Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sanepa (biasa dibaca sanepo) merupakan bentuk gaya bahasa dalam kesusatraan Jawa yang berfungsi untuk menyampaikan sindiran secara halus. Berdasarkan penelusuran digital, ditemukan makna “sanepo” dalam bahasa Jawa merujuk pada bahasa kiasan atau ungkapan yang tidak disampaikan secara langsung, melainkan melalui perumpamaan, sindiran, atau simbol. Makna sanepa biasanya memerlukan penafsiran lebih lanjut untuk memahami maksud sebenarnya yang ingin disampaikan oleh pembicara. Dalam budaya Jawa, sanepa sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, karya sastra, maupun dalam tradisi lisan seperti wayang dan tembang.
Penggunaan sanepo dapat berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan kritik atau nasihat secara halus agar tidak menyinggung perasaan orang lain secara langsung. Selain itu, sanepo juga bisa menjadi bentuk penghormatan, kebijaksanaan, dan kearifan lokal dalam komunikasi antarindividu maupun dalam masyarakat luas.
Contoh sanepo adalah peribahasa atau pepatah Jawa seperti “ngunduh wohing pakarti” yang berarti “memetik hasil dari perbuatan sendiri”. Kalimat ini tidak menyatakan secara eksplisit perbuatan baik atau buruk, tetapi mengandung makna bahwa setiap tindakan akan membawa konsekuensi yang harus diterima oleh pelakunya.
Penjelasan lebih lanjut mengatakan aanepa merupakan salah satu bentuk seni berbahasa yang sangat dihargai dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai karya sastra.
Berikut adalah beberapa aspek lain dari sanepa yang memberikan penjelasan lebih mendalam tentang maknanya. Pertama, simbolisme dan perumpamaan. Maksudnya, sanepa sering menggunakan simbol atau perumpamaan untuk menyampaikan pesan. Misalnya, dalam cerita wayang, tokoh-tokoh dan peristiwa sering merupakan simbol dari nilai-nilai moral atau sosial tertentu, seperti Sengkuni untuk mewakili mereka yang suka adu domba, Bimasena untuk mewakili mereka yang berjiwa kesatria, dan lain sebagainya.
Kedua, kearifan lokal. Sanepa mencerminkan kearifan lokal masyarakat (Jawa) yang mengutamakan kesopanan dan keharmonisan dalam berkomunikasi. Melalui sanepo, seseorang dapat menyampaikan kritik atau nasihat dengan cara yang lebih halus dan tidak langsung, sehingga lebih bisa diterima dan didengar oleh pihak lain yang dimaksud.
Ketiga, pembelajaran dan pendidikan. Dalam konteks pendidikan, sanepa digunakan sebagai alat untuk mengajarkan nilai-nilai dan kebijaksanaan kepada generasi muda. Cerita-cerita rakyat, mitos, dan legenda yang mengandung sanepo sering digunakan untuk menyampaikan pesan moral. Contoh, cerita Joko Tingkir untuk menanamkan nilai-nilai kejuangan, dan sebagainya.
Pertanyaan tersisa, masih efektifkah sanepa digunakan pada saat ini dalam rangka menemukenali dan melestarikan budaya para leluhur, umumnya pada masyarakat Nusantara? Jawabannya tentu sangat sulit sekali mengingat perubahan nilai, dan budaya saat ini sedang berlangsung begitu cepat akselerasinya.
Sebagai contoh ungkapan “ngono yo ngono..ning ojo ngono”. Secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi “begitu ya begitu, tapi jangan begitu.” Namun, untuk memahami makna ungkapan ini dengan lebih dalam, kita perlu melihat konteks budaya dan makna kiasan yang ada di baliknya.
Secara lebih rinci, ungkapan ini mengandung makna sebagai berikut. Pertama, pengakuan situasi. “Ngono yo ngono” berarti mengakui bahwa suatu tindakan atau keadaan memang benar atau bisa dimaklumi dalam konteks tertentu.
Kedua, peringatan atau batasan moral. “Ning ojo ngono” berarti “tetapi jangan begitu”. Ini maksudnya memberikan peringatan atau batasan bahwa meskipun tindakan tersebut dapat dimaklumi, sebaiknya jangan dilakukan dengan cara yang berlebihan, merugikan, atau tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Pada konteks kedua ini lebih kepada kepatutan yang saat ini sudah tergerus oleh sifat hedonis, ingin menang sendiri, mencari selamat sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana pupusnya harapan orang tua kepada anak untuk sekolah manakala pejabatnya mengatakan pendidikan tinggi itu kebutuhan tersier; oleh sebab itu harganya mahal. Seolah-olah negara tidak mau hadir ditengah rakyatnya; dan ini menciderai nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat. Secara tersirat hal tersebut ingin mengatakan ..”kalau miskin gak usah kuliah”….
