Berpisah, antara Takdir dan Kehendak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat menghadiri acara reunian di tempat sahabat karib beberapa waktu lalu, berjumpa dengan banyak teman-teman lama yang sekarang kami sudah menjadi “Oma dan Opa” berusia senja. Ada diantara mereka sudah hidup sendiri karena ditinggal “pulang” terlebih dahulu oleh pasangannya. Ada seorang Oma yang energik, beliau adalah senior kami. dan jika mengenalkan diri tidak mau menyebut diri ditinggal suami berpulang sekian tahun lalu; tetapi selalu dengan bahasa optimis memperkenalkan diri dengan berkata “Oma dari sekian belas cucu”. Karena dengan bahasa itu beliau merasa tidak sendirian, selalu ada orang yang membersamai dirinya. Luarbiasa semangat Oma ini karena masih mampu tampil di atas panggung ilmiah dengan membawakan pokok pokok pikiran tentang sesuatu hal dengan jernih dan runtut.

Kita tinggalkan sejenak para Oma tadi yang sedang bergembira dan kita telusuri terlebih dahulu tentang bepisah dalam hidup itu merupakan takdir atau kehendak. Sebab, dalam perjalanan hidup, manusia akan selalu bertemu dan berpisah. Pertemuan membawa kebahagiaan, harapan, bahkan cinta. Tapi perpisahan, meskipun pahit, adalah bagian tak terelakkan dari kisah kehidupan. Namun, satu pertanyaan yang sering muncul dalam benak banyak orang adalah: apakah perpisahan merupakan takdir yang tidak bisa kita hindari, atau justru kehendak yang kita pilih sendiri?

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Perpisahan bisa datang dalam berbagai bentuk—putus cinta, perceraian, kehilangan sahabat, keluar dari pekerjaan, bahkan kehilangan karena kematian. Setiap bentuknya membawa rasa sakit dan pemaknaan yang berbeda. Dan sering kali, sulit untuk menentukan apakah semua itu memang sudah digariskan atau kita sendiri yang memutuskannya.

Jika Kita Posisikan Perpisahan Sebagai Takdir

Dalam banyak tradisi kepercayaan, takdir adalah sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini, perpisahan yang terjadi sering dianggap sebagai bagian dari garis hidup yang tidak bisa kita ubah. Takdir dipandang sebagai sesuatu yang harus diterima dengan ikhlas, karena manusia tidak selalu bisa memahami alasan di balik setiap kejadian.

Salah satu bentuk perpisahan yang paling jelas adalah kematian. Tidak ada satu pun manusia yang bisa memilih kapan dan bagaimana perpisahan dengan orang tercinta karena kematian akan terjadi. Kehilangan karena kematian adalah bentuk perpisahan yang paling kuat menunjukkan konsep takdir. Tidak peduli seberapa besar cinta atau usaha untuk menjaga, ketika waktu itu datang, manusia hanya bisa merelakan.

Selain itu, banyak pasangan atau sahabat yang harus berpisah karena kondisi yang tidak bisa dikendalikan. Misalnya, pasangan beda agama yang akhirnya harus merelakan hubungan karena tekanan sosial atau keluarga. Atau sahabat yang harus pindah ke negara lain dan secara perlahan kehilangan komunikasi. Dalam situasi seperti ini, banyak orang berkata, “Mungkin memang bukan jalannya.” Kalimat ini menandakan penerimaan terhadap takdir, seolah berkata bahwa ada hal-hal yang sudah ditentukan, dan tidak semua bisa dipaksakan.

Jika Kita Posisikan Perpisahan Sebagai Pilihan

Namun, tidak semua perpisahan bisa sepenuhnya diserahkan pada takdir. Ada kalanya, manusia sendiri yang memilih untuk berpisah. Pilihan ini bisa lahir dari kesadaran, kelelahan, atau keberanian untuk memulai sesuatu yang baru. Misalnya, dalam hubungan asmara yang tidak sehat. Ketika satu pihak merasa tidak dihargai, sering disakiti, atau terus hidup dalam tekanan emosional, maka memutuskan hubungan menjadi bentuk perlindungan diri. Ini bukan takdir, melainkan bentuk kehendak—keputusan sadar bahwa hidup harus berubah.

Begitu juga dalam konteks pekerjaan. Seseorang bisa saja memutuskan resign karena merasa tidak berkembang, tidak bahagia, atau ingin mencari tantangan baru. Ini adalah bentuk perpisahan yang dilakukan dengan pertimbangan matang. Tidak ada unsur “dipaksa”, melainkan murni keputusan pribadi. Dalam konteks ini, perpisahan menjadi wujud kebebasan memilih jalan hidup.

Keputusan untuk berpisah juga sering kali datang dari keberanian untuk menolak bertahan dalam kenyamanan semu. Banyak orang yang memilih untuk keluar dari hubungan yang tidak membawa kebahagiaan, meskipun di satu sisi masih ada rasa sayang. Ini menunjukkan bahwa kehendak manusia mampu melampaui rasa takut akan kesepian atau kehilangan.

