab sosial, berinteraksi, bekerja, dan menebar manfaat. Sedangkan “menutup hati” berarti tidak membiarkan kehidupan dunia masuk terlalu dalam ke dalam jiwa, agar hati tetap fokus pada tujuan yang lebih tinggi — yaitu kedekatan dengan Allah.
Keempat; Perspektif Tasawuf: Dunia Hanya Lalu-lintas, Bukan Tempat Tinggal. Dalam puisi-puisi sufistik dan hikmah para wali, kita sering menemukan ungkapan yang sejalan dengan tema ini. Ungkapan seorang sufi terkenal pernah berkata:
“Aku bersapa kepada dunia dengan senyum, namun hatiku hanya untuk Tuhanku.”
Ini adalah ekspresi dari “membuka diri, menutup hati” — terbuka dalam interaksi, tetapi tertutup dari ketergantungan pada makhluk. Para sufi percaya bahwa dunia adalah tempat ujian. Bila hati terlalu terbuka pada dunia, maka akan mudah dipenuhi cinta palsu, keinginan duniawi, dan kebimbangan. Namun bila hati hanya terbuka untuk Allah, maka dunia tidak akan menggoyahkan ketenangan batin.
Fenomena ini menunjukkan pentingnya menutup hati, dalam arti memiliki batas, kesadaran, dan kedalaman spiritual yang tak mudah diakses oleh sembarang orang. Filsafat Islam memberikan panduan agar manusia tetap menjadi makhluk sosial yang aktif, tanpa kehilangan jati diri spiritualnya. Dengan menutup hati dari dunia, seseorang justru lebih mampu hadir secara utuh di dunia, karena ia tidak mudah goyah oleh pujian, hinaan, atau ekspektasi manusia.
Filsuf Islam — dari Al-Ghazali sampai Ibnu Sina, dari Farabi hingga Ibn Arabi — telah menanamkan satu pelajaran penting: bahwa hati adalah cermin Ilahi, dan dunia hanya bayangan. Maka, bukalah dirimu pada sesama, tapi lindungilah hatimu untuk Sang Pencipta. Pak dosen mengangguk-angguk setuju; tetapi karena waktu sudah senja maka disepakati mencari waktu yang tepat untuk menggelar diskusi akademik sambil ngopi.
Salam waras.
FIK Universitas Malahayati dan HPU Gelar Pengabdian Masyarakat: Sehat Fisik dan Mental untuk Ibu dan Anak Yatim
Kegiatan dibuka dengan jalan sehat bersama mengelilingi area kampus, dilanjutkan dengan serangkaian pemeriksaan kesehatan gratis oleh dosen-dosen FIK. Pemeriksaan tersebut meliputi pengukuran tekanan darah, cek gula darah, dan kadar asam urat, serta penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan. Selain itu, peserta juga mendapatkan pembagian tablet Fe sebagai upaya pencegahan anemia, khususnya pada ibu dan remaja putri.
Ketua HPU Universitas Malahayati, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes., menekankan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi konsep Health Promoting University atau Kampus Sehat.
“HPU bertujuan menciptakan lingkungan kampus yang mendukung kesehatan fisik, mental, dan sosial. Kegiatan jalan sehat dan pemeriksaan kesehatan ini menjadi salah satu bentuk nyata dari misi tersebut. Harapannya, civitas akademika dan masyarakat sekitar kampus dapat terbiasa dengan perilaku hidup sehat,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pelaksana Pengabdian Masyarakat (BPPM) FIK, Dina Dwi Nuryani, SKM., M.Kes., mengungkapkan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap pemeriksaan kesehatan secara rutin, meskipun tanpa keluhan.
“Masyarakat masih beranggapan bahwa jika tidak memiliki keluhan atau gejala, maka tergolong sehat. Padahal, orang yang tampak sehat belum tentu bebas dari risiko penyakit tidak menular. Pemeriksaan kesehatan penting dilakukan sebagai langkah pencegahan,” ujarnya.
Editor: Gilang Agusman
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H “Semoga semangat pengorbanan, keikhlasan, dan ketulusan dalam Hari Raya Iduladha senantiasa menginspirasi kita semua untuk berbagi dan menebar kebaikan.
Mari jadikan momentum ini sebagai sarana mempererat silaturahmi dan meningkatkan kepedulian sosial.”
Taqabbalallahu minna wa minkum. Selamat merayakan Iduladha bersama keluarga tercinta.
Rektor dan Sivitas Akademika Universitas Malahayati. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Sosialisasikan Hukum Pidana Terkait Kekerasan Seksual kepada Siswa/i SMA Al Quran Bandar Lampung
Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, S.H., M.H., serta disambut hangat oleh Kepala Sekolah SMA Al Qulran H. Akhwan Aziz S.Pd., Gr., M.Pd. Turut hadir pula dosen pendamping Dwi Arassy Aprillia RS., S.H., M.H., bersama lima mahasiswa Fakultas Hukum yang ikut berperan aktif dalam proses edukasi kepada para siswa.
“Memberikan pemahaman hukum sejak dini sangat penting agar siswa tidak hanya memahami hak-haknya, tetapi juga mampu mengenali dan mencegah tindak kekerasan seksual yang bisa terjadi di lingkungan sekitar,” ujar Aditia Arief Firmanto dalam sambutannya.
Melalui kegiatan ini, Fakultas Hukum Universitas Malahayati menegaskan perannya sebagai institusi pendidikan yang tidak hanya fokus pada pengajaran, tetapi juga aktif berkontribusi langsung kepada masyarakat dalam membangun kesadaran hukum, khususnya di kalangan generasi muda.
Fakultas Hukum Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus mengadakan kegiatan serupa sebagai bagian dari implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi dan upaya menciptakan masyarakat yang sadar dan taat hukum. (gil)
Editor: Gilang Agusman