Meminjam istilah H.Oma Irama itu, terlalu, jika sanepa di atas digunakan pada konteks ini akan berubah menjadi “silakan begitu, walaupun memang harus begitu”. Oleh sebab itu, tidak salah jika orang bijak memberikan sanepa sebagai ssindiran yang sangat tajam dan menghunjam yang berujar: “Di dunia ini ada tiga golongan yang tidak bisa di lawan, yaitu orang kaya, penguasa, dan orang gila.
Kalau ketiga konteks tadi disejajarkan, maka betapa tidak enaknya pada kesejajaran ketiga. Namun tampaknya itu yang ingin dimaksud oleh pembuat sanepo tadi, yaitu mensejajarkan orang kaya yang lalim, penguasa yang dholim itu sama dan sebangun dengan orang gila.
Pada akhirnya negara tidak salah jika akan menjadi pengekspor tenaga kerja keluar negara lain karena negaranya tidak mampu mengurus dan menghidupi rakyatnya. Dengan bangganya mereka diberi label “sanepa” sebagai “pahlawan devisa” padahal mereka bekerja pada sector informal dinegara lain dengan diberi label sanepa keren “asisten trumah tangga”. Itupun saat ingin pulang ke negerinya sendiri harus berhadapan dengan kadal-kadal yang siap mengadali semua barang bawaan yang mereka kumpulkan bertahun-tahun dengan nilai tak seberapa.
“Jika zaman penjajah sekolah negeri bukan untuk anak pribumi, setelah merdeka sekolah bukan untuk anak miskin”. Luarbiasa memang sanep di negeri ini. Itu pun dibela oleh menterinya mengatakan bahwa uang kuliah tunggal hanya untuk mahasiswa baru. Bayangkan jika ada anak dari satu keluarga masuk fakultas tertentu dengan biaya pertama di atas seratus juta, dengan biaya setiap semesternya duapuluh lima juta. Apakah rasional jika ini dikenakan kepada mereka yang berpenghasilan rata-rata lima juta perbulan dengan jumlah keluarga lima orang dalam satu rumah tangga.
Pertanyaannya, apa yang mau dijual untuk bayar uang kuliah? Keanehan itu semakin menjadi-jadi jika dikaitkan dengan adanya perguruan tinggi yang tidak menaikkan biaya kuliahnya. Peristiwa ini sebenarnya suatu sanepa untuk menterinya, ternyata ada lembaga yang dipimpinnya berbeda pendapat dengan dirinya.
Ini adalah bentuk mbalelo terhadap sang menteri. Dan, jika pertanda ini diterjemahkan dalam bahasa verbal “yang tidak paham siapa”. Konsep mbalelo memang sudah sejak lama dikenal pada budaya nusantara khususnya Jawa, dan itu adalah bentuk penentangan terhadap kekuasaan yang dirasakan tidak adil oleh warganya.
Sebenarnya kalau kita mau jujur bahwa menterinya tidak salah, karena dia tidak begitu paham dengan pengelolaan perguruan tinggi. Yang bermasalah adalah yang mengangkat menteri. Sebab bagaimanapun ahlinya seorang sopir truk gandengan, namun tetap saja dia mengalami kesulitan jika harus menjadi pilot pesawat terbang. Semoga sanepa ini menjadikan kita paham; karena kegagalpahaman kita selama ini disebabkan oleh ketidakmampuan kita menangkap apa dibalik mengapa.
Editor: Gilang Agusman
Harum Tanpa Bunga, Terang Tanpa Lampu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Judul di atas adalah terjemahan dari filosofi jawa “wangi tanpo kembang, padang tanpo dimar (lampu)” merupakan bagian dari filosofi Jawa yang mengandung makna mendalam dan penuh kearifan lokal. Filosofi ini mengajarkan bahwa keindahan sejati dan kebijaksanaan sejati tidak selalu membutuhkan penampilan atau sarana yang terlihat. Berikut adalah beberapa interpretasi dari ungkapan tersebut: Pertama: Kesederhanaan yang Memancarkan Kebaikan: Ungkapan ini mengajarkan bahwa seseorang dapat membawa keharuman atau kebaikan (wangi) dalam hidup orang lain tanpa harus memamerkan atau memperlihatkan sesuatu yang mewah atau indah (kembang). Begitu juga, seseorang bisa memberikan pencerahan atau kebijaksanaan (padang) tanpa perlu menunjukkan sesuatu yang mencolok atau terang (lampu). Kedua: Kekuatan dari Dalam: Filosofi ini juga menekankan pentingnya kekuatan dan keindahan yang datang dari dalam diri seseorang, bukan dari penampilan luar atau atribut fisik. Nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan ketulusan dianggap lebih penting daripada hiasan luar.
Ketiga: Keikhlasan dan Kebijaksanaan: “Wangi tanpo kembang” dan “padang tanpo lampu” juga menggambarkan keikhlasan dalam tindakan dan kebijaksanaan dalam berpikir. Ini berarti seseorang bisa berbuat baik dan memberi pengaruh positif tanpa mengharapkan pujian atau pengakuan dari pihak lain; tindakannya semata-mata hanya karena untuk beribadah kepada Sang Pencipta.