Antara Takdir dan Kehendak

Meski begitu, tidak semua perpisahan bisa dikotak-kotakkan secara tegas sebagai takdir atau kehendak; sering kali, keduanya saling terkait. Banyak orang pada akhirnya berdamai dengan kenyataan bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan. Bahkan keputusan yang kita buat sendiri pun kadang berasal dari keadaan yang seolah sudah diatur sedemikian rupa. Dalam momen seperti ini, takdir dan kehendak berjalan berdampingan, saling mengisi, dan tidak bisa sepenuhnya dipisahkan.

Kesimpulan yang kita dapatkan bahwa kita tidak perlu memilih salah satu diantaranya sebab: apakah berpisah itu takdir atau kehendak? Jawabannya bisa keduanya. Ada perpisahan yang memang tidak bisa kita hindari, dan ada juga yang terjadi karena kita sendiri yang memilih jalan itu. Keduanya bukan untuk disalahkan, melainkan untuk dimaknai. Namun perlu disadari bahwa sekalipun “pilihan untuk berpisah sebagai opsi” itu diijinkan, akan tetapi ada perpisahan yang dimurkai Tuhan. Pertanyaan tersisa, sanggupkah kita menerima murka Tuhan saat kita kembali kelak.

Kasus lain yang juga dapat kita jadikan bahan perenungan; bagaimana merancang bertemu dengan sahabat sudah sejak 2018; namun baru bisa terwujud 2025; ternyata di sana ada tugas keilahian untuk membagi ilmu kepada pihak lain yang sedang mempersiapkan diri untuk mengembangkan lembaga. Betapa rencana bisa dikalahkan oleh takdir manakala kita mau memahami esensi dari kehidupan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Juara 3 Nasional Kumite U21 Putri Kejuaraan Lemkari 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Kabar membanggakan datang dari Universitas Malahayati. Anissa Ade Amelliya (24210007) Mahasiswi Program Studi S1 Akuntansi, berhasil mengharumkan nama kampus dengan meraih Juara 3 kategori Kumite -61 Kg U21 Putri pada Kejuaraan Nasional Lemkari “Piala Ketua Umum Pengurus Besar Lemkari 2025”. Ajang prestisius ini diselenggarakan pada 2 Mei 2024 di GOR Akademi Angkatan Laut, Surabaya, dan diikuti oleh ratusan atlet muda berbakat dari berbagai daerah di Indonesia.

Prestasi ini menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu bersinar di level nasional dalam bidang olahraga, khususnya bela diri karate. Perjuangan Anissa untuk mencapai podium ketiga tentu bukan hal yang mudah. Dibutuhkan latihan intensif, semangat tinggi, dan kedisiplinan luar biasa untuk bersaing di kancah nasional.

Anissa mengungkapkan rasa syukur dan pesan inspiratif bagi generasi muda, khususnya rekan-rekan mahasiswa. “Jangan menyerah, teruslah berusaha dan berdoa karena hasil tidak menghianati usaha,” ujar Anissa penuh semangat.

Ia juga mengungkapkan bahwa pengalaman mengikuti kejuaraan ini membuatnya semakin bangga bisa menjadi bagian dari tim yang solid dan berkomitmen.

“Semangat dan disiplin yang tinggi membuat saya bangga menjadi bagian dari kejuaraan ini. Saya bisa berada di titik ini karena kerja keras dan doa. Saya senang bisa membanggakan keluarga saya dan mengharumkan nama Universitas Malahayati di tingkat nasional,” tambahnya.

Keberhasilan Anissa menjadi motivasi dan inspirasi bagi seluruh civitas akademika Universitas Malahayati untuk terus berprestasi, baik di dalam maupun di luar kampus. Pencapaian ini juga menjadi cermin bahwa dengan tekad kuat dan semangat pantang menyerah, mahasiswa dapat mencapai apa pun yang mereka impikan.

Selamat untuk Anissa Ade Amelliya atas prestasinya! Semoga terus menorehkan pencapaian gemilang dan membawa nama Universitas Malahayati ke panggung yang lebih tinggi. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Berubah atau Mengubah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu Mas Heri Wardoyo (HRW) mengirimkan tulisan “Palu, Paku dan Dunia”; yang bersumber dari perenungan membaca karya Abraham Maslow (AM). Kebetulan tokoh ini sangat familiar untuk saya karena ada tulisan monumental yang sampai hari ini menjadi rujukan para ilmuwan dunia yaitu tentang Teori Motivasi. Seolah HRW dan AM bagai “tumbu oleh tutup” (istilah Jawa, tumbu adalah wadah kecil dari anyaman bambu, biasanya untuk menyimpan makanan. Tutup, adalah penutup yang pas untuk tumbu tersebut. Terjemahan bebasnya, pasangan yang cocok satu sama lain atau jodoh yang serasi). Dan, tentu saja tulisan seorang jurnalis senior sekaliber HRW membahas AM seolah juga bagai itik bertemu air, maka akan berselancar sukaria.

Berdasarkan pemahaman itu, tulisan ini akan mencoba melihat dari sudut pandang lain, yaitu dikaitkan dengan filosofi “Berubah atau Mengubah”. Berdasarkan sejumlah sumber literatur digital ditemukan informasi bahwa hubungan antara filsafat “Palu dan Paku” dengan konsep “Berubah atau Mengubah” sangat erat dan sangat filosofis—keduanya menyentuh cara manusia menghadapi realitas dan memilih bertindak terhadapnya.

Filsafat “Palu dan Paku”

Konsep “Palu dan Paku” menggambarkan, jika satu-satunya alat yang kamu punya adalah palu, semua masalah tampak seperti paku. Artinya, seseorang cenderung mengubah dunia agar cocok dengan dirinya, bukan mengubah diri agar cocok dengan dunia. Ini adalah pola pikir mengubah lingkungan secara paksa, bukan berubah dari dalam.

Konsep Berubah atau Mengubah

Berubah adalah transformasi internal, adaptasi, refleksi, dan pertumbuhan diri. Sedangkan mengubah adalah usaha untuk mengendalikan atau mengintervensi lingkungan, orang lain, atau situasi eksternal.

Inti gagasannya adalah orang yang hanya punya “palu” sering gagal berubah (mengembangkan keterampilan, perspektif, empati), dan malah berusaha mengubah dunia agar sesuai dengan alat yang dimiliki. Ini bisa berbahaya—misalnya, menyelesaikan konflik emosional dengan kekuatan atau otoritas karena tidak punya alat komunikasi.

Sebaliknya, kesadaran bahwa tidak semua masalah adalah paku, mendorong seseorang untuk berubah lebih dulu—membangun lebih banyak alat, memperluas cara berpikir, dan akhirnya menjadi agen perubahan yang lebih bijak.
Pembahasan filsafat “Palu dan Paku” agar lebih mendalam bisa dilakukan dengan membedahnya dalam kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi—tiga cabang utama dalam filsafat.

Dari aspek Ontologi—Hakikat Realitas dan Manusia. Pertanyaannya? Apa hakikat masalah dan alat dalam kehidupan manusia?. Apakah dunia memang terdiri dari paku yang siap dipukul?. Jawabannya adalah, secara ontologis, “Palu dan Paku” menyimbolkan reduksionisme realitas—dimana seseorang melihat dunia secara sempit, menyederhanakan kompleksitas kehidupan menjadi sesuatu yang bisa ditangani oleh satu alat atau cara. Ini mengaburkan hakikat realitas yang majemuk. Filsafat eksistensial seperti dari Heidegger atau Kierkegaard akan melihat ini sebagai kegagalan manusia untuk autentik—karena ia tidak menyelami realitas dengan penuh tanggung jawab, tetapi memilih “alat siap pakai” tanpa pertimbangan eksistensial.

Dari aspek Epistemologi—Cara Mengetahui dan Berpikir. Pertanyaannya, bagaimana seseorang membangun pemahaman terhadap masalah?. Mengapa seseorang cenderung memilih satu alat untuk semua masalah?. Jawabannya adalah, dari sisi epistemologi, “Palu dan Paku” mencerminkan bias kognitif atau kerangka berpikir tetap (fixed mindset). Seseorang belajar secara sempit dan tidak terbuka terhadap pengetahuan baru. Dalam epistemologi pragmatis, seperti dari John Dewey, kita diajak untuk memperluas “alat berpikir” berdasarkan pengalaman. Dalam konteks ini, seseorang yang selalu membawa palu adalah orang yang tidak belajar dari pengalaman, dan tidak membangun keragaman cara berpikir atau pendekatan (inquiry-based thinking).

Dari aspek Aksiologi – Nilai dan Etika Tindakan. Pertanyaannya, apa nilai dari terus-menerus menggunakan palu?. Apakah etis memaksakan alat kita ke masalah yang berbeda? Jawabannya adalah: Secara aksiologis, penggunaan “palu” secara sembarangan menunjukkan pendekatan instrumentalis terhadap dunia—melihat segalanya sebagai objek untuk dikendalikan, bukan untuk dipahami. Ini bisa melahirkan tindakan tidak etis, terutama dalam relasi sosial. Filsuf seperti Emmanuel Levinas akan mengkritik ini karena mengabaikan wajah orang lain sebagai subjek. Orang yang selalu memegang palu mungkin cenderung mengobjekkan orang lain, alih-alih mendengarkan dan berdialog.

Apa kaitannya dengan Konsep Berubah atau Mengubah?
Berubah (transformasi diri): Melalui proses ontologis (menyadari kompleksitas realitas), epistemologis (memperluas cara berpikir), dan aksiologis (menimbang nilai dan etika), seseorang keluar dari perangkap “palu dan paku”.