Keempat: Esensi di Atas Penampilan: Filosofi ini menekankan bahwa yang terpenting adalah esensi atau substansi dari seseorang atau sesuatu, bukan penampilannya. Hal ini selaras dengan ajaran moral tentang pentingnya budi pekerti dan moralitas di atas segala atribut fisik atau materi. Dengan kata lain, ungkapan ini mengajak kita untuk menghargai nilai-nilai yang lebih dalam dan esensial, serta untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang memberikan manfaat dan pencerahan kepada orang lain tanpa harus bergantung pada hal-hal yang bersifat material atau penampilan luar.
Sayangnya filosofi yang sangat dalam maknanya ini sekarang sudah menjadi barang langka seturut dengan bergesernya pandangan hidup kebanyakan kita. Aspek materi atau kebendaan dan sikap hedonis yang menyeruak jauh dalam kehidupan ini, menjadi pemuja akan materi dan kepuasan duniawi dijadikan pilihan utama. Banyak orang beranggapan akan menjadi wangi karena hartanya dan jalannya akan terang karena uangnya.
Sesuatu disebut nyata manakala berwujud, padahal hampir semua kita mengetahui ada hal yang tidak nyata tetapi ada. Dan, banyak diantara kita juga mengetahui bahwa hati yang terang itu melampaui cahaya matahari seterik apapun. Kesesatan berfikir mulai tampak nyata dihadapan kita; contoh yang dapat kita jadikan tamsil: sebelum dapat kita mudah berjanji, namun setelah diperoleh semua dengan mudah untuk diingkari. Sehingga seolah hati menjadi gelap, dan wangi yang ditebar sejatinya bunga reflesia.
Pembenaran akan kesalahan seolah memudahkan kita untuk mengatakan bahwa harumnya bunga mawar itu tidak seindah warna aslinya. Namun pemutaran logika serupa ini menjadikan pembenaran seolah-olah sah dalam hakiki; walau banyak orang mencibir dalam hati. Pemutarbalikan bahkan menjadikan distorsi, akhir-akhir ini justru banyak dilakukan tanpa harus malu; sekalipun harus menjilat kembali ludah sendiri.
Tampaknya hukum “tabur tuai” dalam konteks ini menjadi begitu relevan dengan filosofi jawa “siro sing nandur, yo siro sing panen”; makna kongkritnya ialah siapa yang menanam ya dia yang patut untuk memanen. Pada umumnya filosofi ini diteruskan dengan ucapan ….“Gusti Alloh ora sare….” yang terjemahan bebasnya “Tuhan tidak tidur”; maksudnya ialah bahwa apapun yang kita perbuat Tuhan Maha Mengetahui. Kita bisa menghindar dari hukum dunia (manusia) namun tidak dapat menghindar sedikitpun dari hukum Tuhan. Kita bisa beralasan atau berargumentasi dengan dalih “meluruskan”, namun kita tidak dapat menghindar dari catatan hati yang telah ditulis dalam lembar amal. Dengan kata lain kita bisa menipu siapa saja di muka bumi ini, namun kita tidak bisa menipu diri sendiri, karena di dalam hati kita selalu ada wilayah keilahian yang selalu mengingatkan kita; hanya persoalannya maukah kita mendengar peringatan itu. Pada posisi ini sering kita buta hati, dalam arti tidak mengindahkan peringatan hati nurani akan jalan ketuhanan.
Mari kita luruskan niat untuk membangun negeri ini tanpa harus berharap untuk terkenal “harumnya nama dan berlimpahnya harta”; karena jika itu yang menjadi tujuan, maka bersiaplah untuk kecewa. Sebaliknya manakala kita melakukannya dengan ihlas, maka malaikat akan mencatatnya sebagai amal. Tinggal sekarang semua pilihan ada ditangan kita. Bisa jadi kita memilih menimbun harta diperoleh dengan cara apa saja, termasuk mengkorupsi triliunan rupiah, namun pertanyaan akhir…apakah itu akan kita bawa keliang kubur saat kita dimakamkan… Jawabannya kita tanyakan pada rumput yang bergoyang..kata Ebit G Ad.
Salam waras.
Editor: Gilang Agusman
Turut Berduka Cita…
Sintia Andela Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih Juara 2 Baca Puisi Tingkat Nasional
Lomba Baca Puisi Nasional Art Competition (NAC) Polinela adalah kompetisi puisi yang diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Lampung (Polinela) di Indonesia. Lomba ini memberikan kesempatan kepada para penyair untuk menampilkan karya-karya puisi mereka dan bersaing dalam berbagai kategori yang ditentukan.
Sintia mengucapkan rasa syukur dan bangga atas hasil yang telah diraih dalam ajang ini. “Alhamdulilah suatu kebanggan bagi saya bisa menjadi juara 2 di ajang perlombaan ini,” ucapnya.