Mengubah (transformasi eksternal), hanya akan bijak dilakukan jika seseorang sudah mengalami transformasi internal terlebih dahulu.
Filsafat “Palu dan Paku” bukan sekadar sindiran kognitif, melainkan kritik atas kegagalan manusia dalam menjalani kehidupan secara utuh dan reflektif. Ia menyentuh soal kemandekan eksistensial, kebuntuan kognitif, dan kekeliruan etis dalam menghadapi dunia.

Pertanyaan “Berubah atau Mengubah?” adalah pertanyaan eksistensial dan etis—dan ketika kita menghubungkannya dengan filsafat Palu dan Paku, muncul gambaran yang sangat kuat tentang pilihan cara manusia merespons dunia: apakah dia akan berubah dari dalam, atau memaksakan perubahan ke luar berdasarkan cara pandangnya yang terbatas.

Ketika kita menghadapi dunia hanya dengan satu alat (cara berpikir, strategi, kepercayaan, ideologi), maka kita cenderung mengubah lingkungan secara paksa agar sesuai dengan alat tersebut. Menolak untuk berubah secara internal karena itu lebih menantang secara psikologis dan eksistensial. Dalam filsafat transformasi diri (seperti dalam pemikiran Kierkegaard, Paulo Freire, atau Carl Jung), berubah lebih penting sebagai tahap awal, karena perubahan eksternal yang bijak hanya mungkin lahir dari kesadaran dan perubahan diri terlebih dahulu.

Kesimpulannya adalah; Palu dan Paku adalah metafora keterbatasan. Dan pilihan untuk “Berubah atau Mengubah” adalah ujian dari kedewasaan berpikir. Filsafat menantang kita untuk bertanya: Apakah aku menghadapi dunia dengan satu alat, ataukah aku cukup rendah hati untuk memperluas cara berpikirku?. Tentu jawabannya kembali kepada kejernihan dan kebeningan hati dalam melihat segala persoalan yang ada di dunia ini. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Resmi Jalin Kerja Sama Strategis dengan Pemerintah Kota Metro dan RSUD Jend. A. Yani

METRO (malahayati.ac.id): Dalam semangat kolaborasi dan peningkatan mutu pendidikan serta layanan kesehatan, Universitas Malahayati melakukan kunjungan resmi ke Kantor Pemerintah Kota Metro pada Selasa (6/5/2025). Kunjungan ini menjadi momentum penting dengan dilaksanakannya penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Universitas Malahayati dengan Pemerintah Kota Metro serta antara Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati dengan RSUD Jenderal Ahmad Yani Kota Metro.

Rombongan Universitas Malahayati dipimpin langsung oleh Rektor, Dr. Muhammad Kadafi, S.H., M.H., yang hadir bersama jajaran pimpinan kampus, antara lain Wakil Rektor I hingga IV, para Dekan dari Fakultas Kedokteran, Ilmu Kesehatan, Teknik, Hukum, serta Ekonomi dan Manajemen, Kepala Bagian Kerjasama, Kepala Bagian Humas dan Protokol, Ketua Program Studi, hingga perwakilan dosen.

Kedatangan rombongan disambut hangat oleh Walikota Metro, Hj. Bambang Iman Santoso, S.Sos., M.Pd.I, bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Direktur RSUD Jenderal Ahmad Yani, dr. Fitri Agustina, M.K.M., beserta jajaran manajemen rumah sakit.

Penandatanganan MoU ini mencerminkan komitmen bersama untuk membangun sinergi dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tujuan utama dari kerja sama ini adalah untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan, mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta mendukung pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, sambil menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma pendidikan tinggi serta pemerintahan daerah.

Dalam sambutannya, Dr. Muhammad Kadafi, S.H., M.H. menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi atas sambutan hangat dari Pemerintah Kota Metro. “Kami sangat antusias bisa menjalin kerja sama ini. Kehadiran Universitas Malahayati di Kota Metro diharapkan dapat menjadi warna baru dalam dunia pendidikan dan layanan kesehatan di sini. Semoga kerja sama ini memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan Kota Metro ke depan, terutama dalam peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Walikota Metro, Hj. Bambang Iman Santoso, S.Sos., M.Pd.I, menyambut baik kolaborasi ini dan berharap agar kerja sama yang terjalin membawa manfaat luas bagi masyarakat. “Kami merasa bangga dan bahagia bisa menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan melalui kolaborasi dengan Universitas Malahayati. Semoga kerja sama ini mendatangkan berkah dan barokah dari Allah SWT. Kami yakin sinergi ini akan memperkuat fondasi pembangunan Kota Metro di masa depan,” tutur Walikota.