Ia mengatakan bahwa perlombaan ini merupakan perlombaan yang pertama kali saya ikuti. “Selama menempuh kuliah di Universitas Malahayati, ini pertama kalinya saya mengikuti perlombaan tingkat nasional serta menjadi perwakilan dari Universitas Malahayati,” katanya.
Sintia bercerita bahwa ia menyukai puisi dari kecil dan bermula dari dirinya melihat youtube. “Saya mulai mencoba mengikuti lomba baca puisi saat saya masih di SD, dan Alhamdulilah saya memenangkan lomba tersebut,” serunya.
Lanjutnya, ia mengungkapkan bahawa ia tidak hanya membaca puisi, tetapi ia juga mencoba ke hal baru yaitu penulisan puisi. “Saya juga menyukai menggambar, kaligrafi, dan juga lattering,” ungkapnya.
“Alhamdulilah orang tua saya sangat mendukung dan selalu support dengan bakat dan keinginan saya,”tambahnya.
Harapan saya yaitu bisa meningkatkan bakat yang satya miliki. “Saya berharap untuk kedepannya dapat menorehkan prestasi dibanyak bidang tidak hanya puisi,” sambungnya.
Jangan pernah takut akan kegagagalan, kalau tidak dimulai dari sekarang lalu kapan kita mulai. “Kesempatan tidak datang dua kali, jadilah yang terbaik dari yang terbaik,” tandasnya. (gil/humasmalahayatinews)
Editor: Gilang Agusman
Kecanduan yang Tak Berujung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Membaca komentar umpan-balik dari seorang kemenakan pada saat membaca artikel tulisan dengan ucapan seperti judul di atas, membuat terkesiap membacanya; sebab yang komentar itu seorang dokter yang Doktor. Tentu saja membuat pemikiran melayang jauh betapa telah sangat memprihatinkan kondisi moral bangsa saat ini. Namun sebelum jauh melangkah sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu candu yang bermetafora menjadi kecanduan.
Berdasarkan hasil penelusuran digital ditemukan informasi sebagai berikut: Candu adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada sesuatu yang menyebabkan ketergantungan atau kecanduan. Secara harfiah, kata ini digunakan untuk menggambarkan obat-obatan yang memiliki sifat adiktif, seperti opium. Namun, dalam konteks yang lebih luas, “candu” dapat merujuk pada segala sesuatu yang membuat seseorang kecanduan atau sangat tergantung, baik itu aktivitas, kebiasaan, makanan, teknologi, atau hal lainnya.
Pada penggunaan sehari-hari, “candu” sering kali memiliki konotasi negatif karena menunjukkan ketergantungan yang berlebihan sehingga sulit untuk dihentikan atau dikendalikan. Misalnya, seseorang dapat dikatakan “kecanduan” permainan video, media sosial, atau bahkan pekerjaan, yang berarti mereka menghabiskan waktu dan energi secara berlebihan pada aktivitas tersebut hingga mengabaikan aspek lain dalam hidup mereka.
Ketergantungan atau kecanduan ini bisa berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental, hubungan sosial, dan produktivitas seseorang. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda kecanduan dan mengambil langkah-langkah untuk mengelolanya dengan baik. Kecanduan untuk berbuat menyimpang mengacu pada dorongan kuat yang terus-menerus untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma atau aturan sosial, hukum, atau moral. Tindakan menyimpang ini bisa bervariasi dari perilaku yang secara sosial dianggap tidak pantas hingga aktivitas yang secara hukum dianggap sebagai pelanggaran.
Salah satu bentuk perilaku lain kecanduan adalah “kecanduan korupsi” yaitu: kondisi di mana seseorang memiliki dorongan kuat dan berulang untuk melakukan tindakan korupsi meskipun menyadari dampak negatifnya bagi diri sendiri, organisasi, dan masyarakat. Korupsi sendiri mencakup berbagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, seperti suap, penggelapan dana, nepotisme, dan manipulasi kontrak.
Faktor-Faktor yang mendorong kecanduan korupsi diantaranya adalah: Pertama, kekuasaan dan kesempatan: Akses terhadap kekuasaan dan kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif dapat mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Kedua, krisis moral dan etika: Kelemahan dalam nilai-nilai moral dan etika individu dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap korupsi. Ketiga, lingkungan sosial dan budaya: Budaya yang permisif terhadap korupsi dan tekanan dari lingkungan sosial untuk mencapai status atau kekayaan dapat mendorong perilaku korup. Keempat, kesenjangan ekonomi: Ketimpangan ekonomi dan kebutuhan finansial yang mendesak bisa menjadi pemicu tindakan korupsi. Kelima, psikologis dan kepribadian: Beberapa orang mungkin memiliki kepribadian yang lebih cenderung mengambil risiko dan kurang memiliki rasa bersalah atau empati, yang bisa membuat mereka lebih rentan terhadap kecanduan korupsi.
Rasa haus untuk menimbun harta sebanyak-banyaknya bagai meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Tipikal kerakusan seperti ini semakin menjadi-jadi manakala ditambah sikap hidup hedonis yang melekat pada diri dan keluarga.
Dalam penelitian Sulfakar yang dituangkan dalam disertasi menemukan bahwa; pendidikan antikorupsi untuk saat ini sudah sangat mendesak segera dilakukan oleh semua penyelenggara pendidikan. Bahkan lebih jauh direkomendasikan sebaiknya dimulai dari lingkungan pendidikan informal (keluarga). Tinggal bagaimana sekarang pemerintah untuk memotong penyebaran kecanduan korupsi ini untuk juga disertai tindakan represif bagi pelaku korupsi.
Jika selama ini mereka tetap mendapatkan perlakuan sebagaimana nara pidana kriminal biasa, maka efek jera tidak akan didapat. Tampaknya penegakkan hukum terhadap perilaku korupsi selama ini belum tegak secara benar, bahkan cenderung juga ikut dikorupsi dengan cara yang korup.
Bisa dibayangkan selevel Kejaksaan Agung yang mencoba menegakkan hukum untuk perilaku korupsi triliunan di bidang pertambangan, harus berhadapan dengan mafia; bahkan sedang makan malam-pun diikuti sehingga detasemen yang selama ini digunakan untuk melawan teorisme “dipakai” untuk menguntit. Celakanya pelaku dari perbuatan itu tertangkap dan viral di media sosial, akibatnya penghakiman oleh nitizen tidak dapat dihindari. Celakanya lagi yang bersangkutan sekarang dilaporkan ke lembaga antirasuah karena berbuat korupsi. Sejauh mana kebenaran laporan itu tulisan ini tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskannya. Hanya menjadi tampak aneh, manakala ada sebab dibuatkan akibat, dan akibat tadi dibelokkan menjadi sebab kembali.
Tampaknya candu di Indonesia itu sudah bermetamorfose, di samping candu dalam pengertian nyata atau yang lebih popular disebut narkoba seperti di jelaskan di atas. Sekarang ada candu baru yaitu korupsi dengan kelas “mega uang”; bisa dibayangkan korupsi sampai mencapai angka triliun, dan dilakukan dengan berjamaah, sistemik, terstruktur masif. Nilai korupsi sampai melebihi anggaran belanja daerah tingkat kabupaten/kota, bahkan bisa jadi provinsi. Ini sudah fantastis dan keterlaluan.
Mafioso koruptor tampaknya sudah sangat menguasai semua lini kehidupan negeri ini, sehingga diperlukan satu tindakan tegas untuk memberantasnya. Hanya masalahnya siapa yang mampu dan mau, karena untuk mencari yang seperti ini sudah sangat sulit negeri yang sudah berkumbang dengan korupsi. Apakah kita akan terus bernafas dalam lumpur, mari kita tanya pada sutradara film yang pernah membuat judul itu. Bernafas dalam Lumpur adalah sebuah film Indonesia dirilis tahun 1970 yang disutradarai oleh Turino Junaidy serta dibintangi oleh Rachmat Kartolo dan Suzanna.
Salam Waras
Editor: Gilang Agusman
Adzra Aulia Ardana Mahasiswa Universitas Malahayati, Juara Putri Karya Lampung 2024
Event Putra Putri Karya Lampung 2024 atau yang lebih dikenal sebagai Pemilihan Putra Putri Karya Lampung adalah sebuah acara tahunan. Pemilihan Putri Putri Karya Lampung ini bertujuan untuk mencari dan mengembangkan bakat-bakat muda di Provinsi Lampung.
Event ini juga berfungsi sebagai platform untuk mempromosikan budaya dan pariwisata yang ada di Provinsi Lampung. Hasil dan tujuan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut.
Adzra menceritakan bahwa ajang ini tidak hanya menilai penampilan fisik para peserta, tetapi juga mengukur kecerdasan dan wawasan mereka tentang budaya dan pariwisata setempat. Para finalis akan melalui berbagai pelatihan dan pembinaan agar dapat menjadi duta budaya Lampung yang kompeten dan berwawasan luas.
Lebih lanjut, ia menjelasakan acara ini juga diharapkan dapat mempererat persatuan dan kesatuan masyarakat serta membangun rasa toleransi dan saling menghormati antar budaya. Pemenang dari kompetisi ini akan berkesempatan mewakili Provinsi Lampung ditingkat nasional, dan mungkin juga diajang internasional.
Adzra mengkungkapkan bahwa raihan ini adalah suatu kebanggaan untuk saya bisa diamanahkan menjadi Winner Putri Karya Lampung 2024, mewakili Kab. Lampung Utara dan Universitas Malahayati. “Dengan pencapaian saya kali ini, tentunya tidak instan, banyal hal-hal yang saya lakukan dan saya perjuangkan,”ungkapnya.