MoU ini sekaligus membuka peluang yang lebih luas bagi mahasiswa Universitas Malahayati untuk terlibat langsung dalam dunia nyata melalui program praktik lapangan, dan penelitian terapan. Secara khusus, kolaborasi dengan RSUD Jenderal Ahmad Yani menjadi pintu masuk strategis bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk mengasah kompetensi klinis dan profesionalisme mereka. Lebih dari itu, kerja sama ini diharapkan menjadi contoh nyata sinergi yang harmonis dan berkelanjutan antara perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan institusi layanan kesehatan dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan berdampak bagi masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Dosen Universitas Malahayati, Nova Muhani Terima SK Lektor Kepala dari LLDIKTI Wilayah II

PALEMBANG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati kembali menorehkan prestasi membanggakan. Nova Muhani, SST., MKM., dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, secara resmi menerima Surat Keputusan (SK) Penetapan Angka Kredit (PAK) untuk jabatan akademik Lektor Kepala. Penyerahan SK dilakukan langsung oleh Kepala LLDIKTI Wilayah II, Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc., dalam sebuah seremoni khidmat yang berlangsung di Kantor LLDIKTI Wilayah II, Palembang, Senin (5/5/2025).

Momen penuh kebanggaan ini juga dihadiri oleh jajaran pimpinan Universitas Malahayati. Wakil Rektor I, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., turut hadir untuk memberikan selamat dan dukungan langsung kepada Nova Muhani, SST., MKM turut mendampingi pula Kepala Bagian Humas dan Protokol Universitas Malahayati, Emil Tanhar, S.Kom.

Prof. Dessy Hermawan menyampaikan apresiasi atas dedikasi dan kerja keras Nova Muhani yang berhasil meraih jenjang jabatan akademik prestisius tersebut. Ia berharap capaian ini dapat menjadi pemicu semangat bagi dosen-dosen lainnya di lingkungan Universitas Malahayati. “Selamat kepada Ibu Nova atas pencapaian luar biasa ini. Jabatan Lektor Kepala adalah buah dari komitmen, ketekunan, dan dedikasi dalam dunia akademik”.

“Kami berharap pencapaian ini bisa menjadi inspirasi bagi rekan-rekan dosen lainnya untuk terus mengembangkan diri dan memperjuangkan jabatan akademik yang lebih tinggi,” ujar Prof. Dessy.

Nova Muhani mengatakan, Kenaikan jabatan fungsional menjadi bukti nyata bahwa dosen memiliki kompetensi yang memadai dalam bidangnya dan mampu berkontribusi pada tri dharma perguruan tinggi.
”Jenjang akademik juga menjadi motivasi bagi dosen untuk terus meningkatkan diri, melakukan penelitian, dan menghasilkan karya ilmiah,” ucapnya.

Prestasi dalam penelitian dan publikasi dapat menjadi salah satu syarat untuk naik jabatan, sehingga dosen akan termotivasi untuk lebih produktif.

Tak lupa, Nova berterimakasih kepada Universitas Malahayati selama proses pengajuan jenjang Lektor kepala selalu mendapat dukungan dari civitas akademika dan difasilitasi Tim Penilai angka kredit dan Tim IT yang sangat responsif.

“Saya sangat berterima kasih atas dukungan dan kemudahan yang diberikan LLDIKTI II selama proses pengajuan kenaikan jabatan akademik dosen. Atas pelayanan yang profesional, tandasnya.

Penetapan Nova Muhani, SST., MKM sebagai Lektor Kepala menjadi bukti nyata bahwa Universitas Malahayati terus mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya tenaga pengajar, demi kemajuan institusi dan kontribusi lebih luas bagi dunia pendidikan serta kesehatan masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Menanam Harap Menuwai

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu menghadiri undangan teman lama sekaligus temu kangen lintas alumni waktu sekolah di progam sarjana beberapa puluh tahun lalu. Pertemuan yang diinisiasi oleh teman lama sudah menjadi tokoh sentral di daerah ini menjadi begitu meriah, sekalipun yang hadir hanya segelintir, tetapi mereka semua tajir. Ini terbukti dengan hambatan usia yang sudah senja tidak menjadi halangan, mereka hadir dengan sukaria, tentu dengan selera tua.

Disela kegiatan itu juga diisi dengan menghadiri dan sekaligus menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional tentang Pendidikan, yang diselenggarakan oleh satu perguruan tinggi milik organisasi terkenal dan papan atas di negeri ini. Organisasi ini akan meningkatan perguruan tinggi yang ada untuk disatukan menjadi satu universitas. Tentu saja semua kita yang hadir lebih dari duaratus orang berharap pertemuan itu membawa rahmat; sehingga univeritas yang menjadi kebanggaan daerah ini segera terwujud.

Dari berbagai sumber digital ditemukan pemahaman bahwa hidup tidak selalu berjalan lurus dan mudah. Jalan yang kita lalui terkadang dihiasi oleh kerikil tajam, tanjakan curam, bahkan badai yang mengguncang hingga membuat langkah tersendat. Di tengah tantangan itu, ada satu hal yang mampu menjadi pijakan bagi jiwa yang lelah: “harapan”. Ia adalah secercah cahaya yang tetap menyala meski gelap menyelimuti. Ia adalah kekuatan yang sering kali tak terlihat, tetapi mampu menggerakkan manusia untuk bangkit dan melangkah lagi.

Immanuel Kant, seorang filsuf besar dari Jerman, pernah berkata, “Hope is the pillar that holds up the world.” — Harapan adalah tiang yang menopang dunia. Bagi Kant, harapan bukan sekadar ilusi atau penghibur diri, melainkan kekuatan moral yang mendorong manusia untuk terus berbuat baik meskipun hasilnya belum tampak. Dalam pengertian inilah harapan menjadi sesuatu yang luhur dan mendalam, bukan pasif, tetapi aktif dan membentuk tindakan nyata.

Menanam harapan berarti percaya bahwa setiap usaha, sekecil apa pun, akan menghasilkan sesuatu yang bermakna. Dalam setiap doa yang terucap, dalam setiap keringat yang mengucur, terselip harapan bahwa suatu saat semua akan berbuah baik. Namun, harapan bukan hanya angan-angan kosong. Ia butuh tanah yang subur berupa niat yang lurus, pupuk berupa usaha yang sungguh-sungguh, dan air berupa kesabaran yang tak kenal lelah. Tanpa semua itu, harapan akan layu bahkan sebelum sempat tumbuh.

Friedrich Nietzsche, seorang filsuf yang dikenal karena pandangan hidupnya yang tajam dan keras, secara sinis menyebut harapan sebagai “the worst of all evils, because it prolongs the torment”. Namun dalam tafsir yang lebih reflektif, kutipan itu justru mengingatkan kita bahwa harapan tidak boleh dipelihara secara buta. Harapan harus diiringi kesadaran dan keberanian untuk menghadapi kenyataan. Dengan begitu, harapan menjadi kekuatan, bukan jebakan.

Sementara itu rahmat tidak selalu datang dalam bentuk materi atau keberhasilan yang gemerlap. Kadang, rahmat hadir dalam bentuk kekuatan untuk bertahan, keberanian untuk memulai lagi, atau kebijaksanaan yang lahir dari luka. Kita mungkin tidak mendapatkan apa yang kita minta, tapi kita diberi apa yang lebih kita butuhkan. Inilah yang oleh Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis Denmark, disebut sebagai “leap of faith”—sebuah lompatan iman yang melibatkan harapan kepada sesuatu yang lebih tinggi, kepada makna yang belum bisa kita pahami sepenuhnya sekarang, tetapi kelak akan terjelaskan.

Dalam kehidupan sosial, harapan juga punya dampak besar. Harapan yang ditanam seorang guru dalam diri murid-muridnya bisa mengubah masa depan mereka. Harapan yang disuarakan oleh seorang pemimpin bisa membangkitkan semangat bangsa. Bahkan harapan kecil yang kita berikan pada teman yang sedang terpuruk bisa menjadi titik balik bagi hidupnya. Oleh karena itu, menanam harapan bukan hanya tindakan individual, tetapi juga wujud kepedulian sosial. Kita tidak hidup sendirian; kebaikan yang kita tanam bisa menjadi cahaya bagi orang lain yang sedang berada dalam gelap, bahkan ketersesatan.

Ada kalanya kita merasa lelah karena harapan yang kita tanam belum juga berbuah. Namun, seperti petani yang sabar menunggu musim panen, kita pun harus percaya bahwa waktu yang datang dari Tuhan selalu tepat. Kita tidak bisa memaksa hasil datang lebih cepat, tapi kita bisa memastikan bahwa kita tidak berhenti menanam. Kita bisa terus menumbuhkan harapan di tengah kesulitan, terus menyiraminya dengan kerja keras, dan terus menjaganya dengan doa dan keikhlasan.

Akhirnya, hidup ini adalah proses panjang menanam harapan dan memanen rahmat. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok, tapi suatu saat, segala yang kita tanam dengan niat baik akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lebih baik. Jangan pernah remehkan kekuatan harapan, karena dari situlah lahir keberanian untuk hidup, kekuatan untuk bertahan, dan keikhlasan untuk menerima. Seperti kata Plato, “We must not lose hope in humanity. We are all in this together.” Maka, selama harapan masih hidup dalam hati manusia, rahmat pun akan selalu punya jalan untuk hadir. Tinggal kita sebagai manusia mampukan menjaga hati agar tetap dekat kepada siempunya harapan; karena hanya yang Maha Pemberi-lah paham akan kebutuhan kita dan kapan waktunya harapan itu diwujudkan dalam kenyataan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

LPMI Universitas Malahayati Gelar Kegiatan Monitoring dan Evaluasi untuk Tingkatkan Mutu Internal

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Lembaga Penjaminan Mutu Internal (LPMI) Universitas Malahayati melaksanakan kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) pada tanggal 05 Mei – 09 Mei 2025, sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk memastikan penerapan standar mutu dalam seluruh aspek kegiatan akademik dan non-akademik.

Kegiatan monev kali ini difokuskan pada SDM, Pengajaran, Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, Kerja Sama, dan Mahasiswa Baru, dengan tujuan untuk menilai kesesuaian antara pelaksanaan kegiatan dengan standar yang telah ditetapkan oleh institusi maupun regulasi nasional.