Kemudian ia menambahkan, bahwa harapannya semoga setelah pencapaian ini, dirinya bisa menjadi role model untuk orang banyak terkhusus masyarakat Lampung. “Semoga raihan juara ini membuka jalan untuk terus berkarya dan berprestasi serta dapat mengharumkan nama Universitas Malahayati dan Provinsi Lampung,” tandasnya.
Editor: Gilang Agusman
Rektor Universitas Malahayati Buka Sosialisasi Program Kampus Mengajar Angkatan 8,MSIB Batch 7, PMM angkatan 5, dan Kewirausahaan.
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr., M.M., membuka acara Sosialisasi Program Kampus Mengajar Angkatan 8, MSIB Batch 7, PMM angkatan 5, dan Kewirausahaan di Graha Bintang, Selasa (28/5/2024)
Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, dalam sambutannya pada acara Sosialisasi menekankan pentingnya program ini dalam menjembatani mahasiswa untuk mengamalkan ilmu mereka di dunia kerja.
“Program ini bertujuan untuk memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi mahasiswa untuk mengamalkan ilmu di dunia kerja,” ujar Rektor.
Selain program yang dibiayai pemerintah, Universitas Malahayati juga membuka program jalur mandiri untuk memperluas kesempatan mahasiswa dalam mengamalkan ilmu mereka di dunia kerja sebelum lulus.
Rektor menegaskan bahwa program ini tidak hanya mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi dunia kerja, tetapi juga memberikan pengalaman berharga selama mengikuti program MBKM ini.
“Dengan program ini, saya berharap semua mahasiswa dapat memanfaatkannya dengan baik, terutama mengingat tingginya angka pengangguran generasi muda karena belum siap menghadapi tantangan dunia kerja. Dengan pelatihan awal selama kuliah, mahasiswa akan lebih siap untuk menghadapi dunia kerja,” pungkasnya.
Ketua MBKM Center Universitas Malahayati Aditia Firmanto, SH., MH., menjelaskan alasan di balik pelaksanaan acara ini untuk memberikan transfer informasi, hal ini penting untuk disampaikan kepada seluruh mahasiswa.
Diketahui bahwa Program MBKM sebelumnya menjadi salah satu pilihan mahasiswa untuk menghabiskan satu hingga tiga semester, dengan konversi nilai minimal 20 sks hingga 60 sks. Namun, sejak 2022, program ini telah menjadi kebutuhan sesuai peraturan kementerian, di mana indikator IKU-nya adalah mengikuti MBKM.
“Kegiatan ini akan dilaporkan setiap semesternya ke Dikti pusat,” tambah Aditia.
Aditia Firmanto berharap agar acara ini tidak hanya memberikan evaluasi terhadap program sebelumnya, tetapi juga membuka peluang untuk perubahan peraturan akademik yang akan disesuaikan dengan alur MBKM.
Acara ini dihadiri oleh para mahasiswa dan kepala program studi Universitas Malahayati Bandar Lampung. Hadir juga Wakil Rektor 1 Dr. (cand) Muhammad S. Kom, M.M., dan Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes. (*)
Editor : Asyihin
Pengumuman Ketentuan UAS Genap T.A 2023/2024
Edi Purwanto Mahasiswa Universitas Malahayati, Menjadi Pemenang IV Duta Bahasa Provinsi Lampung
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Edi Purwanto (22220108) Mahasiswa Prodi S1 Manajemen Universitas Malahayati yang berhasil Menjadi Pemenang IV pada Ajang Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Lampung. Acara ini diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung, di Hotel Novotel Lampung. Sabtu (18/5/2024).
Edi menceritakan bahwa Ajang Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Lampung yang diikuti 294 pendaftar dari seluruh Provinsi Lampung. “Saya berkesempatan bertemu dengan banyak orang baru dari berbagai daerah Lampung dan belajar tentang budaya Lampung”.
Proses seleksi yang ketat dan persiapan yang panjang menjadi tantangan tersendiri. Namun, hal ini memotivasi Edi untuk terus belajar dan mengembangkan diri.
Ajang ini menjadikan saya dapat melangkah lebih jauh, untuk dapat mengembangkan kemampan dalam berbicara didepan publik dan wawasan kebahasaan. Ini semua juga berkat support dan dukungan kepada saya selama ini. “Saya merasa bersyukur atas dukungan keluarga, teman, bapak ibu dosen dan Universitas Malahayati tercinta yang telah memberikan semangat dan motivasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Edi mengungkapkan harapannya dapat menjadi duta bahasa Provinsi Lampung yang kompeten dan berdidkasi tinggi. “Saya ingin membawa bahasa dan budaya Lampung untuk lebih dikenal meluas sampai dunia internasional,”ungkapnya.
Edi juga berkomitmen untuk menggunakan platform media sosialnya untuk mempromosikan budaya dan Trigratra bangun bahasa. “Saya ingin menjadi inspirator bagi generasi muda Lampung untuk berani bermimpi mengejar cita-cita mereka,” tambahnya.
Edi juga berkeinginan untuk merubah kondisi yang terjadi sekarang, dengan kurangnya penggunaan bahasa daerah terutama bahasa Lampung di Provinsi Lampung itu sendiri. Ia juga ingin meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa.
Editor: Gilang Agusman
Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati, Angkat Tema “Edukasi Kesehatan dan Teknologi Tepat Guna”
Agenda ini merupakan salah satu program pengabdian masyarakat yang berbasis pada teknologi tepat guna. Adapun kegiatan yang dilaksanakan yaitu pembuatan paving blok dari limbah plastik, penyaringan filter air sederhana, pembuatan sabun cuci cair dengan campuran bunga telang, pembuatan sabun mandi padat kombinasi Olive oil dan pembuatan Sabun cuci tangan dengan bahan buah Pepaya.
Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Djunizar Djamaluddin, S.Kep., Ns., MS menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan yang sudah menjadi agenda rutin di FIK dengan tujuan untuk memberikan Pengetahuan tentang kesehatan dan penerapan Teknologi Tepat Guna bidang kesehatan. Djunizar juga berharap agar para santri dapat menerapkan dan mengaplikasikan materi yang mereka dapatkan dari dosen dan Mahasiswa.
Para santri yang terlibat menyambut hangat dan penuh antusias dalam kegiatan ini. Salah satu santri bernama Fattah berujar, “Saya mengucapkan terima kasih dengan kedatangan dosen dan kakak-kaka mahasiwa yang mengajarkan kami tentang pembuatan sabun, saya mendapatkan ilmu baru katanya menutup akhir dari kegiatan ini”.
Editor: Gilang Agusman
Sanepa
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sanepa (biasa dibaca sanepo) merupakan bentuk gaya bahasa dalam kesusatraan Jawa yang berfungsi untuk menyampaikan sindiran secara halus. Berdasarkan penelusuran digital, ditemukan makna “sanepo” dalam bahasa Jawa merujuk pada bahasa kiasan atau ungkapan yang tidak disampaikan secara langsung, melainkan melalui perumpamaan, sindiran, atau simbol. Makna sanepa biasanya memerlukan penafsiran lebih lanjut untuk memahami maksud sebenarnya yang ingin disampaikan oleh pembicara. Dalam budaya Jawa, sanepa sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, karya sastra, maupun dalam tradisi lisan seperti wayang dan tembang.
Penggunaan sanepo dapat berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan kritik atau nasihat secara halus agar tidak menyinggung perasaan orang lain secara langsung. Selain itu, sanepo juga bisa menjadi bentuk penghormatan, kebijaksanaan, dan kearifan lokal dalam komunikasi antarindividu maupun dalam masyarakat luas.
Contoh sanepo adalah peribahasa atau pepatah Jawa seperti “ngunduh wohing pakarti” yang berarti “memetik hasil dari perbuatan sendiri”. Kalimat ini tidak menyatakan secara eksplisit perbuatan baik atau buruk, tetapi mengandung makna bahwa setiap tindakan akan membawa konsekuensi yang harus diterima oleh pelakunya.
Penjelasan lebih lanjut mengatakan aanepa merupakan salah satu bentuk seni berbahasa yang sangat dihargai dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai karya sastra.
Berikut adalah beberapa aspek lain dari sanepa yang memberikan penjelasan lebih mendalam tentang maknanya. Pertama, simbolisme dan perumpamaan. Maksudnya, sanepa sering menggunakan simbol atau perumpamaan untuk menyampaikan pesan. Misalnya, dalam cerita wayang, tokoh-tokoh dan peristiwa sering merupakan simbol dari nilai-nilai moral atau sosial tertentu, seperti Sengkuni untuk mewakili mereka yang suka adu domba, Bimasena untuk mewakili mereka yang berjiwa kesatria, dan lain sebagainya.
Kedua, kearifan lokal. Sanepa mencerminkan kearifan lokal masyarakat (Jawa) yang mengutamakan kesopanan dan keharmonisan dalam berkomunikasi. Melalui sanepo, seseorang dapat menyampaikan kritik atau nasihat dengan cara yang lebih halus dan tidak langsung, sehingga lebih bisa diterima dan didengar oleh pihak lain yang dimaksud.
Ketiga, pembelajaran dan pendidikan. Dalam konteks pendidikan, sanepa digunakan sebagai alat untuk mengajarkan nilai-nilai dan kebijaksanaan kepada generasi muda. Cerita-cerita rakyat, mitos, dan legenda yang mengandung sanepo sering digunakan untuk menyampaikan pesan moral. Contoh, cerita Joko Tingkir untuk menanamkan nilai-nilai kejuangan, dan sebagainya.
Pertanyaan tersisa, masih efektifkah sanepa digunakan pada saat ini dalam rangka menemukenali dan melestarikan budaya para leluhur, umumnya pada masyarakat Nusantara? Jawabannya tentu sangat sulit sekali mengingat perubahan nilai, dan budaya saat ini sedang berlangsung begitu cepat akselerasinya.