Tim LPMI yang diketuai oleh Dr. M. Arifki Zainaro, S.Kep., Ns., M.Kep dengan anggota Tim Monev Prima Dian Furqoni, S.Kep., Ns., M.Kes dan Setiawati, S.Kep., Ns., M.Kep. Sp. Kep. An, melakukan serangkaian observasi, wawancara, dan peninjauan dokumen sebagai bagian dari proses evaluasi. Hasil monev akan menjadi dasar penyusunan rekomendasi perbaikan berkelanjutan yang akan disampaikan kepada pimpinan institusi dan unit terkait.

“Kegiatan monev ini bukan hanya sekadar penilaian, tetapi menjadi bagian penting dari siklus penjaminan mutu. Harapannya, setiap unit kerja semakin sadar dan aktif dalam membangun budaya mutu,” ujar Dr. Arifki.

LPMI berkomitmen untuk terus mendorong peningkatan mutu melalui pendekatan sistematis, berkelanjutan, dan berbasis data. Rencana tindak lanjut dari hasil monev akan dilaksanakan secara bertahap dalam beberapa bulan ke depan.

Dengan pelaksanaan monev yang konsisten dan menyeluruh, Universitas Malahayati berharap dapat mewujudkan tata kelola pendidikan tinggi yang unggul, akuntabel, dan berdaya saing serta berdampak pada masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Kepastian yang Tidak Pasti

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir pekan yang terik penanda mulai masuk ke musim kemarau sudah mulai terasa. Suhu yang meningkat dan hembusan angin yang kering, seolah melengkapi penanda, walaupun di ujung ufuk sana masih ada warna awan hitam seolah menggantung harapan akan hujan. Semua mencerminkan bahwa kepastian yang tidak pasti itu selalu hadir dalam kehidupan manusia. Tidak salah jika orang cerdik pandai berkata “kepastian yang pasti ya ketidakpastian itu sendiri”; karena tidak seorangpun diantara kita yang mengetahui apa yang akan terjadi beberapa saat kedepan.

Berdasarkan telusuran digital ditemukan informasi konsep dasar “kepastian yang tidak pasti” merupakan keyakinan subyektif di tengah ketidakpastian obyektif. Manusia sering merasakan kepastian dalam dirinya sendiri (keyakinan, iman, keputusan), meskipun tidak ada jaminan atau bukti luar yang memastikan hal itu benar. Hal ini muncul disebabkan oleh karena realitas sering tidak bisa diketahui secara mutlak (semua bisa berubah, terbatas, atau tidak terjangkau nalar). Namun demikian manusia tetap butuh makna, arah, dan keputusan untuk hidup dan bertindak.

Oleh karena itu maka manusia “menciptakan” kepastian dalam dirinya sendiri, meskipun sebenarnya dia tahu itu belum tentu benar sepenuhnya. Oleh karena itu pernyataan yang menyatakan “Aku yakin, meski aku tahu aku tidak bisa yakin sepenuhnya.”; Itu bukan kelemahan logika, tetapi justru kekuatan manusia sebagai makhluk sadar, yang bisa membuat keputusan meski dunia tidak memberikan jaminan.

Konsep “kepastian yang tidak pasti” menyentuh tema yang sangat mendalam dalam filsafat manusia, terutama dalam ranah epistemologi (teori pengetahuan), eksistensialisme, dan bahkan postmodernisme. Mari kita telusuri secara perlahan.

Pertama, Epistemologi : Kepastian dan Ketidakpastian.
Dalam epistemologi klasik (Plato, Descartes), kepastian dianggap sebagai puncak pengetahuan. Descartes, misalnya, mencari dasar pengetahuan yang pasti melalui keragu-raguan metodis—dan akhirnya menemukan cogito ergo sum (“aku berpikir maka aku ada”) sebagai satu-satunya hal yang pasti. Namun, banyak filsuf kemudian—seperti David Hume dan Immanuel Kant—menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan kita tentang dunia empiris sebenarnya tidak pernah sepenuhnya pasti. Kita hanya bisa bicara tentang probabilitas atau “kepastian praktis”. Dengan demikian: Kepastian itu lebih ideal daripada riil, oleh sebab itu dalam praktiknya, manusia hidup dalam zona ketidakpastian.

Kedua, Eksistensialisme : Menerima Ketidakpastian sebagai Kenyataan Hidup.
Filsuf seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre justru melihat ketidakpastian sebagai bagian esensial dari eksistensi manusia. Mereka menolak ilusi akan kepastian mutlak dan mendorong manusia untuk menerima absurditas hidup. Oleh karena itu harus membuat pilihan dengan penuh tanggung jawab meski tanpa jaminan benar atau salah. Oleh sebab itu dalam pandangan ini, “kepastian yang tidak pasti” bisa berarti bahwa satu-satunya kepastian dalam hidup adalah ketidakpastian itu sendiri—dan tugas manusia adalah menciptakan makna dalam ruang kosong itu.