Sebagai contoh ungkapan “ngono yo ngono..ning ojo ngono”. Secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi “begitu ya begitu, tapi jangan begitu.” Namun, untuk memahami makna ungkapan ini dengan lebih dalam, kita perlu melihat konteks budaya dan makna kiasan yang ada di baliknya.
Secara lebih rinci, ungkapan ini mengandung makna sebagai berikut. Pertama, pengakuan situasi. “Ngono yo ngono” berarti mengakui bahwa suatu tindakan atau keadaan memang benar atau bisa dimaklumi dalam konteks tertentu.
Kedua, peringatan atau batasan moral. “Ning ojo ngono” berarti “tetapi jangan begitu”. Ini maksudnya memberikan peringatan atau batasan bahwa meskipun tindakan tersebut dapat dimaklumi, sebaiknya jangan dilakukan dengan cara yang berlebihan, merugikan, atau tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Pada konteks kedua ini lebih kepada kepatutan yang saat ini sudah tergerus oleh sifat hedonis, ingin menang sendiri, mencari selamat sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana pupusnya harapan orang tua kepada anak untuk sekolah manakala pejabatnya mengatakan pendidikan tinggi itu kebutuhan tersier; oleh sebab itu harganya mahal. Seolah-olah negara tidak mau hadir ditengah rakyatnya; dan ini menciderai nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat. Secara tersirat hal tersebut ingin mengatakan ..”kalau miskin gak usah kuliah”….
Meminjam istilah H.Oma Irama itu, terlalu, jika sanepa di atas digunakan pada konteks ini akan berubah menjadi “silakan begitu, walaupun memang harus begitu”. Oleh sebab itu, tidak salah jika orang bijak memberikan sanepa sebagai ssindiran yang sangat tajam dan menghunjam yang berujar: “Di dunia ini ada tiga golongan yang tidak bisa di lawan, yaitu orang kaya, penguasa, dan orang gila.
Kalau ketiga konteks tadi disejajarkan, maka betapa tidak enaknya pada kesejajaran ketiga. Namun tampaknya itu yang ingin dimaksud oleh pembuat sanepo tadi, yaitu mensejajarkan orang kaya yang lalim, penguasa yang dholim itu sama dan sebangun dengan orang gila.
Pada akhirnya negara tidak salah jika akan menjadi pengekspor tenaga kerja keluar negara lain karena negaranya tidak mampu mengurus dan menghidupi rakyatnya. Dengan bangganya mereka diberi label “sanepa” sebagai “pahlawan devisa” padahal mereka bekerja pada sector informal dinegara lain dengan diberi label sanepa keren “asisten trumah tangga”. Itupun saat ingin pulang ke negerinya sendiri harus berhadapan dengan kadal-kadal yang siap mengadali semua barang bawaan yang mereka kumpulkan bertahun-tahun dengan nilai tak seberapa.
“Jika zaman penjajah sekolah negeri bukan untuk anak pribumi, setelah merdeka sekolah bukan untuk anak miskin”. Luarbiasa memang sanep di negeri ini. Itu pun dibela oleh menterinya mengatakan bahwa uang kuliah tunggal hanya untuk mahasiswa baru. Bayangkan jika ada anak dari satu keluarga masuk fakultas tertentu dengan biaya pertama di atas seratus juta, dengan biaya setiap semesternya duapuluh lima juta. Apakah rasional jika ini dikenakan kepada mereka yang berpenghasilan rata-rata lima juta perbulan dengan jumlah keluarga lima orang dalam satu rumah tangga.
Pertanyaannya, apa yang mau dijual untuk bayar uang kuliah? Keanehan itu semakin menjadi-jadi jika dikaitkan dengan adanya perguruan tinggi yang tidak menaikkan biaya kuliahnya. Peristiwa ini sebenarnya suatu sanepa untuk menterinya, ternyata ada lembaga yang dipimpinnya berbeda pendapat dengan dirinya.
Ini adalah bentuk mbalelo terhadap sang menteri. Dan, jika pertanda ini diterjemahkan dalam bahasa verbal “yang tidak paham siapa”. Konsep mbalelo memang sudah sejak lama dikenal pada budaya nusantara khususnya Jawa, dan itu adalah bentuk penentangan terhadap kekuasaan yang dirasakan tidak adil oleh warganya.
Sebenarnya kalau kita mau jujur bahwa menterinya tidak salah, karena dia tidak begitu paham dengan pengelolaan perguruan tinggi. Yang bermasalah adalah yang mengangkat menteri. Sebab bagaimanapun ahlinya seorang sopir truk gandengan, namun tetap saja dia mengalami kesulitan jika harus menjadi pilot pesawat terbang. Semoga sanepa ini menjadikan kita paham; karena kegagalpahaman kita selama ini disebabkan oleh ketidakmampuan kita menangkap apa dibalik mengapa.
Editor: Gilang Agusman