Ketiga, Postmodernisme : Kepastian Dianggap Ilusi
Filsuf postmodern seperti Jacques Derrida atau Jean-François Lyotard bahkan lebih jauh lagi: mereka mempertanyakan gagasan tentang kebenaran universal dan narasi besar (grand narrative). Dalam pandangan ini, kepastian dianggap sebagai konstruksi budaya atau bahasa—dan selalu bisa didekonstruksi. Sebab itu mereka berpandangan kepastian yang tidak pasti adalah wujud dari kesadaran bahwa semua yang tampak kokoh bisa retak.

Secara ringkas dapat kita pahamkan bahwa manusia merindukan kepastian, namun hidup dalam dunia yang tak pasti. Maka, filsafat manusia mendorong kita untuk: (1). Menerima bahwa kepastian mutlak itu mitos, (2). Menjalani hidup dengan kesadaran reflektif, dan (3) menciptakan makna tanpa harus menunggu jaminan.

Wajar saja jika dalam pandangan budaya ada pepatah yang mengatakan “esuk dele, sore tempe” terjemahan bebasnya pagi kedelai, sore tempe. Maksudnya segala sesuatu di dunia ini sangat pasti akan berubah, yang tidak berubah ya perubahan itu sendiri. Oleh karena itu Tuhan sudah mengingatkan melalui Firman-Nya yang tertulis dalam kitab suci yang terjemahan bebasnya “Jangan kau cintai sesuatu secara berlebihan karena pada masanya nanti akan kau benci, dan, jangan pula kau benci sesuatu secara berlebihan karena pada waktunya dia akan kau sayangi”. Orang Jawa mengatakan “urip sakmadyo” artinya hiduplah secukupnya, tidak berlebihan. Sekalipun adagium itu mudah diucapkan namun kenyataannya sangat sulit dijalankan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Menuju ICESH 2025, Rapat Perdana Panitia Bahas Strategi dan Sinergi Tim

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Persiapan menuju The 2nd International Conference on Economy, Social, and Humanity (ICESH) 2025 resmi dimulai. Rabu, 30 April 2025, rapat perdana panitia penyelenggara digelar di Ruang Rapat Lantai 5 Gedung Rektorat Universitas Malahayati, menandai langkah awal dari perhelatan akademik berskala internasional yang rencananya akan berlangsung pada 28–29 Juli 2025 mendatang.

Pertemuan ini dihadiri oleh 25 peserta, terdiri atas dosen-dosen dari Fakultas Ekonomi & Manajemen, Fakultas Hukum, serta para staf yang tergabung dalam struktur kepanitiaan. Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Pelaksana, Dr. Febrianty, S.E., M.Si., yang dalam sambutannya menekankan pentingnya kolaborasi dan komitmen lintas divisi demi kesuksesan acara.

ICESH bukan hanya sekadar konferensi, tetapi juga ruang aktualisasi ide-ide besar untuk masa depan yang berkelanjutan. Kita butuh kerja tim yang solid sejak awal,” ujar Dr. Febrianty penuh semangat.

Agenda rapat mencakup pembagian tugas awal, pemaparan rencana kerja masing-masing divisi, serta strategi jangka pendek untuk menghadapi tenggat waktu yang sudah ditentukan. Para koordinator divisi memanfaatkan momen ini untuk menyampaikan kebutuhan sumber daya serta membangun sinergi lintas bidang. Diskusi berlangsung dinamis dan penuh antusiasme, memperlihatkan semangat kolektif untuk menciptakan gelaran yang berdampak.

ICESH 2025 sendiri akan mengangkat tema besar “Sustainable Development Goals: The Intersection of Economic Policies and Environmental Law”, yang diharapkan dapat menjadi wadah dialog strategis antara akademisi, profesional, dan pemangku kebijakan dalam menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan. Tak hanya itu, konferensi ini juga menjadi platform bagi para peneliti muda untuk mempublikasikan karya ilmiah mereka melalui prosiding atau jurnal terindeks.

Rapat perdana ini menjadi fondasi penting dalam menyusun langkah-langkah strategis ke depan. Dengan semangat kebersamaan yang telah terbangun sejak dini, ICESH 2025 diyakini akan menjadi ajang intelektual yang lebih inklusif, relevan, dan berdampak luas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Raih Beasiswa KIP Universitas Malahayati Tahun 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Hallo Adik-adik semua…Ini dia informasi yang udah kalian tunggu-tunggu. Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Malahayati Bandarlampung JALUR BEASISWA KIP KULIAH tahun 2025 SUDAH DIBUKA..!

Informasinya selengkapnya bisa dilihat disini KIP Kuliah Universitas Malahayati 2025

Raih masa depan dan cita-cita kamu dengan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Ayo bergabung di Universitas Malahayati, Kampus terkeren di Lampung Melalui Jalur Beasiswa KIP Kuliah 2025.

——————————————————
SEMUA BISA KULIAH… !! (gil)

Editor: Gilang Agusman